Kota para elit bertakhta, Rose Valley. Di sinilah uang, kekuasaan, dan sihir berjalan beriringan seperti darah dalam nadi mereka yang terlahir dengan nama keluarga yang tepat. Kota ini tidak mengenal belas kasihan; yang ada hanya pemenang dan pecundang.
Di luar Hotel Grand Luxor yang megah, limosin hitam mengkilap berhenti dengan mulus. Jonathan Zenith merapikan dasi kupu-kupu putranya, Clive, yang tampak gelisah. "Ayah, apa kita harus masuk? Kata mereka, di dalam ada kue pedang es setinggi orang dewasa," bisik Clive, matanya yang kelam berbinar penuh harap, lebih tertarik pada dongeng daripada urusan orang dewasa. Jonathan tersenyum hangat, senyum yang jarang terlihat di ruang rapat. "Tentu saja. Tapi ingat sopan santun, jagoan. Beri salam, jangan berlarian." Sierra Zenith, dengan gaun keperakan yang menangkap cahaya rembulan, menggamit lengan suaminya. "Biarkan saja dia, Jo. Kau terlalu kaku," godanya pelan. "Ini pesta, bukan pengadilan." Matanya yang sebiru safir menatap Clive dengan penuh kasih. Merekalah dunianya. "Aku hanya ingin memastikan kelinci kecil ini tidak tersesat di sarang serigala," balas Jonathan, nadanya bercanda tapi matanya waspada. Ia merasakan energi kota malam ini. Tegang dan penuh antisipasi. Saat mereka melangkah masuk, denting piano dari orkestra sihir seolah menyambut mereka. Aula utama dipenuhi para bangsawan, penyihir elit, investor berdasi gelap, dan pengusaha rakus. Di tengah ruangan, seperti bintang yang paling terang, berdirilah Lucas Leiva. Pria muda berusia dua puluh satu tahun itu mengenakan setelan hitam bergaris perak, jubahnya menjuntai angkuh. Di matanya yang tajam dan tenang, tersembunyi kalkulasi dingin—seorang pewaris yang lahir dari ambisi dan dilatih dengan sihir dan darah. “Selamat untukmu, Lucas! Kau melebihi ekspektasi siapa pun. Bahkan diriku,” ucap Tuan Winstone, pemilik konsorsium tambang magis, sambil menepuk bahunya. “Terima kasih, Tuan Winstone,” jawab Lucas santun. “Ini bukan hanya keberuntungan... tapi hasil dari analisa pasar, tekanan kekuatan, dan... sedikit tekanan magis di waktu yang tepat.” “Haha! Persis seperti ayahmu!” Di sisi kanan aula, Gustav Leiva, ayah Lucas, mengamati dari singgasana tak terlihatnya. Pria berumur lima puluhan dengan mata yang tampak menyala dalam gelap. Ia adalah simbol ketegasan, penyihir Tension Hitam yang mematikan sekaligus pebisnis ulung. “Nak, kau menghancurkan keluarga Modric dari kota Dash Bern dengan strategi yang bahkan aku tak pernah perkirakan,” ucap Gustav perlahan saat Lucas mendekat. “Kau membuat mereka gulung tikar dan merebut posisi ke-9 dalam piramida sosial Ravelinz untuk keluarga kita. Langkah presisi.” Lucas tertawa pelan. “Aku hanya menemukan titik lemah mereka dan menusuknya. Semua sistem punya celah. Keluarga Modric terlalu sombong, dan... terlalu percaya pada sekutu yang salah.” Gustav memutar cincin hitam di jarinya, artefak sihir keluarga. “Itulah sebabnya kau akan menggantikanku, Lucas. Karena kau bukan hanya pebisnis. Kau adalah predator.” Suasana berubah ketika pintu besar kembali terbuka. Jonathan Zenith, istrinya Sierra, dan putra mereka, Clive, masuk. Kehadiran mereka membawa aura yang berbeda—aura martabat yang tenang. Lucas menyipitkan mata. “Lihat siapa yang datang.” Gustav tersenyum tipis, senyum yang tak mencapai matanya. “Zenith... Aku bisa mencium bau mawar yang dipaksa mekar. Hahaha.” Ia melirik Lucas. "Kelinci itu sudah masuk ke lubang jebakanku." Jonathan berjalan dengan tenang, menjabat tangan Lucas. “Selamat atas keberhasilanmu, Lucas. Kekuatan sihir dan bisnismu berkembang pesat. Aku mengagumi kemampuanmu.” Lucas membalas jabatan itu. “Anda terlalu memuji, Tuan Zenith. Aku harap putra Anda kelak bisa mengikuti jejak Anda... atau mungkin... jejak yang lebih dalam.” Jonathan menoleh ke Clive. “Dia akan menjadi lebih besar dariku. Tapi sekarang, biarkan dia menikmati kue pedang esnya.” “Kesalahan besar,” sela Gustav tajam. “Jika Lucas bisa menguasai pasar saat seusia Clive, maka Clive seharusnya sudah belajar menguasai Tension, bukan bermain bola dengan orang rendahan. Aku bahkan ragu dia punya bakat sebagai Tensioner.” Jonathan menatap Gustav. “Gustav... kau tak pernah berubah. Dunia ini bukan hanya tentang kekuasaan.” “Kau bicara seperti pengasuh anak, dan itu membuatku muak!” balas Gustav. Tiba-tiba, hawa dingin menyelimuti aula. Lilin-lilin meredup. Aura hitam pekat bagai jelaga neraka mulai menguar dari tubuh Gustav. Lucas tersenyum miring. “Ayah... sekarang?” “Sekarang,” bisik Gustav. Jonathan langsung waspada. Dalam sekejap, ia mendorong Sierra dan Clive ke belakangnya. Cahaya keemasan meledak dari telapak tangannya, membentuk kubah emas murni yang berdengung dengan kekuatan, untuk melindungi keluarganya. “Gustav, ini bukan tempat—” Ucap Sierra dengan rasa panik. “Ini tempat yang sempurna!” raung Gustav. Ia melangkah maju, dan tekanan sihirnya—Tension Hitam—menghantam aula. Gelombang hitam itu menghantam perisai emas, menciptakan riak energi yang memekakkan telinga, namun kubah itu tak retak. Para tamu menjerit, beberapa pingsan. Reputasi Tension Emas milik Jonathan Zenith bukanlah isapan jempol. Memang keras dan tak tertembus. “Aku akan memenggal kepala kalian di hadapan para elit ini, sebagai tanda dimulainya era Leiva!” Gustav mengumpulkan energi lagi, bersiap untuk serangan kedua. Namun, saat semua mata tertuju padanya, tidak ada yang melihat Lucas Leiva, dari seberang ruangan, menjentikkan jarinya nyaris tanpa suara. Di bawah kaki Jonathan, sebuah simpul sihir penekan yang telah muncul dari bawah lantai marmer menyala sesaat, lalu padam. Jonathan merasakan getaran aneh itu... sebuah sabotase... tapi sudah terlambat. Gustav menghilang dari pandangan, kecepatannya tak masuk akal. Ia muncul tepat di depan Jonathan. Saat itu, perisai emas pelindung itu berkedip lemah sepersekian detik. Celah itu cukup. BOOM!!! Tinju Tension Hitam menghantam perut Jonathan, menembus pertahanannya yang telah dilemahkan. Ia terlempar sejauh lima meter, menghantam dinding marmer dengan keras. Debu mengepul. “JONATHAN!” jerit Sierra. “AYAH!” pekik Clive. Jonathan terbatuk, darah merah segar mengalir dari mulutnya. Gustav berjalan mendekat, aura hitamnya membentuk belati tajam. “Kau kuat, Jonathan. Tapi kau sendirian. Aku... punya putra yang mengerti cara menang,” desis Gustav. “Turunlah dari singgasanamu. Kini giliran Leiva!” Belati tension itu menusuk jantung Jonathan dalam satu gerakan cepat. Mata Jonathan membelalak. “AAAYAHHHH!!” raungan Clive begitu menyayat, membuat seluruh ruangan hening seketika. "Sierra... buka portal! Bawa dia... pergi!" perintah Jonathan dengan napas terakhirnya. Sierra, gemetar hebat, membuka pusaran safir yang berputar ganas. “Clive... anakku... kamu harus pergi! Ingat hari ini! Jadilah kuat!” “Ibu! Jangan! Aku takut!” Sihir Sierra mendorong tubuh Clive ke dalam portal. Detik sebelum menutup, Sierra menatap Gustav dan Lucas dengan mata penuh luka dan amarah membara. “Kalian akan menyesali malam ini... dunia akan berubah... karena kalian menyalakan apinya.” Portal tertutup. Clive lenyap. Sierra jatuh berlutut di samping jasad suaminya. Gustav menatapnya dingin. “Akhirnya... Keluarga Leiva berdiri di puncak Rose Valley,” kata Gustav pelan. “Langkah catur berikutnya... dimulai.”Di dalam kantor Direktur Utama yang mewah, keheningan terasa begitu tebal hingga bisa diiris dengan pisau. Pertemuan sunyi antara sang pewaris yang kembali dengan sang penjaga takhta berakhir saat Zhuxin Wang akhirnya memecah keheningan, suaranya tetap tenang namun kini ada sedikit nada yang tak terbaca."Rapat dewan akan segera dimulai," katanya. "Sebaiknya kita tidak membuat mereka menunggu lebih lama."Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Clive dan Nelson mengikutinya dalam diam, berjalan di belakangnya menyusuri koridor pribadi yang sama. Clive memperhatikan punggung wanita itu—tegap, penuh percaya diri, sebuah benteng yang telah menahan gempuran selama sepuluh tahun. Dia bukan hanya penjaga gerbang, batin Clive. Dia adalah gerbang itu sendiri. Untuk merebut kembali Zenith, aku tidak bisa hanya melewatinya. Aku harus membuatnya membukakan pintu untukku.Mereka tiba di depan pintu ganda yang menuju ruang rapat utama. Zhuxin ber
Pagi merayap masuk melalui jendela-jendela besar mansion keluarga Zenith, membawa serta keheningan yang terasa berat. Keheningan itu sarat akan peristiwa kemarin—kedatangan tak terduga Don Decker Salvatore dan Sembilan Pilar Penjaganya, sebuah nama yang bergaung seperti lonceng kematian, telah mengoyak selubung damai yang tipis di rumah ini. Bagi Clive, pagi ini bukan lagi sekadar pergantian hari. Ini adalah sebuah proklamasi. Waktu untuk bersembunyi telah usai.Di ruang makan yang megah, di bawah lukisan cat minyak favorit ayahnya yang seolah menatapnya dengan mata bijak, Clive menemukan Nelson sedang memberikan instruksi pada seorang supir. Aroma kopi arabika yang pekat dan roti panggang hangat buatan Barbara menguar di udara, sebuah kontras yang tajam dengan ketegangan yang menggantung. Rossa duduk di salah satu kursi, mengaduk tehnya dengan tatapan cemas."Nelson," suara Clive terdengar lebih mantap dari hari-hari sebelumnya, memotong keheningan. Clive menarik kursi dan duduk, mat
Di dalam kamar utama kediaman Zenith yang megah, Clive berbaring tak bergerak. Meskipun semua luka fisiknya telah sembuh total berkat regenerasi Ashura yang mengerikan, tubuhnya kini harus membayar harganya. Setiap sendi, setiap otot, dan setiap serat saraf di tubuhnya terasa seperti sedang terbakar oleh api yang dingin. Itu adalah gema rasa sakit, efek samping dari pengambilalihan tubuh oleh sang Dewa Perang. Ashura adalah entitas dengan kekuatan abadi; tubuh fana Clive harus menanggung beban dari kekuatan dahsyat itu. Efek ini, seperti yang pernah Kakek Yuan jelaskan, baru akan menghilang setelah seharian penuh beristirahat total. Pintu kamarnya terbuka pelan. Nelson Valdez masuk dengan langkah tanpa suara, membawa nampan berisi segelas air dan beberapa pil pereda nyeri. Ia menatap Tuan Mudanya yang terbaring dengan wajah pucat dan napas yang sedikit berat. "Tuan Muda," bisik Nelson pelan. "Saya telah menghubungi Nona White dan memberitahu apa yang terjadi pada Anda. Saya pikir...
Di dalam kamar utama kediaman Zenith yang megah, Clive berbaring tak bergerak. Meskipun semua luka fisiknya telah sembuh total berkat regenerasi Ashura yang mengerikan, tubuhnya kini harus membayar harganya. Setiap sendi, setiap otot, dan setiap serat saraf di tubuhnya terasa seperti sedang terbakar oleh api yang dingin. Itu adalah gema rasa sakit, efek samping dari pengambilalihan tubuh oleh sang Dewa Perang. Ashura adalah entitas dengan kekuatan abadi; tubuh fana Clive harus menanggung beban dari kekuatan dahsyat itu. Efek ini, seperti yang pernah Kakek Yuan jelaskan, baru akan menghilang setelah seharian penuh beristirahat total.Pintu kamarnya terbuka pelan. Nelson Valdez masuk dengan langkah tanpa suara, membawa nampan berisi segelas air dan beberapa pil pereda nyeri. Ia menatap Tuan Mudanya yang terbaring dengan wajah pucat dan napas yang sedikit berat."Tuan Muda," bisik Nelson pelan. "Saya telah menghubungi Nona White dan memberitahu apa yang terjadi pada Anda. Saya pikir... k
Hening. Yang tersisa di dalam ruangan penthouse yang porak-poranda itu hanyalah suara napas yang tersengal dan rintihan pelan dari para Pilar Penjaga yang tergeletak di antara puing-puing. Di tengah kehancuran itu, Nelson menatap Tuan Mudanya dengan cemas saat ia membantu Clive yang baru saja sadar untuk berdiri."Tuan Muda, ayo kita pergi dari sini," bisik Nelson, nadanya mendesak. "Semua telah berakhir. Tidak ada yang perlu kita lakukan lagi di tempat ini."Clive menggeleng pelan, menepis tangan Nelson dengan lembut. Matanya tidak tertuju pada para pilar yang tak berdaya, melainkan pada satu sosok yang bersandar di dinding beton yang retak—Don Decker Salvatore. Sang Raja Dunia Bawah kini tampak mengenaskan, napasnya dangkal dan tersengal, dan darah terus merembes dari luka tusuk di dadanya. Aura Emasnya yang agung telah padam."Tunggu, Nelson," kata Clive. "Aku ingin memastikan sesuatu."Dengan langkah yang masih sedikit goyah karena sisa-sisa pertarungan internalnya, Clive berjalan
Dunia menjadi hitam.Pukulan terakhir dari Julian Draxler tidak hanya meremukkan tulang rusuk Clive, tapi juga memadamkan kesadarannya. Suara-suara di ruangan itu—teriakan panik Nelson, tawa kejam Julian, detak jantungnya sendiri—perlahan meredam, ditelan oleh kegelapan yang dingin dan tak berujung. Ia terjatuh ke dalam jurang yang sunyi di dalam pikirannya sendiri.Namun, di dalam kegelapan itu, ia mendengar sebuah teriakan lain. Sebuah teriakan dari masa lalu yang penuh dengan kepanikan."Kakek! Clive lepas kendali!"(Kilas Balik - Kuil Surgawi, Satu Tahun Lalu)Di tengah lapangan latihan yang damai, di bawah tatapan tenang patung-patung Buddha, Clive yang berusia 22 tahun sedang beradu tanding dengan Wing Shao. Mereka bergerak cepat, hanya menggunakan Chi murni tanpa Tension, sebuah latihan untuk menguji batas stamina dan kontrol."Kau melambat, Clive!" seru Wing sambil menangkis pukulan Clive."Aku... baru... mulai!"