Keesokan harinya, berita itu meledak. Bukan seperti api, tapi seperti bom sihir yang mengguncang fondasi Rose Valley. Pembantaian di Hotel Grand Luxor. Tumbangnya Keluarga Zenith.
Layar-layar berita holografik di setiap sudut kota menyiarkan wajah Jonathan dan Sierra Zenith dengan tajuk utama yang brutal: DUA RAKSASA TEWAS, PEWARIS HILANG, LEIVA BERKUASA. Polisi merilis pernyataan singkat, menyebutnya "insiden tragis akibat persaingan bisnis yang tak terkendali," sebuah frasa diplomatis untuk mengatakan, "Tangan kami terikat." Di menara Leiva Industries yang menjulang menusuk langit, seminggu setelah peristiwa itu, suasananya terasa dingin dan penuh kemenangan. Lucas Leiva berdiri di depan jendela panorama. Di hadapannya, melayang antarmuka data holografik. Dengan sapuan jarinya yang elegan, ia mengamati grafik saham Zenith Corp—garis merah darah yang menukik tajam ke angka nol. Di sebelahnya, grafik Leiva Ind. berwarna hijau zamrud, menanjak vertikal. "Kehancuran total. Para investor bodoh itu lari seperti tikus dari kapal yang kita tenggelamkan," kata Lucas, matanya memantulkan angka-angka yang menari. Gustav Leiva duduk di kursi kulitnya yang megah, menyesap anggur dari piala kristal. "Tikus selalu tahu ke mana harus lari, Nak. Ke kapal yang lebih besar. Ke kapal kita." Seorang asisten bernama Anton masuk dengan langkah ragu, membawa datapad. "Tuan Gustav, Tuan Lucas... Laporan dari semua tim pencari di delapan distrik hasilnya nihil." Gustav bahkan tidak menoleh. "Anak itu hanya bocah 13 tahun. Manja dan lemah. Jika portal sialan itu tidak membunuhnya, musim dingin akan. Hentikan pencarian skala besar. Buang-buang uang." "Tapi Ayah," sela Lucas, matanya masih terpaku pada data. "Seekor tikus yang terpojok bisa tumbuh menjadi sesuatu yang lebih merepotkan. Kita tidak boleh meninggalkan kemungkinan sekecil apa pun." Ia menoleh ke Antonio. "Bagaimana dengan draf yang kuminta?" Antonio segera menampilkan gambar di datapad: wajah Clive Zenith yang ketakutan, diambil dari arsip foto pesta. Di bawahnya, tertulis "DICARI" dengan imbalan besar. Lucas mengamati gambar itu dengan tatapan dingin, seolah sedang menilai aset. "Kurang," katanya datar. "Kurang, Tuan?" tanya Antonio bingung. "Naikkan imbalannya menjadi dua ratus juta Dollar Ravelinz," perintah Lucas. "Dan ubah keterangannya. Tambahkan: HIDUP ATAU MATI. Aku mau semua orang, dari pemburu bayaran elite di Distrik 1 hingga preman jalanan di Distrik 9, termotivasi untuk mencarinya. Aku ingin dia tidak bisa tidur, tidak bisa makan, tidak bisa mempercayai siapa pun. Buat dia merasa seluruh dunia memburunya." Gustav tertawa terbahak-bahak, suara tawanya menggema di ruangan itu. "Hahaha! Itu baru putraku! Menghancurkan musuh bukan hanya di medan perang, tapi juga di dalam pikiran mereka!" Anton menunduk ngeri dan bergegas pergi. "Sekarang yang perlu kita lakukan hanyalah menikmati buah dari kerja keras kita," kata Gustav, mengangkat pialanya. Lucas akhirnya berpaling dari jendela. "Yang perlu kita waspadai hanyalah benih apa yang tanpa sengaja kita tanam di balik bayangan itu, Ayah. Bahkan pohon terlemah pun bisa menumbangkan menara jika akarnya dibiarkan merambat di tempat yang tepat." "Kau terlalu banyak berpikir, Nak," balas Gustav sambil menepuk bahu putranya. "Dunia ini milik yang kuat. Dan yang lemah... mereka hanya ada untuk menjadi pupuk bagi kemenangan kita." Kuil Surgawi, Provinsi Nordia Jauh dari kota besi dan kaca itu, di tengah hutan pinus yang diselimuti kabut pagi, berdiri sebuah kuil tua. Di sini, udara beraroma dupa dan tanah basah. Di sini, satu-satunya suara adalah desau angin dan detak jantung yang berpacu. Clive Zenith, kini berusia 13 tahun, berdiri di tengah pelataran latihan. Keringat membasahi pelipisnya, napasnya terengah-engah. Matanya terpejam, fokus. Di sekelilingnya, daun-daun maple kering tidak hanya bergetar, tapi terangkat dari tanah, berputar-putar membentuk dua spiral yang saling mengunci. Satu spiral bersinar dengan cahaya keemasan yang bergejolak dan liar—Tension warisan ayahnya, yang kini diwarnai amarah. Spiral lainnya memancarkan energi biru yang tenang dan stabil—Chi yang dia tarik dari alam sekitarnya. Keduanya bertarung, berbenturan, mencari keseimbangan. "Clive... istirahatlah," suara Kakek Yuan Shao terdengar lembut. Biksu tua itu berdiri di bawah pohon Bodhi, jubahnya yang kumal seolah menyatu dengan alam. "Belum, Kakek! Aku hampir bisa!" balas Clive dengan suara serak. "Aku hampir bisa menyatukannya!" Tiba-tiba, energi emas itu meledak, membakar beberapa daun hingga menjadi abu. Spiral itu buyar. Clive terhuyung dan jatuh berlutut, memukul tanah dengan frustrasi. "Amarahmu adalah pedang bermata dua, Clive," kata Kakek Yuan sambil mendekat. "Ia memberimu kekuatan untuk mengangkat pedang itu, tapi ia juga yang akan mengiris tanganmu jika kau tidak menggenggamnya dengan benar." Clive menatap Kakek Yuan, matanya yang ditempa penderitaan berkilat marah. "Amarah ini yang membuatku hidup, Kakek! Saat aku menutup mata, aku melihat wajah mereka! Tawa mereka! Amarah inilah satu-satunya yang kumiliki!" Kakek Yuan meletakkan tangannya yang keriput di bahu Clive. Energinya hangat dan menenangkan. "Aku tidak memintamu membuang pedang itu, Nak. Aku memintamu untuk menjadi tuannya, bukan budaknya. Kendalikan, maka kau akan menjadi pejuang. Dikuasai, maka kau hanya akan menjadi monster lain." Saat itulah Wing Shao, cucu Kakek Yuan, datang membawa semangkuk sup herbal panas dan sebuah piala bambu berisi air. Pria 28 tahun yang tegap itu memiliki ketenangan seorang prajurit. "Bahkan baja terkeras pun akan retak jika terus dipanaskan tanpa didinginkan," kata Wing sambil berjongkok di depan Clive. "Makanlah." Clive menatap Wing, amarah di matanya mereda, digantikan rasa terima kasih yang dalam. "Terima kasih, Kak Wing. Aku... aku tidak akan pernah lupa." Sekelebat ingatan melintas di benaknya: Lumpur dingin, bau anyir darah dari luka di pelipisnya, dan geraman rendah seekor harimau bertaring perak yang siap menerkam. Lalu, bayangan Wing muncul, tombak kayunya menghalau sang predator, tangannya yang kokoh menarik Clive dari ambang kematian. Wing tersenyum tipis. "Kita semua pernah ditarik dari lumpur, Clive. Yang penting bukan siapa yang mendorongmu, tapi siapa yang mengajarimu cara berdiri setelahnya." Clive mengambil mangkuk itu. Di antara heningnya Kuil Surgawi, bayangan Gustav dan Lucas Leiva kembali menari di benaknya. Dia memejamkan mata, dan sebuah sumpah bisu terukir di dalam hatinya dengan api. ‘Gustav Leiva, Lucas Leiva… tunggu aku. Bakar uang kalian, sebarkan wajahku, buru aku seperti binatang. Tapi setiap detik kalian duduk di singgasana curian itu, aku berlatih. Setiap napas yang kalian ambil dalam kemewahan, aku menempa diriku dalam kesunyian. Aku akan datang membawa badai yang kalian ciptakan. Dan aku… tidak akan memberi ampun.’ Sepuluh Tahun Kemudian… Sepuluh tahun penempaan telah usai. Clive Zenith, kini pemuda 23 tahun, berdiri di puncak tebing memandang bulan purnama. Auranya tidak lagi liar. Tension emas dan Chi biru itu kini telah menyatu, berputar di sekelilingnya dalam harmoni yang mematikan—badai yang terkendali. Kakek Yuan dan Wing Shao mengamatinya dari jauh. "Waktunya hampir tiba," bisik Wing. Kakek Yuan mengangguk, matanya yang bijak menatap punggung tegap muridnya. "Saat waktunya datang, dia tidak hanya membawa dendam. Dia membawa neraka dan surga bersamanya. Pertanyaannya adalah, yang mana yang akan dia lepaskan." Seolah merasakan tatapan mereka, Clive menoleh. Di pergelangan tangannya, melingkar sebuah tasbih kayu sederhana—pemberian sang guru. Ia menggenggamnya erat, merasakan kehangatan kayu itu di tengah dinginnya api dendam di hatinya. "Leiva…" bisiknya ke arah angin, suaranya tenang namun mengandung guntur. "Waktu bermain kalian… sudah habis."Deru suara hewan buas pada Bugatti Chiron Zenith Custom kini telah mereda, digantikan oleh laju yang lebih tenang dan elegan saat Clive mengendarainya menembus jalanan Rose Valley di pagi yang cerah. Aurora Atremides duduk di kursi penumpang, matanya yang biru menatap pemuda di sampingnya dengan campuran rasa ingin tahu dan kekaguman."Kemana kita akan pergi, Clive?" Tanya Aurora."Pertama, aku akan mengajakmu mengunjungi sejarah leluhur kita di museum Citadel of Rose.""Kenapa ke museum? Aku tidak menyangka kau akan membawaku ke museum," kata Aurora, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka. "Dari semua tempat hiburan di kota ini, kenapa Citadel of Rose?"Clive tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada jalanan. "Aku ingin kau melihat sesuatu yang nyata. Sesuatu yang punya cerita. Ayahku sering membawaku ke tempat-tempat seperti ini saat aku kecil. Ia bilang, untuk mengerti masa depan sebuah kota, kau harus mengerti dulu masa lalunya."
Di dalam menara Leiva, Gustav dan Lucas merencanakan perang dalam bayang-bayang, frustrasi oleh penolakan mentah-mentah dari keluarga Atremides. Mereka tidak menyadari bahwa di belahan kota lain, di kediaman Zenith yang kini kembali hidup, sang target utama mereka justru sedang memulai langkah ofensifnya sendiri untuk membalaskan dendam dari masa lalunya.Malam itu, di dalam apartemennya yang mewah dan minimalis di puncak sebuah gedung pencakar langit, Zhuxin Wang yang sudah mengenakan baju tidur yang sangat tipis dan lembut, sedang mencoba untuk rileks. Segelas anggur merah di tangannya, ia menatap pemandangan malam itu di Rose Valley dari jendela kacanya yang besar. Sebulan terakhir ini adalah bulan paling gila dalam kariernya. Zenith Corp, perusahaan yang ia pimpin dengan sisa-sisa tenaga, dan nafas terakhir yang berada di ambang jurang kebangkrutan karena tekanan dan desakan terus dari Leiva Industries, tiba-tiba bangkit dari kuburnya dan terbang ke atas langit. Seperti
Di tengah badai berita yang melanda Rose Valley tentang kebangkitan keluarga Zenith, sebuah badai lain yang lebih sunyi namun jauh lebih berbahaya sedang terbentuk. Di dalam suite termewah Hotel GoldenGate, keluarga Leiva—yang biasanya menjadi pusat perhatian—kini menunggu dengan cemas seperti tamu tak diundang. Gustav Leiva berdiri kaku, sementara Lucas mondar-mandir dengan gelisah. Mereka sedang mencoba melakukan hal yang mustahil: mendapatkan audiensi dengan Patriark Atremides tanpa janji temu.Di lantai atas, di dalam Penthouse Suite yang megah, seorang pengawal pribadi berjas hitam masuk dan membungkuk hormat di hadapan Valerius Atremides."Tuan Besar, Kepala Keluarga Leiva, Gustav Leiva, dan putranya, Lucas Leiva, ada di lobi. Mereka mengatakan ingin bertemu dengan Anda untuk membahas 'masa depan Ravelinz'," lapor pengawal itu.Berry Atremides mendengus. "Tidak punya malu. Setelah terpojok oleh Cloud, mereka datang merengek pada kita."Milla
Di aula Phoenix yang megah di dalam hotel Golden Gate.Setelah pertempuran yang melelahkan itu berakhir dan Clive menyembuhkan kedua lawannya, suasana di Aula Phoenix terasa ganjil. Para pelayan hotel dengan gemetar membersihkan puing-puing meja dan pecahan porselen, sementara keluarga Atremides menatap Clive dengan cara pandang yang telah berubah 180 derajat. Di mata mereka, ia bukan lagi sekadar anak yang telah lama menghilang lalu kembali yang beruntung atau pemuda sembrono yang membuat masalah. Ia adalah sebuah fenomena.Valerius Atremides, sang patriark, adalah yang pertama memecah keheningan setelah permainan yang hebat itu. Ia berjalan mendekati Clive, tatapannya yang tajam kini dipenuhi oleh kekaguman yang tak bisa disembunyikan."Clive Zenith," katanya, suaranya yang berat menggema. "Hari ini kau telah menunjukkan kepada kami lebih dari sekadar kekuatan dalam bertarung. Kau menunjukkan kontrol diri, prinsip, dan... belas kasihan yang tak terduga.
"Permainan... baru saja dimulai."Suara Clive yang tenang dan tanpa sumber itu menggema di Aula Phoenix, membuat bulu kuduk Milla dan Aurora berdiri. Valerius Atremides berdiri tegang di tengah ruangan, matanya yang tajam menyapu setiap sudut, mencoba menangkap getaran sekecil apa pun. Tapi tidak ada apa-apa. Hening. Seolah Clive Zenith telah lenyap dari muka bumi."Tunjukkan dirimu, bocah!" geram Valerius."Aku sudah di sini sejak tadi, Tuan Besar," jawab suara itu, kali ini terdengar dari arah kanannya. Valerius berputar, melayangkan tinju hitamnya ke udara kosong.BOOM!Sebuah tendangan kuat menghantam sisi kiri perut Valerius dengan kekuatan yang tak terduga, membuatnya terhuyung dan terbang dengan cepat, membentur dinding aula yang kokoh dengan bunyi BRUKK! yang keras."AYAH!!" teriak Berry Atremides, matanya memerah karena amarah. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan raungan, aura Emas yang agung meledak dari tubuhnya da
"Kalau begitu... ayo," ucap Valerius Atremides, suaranya yang tenang bergema di Aula Phoenix yang megah. Ia perlahan berdiri dari kursinya, tongkat kristalnya ia letakkan dengan hati-hati di atas meja. "Sembari menunggu makan malam kita tiba, kita bisa sedikit 'berdansa'. Permainan ini akan berakhir saat hidangan pertama disajikan. Kau setuju, Clive?"Clive mengangguk, bibirnya mengulas senyum ringan yang tak terbaca. "Baik, Tuan Besar Atremides. Saya setuju."Mereka berdua melangkah menjauh, mengambil posisi di tengah ruangan yang luas, menciptakan jarak sekitar lima meter di antara mereka. Meja makan panjang yang dilapisi kain beludru merah tua kini menjadi batas arena duel para raksasa.Milla, Berry, dan Aurora sontak berdiri dari kursi mereka, wajah mereka penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan."Kakek, hentikan! Ini tidak perlu!" seru Aurora, hampir melangkah maju, namun lengan kokoh ayahnya, Berry, menahannya."Ayah,