Clive berlutut dan menempelkan keningnya di lantai kayu Kuil Surgawi yang dingin. Matanya berkaca, penuh rasa hormat dan penuh dengan ucapan terima kasih dari lubuk hatinya yang tidak bisa di gambarkan dengan kata kata.
“Kak Wing… Kakek Yuan, terima kasih atas semua yang telah kalian berikan padaku selama ini.” ucap Clive dengan suara pelan tetapi tegas. “Terima kasih untuk semua ilmu yang telah kalian ajarkan kepadaku, untuk semua hari dan malam yang kalian habiskan untuk menjadikanku siapa aku hari ini. Dan terimakasih sudah membawaku pulang dari kematian yang akan segera datang menerkamku 10 tahun yang lalu.Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan kalian.” Kakek Yuan Shao mengangkat tangan kurus yang gemetar, tetapi penuh tenaga, dan membantu Clive bangkit berdiri. “Anak yang baik… berdirilah. Jangan pernah lupakan siapa dirimu dan dari mana kamu berasal,” ucap Kakek Yuan pelan, matanya memancarkan kasih sayang dan kebijaksanaan. Wing Shao, yang berdiri tak jauh dari sana, melangkah mendekat dan berkata dengan suara tenang: “Kamu yakin ingin meninggalkan Kuil Surgawi secepat ini, Clive?” Clive mengangkat kepalanya, tatapannya penuh determinasi. “Aku yakin, Kak. Sudah waktunya aku kembali ke Rose Valley, mengambil alih apa yang seharusnya menjadi milikku, dan aku akan terus menyempurnakan kemampuan ini hingga titik puncaknya. Namun...” —Clive tersenyum tipis sambil memberi hormat— “aku harap suatu hari nanti aku bisa membawa kalian berdua pulang dan tinggal di rumahku, agar kalian juga dapat menikmati tempat yang nyaman seperti yang aku rasakan.” "Terimakasih untuk penawaran mu yang baik,Nak" Kakek Yuan menarik napas panjang, kemudian berkata dengan suara berat namun penuh makna: “Ingat pesan yang pernah aku ucapkan, Nak. Amarah memang membuatmu kuat, tetapi juga, amarah bisa menghancurkanmu dari dalam. Jadikan amarahmu sebagai tenaga untuk berdiri, bukan malah membuatmu terjatuh.” “Baik, Kakek. Aku tidak akan pernah lupa kata-kata itu. Aku akan selalu mengingat semua yang Kakek ajarkan dan berikan kepadaku.” balas Clive sambil memegang erat tangan tua sang pertapa. Saat itu juga, Wing Shao merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan sebuah kantong kecil dari kain lusuh, berisi uang kertas dan koin logam. “Ini tidak banyak, tetapi semoga bisa membantumu selama perjalanan kembali ke Rose Valley. Berhati–hatilah, Clive. Dan ingat… Kuil Surgawi selalu siap menerima siapa pun yang membawa niat baik dan hati yang tenang.” Saat itu juga air mata Clive tak dapat ia tahan. Dengan tubuh yang gemetar, ia memeluk erat Kakek Yuan dan Wing Shao. “Terimakasih untuk 10 tahun yang paling berharga dalam hidupku. Terimakasih sudah menyelamatkan aku dari kematian. Aku tidak akan pernah melupakan tempat ini. Aku tidak akan pernah melupakan kalian berdua. Terima kasih… untuk segalanya. Suatu hari nanti,aku pasti akan datang kembali ke sini dengan sebuah kebanggaan.” Saat selesai memberi penghormatan terakhir, Clive berdiri, menarik napas panjang, dan membalikkan badan. Ia melangkah meninggalkan Kuil Surgawi, memulai perjalanan panjang dari kesunyian hutan Makaoka menuju kota tempat takdir dan dendam menunggunya. *** Hutan Makaoka, Malam Hari Saat matahari mulai tenggelam, Clive memutuskan untuk berhenti dan bermalam di tengah Hutan Makaoka. Ia membuat api unggun dari ranting-ranting kering, memanggang beberapa ikan yang ia dapatkan dari sungai kecil yang mengalir di dekat tempat itu tadi siang. Sekilas terlihat bahwa tubuh yang dahulu kecil itu kini telah tumbuh kuat, penuh otot dan tenaga. Setelah makan, Clive duduk bersila di dekat api unggun, memulai meditasi panjang untuk menyerap energi dari alam. Matanya tertutup, napasnya pelan dan teratur. Ia membiarkan dirinya bersatu dengan alam. Angin malam yang sejuk berbisik di balik pepohonan, membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang berguguran. Saat tubuh dan jiwanya mulai tenang, bayangan masa lalu muncul di pelupuk matanya. Ayah yang berdarah… Ibu yang menangis… Gustav dan Lucas Leiva berdiri angkuh dengan tatapan menghina. Amarah itu kembali berkobar di dalam dada Clive. Ia merasakan sakit kepala yang sangat teramat ketika mengingat masa lalu yang kelam dan buruk saat ia masih berusia 13 tahun. Pembunuhan kedua orang tuanya dan penghinaan terhadap orang tua nya yang telah di rencanakan keluarga Leiva. Ini semua tidak akan di biarkan begitu saja. Clive bersumpah suatu hari nanti ia akan datang menemui mereka dan membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. “Saat waktunya tiba… Leiva, kalian akan menerima pembalasan yang tidak pernah kalian bayangkan,aku bersumpah akan menghapus keluarga kalian dari sejarah Rose Valley.” bisik Clive pelan sebelum akhirnya mematikan api unggun dan memejamkan mata. *** Kota Ondula, Gerbang Suci Saat matahari berada tepat di atas kepala, Clive akhirnya keluar dari Hutan Makaoka dan berdiri tepat di pintu masuk Gerbang Suci Kota Ondula. Beberapa pejalan kaki memandanginya dengan tatapan aneh seperti asing melihat Clive, tetapi tak ada yang peduli lebih dari itu. Clive, dengan pakaian lusuh dan tubuh tinggi tegap, masuk ke sebuah kedai kecil di pusat kota. Seorang pria paruh baya dengan apron lusuh berdiri di balik meja panjang dari kayu tua. “Selamat datang, Nak. Ada yang bisa kubantu?” Clive menghampiri dengan tatapan tenang. “Maaf, Tuan. Aku sedang dalam perjalanan menuju ke Rose Valley. Ada yang bisa memberi tahu bagaimana caranya aku bisa ke sana?” Pria itu mengangkat alis, menghentikan kegiatannya, dan menatap Clive dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Rose Valley? Nak… tempat itu bukan tempat yang ramah bagi orang biasa,” ucapnya pelan. “Tempat itu bukan tempat yang seindah namanya. Ada banyak pertarungan di sana, dan satu langkah yang salah bisa membuatmu berakhir di neraka.” Clive tersenyum kecil. “Aku tidak datang untuk bermain, Tuan. Ada urusan yang harus aku selesaikan di sana.” Pria itu mengangguk pelan, akhirnya menerima kesungguhan yang terlihat dari tatapan Clive. “Baik. Jika memang itu tujuanmu, tunggu hingga sore nanti di depan gerbang kota Ondula. Ada beberapa pedagang yang membawa kereta kuda dari sini menuju kota Arion. Mereka biasa berdagang di pasar tradisional di Arion dan biasa membawa penumpang juga. Sampai di Arion, kamu bisa naik kereta dari stasiun dan melanjutkan perjalanan ke Rose Valley.” “Terima kasih, Tuan,” balas Clive sambil memberi hormat kecil. Saat keluar dari kedai itu, Clive menarik napas panjang. Angin sore bertiup dari pegunungan, membawa pesan bisu dari masa lalu. Ada langkah panjang yang belum selesai… dan dendam yang belum terbalaskan. Saat itu juga, dari balik matanya yang tegas, terdengar bisikan kecil dari hatinya sendiri: “Leiva, tunggu aku. Aku pulang.”Deru suara hewan buas pada Bugatti Chiron Zenith Custom kini telah mereda, digantikan oleh laju yang lebih tenang dan elegan saat Clive mengendarainya menembus jalanan Rose Valley di pagi yang cerah. Aurora Atremides duduk di kursi penumpang, matanya yang biru menatap pemuda di sampingnya dengan campuran rasa ingin tahu dan kekaguman."Kemana kita akan pergi, Clive?" Tanya Aurora."Pertama, aku akan mengajakmu mengunjungi sejarah leluhur kita di museum Citadel of Rose.""Kenapa ke museum? Aku tidak menyangka kau akan membawaku ke museum," kata Aurora, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka. "Dari semua tempat hiburan di kota ini, kenapa Citadel of Rose?"Clive tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada jalanan. "Aku ingin kau melihat sesuatu yang nyata. Sesuatu yang punya cerita. Ayahku sering membawaku ke tempat-tempat seperti ini saat aku kecil. Ia bilang, untuk mengerti masa depan sebuah kota, kau harus mengerti dulu masa lalunya."
Di dalam menara Leiva, Gustav dan Lucas merencanakan perang dalam bayang-bayang, frustrasi oleh penolakan mentah-mentah dari keluarga Atremides. Mereka tidak menyadari bahwa di belahan kota lain, di kediaman Zenith yang kini kembali hidup, sang target utama mereka justru sedang memulai langkah ofensifnya sendiri untuk membalaskan dendam dari masa lalunya.Malam itu, di dalam apartemennya yang mewah dan minimalis di puncak sebuah gedung pencakar langit, Zhuxin Wang yang sudah mengenakan baju tidur yang sangat tipis dan lembut, sedang mencoba untuk rileks. Segelas anggur merah di tangannya, ia menatap pemandangan malam itu di Rose Valley dari jendela kacanya yang besar. Sebulan terakhir ini adalah bulan paling gila dalam kariernya. Zenith Corp, perusahaan yang ia pimpin dengan sisa-sisa tenaga, dan nafas terakhir yang berada di ambang jurang kebangkrutan karena tekanan dan desakan terus dari Leiva Industries, tiba-tiba bangkit dari kuburnya dan terbang ke atas langit. Seperti
Di tengah badai berita yang melanda Rose Valley tentang kebangkitan keluarga Zenith, sebuah badai lain yang lebih sunyi namun jauh lebih berbahaya sedang terbentuk. Di dalam suite termewah Hotel GoldenGate, keluarga Leiva—yang biasanya menjadi pusat perhatian—kini menunggu dengan cemas seperti tamu tak diundang. Gustav Leiva berdiri kaku, sementara Lucas mondar-mandir dengan gelisah. Mereka sedang mencoba melakukan hal yang mustahil: mendapatkan audiensi dengan Patriark Atremides tanpa janji temu.Di lantai atas, di dalam Penthouse Suite yang megah, seorang pengawal pribadi berjas hitam masuk dan membungkuk hormat di hadapan Valerius Atremides."Tuan Besar, Kepala Keluarga Leiva, Gustav Leiva, dan putranya, Lucas Leiva, ada di lobi. Mereka mengatakan ingin bertemu dengan Anda untuk membahas 'masa depan Ravelinz'," lapor pengawal itu.Berry Atremides mendengus. "Tidak punya malu. Setelah terpojok oleh Cloud, mereka datang merengek pada kita."Milla
Di aula Phoenix yang megah di dalam hotel Golden Gate.Setelah pertempuran yang melelahkan itu berakhir dan Clive menyembuhkan kedua lawannya, suasana di Aula Phoenix terasa ganjil. Para pelayan hotel dengan gemetar membersihkan puing-puing meja dan pecahan porselen, sementara keluarga Atremides menatap Clive dengan cara pandang yang telah berubah 180 derajat. Di mata mereka, ia bukan lagi sekadar anak yang telah lama menghilang lalu kembali yang beruntung atau pemuda sembrono yang membuat masalah. Ia adalah sebuah fenomena.Valerius Atremides, sang patriark, adalah yang pertama memecah keheningan setelah permainan yang hebat itu. Ia berjalan mendekati Clive, tatapannya yang tajam kini dipenuhi oleh kekaguman yang tak bisa disembunyikan."Clive Zenith," katanya, suaranya yang berat menggema. "Hari ini kau telah menunjukkan kepada kami lebih dari sekadar kekuatan dalam bertarung. Kau menunjukkan kontrol diri, prinsip, dan... belas kasihan yang tak terduga.
"Permainan... baru saja dimulai."Suara Clive yang tenang dan tanpa sumber itu menggema di Aula Phoenix, membuat bulu kuduk Milla dan Aurora berdiri. Valerius Atremides berdiri tegang di tengah ruangan, matanya yang tajam menyapu setiap sudut, mencoba menangkap getaran sekecil apa pun. Tapi tidak ada apa-apa. Hening. Seolah Clive Zenith telah lenyap dari muka bumi."Tunjukkan dirimu, bocah!" geram Valerius."Aku sudah di sini sejak tadi, Tuan Besar," jawab suara itu, kali ini terdengar dari arah kanannya. Valerius berputar, melayangkan tinju hitamnya ke udara kosong.BOOM!Sebuah tendangan kuat menghantam sisi kiri perut Valerius dengan kekuatan yang tak terduga, membuatnya terhuyung dan terbang dengan cepat, membentur dinding aula yang kokoh dengan bunyi BRUKK! yang keras."AYAH!!" teriak Berry Atremides, matanya memerah karena amarah. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan raungan, aura Emas yang agung meledak dari tubuhnya da
"Kalau begitu... ayo," ucap Valerius Atremides, suaranya yang tenang bergema di Aula Phoenix yang megah. Ia perlahan berdiri dari kursinya, tongkat kristalnya ia letakkan dengan hati-hati di atas meja. "Sembari menunggu makan malam kita tiba, kita bisa sedikit 'berdansa'. Permainan ini akan berakhir saat hidangan pertama disajikan. Kau setuju, Clive?"Clive mengangguk, bibirnya mengulas senyum ringan yang tak terbaca. "Baik, Tuan Besar Atremides. Saya setuju."Mereka berdua melangkah menjauh, mengambil posisi di tengah ruangan yang luas, menciptakan jarak sekitar lima meter di antara mereka. Meja makan panjang yang dilapisi kain beludru merah tua kini menjadi batas arena duel para raksasa.Milla, Berry, dan Aurora sontak berdiri dari kursi mereka, wajah mereka penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan."Kakek, hentikan! Ini tidak perlu!" seru Aurora, hampir melangkah maju, namun lengan kokoh ayahnya, Berry, menahannya."Ayah,