Sore yang keemasan membentang di atas Ondula saat Clive tiba di gerbang kota. Aroma roti panggang dan debu jalanan bercampur di udara. Sesuai petunjuk pemilik kedai, ia melihat tiga kereta kuda yang diparkir berjajar, di samping tumpukan peti kayu yang menggunung, penuh dengan sayuran segar hasil panen pegunungan.
Seorang pria paruh baya dengan punggung yang sedikit membungkuk karena kerja keras sedang mengangkat sebuah peti berisi lobak ungu. Wajahnya dipahat oleh matahari dan kekhawatiran. Ia bergerak dengan ritme yang lambat namun pasti, ritme seorang pria yang telah melakukan pekerjaan yang sama seumur hidupnya. Clive mendekat dengan langkah tenang. "Permisi, Tuan." Pria itu meletakkan peti itu dengan suara gedebuk, lalu menegakkan punggungnya sambil menghela napas. Ia menatap Clive dari atas ke bawah, tatapannya tajam dan penuh kewaspadaan. "Ya? Ada apa?" "Saya dengar Anda akan berangkat menuju Arion. Apakah benar?" tanya Clive sopan. "Mungkin," jawab pria itu singkat, matanya masih menilai. "Tergantung siapa yang bertanya." "Saya seorang pengelana. Saya butuh tumpangan untuk sampai ke Arion," jelas Clive. Pria itu tertawa kecil, sebuah tawa kering tanpa humor. "Tumpangan tidak gratis, Nak. Kereta ini butuh perawatan, kuda-kuda ini butuh makan, dan aku juga butuh makan." "Saya mengerti. Berapa yang harus saya bayar?" Clive merogoh kantong kain pemberian Wing Shao. Pria itu melirik kantong lusuh itu, lalu menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk tumpukan peti yang masih tersisa dengan dagunya. "Aku tidak butuh uang recehmu. Simpan saja untuk makanmu nanti di Arion. Aku butuh punggung yang kuat dan sepasang tangan yang tidak takut kerja kasar. Kau lihat semua ini?" Clive mengangguk. "Bantu aku penuhi tiga kereta ini sampai tidak ada satu peti pun tersisa di tanah. Setelah itu, kau boleh naik di salah satunya sampai kita tiba di pasar Arion. Adil?" Sebuah senyuman tulus terbit di wajah Clive. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, seseorang menilainya dari kekuatannya, bukan dari nama atau masa lalunya. "Sangat adil, Tuan," jawabnya. "Saya akan mulai sekarang." Pria itu mengangguk puas. "Bagus. Aku Barto. Panggil saja aku begitu. Aku akan mengawasi dari sana." Barto duduk di bangku kayu tak jauh dari situ, sementara Clive mulai bekerja. Peti pertama terasa berat, tapi setelah sepuluh tahun latihan di Kuil Surgawi, beban itu terasa ringan. Ia mengangkatnya dengan mudah, menumpuknya dengan rapi di dalam kereta pertama. Lalu peti kedua, ketiga, dan seterusnya. Ada ritme dalam pekerjaan itu. Aroma tanah yang masih menempel di umbi-umbian, warna-warni sayuran yang kontras, dan rasa puas saat melihat tumpukan peti di tanah semakin menipis. Keringat membasahi pelipisnya, otot-ototnya bekerja, dan untuk sesaat, Clive merasa normal. Bukan seorang pewaris yang kehilangan segalanya, bukan seorang pembalas dendam. Hanya seorang pemuda yang bekerja di bawah matahari sore. Dan perasaan itu... terasa sangat menyenangkan. Satu jam kemudian, peti terakhir telah dinaikkan. Tiga kereta kuda itu kini penuh sesak dengan hasil panen. "Sudah selesai, Tuan Barto," kata Clive, menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. Barto berdiri, estafetnya yang membungkuk tampak lebih tegak. Ada kilat kekaguman di matanya. "Kerja bagus, Nak. Cepat dan rapi. Kau punya kekuatan yang baik." Ia berjalan mendekati kereta terakhir, memeriksa ikatan tali. "Hanya perlu mengencangkan ini sedikit..." Barto meraih peti teratas yang paling berat—sebuah peti penuh ubi kristal yang berkilauan—berniat untuk menggesernya. Namun, saat ia mengerahkan tenaganya, wajahnya tiba-tiba memucat. Ia terkesiap, napasnya tercekat. Kedua tangannya lepas dari peti dan mencengkeram dadanya. "Tuan Barto!" seru Clive, melihat perubahan drastis itu. Pria tua itu terhuyung, matanya membelalak ngeri saat tubuhnya ambruk ke tanah seperti karung gandum. Sial! Clive berlari menghampirinya. Orang-orang di sekitar mulai berkerumun, berbisik panik. Clive berlutut, mengabaikan mereka semua. Ia memeriksa denyut nadi Barto di lehernya. Lemah dan tidak teratur. Pikir, Clive, pikir! Apa yang Kakek Yuan ajarkan? Ia memejamkan mata sejenak, menyingkirkan kepanikan. Dengan telapak tangan yang melayang beberapa senti di atas dada Barto, ia melepaskan secercah Tension-nya. Bukan untuk menyerang, tapi untuk memindai. Di dalam benaknya, ia bisa "melihat" aliran energi di tubuh Barto—sebuah gumpalan gelap yang menyumbat arteri utama di dekat jantungnya. Serangan jantung. Parah. Aku harus menolongnya. Tapi di sini? Di tempat terbuka? Suara keraguan berbisik. Namun, suara Kakek Yuan terdengar lebih keras di benaknya, ‘Kekuatanmu bukan hanya untukmu, tapi untuk keseimbangan alam.’ Clive membuat keputusan. Ia menatap orang-orang yang berkerumun. "Beri kami ruang! Cepat panggil tabib!" teriaknya dengan otoritas yang mengejutkan. Perintahnya membuat mereka mundur beberapa langkah. Saat itulah, Clive meletakkan kedua telapak tangannya di dada Barto. Cahaya hijau zamrud yang lembut, seperti embun pagi, mulai mengalir dari tangannya. Cahaya itu tidak panas atau menyilaukan, malah terasa sejuk dan beraroma seperti lumut dan tanah setelah hujan. Tension Hijau. Energi kehidupan. "Tenanglah, Tuan. Jangan melawan. Biarkan energi ini mengalir," bisik Clive, lebih pada dirinya sendiri. Keringat dingin membasahi keningnya. Ini bukan pertarungan fisik, ini adalah operasi yang rumit. Ia mengarahkan Tension Hijaunya dengan presisi, mengubahnya menjadi arus lembut yang memasuki pembuluh darah Barto, mencari sumbatan gelap itu. Ia menemukannya. Dengan hati-hati, energinya mulai mengikis sumbatan itu partikel demi partikel, melarutkannya ke dalam aliran darah tanpa menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Lima belas menit terasa seperti selamanya. Wajah Barto yang tadinya membiru perlahan kembali mendapatkan warnanya. Napasnya yang tadinya tersengal-sengal kini mulai teratur. Akhirnya, dengan desahan panjang, mata Barto terbuka perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah seorang pemuda yang berkeringat deras dan cahaya hijau lembut yang menyelimuti dadanya. "Apa... apa yang terjadi?" desah Barto, suaranya serak. "Aku... aku melihat terowongan gelap..." "Anda pingsan, Tuan," jawab Clive, menarik energinya kembali. Kelegaan membuatnya hampir lemas. "Tapi Anda sudah melewati masa kritis. Anda akan baik-baik saja." Barto menatap Clive dengan tatapan tak percaya. "Cahaya itu... kekuatanmu... Apa kau penyihir dari Kuil? Atau salah satu Penyembuh dari Ordo Suci?" Clive menggeleng. Ia membantu Barto untuk duduk bersandar di roda kereta. "Aku hanya seorang pengelana." Barto tertawa pelan, kali ini tawa penuh kekaguman. "Pengelana tidak memiliki kekuatan seperti itu. Kau baru saja menarikku dari gerbang kematian, Nak. Aku berhutang nyawa padamu. Siapa kau sebenarnya?" Clive terdiam. Inilah pertanyaan yang paling ditakutinya selama sepuluh tahun. Nama yang ia kubur dalam-dalam. Nama yang menjadi kutukan sekaligus warisannya. Ia menatap mata Barto yang jernih dan tulus—mata seorang pria yang baru saja diberi kesempatan hidup kedua. Inilah saatnya, batinnya memutuskan. Berhenti menjadi hantu. Mulai menjadi diriku sendiri. Sebuah pertaruhan. Sebuah langkah pertama untuk merebut kembali namanya. Clive menatap mata pria itu dengan mantap. "Namaku Clive," katanya dengan suara tenang. Lalu, setelah jeda yang terasa seabad, ia mengucapkannya. Kata yang akan mengubah segalanya. "...Clive Zenith." Hening. Angin sore seolah berhenti berembus. Wajah Barto membeku. Badai emosi melintas di matanya: kebingungan, lalu pemahaman, lalu kekaguman yang luar biasa, dan akhirnya... ketakutan. Bukan takut pada Clive, tapi takut pada nama itu dan semua yang melekat padanya. Ia teringat berita itu 10 tahun yang lalu, poster buronan yang gambarnya ia lihat sekilas di kota, dan hadiah fantastis yang ditawarkan oleh keluarga Leiva. Hidup atau mati. Dan anak itu... anak yang hilang itu... baru saja menyelamatkan nyawanya.Deru suara hewan buas pada Bugatti Chiron Zenith Custom kini telah mereda, digantikan oleh laju yang lebih tenang dan elegan saat Clive mengendarainya menembus jalanan Rose Valley di pagi yang cerah. Aurora Atremides duduk di kursi penumpang, matanya yang biru menatap pemuda di sampingnya dengan campuran rasa ingin tahu dan kekaguman."Kemana kita akan pergi, Clive?" Tanya Aurora."Pertama, aku akan mengajakmu mengunjungi sejarah leluhur kita di museum Citadel of Rose.""Kenapa ke museum? Aku tidak menyangka kau akan membawaku ke museum," kata Aurora, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka. "Dari semua tempat hiburan di kota ini, kenapa Citadel of Rose?"Clive tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada jalanan. "Aku ingin kau melihat sesuatu yang nyata. Sesuatu yang punya cerita. Ayahku sering membawaku ke tempat-tempat seperti ini saat aku kecil. Ia bilang, untuk mengerti masa depan sebuah kota, kau harus mengerti dulu masa lalunya."
Di dalam menara Leiva, Gustav dan Lucas merencanakan perang dalam bayang-bayang, frustrasi oleh penolakan mentah-mentah dari keluarga Atremides. Mereka tidak menyadari bahwa di belahan kota lain, di kediaman Zenith yang kini kembali hidup, sang target utama mereka justru sedang memulai langkah ofensifnya sendiri untuk membalaskan dendam dari masa lalunya.Malam itu, di dalam apartemennya yang mewah dan minimalis di puncak sebuah gedung pencakar langit, Zhuxin Wang yang sudah mengenakan baju tidur yang sangat tipis dan lembut, sedang mencoba untuk rileks. Segelas anggur merah di tangannya, ia menatap pemandangan malam itu di Rose Valley dari jendela kacanya yang besar. Sebulan terakhir ini adalah bulan paling gila dalam kariernya. Zenith Corp, perusahaan yang ia pimpin dengan sisa-sisa tenaga, dan nafas terakhir yang berada di ambang jurang kebangkrutan karena tekanan dan desakan terus dari Leiva Industries, tiba-tiba bangkit dari kuburnya dan terbang ke atas langit. Seperti
Di tengah badai berita yang melanda Rose Valley tentang kebangkitan keluarga Zenith, sebuah badai lain yang lebih sunyi namun jauh lebih berbahaya sedang terbentuk. Di dalam suite termewah Hotel GoldenGate, keluarga Leiva—yang biasanya menjadi pusat perhatian—kini menunggu dengan cemas seperti tamu tak diundang. Gustav Leiva berdiri kaku, sementara Lucas mondar-mandir dengan gelisah. Mereka sedang mencoba melakukan hal yang mustahil: mendapatkan audiensi dengan Patriark Atremides tanpa janji temu.Di lantai atas, di dalam Penthouse Suite yang megah, seorang pengawal pribadi berjas hitam masuk dan membungkuk hormat di hadapan Valerius Atremides."Tuan Besar, Kepala Keluarga Leiva, Gustav Leiva, dan putranya, Lucas Leiva, ada di lobi. Mereka mengatakan ingin bertemu dengan Anda untuk membahas 'masa depan Ravelinz'," lapor pengawal itu.Berry Atremides mendengus. "Tidak punya malu. Setelah terpojok oleh Cloud, mereka datang merengek pada kita."Milla
Di aula Phoenix yang megah di dalam hotel Golden Gate.Setelah pertempuran yang melelahkan itu berakhir dan Clive menyembuhkan kedua lawannya, suasana di Aula Phoenix terasa ganjil. Para pelayan hotel dengan gemetar membersihkan puing-puing meja dan pecahan porselen, sementara keluarga Atremides menatap Clive dengan cara pandang yang telah berubah 180 derajat. Di mata mereka, ia bukan lagi sekadar anak yang telah lama menghilang lalu kembali yang beruntung atau pemuda sembrono yang membuat masalah. Ia adalah sebuah fenomena.Valerius Atremides, sang patriark, adalah yang pertama memecah keheningan setelah permainan yang hebat itu. Ia berjalan mendekati Clive, tatapannya yang tajam kini dipenuhi oleh kekaguman yang tak bisa disembunyikan."Clive Zenith," katanya, suaranya yang berat menggema. "Hari ini kau telah menunjukkan kepada kami lebih dari sekadar kekuatan dalam bertarung. Kau menunjukkan kontrol diri, prinsip, dan... belas kasihan yang tak terduga.
"Permainan... baru saja dimulai."Suara Clive yang tenang dan tanpa sumber itu menggema di Aula Phoenix, membuat bulu kuduk Milla dan Aurora berdiri. Valerius Atremides berdiri tegang di tengah ruangan, matanya yang tajam menyapu setiap sudut, mencoba menangkap getaran sekecil apa pun. Tapi tidak ada apa-apa. Hening. Seolah Clive Zenith telah lenyap dari muka bumi."Tunjukkan dirimu, bocah!" geram Valerius."Aku sudah di sini sejak tadi, Tuan Besar," jawab suara itu, kali ini terdengar dari arah kanannya. Valerius berputar, melayangkan tinju hitamnya ke udara kosong.BOOM!Sebuah tendangan kuat menghantam sisi kiri perut Valerius dengan kekuatan yang tak terduga, membuatnya terhuyung dan terbang dengan cepat, membentur dinding aula yang kokoh dengan bunyi BRUKK! yang keras."AYAH!!" teriak Berry Atremides, matanya memerah karena amarah. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan raungan, aura Emas yang agung meledak dari tubuhnya da
"Kalau begitu... ayo," ucap Valerius Atremides, suaranya yang tenang bergema di Aula Phoenix yang megah. Ia perlahan berdiri dari kursinya, tongkat kristalnya ia letakkan dengan hati-hati di atas meja. "Sembari menunggu makan malam kita tiba, kita bisa sedikit 'berdansa'. Permainan ini akan berakhir saat hidangan pertama disajikan. Kau setuju, Clive?"Clive mengangguk, bibirnya mengulas senyum ringan yang tak terbaca. "Baik, Tuan Besar Atremides. Saya setuju."Mereka berdua melangkah menjauh, mengambil posisi di tengah ruangan yang luas, menciptakan jarak sekitar lima meter di antara mereka. Meja makan panjang yang dilapisi kain beludru merah tua kini menjadi batas arena duel para raksasa.Milla, Berry, dan Aurora sontak berdiri dari kursi mereka, wajah mereka penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan."Kakek, hentikan! Ini tidak perlu!" seru Aurora, hampir melangkah maju, namun lengan kokoh ayahnya, Berry, menahannya."Ayah,