Hening. Angin sore seolah berhenti berembus, tertahan oleh satu nama yang baru saja diucapkan.
"...Clive Zenith." Wajah Barto membeku. Pria tua yang baru saja ditarik dari gerbang kematian itu kini tampak seolah melihat hantu. Ia mundur selangkah, tangannya yang gemetar terangkat sedikit, seolah membangun perisai tak terlihat. "Zenith?" bisiknya, suara serak penuh ketidakpercayaan. "Maksudmu... keluarga Zenith dari Rose Valley? Anak yang hilang itu? Tidak mungkin..." "Tapi itulah kenyataannya, Tuan Barto," jawab Clive, suaranya tetap tenang, namun matanya yang kelam mengunci tatapan Barto, tidak membiarkannya berpaling. "Tapi... kenapa? Bagaimana?" Barto menggelengkan kepalanya, mencoba memproses informasi yang mustahil itu. "Anak itu... poster buronannya ada di mana-mana! Seluruh Sembilan Distrik mencarimu! Leiva menawarkan... mereka menawarkan dua ratus juta Ravelinz untuk kepalamu! Hidup atau mati!" Ketakutan yang jujur kini mewarnai suaranya. Ketakutan bukan pada Clive, melainkan pada badai yang mengelilingi nama itu. Clive tersenyum tipis, senyum yang tidak menyiratkan kebahagiaan, melainkan pemahaman yang dingin. "Aku tahu. Angka yang cukup untuk membuat orang baik mempertanyakan moralnya." "Ini bukan lagi soal moral, Nak! Ini soal bertahan hidup! Kembali ke Rose Valley sama saja dengan menyerahkan lehermu pada algojo!" seru Barto, nadanya meninggi karena cemas. "Mungkin," balas Clive. "Tapi aku lebih memilih menghadapi algojo di rumahku sendiri daripada hidup selamanya dalam bayang-bayang di negeri orang." Ia menatap Barto dengan tajam. "Pertanyaannya bukan lagi siapa aku, Tuan Barto. Pertanyaannya adalah, setelah mengetahui siapa aku, apa yang akan Anda lakukan?" Barto terdiam. Ia menatap telapak tangannya sendiri, seolah masih bisa merasakan sisa kehangatan dari Tension Hijau yang menyelamatkan hidupnya. Lalu ia menatap wajah pemuda di hadapannya. Wajah yang sama dengan di poster buronan, namun dengan mata yang berbeda. Bukan mata anak kecil yang ketakutan, melainkan mata seorang pejuang yang telah melihat neraka dan kembali lagi. Hutang nyawa melawan bahaya yang mematikan. Baginya, pilihannya sudah jelas. "Aku... aku berhutang nyawa padamu, Nak," kata Barto akhirnya, suaranya kembali tegas. "Hutang itu akan kubayar. Kau tetap boleh naik keretaku. Aku akan mengantarmu sampai ke Stasiun Arion. Setelah itu... semoga para Dewa melindungimu." "Terima kasih, Tuan Barto," ucap Clive tulus. "Atas ketulusan hati Anda." "Sudah, jangan banyak bicara. Ayo kita berangkat sebelum malam semakin gelap!" Setelah memanggil dua anak buahnya yang lain untuk mengurus dua kereta sisanya, mereka pun memulai perjalanan. Barto mengambil alih kemudi kereta utama, dengan Clive duduk di sampingnya. Mereka melaju perlahan, meninggalkan Ondula dan memasuki perut Hutan Makaoka yang gelap. Selama beberapa jam pertama, hanya ada suara derit roda kayu dan dengkuran kuda. Keheningan di antara mereka terasa berat, sarat akan pertanyaan yang tak terucap. "Sepuluh tahun adalah waktu yang lama," Barto akhirnya memecah keheningan. "Banyak yang telah berubah." "Aku ingin mendengar semuanya," pinta Clive. Barto menghela napas panjang. Ia merogoh sebuah kantong kulit di sampingnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain. Di dalamnya, ada beberapa lembar koran tua yang sudah menguning dan lecek. "Aku menyimpan beberapa berita penting. Kadang, mengetahui apa yang terjadi di luar sana membuat kita merasa masih menjadi bagian dari dunia." Ia menyerahkan satu lembaran pada Clive. Itu adalah Rose Valley Chronicle edisi tiga bulan lalu. Di halaman depan, terpampang gambar Zenith Tower yang megah, namun tampak kusam dan tak terawat. Di puncaknya, logo 'Z' emas yang dulu bersinar kini tampak retak. Saat jari Clive menyentuh gambar logo itu, sebuah kilatan memori menghantamnya. Flashback— Ia berusia 13 tahun. Lantai marmer Grand Luxor dingin di pipinya. Bau anyir darah dan debu menyengat hidungnya. Ia melihat ayahnya, Jonathan, terbatuk darah, menatapnya dengan mata yang mulai redup. "Sierra... bawa dia... pergi!" Ia merasakan tangan ibunya yang gemetar mendorong punggungnya. "Ingat hari ini, Clive! Jadilah kuat!" Pusaran portal berwarna safir berputar ganas di hadapannya, menariknya seperti lubang hitam. Ia menjerit, tapi suaranya ditelan oleh raungan portal. Pemandangan terakhir yang dilihatnya adalah ibunya yang jatuh berlutut di samping jasad ayahnya, dan seringai kemenangan di wajah Gustav dan Lucas Leiva. Flashback Selesai— Clive menarik napas tajam, tangannya tanpa sadar meremas kertas koran itu. "Mereka bahkan tidak merawat gedungnya," desis Clive, suaranya rendah dan penuh bahaya. "Lebih buruk dari itu, Nak," kata Barto pelan. "Lihat judulnya." Clive memaksa matanya untuk fokus. "WARISAN ZENITH DI AMBANG LIKUIDASI, LEIVA INDUSTRIES AJUKAN TAWARAN AKUISISI." "Likuidasi?" "Ya. Sejak keluargamu... pergi, Leiva secara sistematis menghancurkan semua yang kalian bangun. Mereka membatalkan kontrak, menekan para investor, membeli utang-utang perusahaanmu. Zenith Corp sekarang hanyalah cangkang kosong yang siap mereka telan utuh. Mereka tidak hanya membunuh keluargamu, Nak. Mereka sedang menghapus namamu dari sejarah." Clive tidak menjawab. Ia menatap kegelapan hutan di hadapannya, tapi yang ia lihat adalah wajah ayahnya yang penuh bangga saat meresmikan menara itu. Berita ini terasa seperti belati dingin yang menusuk luka lama. Ini bukan lagi hanya tentang darah. Ini tentang warisan. Amarah yang telah ia latih untuk ditenangkan, kini bergolak seperti lahar di bawah permukaan yang tenang. "Gustav yang sombong," gumam Clive. "Dan Lucas yang licik. Kesombongan adalah retakan pada baju zirah. Aku akan memanfaatkannya." Barto meliriknya, merasakan perubahan aura yang dingin dari pemuda di sampingnya. Ia memutuskan lebih baik tidak berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba, Barto menghentikan ceritanya dan menarik tali kekang, membuat kuda-kuda meringkik pelan. "Kau dengar itu?" bisik Barto. Clive menajamkan pendengarannya. Benar saja. Di antara suara jangkrik dan desau angin, ada suara lain. Suara derap kuda yang tidak berirama dengan derap kuda mereka. Derap yang cepat, datang dari berbagai arah. Semakin mendekat. Dari kereta belakang, sebuah teriakan panik memecah malam. "TUAN BARTO! ADA ORANG!" Saat itulah mereka muncul. Dari balik pepohonan di kiri dan kanan, selusin penunggang kuda keluar dari kegelapan, membentuk lingkaran yang mengepung ketiga kereta kuda itu. Mereka mengenakan zirah kulit murahan dan membawa pedang berkarat serta busur. Wajah mereka tertutup bayangan, hanya mata serakah mereka yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Seorang pria bertubuh besar dengan codet melintang di pipinya maju ke depan. Ia tertawa kasar. "Wah, wah, lihat apa yang kita punya di sini. Tiga kereta penuh sayuran segar. Turunkan semua barang bawaan kalian, dan mungkin kami akan membiarkan kalian hidup untuk melihat matahari terbit!" Anak buah Barto dengan gemetar mencabut pedang pendek mereka. "Jangan harap, perampok!" Clive tetap duduk dengan tenang, matanya mengamati setiap perampok dengan ketenangan yang mengerikan. Ini bukan lagi latihan. Ini adalah pertarungan pertama. Ujian pertama. "Jangan bodoh, orang tua!" hardik si pemimpin perampok pada Barto. "Nyawamu atau sayuran busuk ini? Pilih!" Clive perlahan berdiri di atas kereta, tatapannya terkunci pada si pemimpin. "Kurasa," kata Clive, suaranya tenang namun terdengar jelas di seluruh penjuru hutan yang hening. "Kalian yang harus memilih."Deru suara hewan buas pada Bugatti Chiron Zenith Custom kini telah mereda, digantikan oleh laju yang lebih tenang dan elegan saat Clive mengendarainya menembus jalanan Rose Valley di pagi yang cerah. Aurora Atremides duduk di kursi penumpang, matanya yang biru menatap pemuda di sampingnya dengan campuran rasa ingin tahu dan kekaguman."Kemana kita akan pergi, Clive?" Tanya Aurora."Pertama, aku akan mengajakmu mengunjungi sejarah leluhur kita di museum Citadel of Rose.""Kenapa ke museum? Aku tidak menyangka kau akan membawaku ke museum," kata Aurora, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka. "Dari semua tempat hiburan di kota ini, kenapa Citadel of Rose?"Clive tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada jalanan. "Aku ingin kau melihat sesuatu yang nyata. Sesuatu yang punya cerita. Ayahku sering membawaku ke tempat-tempat seperti ini saat aku kecil. Ia bilang, untuk mengerti masa depan sebuah kota, kau harus mengerti dulu masa lalunya."
Di dalam menara Leiva, Gustav dan Lucas merencanakan perang dalam bayang-bayang, frustrasi oleh penolakan mentah-mentah dari keluarga Atremides. Mereka tidak menyadari bahwa di belahan kota lain, di kediaman Zenith yang kini kembali hidup, sang target utama mereka justru sedang memulai langkah ofensifnya sendiri untuk membalaskan dendam dari masa lalunya.Malam itu, di dalam apartemennya yang mewah dan minimalis di puncak sebuah gedung pencakar langit, Zhuxin Wang yang sudah mengenakan baju tidur yang sangat tipis dan lembut, sedang mencoba untuk rileks. Segelas anggur merah di tangannya, ia menatap pemandangan malam itu di Rose Valley dari jendela kacanya yang besar. Sebulan terakhir ini adalah bulan paling gila dalam kariernya. Zenith Corp, perusahaan yang ia pimpin dengan sisa-sisa tenaga, dan nafas terakhir yang berada di ambang jurang kebangkrutan karena tekanan dan desakan terus dari Leiva Industries, tiba-tiba bangkit dari kuburnya dan terbang ke atas langit. Seperti
Di tengah badai berita yang melanda Rose Valley tentang kebangkitan keluarga Zenith, sebuah badai lain yang lebih sunyi namun jauh lebih berbahaya sedang terbentuk. Di dalam suite termewah Hotel GoldenGate, keluarga Leiva—yang biasanya menjadi pusat perhatian—kini menunggu dengan cemas seperti tamu tak diundang. Gustav Leiva berdiri kaku, sementara Lucas mondar-mandir dengan gelisah. Mereka sedang mencoba melakukan hal yang mustahil: mendapatkan audiensi dengan Patriark Atremides tanpa janji temu.Di lantai atas, di dalam Penthouse Suite yang megah, seorang pengawal pribadi berjas hitam masuk dan membungkuk hormat di hadapan Valerius Atremides."Tuan Besar, Kepala Keluarga Leiva, Gustav Leiva, dan putranya, Lucas Leiva, ada di lobi. Mereka mengatakan ingin bertemu dengan Anda untuk membahas 'masa depan Ravelinz'," lapor pengawal itu.Berry Atremides mendengus. "Tidak punya malu. Setelah terpojok oleh Cloud, mereka datang merengek pada kita."Milla
Di aula Phoenix yang megah di dalam hotel Golden Gate.Setelah pertempuran yang melelahkan itu berakhir dan Clive menyembuhkan kedua lawannya, suasana di Aula Phoenix terasa ganjil. Para pelayan hotel dengan gemetar membersihkan puing-puing meja dan pecahan porselen, sementara keluarga Atremides menatap Clive dengan cara pandang yang telah berubah 180 derajat. Di mata mereka, ia bukan lagi sekadar anak yang telah lama menghilang lalu kembali yang beruntung atau pemuda sembrono yang membuat masalah. Ia adalah sebuah fenomena.Valerius Atremides, sang patriark, adalah yang pertama memecah keheningan setelah permainan yang hebat itu. Ia berjalan mendekati Clive, tatapannya yang tajam kini dipenuhi oleh kekaguman yang tak bisa disembunyikan."Clive Zenith," katanya, suaranya yang berat menggema. "Hari ini kau telah menunjukkan kepada kami lebih dari sekadar kekuatan dalam bertarung. Kau menunjukkan kontrol diri, prinsip, dan... belas kasihan yang tak terduga.
"Permainan... baru saja dimulai."Suara Clive yang tenang dan tanpa sumber itu menggema di Aula Phoenix, membuat bulu kuduk Milla dan Aurora berdiri. Valerius Atremides berdiri tegang di tengah ruangan, matanya yang tajam menyapu setiap sudut, mencoba menangkap getaran sekecil apa pun. Tapi tidak ada apa-apa. Hening. Seolah Clive Zenith telah lenyap dari muka bumi."Tunjukkan dirimu, bocah!" geram Valerius."Aku sudah di sini sejak tadi, Tuan Besar," jawab suara itu, kali ini terdengar dari arah kanannya. Valerius berputar, melayangkan tinju hitamnya ke udara kosong.BOOM!Sebuah tendangan kuat menghantam sisi kiri perut Valerius dengan kekuatan yang tak terduga, membuatnya terhuyung dan terbang dengan cepat, membentur dinding aula yang kokoh dengan bunyi BRUKK! yang keras."AYAH!!" teriak Berry Atremides, matanya memerah karena amarah. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan raungan, aura Emas yang agung meledak dari tubuhnya da
"Kalau begitu... ayo," ucap Valerius Atremides, suaranya yang tenang bergema di Aula Phoenix yang megah. Ia perlahan berdiri dari kursinya, tongkat kristalnya ia letakkan dengan hati-hati di atas meja. "Sembari menunggu makan malam kita tiba, kita bisa sedikit 'berdansa'. Permainan ini akan berakhir saat hidangan pertama disajikan. Kau setuju, Clive?"Clive mengangguk, bibirnya mengulas senyum ringan yang tak terbaca. "Baik, Tuan Besar Atremides. Saya setuju."Mereka berdua melangkah menjauh, mengambil posisi di tengah ruangan yang luas, menciptakan jarak sekitar lima meter di antara mereka. Meja makan panjang yang dilapisi kain beludru merah tua kini menjadi batas arena duel para raksasa.Milla, Berry, dan Aurora sontak berdiri dari kursi mereka, wajah mereka penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan."Kakek, hentikan! Ini tidak perlu!" seru Aurora, hampir melangkah maju, namun lengan kokoh ayahnya, Berry, menahannya."Ayah,