LOGINPertarungan yang dinanti-nantikan itu terjadi tepat di bibir Lembah Sungging, di mana kristal-kristal mulai berpadu dengan pepohonan hutan.
Waktunya adalah pertemuan dua fajar, saat batas antara malam dan pagi begitu tipis: langit timur mulai memerah, tetapi kegelapan malam belum sepenuhnya ditarik.Kontras ini mencerminkan duel yang akan terjadi: kegelapan absolut Dewa Maut melawan cahaya murni Ki Dewangga.Ki Dewangga, yang kini berdiri tegak, memancarkan aura yang begitu lembut, namun Tenaga Dalamnya menyelimuti seluruh lembah, seolah dia adalah matahari kedua.“Kau telah menghancurkan bayangan masa lalu, Dipasena,” ujar Ki Dewangga, suaranya bergema dengan tenang. “Tapi kau harus menghancurkan cahaya ini jika kau ingin berkuasa. Aku akan menunjukkan padamu, kenapa para pendekar tua ini dihormati.”Dewa Maut tidak menunggu. Kelelahan akibat pertarungan batin di Cermin Langit telah hilang, digantikan oleh ambisi yang tak terpadamkan.Anggrawati menatap Dewa Maut dan Mangunjaya secara bergantian, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ini terdengar seperti mitos kuno, bukan strategi bertarung. “Dan apa hubungannya ini dengan si Rembong itu?” tanya Dewa Maut, Logam di tangannya mulai mencair menjadi Air. Ia mulai tertarik, bukan pada kedewaan, tetapi pada kekuatan yang melampaui batas yang ia kuasai saat ini. “Rembong. Dia tidak menguasai Prana Kegelapan seperti yang kita pikirkan. Dia telah mempelajari Kekosongan Gelap,” kata Mangunjaya, suaranya mengandung kengerian yang dalam. “Kekosongan Gelap adalah kembaran Elemen Keenam yang murni. Itu adalah ketiadaan yang memakan. Jika kau menghadapinya tanpa persiapan spiritual, ia akan menyerap Lima Elemenmu dan melenyapkanmu, bukan hanya membunuhmu.” “Menarik,” Dewa Maut bergumam. “Jadi, kau memberiku petunjuk untuk mengalahkan musuhku yang berikutnya? Setelah aku membunuhmu?” Mangunjaya tersenyum sedih. “Aku tidak pernah ingin melihatmu mati, Dipasena. Aku ha
Dewa Maut menutup matanya sejenak. Ketika ia membukanya, Prana di sekitarnya berubah radikal. Ia menarik kembali Logam dan Bumi yang padat, dan fokus pada Air dan Angin —dua elemen yang ia serap dari Rimasuri, yang Mangunjaya tidak pernah sentuh. Dewa Maut mengangkat kedua tangannya. Udara di sekitarnya menjadi lembap dan dingin. Prana Angin dan Air berputar menjadi pusaran yang menakutkan, tetapi bukan pusaran badai. Ini adalah pusaran presisi. “Kau mengenal Tapak Kala Geni, Jurus Badai Guntur, Jurus Gunung Bergerak,” kata Dewa Maut, suaranya kini berdesir seperti Angin kencang. “Tetapi kau tidak mengenal ini. Aku menyebutnya: Jurus Seribu Jarum Air Mata Yama.” Seribu jarum tipis, terbuat dari Air yang diperkuat oleh Angin, melesat ke arah Mangunjaya. Jarum-jarum ini tidak memiliki massa; mereka adalah Prana murni yang bergerak dengan kecepatan sonik, berfokus untuk menembus titik-titik vital, bukan untuk menghancurkan. Mangunjaya terkejut. Teknik ini sepenuhnya baru, dan sang
Dewa Maut menyilangkan tangan di dada. Aura Lima Elemennya berdenyut, menunjukkan ketidakpedulian yang dingin.“Aku sudah memberitahumu, Mangunjaya. Dipasena sudah mati. Ketiadaan terdengar jauh lebih menarik daripada keberadaan yang penuh kepalsuan,” balas Dewa Maut. “Kau mencoba mengalihkan perhatianku dengan cerita hantu. Kau mencoba menakutiku. Kau tidak mengerti. Ketakutan sudah tidak ada lagi di diriku.”“Aku tidak mencoba menakutimu,” kata Mangunjaya. “Aku mencoba memberimu jalan keluar. Aku tahu kau ingin mengakhiri ini. Aku akan memberikannya padamu. Aku akan bertarung denganmu, dan jika aku kalah, ambillah kekuatanku. Tetapi jangan pergi ke Rembong tanpa mengetahui apa yang akan kau hadapi. Kekosongan itu akan memakanmu.”Dewa Maut tersenyum, kali ini senyumnya adalah janji kehancuran.“Kau terlalu banyak bicara, Guru. Kau menunda yang tak terhindarkan. Kau mencoba memanipulasi aku dengan janji kekuatan baru. Sayangnya, aku tidak lagi te
Mangunjaya memejamkan mata sejenak, rasa sakit terlihat jelas di wajahnya, bukan karena ketakutan, tetapi karena penyesalan.“Aku tidak pernah meragukan kekuatanmu, Dipasena. Aku meragukan hatimu. Ketika aku melihatmu di sini, aku melihat kegagalan terbesarku,” ucap Mangunjaya, suaranya penuh kesedihan.“Kegagalanmu? Kau menyebut kekuatan mutlak sebagai kegagalan?” Dewa Maut tertawa kecil, suara yang lebih menyeramkan daripada raungan.“Kekuatan tanpanya tujuan yang benar adalah kekosongan, Nak. Dan kau telah menjadi kekosongan yang bergerak,” balas Mangunjaya.“Aku telah menunggu. Aku tidak akan lari. Tetapi sebelum duel ini dimulai, aku ingin kau dengarkan baik-baik. Aku tidak melawanmu untuk tatanan dunia persilatan. Aku melawanmu untuk menyelamatkan sisa jiwamu, dan untuk melindungi murid-muridku.”Dewa Maut melangkah maju. Hanya satu langkah, tetapi tanah di antara mereka retak, seolah-olah bumi itu sendiri tidak mampu menahan tekana
Dewa Maut menyadari dengan perhitungan dingin: Argasura telah mengirim pesan kepada Mangunjaya.Anggrawati pasti tahu rencana itu dan mencoba mencegatnya, atau mencoba memperingatkan gurunya.Jati Sakti. Tempat di mana ia dibesarkan, tempat di mana Dipasena mati.Dewa Maut mengubah arah. Rembong adalah target berikutnya, tetapi Mangunjaya adalah penutupan terakhir dari masa lalunya.Ia membutuhkan Mangunjaya untuk mengakhiri babak ini sepenuhnya. Dan mungkin, Mangunjaya tahu lebih banyak tentang ‘Kekosongan’ Rembong daripada yang ia kira.“Mangunjaya,” bisik Dewa Maut, “waktunya untuk pulang.”Ia tidak menggunakan Lima Pintu untuk melipat jarak, melainkan melepaskan Prana Angin yang murni, mendorongnya dengan kecepatan luar biasa menuju utara.Ia ingin Mangunjaya merasakan kedatangannya. Ia ingin semua orang di Jati Sakti tahu bahwa Dewa Maut sedang dalam perjalanan.Perjalanan ke Jati Sakti memakan waktu tiga h
Argasura terhuyung mundur. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga spiritual.Prana Logam yang ia kumpulkan selama ratusan tahun, yang ia yakini sebagai elemen paling murni dan stabil kedua setelah Bumi, kini telah dirusak oleh fusi yang tidak stabil dan liar.“Kau… kau menggunakan ketidaksempurnaan untuk mengalahkan kesempurnaan!” teriak Argasura, suaranya dipenuhi keterkejutan dan kemarahan.Ia mencoba menarik Prana dari bijih besi terdekat, tetapi bijih besi itu kini lembek dan berkarat, tidak mampu memberikan resonansi yang bersih.Dewa Maut berdiri tegak di tengah ngarai yang kini dipenuhi kabut panas. Ia tidak menunjukkan ekspresi kemenangan, hanya kekosongan yang dingin.“Tidak ada kesempurnaan,” jawab Dewa Maut, melangkah mendekat. “Hanya ada kekuatan yang lebih besar. Logammu bergantung pada kekerasan. Kau tidak fleksibel, Argasura. Dan Logam Cermin adalah keangkuhanmu. Kau yakin kekuatanku akan menjadi kelemahanku, tetapi k







