Share

Bab 084

last update Last Updated: 2025-12-24 07:02:06

Kekehannya terdengar lagi, lebih keras. “Ayolah, Dipasena. Kita berdua tahu apa yang benar-benar menyenangkan.”

"Sudah kukatakan diam!" bentaknya. Ia mengayunkan tangannya dengan gusar.

Pohon yang baru saja ia hidupkan langsung meledak menjadi debu ungu dan serpihan kayu, tersapu angin gunung. Keheningan kembali menyelimuti.

“Nah! Begitu seharusnya! Menghancurkan itu jauh lebih mudah, bukan? Lebih… memuaskan.”

Suara itu terdengar puas. “Tidak perlu berpikir, tidak perlu niat. Hanya perlu sedikit rasa benci. Dan kau, bukankah kau memilikinya dalam jumlah yang sangat banyak?”

Jantung Dipasena berdebar kencang, sebuah sensasi aneh yang sudah lama tak ia rasakan.

"Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah. "Sisa kesadaranmu seharusnya sudah lenyap saat aku menyerap kekuatanmu."

“Sisa kesadaran?” Suara Ki Rembong terdengar geli. “Bodoh. Kau pikir kekuatan itu hanya gumpal
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 085

    "Itu sudah jadi batas antara Loka Utara dan Angin Selatan sejak sepuluh generasi, kenapa sekarang dipermasalahkan?" Anggrawati bertanya. "Kenapa? Karena tidak ada lagi Ki Loka di sana untuk memberi perintah, Tuan!" balas Kusumo, membanting tangannya ke atas reruntuhan batu. "Dia sudah jadi debu di kaki Dewa Maut. Sekarang, batasnya adalah sejauh mana prajuritku bisa bergerak." Anggrawati menarik napas dalam. "Jadi kalian akan terus bertikai sampai kalian semua menjadi korban kebodohan sendiri, begitu?" "kalau aku boleh bertanya, Nona," sela Nyai Saraswati, melipat tangannya, "sebenarnya peran Nona itu apa, ya, di sini? Nona bukan pemimpin padepokan. Nona juga tidak sekuat su—ah, maaf, sekuat Tuan Dipasena." Suhu terasa menurun tajam. Itu adalah tusukan tersembunyi yang telak. Mereka tidak menghormati kebijaksanaannya, mereka hanya menilai berdasarkan kekuatannya, berdasarkan warisan Dewa Maut yang destruktif.

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 086

    "Pemimpin mereka… Rakṣasa," bisik Handoko, wajahnya pucat pasi. "Dia sangat karismatik. Dia meyakinkan semua orang bahwa kelemahan manusia adalah belas kasihan, dan kehancuran adalah kebenaran universal. Mereka semakin besar, Nona Anggrawati. Jika mereka berhasil menyelesaikan ritual mereka, bukan hanya padepokan kecil, tapi seluruh peradaban akan runtuh!" Anggrawati melihat wajah Handoko, mendengar kegilaan dalam ceritanya, dan ia menyadari betapa naifnya dia berpikir masalah mereka hanyalah soal pembagian tanah warisan. Kekacauan yang Dipasena tinggalkan telah menumbuhkan monster baru, monster yang kini menyembah Dewa Maut sebagai idola kehancuran murni. Dia harus bertindak. Ini jauh lebih mendesak daripada persatuan yang sia-sia. "Kau berani," kata Anggrawati, membantu Handoko berdiri. "Tolong beristirahat. Aku akan menangani ini." Anggrawati melepaskan Handoko, menatap ke arah utara. Angin dingin meniup k

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 084

    Kekehannya terdengar lagi, lebih keras. “Ayolah, Dipasena. Kita berdua tahu apa yang benar-benar menyenangkan.” "Sudah kukatakan diam!" bentaknya. Ia mengayunkan tangannya dengan gusar. Pohon yang baru saja ia hidupkan langsung meledak menjadi debu ungu dan serpihan kayu, tersapu angin gunung. Keheningan kembali menyelimuti. “Nah! Begitu seharusnya! Menghancurkan itu jauh lebih mudah, bukan? Lebih… memuaskan.” Suara itu terdengar puas. “Tidak perlu berpikir, tidak perlu niat. Hanya perlu sedikit rasa benci. Dan kau, bukankah kau memilikinya dalam jumlah yang sangat banyak?” Jantung Dipasena berdebar kencang, sebuah sensasi aneh yang sudah lama tak ia rasakan. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah. "Sisa kesadaranmu seharusnya sudah lenyap saat aku menyerap kekuatanmu." “Sisa kesadaran?” Suara Ki Rembong terdengar geli. “Bodoh. Kau pikir kekuatan itu hanya gumpal

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 083

    “Aku kini adalah tujuan itu sendiri. Aku telah melampaui batasan yang dipegang oleh lima sesepuh bodoh itu. Aku memiliki semua yang mereka miliki, dan yang mereka takuti.” lanjut Dewa Maut. Ia akhirnya berbalik, menatap Anggrawati. Matanya, meski tidak lagi memancarkan amarah, justru lebih menakutkan karena kekosongan di dalamnya. “Aku memberimu pilihan, Anggrawati,” kata Dewa Maut. “Aku membiarkanmu hidup dua kali. Mengapa kau terus mengejarku?” Anggrawati mencengkeram erat pedang Mangunjaya. “Aku tidak mengejar Dipasena. Aku mengejar kebenaran. Kau mungkin telah menguasai Lima Elemen, tetapi kau tidak menguasai hatimu sendiri. Kau hanya wadah bagi kekuatan yang tak memiliki jiwa.” Dewa Maut tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Jiwa adalah kelemahan. Emosi adalah rantai. Aku bebas. Bebas dari dendam, bebas dari cinta, bebas dari moralitas. Kekuatan ini membebaskanku. Sekarang, Anggrawati. Aku be

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 082

    Prana Lima Elemen (Kayu, Api, Bumi, Logam, Air) berputar dalam siklus yang seimbang, harmonis, seperti roda yang sempurna. Tetapi di pusat putaran itu, kini ada dua titik baru yang berlawanan: Kekosongan Murni (yang ia dapatkan dari pemahaman Mangunjaya) dan Kekosongan Gelap (yang ia curi dari Rembong). Kekuatan itu tidak hanya berlipat ganda; ia menjadi absolut. Dewa Maut merasakan setiap atom Prana di dunia persilatan. Ia merasakan sungai, gunung, kilatan petir, dan bahkan kegelapan di bawah bumi. Ia kini adalah penguasa bukan hanya dari Lima Elemen, tetapi dari dualitas yang mengikat keberadaan. Ia adalah Penguasa Kekosongan. Murid-murid Kala Durga, yang melihat guru mereka lenyap, langsung diliputi rasa panik. Mereka membuang senjata mereka dan mencoba melarikan diri, tetapi mereka tidak bisa. Dewa Maut, tanpa menoleh, mengangkat tangan kirinya ke atas. WUUUSH. Ia mengaktifka

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 081

    Ki Rembong melihat Dewa Maut tiba-tiba tampak berhenti bergerak, auranya meredup sejenak, hampir seperti lilin yang padam. “Aku sedang menyesuaikan diri dengan takdir,” jawab Dewa Maut, suaranya serak. Anggrawati menyaksikan dari kubah Angin-Air. Ia melihat gurunya baru saja lenyap, dan kini Dewa Maut tampak seperti patung di tengah badai Kekosongan Gelap. Ketika Pukulan Lima Elemen Terpadunya hampir sepenuhnya diserap oleh Kekosongan Gelap Rembong, Dewa Maut melepaskan kontrol total atas Prana-nya. FZZZT! Tiba-tiba, Pukulan yang melambat itu menghilang. Bukan terserap, tetapi lenyap dari keberadaan. Rembong terperangah. “Ilusi?” “Bukan,” kata Dewa Maut, kini membuka matanya. Matanya tidak memancarkan warna Lima Elemen, tetapi cahaya abu-abu keperakan yang datar, seperti cermin yang tidak memantulkan apa pun. “Ini adalah Kekosongan Murni. Kau hanya memiliki lubang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status