INICIAR SESIÓN“Menyesal, Dewa Maut?” bisikan-bisikan halus bergema dari pantulan sungai.
“Kau membunuh mereka yang tidak bersalah. Kau membuang cinta. Kau adalah sampah yang ditolak surga!”Dewa Maut menghentikan langkahnya. Dia menyalurkan Tapak Kala Geni untuk menekan gejolak batinnya.Tenaga Dalam gelapnya berbenturan dengan energi cahaya lembah.“Diam!” teriak Dewa Maut, suaranya dipenuhi amarah. “Mereka adalah bayangan! Aku adalah Dewa Maut! Aku tidak punya tempat untuk penyesalan!”Dia melangkah maju, memaksakan diri menembus ilusi visual.Setiap langkahnya adalah perjuangan melawan godaan untuk kembali menjadi Dipasena yang lemah.Namun, semakin dia menggunakan kekuatan gelapnya, semakin intens pantulan itu.Sosok Dipasena lugu di cermin kini menatapnya dengan cemoohan, seolah Dipasena menolak untuk dilebur ke dalam kegelapan.Dewa Maut memejamkan mata. Dia tahu, dia tidak bisa melawan ilusi visual. Dia harusDewa Maut menyadari dengan perhitungan dingin: Argasura telah mengirim pesan kepada Mangunjaya.Anggrawati pasti tahu rencana itu dan mencoba mencegatnya, atau mencoba memperingatkan gurunya.Jati Sakti. Tempat di mana ia dibesarkan, tempat di mana Dipasena mati.Dewa Maut mengubah arah. Rembong adalah target berikutnya, tetapi Mangunjaya adalah penutupan terakhir dari masa lalunya.Ia membutuhkan Mangunjaya untuk mengakhiri babak ini sepenuhnya. Dan mungkin, Mangunjaya tahu lebih banyak tentang ‘Kekosongan’ Rembong daripada yang ia kira.“Mangunjaya,” bisik Dewa Maut, “waktunya untuk pulang.”Ia tidak menggunakan Lima Pintu untuk melipat jarak, melainkan melepaskan Prana Angin yang murni, mendorongnya dengan kecepatan luar biasa menuju utara.Ia ingin Mangunjaya merasakan kedatangannya. Ia ingin semua orang di Jati Sakti tahu bahwa Dewa Maut sedang dalam perjalanan.Perjalanan ke Jati Sakti memakan waktu tiga h
Argasura terhuyung mundur. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga spiritual.Prana Logam yang ia kumpulkan selama ratusan tahun, yang ia yakini sebagai elemen paling murni dan stabil kedua setelah Bumi, kini telah dirusak oleh fusi yang tidak stabil dan liar.“Kau… kau menggunakan ketidaksempurnaan untuk mengalahkan kesempurnaan!” teriak Argasura, suaranya dipenuhi keterkejutan dan kemarahan.Ia mencoba menarik Prana dari bijih besi terdekat, tetapi bijih besi itu kini lembek dan berkarat, tidak mampu memberikan resonansi yang bersih.Dewa Maut berdiri tegak di tengah ngarai yang kini dipenuhi kabut panas. Ia tidak menunjukkan ekspresi kemenangan, hanya kekosongan yang dingin.“Tidak ada kesempurnaan,” jawab Dewa Maut, melangkah mendekat. “Hanya ada kekuatan yang lebih besar. Logammu bergantung pada kekerasan. Kau tidak fleksibel, Argasura. Dan Logam Cermin adalah keangkuhanmu. Kau yakin kekuatanku akan menjadi kelemahanku, tetapi k
Prana Logam murninya kini terjalin dengan Prana Bumi di sekitarnya, menciptakan perisai reflektif yang nyaris tak terlihat.Beberapa saat kemudian, ia merasakan lonjakan Prana yang mendekat dari timur laut.Kecepatan Dewa Maut luar biasa, menggunakan Lima Pintu untuk melipat jarak, tetapi ada sedikit ketidakstabilan dalam putaran Angin/Airnya.Kelelahan emosional Anggrawati telah meninggalkan jejak.“Dia datang,” Argasura berbisik. “Dia bergegas menuju Rembong, yakin bahwa aku tidak penting.”Argasura berdiri tegak, membiarkan Logam Cerminnya menutupi seluruh tubuhnya, membuatnya tampak seperti patung yang terbuat dari kristal gelap.Ia adalah cermin yang menunggu gambaran untuk dipantulkan.Tiba-tiba, udara di tengah ngarai bergetar hebat.Sebuah distorsi ruang muncul, bukan portal yang bersih dan tajam seperti biasanya, melainkan sedikit bergetar, bukti bahwa Dewa Maut sedang bergerak dengan kecepatan yang ter
“Jika kau memilih jalan ini, aku akan menjadi bayangan yang mengawasimu, Dewa Maut. Aku akan memantau setiap langkahmu, dan jika kau melanggar batas kemanusiaan terakhir, aku akan berada di sana.” lanjut Anggrawati mDewa Maut tidak melihat ke belakang. Ia hanya mengangkat tangannya dan membuka salah satu Lima Pintu, sebuah portal kecil yang memancarkan Prana Kegelapan dan Angin.“Aku tidak peduli,” katanya, nadanya datar. “Dewa Maut tidak memiliki batas. Dan jika kau menghalangi jalanku lagi, aku akan memadamkan Cahaya Murni di dalam dirimu, sama seperti aku memadamkan lonceng itu.”Ia melangkah menuju portal itu.Anggrawati bangkit, air matanya kering. Ia kini telah kehilangan segalanya: gurunya, kekasihnya, dan harapannya.Yang tersisa hanyalah resolusi moral yang dingin. Ia melihat portal itu menutup, dan Dewa Maut menghilang.Tiba-tiba, ia mendengar suara gemerisik dari pohon-pohon di atasnya. Seseorang telah mengawasinya.
“Dipasena,” kata Anggrawati, suaranya parau. Ia tidak berteriak, tidak memohon, hanya menyebut nama itu dengan nada yang sangat pribadi.Dewa Maut tidak menjawab. Ia hanya menatap Anggrawati dengan mata yang kosong, warna hitam di pupilnya kini memudar menjadi abu-abu gelap.Ia adalah perwujudan dari kekuatan absolut dan nihilisme.“Kau datang,” lanjut Anggrawati, mengambil langkah hati-hati. “Aku tahu kau akan datang. Meskipun kau adalah Dewa Maut, ada resonansi yang tidak bisa kau abaikan.”Prana Dewa Maut bergetar. Ia bisa dengan mudah menghancurkan Anggrawati dalam sekejap, tetapi sesuatu menahannya.Bukan belas kasihan, melainkan rasa ingin tahu yang dingin.Mengapa perempuan ini mempertaruhkan nyawanya, menunda perjalanannya menuju Rembong, hanya untuk berbicara?“Kau memanggilku,” suara Dewa Maut akhirnya memecah keheningan, terdengar serak, hampir tidak manusiawi. “Kau mengganggu rencanaku. Jelaskan tujuanmu, Ang
Dewa Maut tidak bisa menggunakan Airnya untuk meredakan karena Airnya telah dibekukan oleh racun yang menargetkan frekuensi Air.“Kau tidak bisa bergerak, kan?” tanya Raka, Prana-nya membesar. “Racun ini akan bekerja perlahan, merobek Prana-mu hingga kau hanya menjadi cangkang kosong. Setelah itu, Tuan Rembong akan datang dan mengambil sisanya.”Dewa Maut memejamkan mata. Ilusi Anggrawati yang menjerit itu berputar semakin cepat. Racun itu mulai menyentuh inti spiritualnya, menimbulkan rasa sakit yang tajam dan dingin.'Keseimbangan.' Itu adalah kuncinya.Ia telah fokus pada Lima Elemen yang berputar, tetapi ia lupa bahwa di tengah fusi itu, ada Prana yang ia serap dari Jumantaka dan Argasura yang lebih murni dan belum terkorupsi.Ia harus mengabaikan Prana yang terinfeksi dan menarik energi yang paling stabil.“Aku tidak akan menjadi wadah siapa pun,” kata Dewa Maut, suaranya rendah dan dingin, meskipun ia merasa terbakar.







