Dalam sebuah perjalanan,
Di malam yang basah dan dingin, suara hujan deras yang menghantam kaca mobil terdengar nyaring, seolah-olah ingin menutupi suara napas berat dan isakan halus dari Liliya. Igor mengemudi dengan pandangan yang tetap fokus ke jalan di depannya, kedua tangannya menggenggam erat gagang setir. Meski begitu, sesekali pria berwajah tegas itu melirik ke arah gadis yang duduk di sebelahnya, memperhatikan raut wajahnya yang dipenuhi dengan kesedihan. Lampu-lampu Kota Moskow yang gemerlap semakin memudar di kaca spion, menandakan bahwa mereka telah jauh meninggalkan pusat kota. Liliya memandang keluar jendela mobil, melihat tetesan demi tetesan air hujan yang tak henti-hentinya membasahi kaca mobil. Kota Moskow yang biasanya penuh kehidupan dan hingar-bingar kini terasa begitu jauh, seolah-olah berada di dunia lain. Gemerlap lampu kota mulai berganti dengan pemandangan jalanan yang sepi dan gelap saat mereka menuju ke distrik timur, Kuskovo. Perasaan cemas yang selama ini dipendam oleh Liliya mulai membuncah di dalam dadanya. “Ke mana kita akan pergi? Tempat ini sepertinya semakin jauh dari kota.” Suara Liliya terdengar bergetar, hampir tenggelam oleh rintik hujan. Gadis itu menoleh dengan tatapan penuh kebingungan, meskipun dalam hatinya sudah sedikit memahami bahwa perjalanan ini bukanlah perjalanan biasa. Igor menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kita akan pergi ke Kuskovo. Itu tempat yang aman bagimu sekarang,” ujar pria itu. Suaranya dalam dan tenang, namun ada sedikit nada tegas yang tak terbantahkan. “Di sana, kamu akan lebih tenang, jauh dari bahaya yang sedang mengintaimu saat ini,” ujar pria berwajah tegas itu lagi. Liliya pun terdiam mendengar jawaban itu. Hatinya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, tapi dia tidak tahu harus memulai dari mana. Semuanya terasa begitu mendadak baginya. Kedua orang tuanya baru saja meninggal secara misterius di Kazan, sebuah tragedi yang hingga kini belum sepenuhnya dipahami olehnya. Dan kini, apartemennya di Moskow, satu-satunya tempat yang dianggap olehnya sebagai rumah kini telah hancur berkeping-keping. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Air matanya kembali menetes, mengalir di kedua pipinya yang dingin. Dengan tangan gemetar, dia lalu meraih gelang berbentuk hati di pergelangan tangannya, sebuah kenangan terakhir dari kedua orang tuanya. Di dalam gelang itu, terdapat foto dirinya bersama mereka, senyum bahagia yang kini hanya tinggal kenangan. Liliya mengeratkan genggamannya pada gelang itu, seolah-olah berusaha menemukan kekuatan dari memori masa lalu. “Gara-gara semua ini, aku tidak bisa lagi kuliah,” suara Liliya pecah dalam isakan pelan. “Mimpiku untuk menjadi seorang jurnalis … semuanya sudah hancur. Orang tuaku … apartemenku … semuanya sudah hilang. Apa yang tersisa dariku sekarang?” Igor pun diam sejenak, membiarkan kata-kata Liliya tenggelam dalam suara hujan yang semakin deras. Dia sangat tahu rasa sakit yang dialami gadis itu, meskipun mungkin pria dewasa itu tidak sepenuhnya bisa memahaminya. Namun, Igor tahu satu hal, jika Liliya tidak boleh menyerah. “Kamu masih punya hidupmu, Liliya,” ucap Igor akhirnya, suaranya dalam tapi penuh arti. “Kamu masih bisa membangun kembali apa yang telah hilang. Selama kamu hidup, harapan itu selalu ada. Sambil belajar dengan giat dan pada saatnya nanti, kamu bisa membalaskan semua dendammu atas kematian kedua orang tuamu!” tegas Igor mencoba mengobarkan semangat Liliya. Liliya terisak lebih keras. “Tapi bagaimana? Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku ketika semua yang aku cintai sudah tiada? Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana caraku membalas mereka?” Igor tidak langsung menjawab. Dia pun memandang lurus ke depan, menerobos hujan dengan tatapan serius. Setelah beberapa detik yang terasa hening, pria itu berbicara, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Aku tidak punya semua jawaban untukmu, Liliya. Tapi aku tahu, untuk sekarang, yang bisa kita lakukan adalah memastikan kamu tetap aman. Kuskovo mungkin bukan tempat yang sempurna, tapi setidaknya di sana kamu akan terlindungi. Sambil kita akan mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan saat itu tiba, kamu akan tahu apa yang harus dilakukan.” Liliya tidak bisa menahan tangisnya. Kata-kata Igor mungkin benar, tapi rasa kehilangan yang dirinya rasakan begitu dalam, begitu menyakitkan. Belum selesai dia berduka atas kepergian kedua orang tuanya, kini dirinya harus menghadapi kenyataan pahit jika masa depannya yang telah direncanakan olehnya begitu matang juga berada di ambang kehancuran. Mobil terus melaju, meninggalkan jalan-jalan besar dan mulai memasuki wilayah pinggiran Kota Moskow. Lampu-lampu jalan semakin jarang, hanya tersisa bayangan hitam dari pohon-pohon yang melintang di sepanjang jalan. Hujan yang deras tampak semakin memperburuk suasana, seperti menggambarkan kedukaan yang dirasakan Liliya. Sesekali, Igor melirik ke arah Liliya yang tampak begitu rapuh di sampingnya. Gadis yang pernah dirinya lihat secara diam-diam sejak dulu telah tumbuh dewasa kini tampak seperti bayang-bayang dirinya sendiri, terseret dalam pusaran tragedi yang tak terduga. Igor tahu betapa pentingnya Liliya bagi ayahnya, sahabat karibnya, dan kini tugas untuk melindungi gadis itu jatuh ke tangannya. “Jangan khawatir, Liliya,” ucap Igor dengan nada lebih tegas. “Aku sudah berjanji kepada ayahmu untuk menjagamu. Aku akan melakukan apa saja untuk memastikan kamu untuk tetap aman,” seru Igor lagi. Liliya hanya mengangguk lemah, air matanya masih mengalir. Dia tahu jika Igor adalah sosok yang bisa dipercaya olehnya, seseorang yang dekat dengan keluarganya terutama bagi kedua orang tuanya. Namun, rasa kosong yang memenuhi hatinya membuatnya semakin sulit untuk merasakan kenyamanan dalam janji-janji itu. Mobil mereka terus melaju dalam kesunyian yang panjang. Hanya suara hujan yang menemani perjalanan keduanya, dan Liliya terbenam dalam pikirannya sendiri. Dia memandang gelang di pergelangan tangannya sekali lagi, berusaha mencari kekuatan dari kenangan masa lalu. Namun yang dirasakan olehnya hanyalah kekosongan. Akhirnya, setelah berjam-jam berkendara, lampu-lampu kecil mulai tampak di kejauhan. Igor pun memperlambat laju mobilnya dan mulai memasuki kawasan perumahan yang lebih sepi. Kuskovo, tempat yang selama ini hanya didengar oleh Liliya lewat cerita, kini menjadi tujuan akhirnya. Tempat yang dikatakan Igor aman, namun bagi Liliya, itu adalah tempat di mana dirinya harus menghadapi kenyataan pahit tentang hidupnya yang telah berubah drastis. Setelah beberapa menit, mobil berhenti di depan sebuah rumah tua dengan halaman yang luas. Igor mematikan mesin mobil dan menoleh ke arah Liliya. “Kita sudah sampai,” ucap Igor dengan nada lembut. “Ini adalah rumah lama keluarga ayahmu. Kamu akan aman di sini.” Liliya memandang rumah itu dengan tatapan kosong. Dia jika tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi, dan mulai dari saat ini, dirinya harus menerima kenyataan bahwa semua yang dicintai olehnya sudah pergi. Dengan langkah berat, gadis cantik itu membuka pintu mobil dan keluar, masih menggenggam erat gelang berbentuk hati di tangannya.Sudah sebulan berlalu sejak Liliya memulai latihan intensifnya. Setiap hari, gadis cantik itu menguji batas fisiknya dengan latihan lari, lompat, dan melampaui rintangan-rintangan yang telah dipersiapkan oleh Igor, pelatihnya. Seorang pria berbadan tegak dan berkharisma.Tubuhnya semakin kuat, refleksnya semakin tajam, dan kepercayaan dirinya juga ikut meningkat. Semua karena latihan fisik yang keras yang telah dilakoni olehnya selama kurang lebih satu bulan penuh. Selain itu, Liliya juga mempelajari berbagai seni bela diri, yang berguna untuk mengasah tekniknya agar bisa bertahan dan menyerang dengan lebih efektif jika sedang menghadapi lawannya.Namun, di dalam hatinya, Liliya tahu bahwa dia masih belum sempurna. Ada banyak yang harus dipelajari olehnya, terutama saat menghadapi lawan sekuat Igor. Igor adalah salah satu prajurit terbaik di pasukan pelatihannya, dikenal memiliki kemampuan menyerang yang mematikan dan pertahanan yang tak mudah ditembus. Hari ini, Liliya akan bertaru
Malam itu, setelah selesai makan malam, Liliya dengan sukarela membantu Bibi Belka membersihkan meja makan. Piring-piring kotor disusun rapi, sementara Bibi Belka menyiapkan air sabun untuk mencuci. Liliya berdiri di samping wastafel, memegang piring pertama yang telah dilumuri busa. “Terima kasih sudah membantu Bibi, Liliya,” ujar Bibi Belka sambil tersenyum lembut.“Tidak masalah, Bibi. Lagipula, ini cara yang terbaik untuk menghabiskan waktu bersama,” jawab Liliya sambil menggosok piring dengan lembut. Setelah mencuci beberapa piring, mereka mulai membersihkan dapur. Setiap sudut diperhatikan oleh Bibi Belka, memastikan tidak ada yang tertinggal berantakan.“Wah, Bibi sangat telaten saat membersihkan dapur,” puji Liliya.Bibi Belka tertawa kecil seraya berkata,“Ha-ha-ha. Membersihkan dapur dengan baik dan benar sama halnya jika kamu sedang melakukan misi penting untuk melenyapkan seseorang. Kamu harus melakukannya dengan sangat teliti Liliya. Makanya Bibi dan Igor akan mengajark
Angin semilir Kuskovo berhembus lembut, seolah-olah turut mengiringi langkah Liliya yang semakin mantap untuk mempersiapkan diri untuk membalaskan dendamnya. Matanya tajam, penuh tekad ingin segera menyelesaikan semuanya. Di kejauhan, sinar mentari tampak megah dengan warna keemasannya, namun yang terpenting bagi Liliya saat ini adalah latihan yang harus dijalani olehnya. Sebuah latihan untuk membalaskan dendamnya atas kematian kedua orang tuanya, yang telah dibunuh oleh mafia terkuat di Moskow. Tidak ada ruang untuk kesalahan dia harus bisa agar tetap fokus.Di sampingnya, Igor, pria dengan tubuh kekar dan mata yang penuh disiplin, berdiri tegap. Siap untuk membantu Liliya untuk mewujudkan balas dendamnya. Pria itu adalah mantan tentara yang kini menjadi pelatih pribadi Liliya. Igor terlihat sedang membawa sebuah alat timer di tangannya, wajahnya pun tampak serius."Kita mulai dengan lari cepat. Ingat, Liliya, disiplin adalah kunci atas segalanya. Tidak ada tempat untuk lelah. Kam
Keesokan harinya,Pagi yang dingin di Kuskovo, matahari masih belum sepenuhnya terbit ketika Liliya telah bangun dari tidurnya. Udara yang begitu sejuk menyelimuti rumah megah di pinggiran kota kecil itu. Liliya duduk di pinggir tempat tidurnya, merenung sejenak, mengusap wajahnya untuk menghilangkan sisa-sisa kantuk yang masih menyerangnya. Kemudian, pandangannya jatuh pada lemari kayu besar di sudut kamarnya. Sudah beberapa kali sejak tadi malam dia memperhatikan ada pakaian-pakaian baru di sana, semuanya pas dengan ukurannya. Hal itu membuat Liliya semakin penasaran.Gadis belia itu pun masuk ke dalam toilet yang juga terhubung di dalam kamar tersebut. Sekedar untuk membasuh wajahnya dan menggosok giginya.Setelah berganti berpakaian, Liliya melangkah keluar kamar mulai mencari-cari Bibi Belka di pagi yang masih buta itu. Kakinya pun menuntunnya untuk berjalan menuju ke kebun sayur yang ada di belakang rumah.Dari kejauhan, Liliya dapat melihat Bibi Belka yang sedang memetik buah
Di sebuah ruang tamu megah yang dihiasi dengan perabotan antik, Igor dan Bibi Belka duduk berhadapan. Liliya telah diantar oleh Bibi Belka dan masuk ke kamarnya setelah seharian tampak bingung dengan semua perubahan mendadak dalam hidupnya. Kematian tragis kedua orang tuanya masih menghantui rumah itu, dan Bibi Belka tahu, saatnya telah tiba untuk mempersiapkan Liliya menghadapi kenyataan pahit di depan mata."Igor," seru Bibi Belka sambil menatap tajam ke arah pria di depannya."Mulai besok, kita harus berbicara serius dengan Liliya tentang semuanya. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," ujar Bibi Belka memulai pembicaraan mereka malam itu."Tentu saja, Belka. Liliya memang harus mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Vadim dan Disca," jawab Igor tanpa ragu, suaranya dalam dan tegas. Pria berusia empat puluh tahunan itu telah bekerja untuk keluarga Liliya sejak lama. Dia sudah bersumpah untuk melindungi Liliya, apapun yang terjadi.Bibi Belka menghela napas panj
Setelah selesai makan malam, Liliya lalu mengikuti langkah Bibi Belka yang akan mengarahkannya ke lorong panjang yang sepi. Dinding-dinding rumah itu terasa dingin, seolah-olah menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Liliya berjalan pelan, merasakan beban berat yang tidak hanya di pundaknya akan tetapi juga di hatinya.Bayangan tentang kematian kedua orangtuanya, masih menjadi misteri baginya. Rasa sedih masih merasuki jiwa dan sanubarinya tapi demi untuk bertahan hidup, Liliya harus menjalani semuanya dengan ikhlas dan lapang dada.Lamunan gadis itu seketika menjadi buyar, mendengar ucapan dari Bibi Belka.“Liliya, mulai malam ini, kamar ini adalah tempat tinggalmu,” ucap Bibi Belka lembut, menghentikan langkah mereka di depan sebuah pintu kayu besar.Bibi Belka lalu mendorong pintu itu dengan perlahan, memperlihatkan sebuah kamar yang rapi dengan pencahayaan hangat. Ada ranjang besar di tengahnya, dengan seprai putih bersih yang terlipat sempurna. Di sudut ruangan, sebuah lemari