Masih di dalam sebuah apartemen,
Liliya sedang duduk di tepi ranjang, memandangi koper kecil yang hampir penuh dengan pakaiannya. Tangannya masih saja gemetar saat dia melipat kemeja terakhirnya, dan matanya masih basah oleh air mata yang terus saja menetes dengan deras. Gadis itu baru saja menerima kabar mengerikan jika kedua orang tuanya, Tuan Vadim dan Nyonya Disca, telah tewas dalam kebakaran besar yang melanda rumah keluarga mereka yang di Kota Kazan. Kepedihan itu terlalu berat untuk ditanggung olehnya sendirian, dan setelah menangis dalam beberapa jam, dia pun memutuskan untuk kembali ke Kazan guna memberikan penghormatan terakhir kepada kedua orangtuanya. Jam di dinding apartemennya telah menunjukkan pukul delapan malam. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Suara hening semakin menyelimuti ruangan itu, hanya sesekali diselingi oleh napas berat Liliya. Namun, tiba-tiba, keheningan itu terpecah oleh suara ketukan keras di arah pintu apartemen. Ketukan itu terdengar kasar dan tak sabar, hampir membuatnya melompat dari tempat tidurnya. "Siapa di sana?" tanyanya dengan suara gemetar, namun tak ada jawaban. Ketukan itu terdengar lagi, dan kali ini lebih keras dan cepat. Rasa penasaran dan cemas bercampur dalam pikirannya. Dengan ragu, Liliya berjalan menuju pintu apartemennya dan membukanya sedikit, dia lalu menemukan seorang pria sedang berdiri di ambang pintu. Pria itu tinggi dan berwajah tegas, dengan jambang tebal menutupi rahangnya. Dia juga mengenakan topi tebal dan mantel musim dingin yang besar, seolah baru saja datang dari tempat yang sangat jauh. Wajahnya tampak tegang, seakan-akan sesuatu yang buruk baru saja terjadi. "Siapa Anda?" tanya Liliya dengan nada curiga, matanya memandang pria itu dari ujung kepala hingga kaki. Pria itu menatapnya dengan tatapan serius. "Namaku Igor," ucapnya dengan suara berat. "Aku sahabat ayahmu, Tuan Vadim." Liliya memandangnya tanpa ekspresi. "Aku tidak pernah mendengar ayahku menyebut namamu sebagai sahabatnya," ujarnya dingin. Igor mendesah pelan, tampak tidak terkejut dengan respon dari gadis itu. "Itu karena banyak hal yang ayahmu sembunyikan darimu. Aku datang untuk memperingatkanmu, Liliya. Kamu tidak boleh pergi ke Kazan sekarang ataupun dalam waktu dekat ini. Kota itu belum aman untukmu," seru Igor dengan suara tegas. Liliya mendengus dan menatapnya dengan dingin. "Anda tidak berhak mengatur hidup saya," ujarnya tajam. "Dan saya tidak percaya dengan cerita Anda! Saya tetap akan pergi ke Kazan! Sekali lagi saya katakan, Anda tidak berhak mengatur-atur hidup saya!" sergah Liliya semakin tajam. Namun tanpa diduga Igor pun melangkah masuk ke dalam apartemen gadis itu tanpa diundang. Sikapnya tegas, namun ada rasa cemas dalam gerak-geriknya. "Liliya, dengarkan aku baik-baik. Nyawamu dalam bahaya sekarang! Kebakaran itu bukan kecelakaan. Ada orang yang ingin mencelakai keluargamu, dan sekarang mereka sedang mengejarmu," seru Igor dengan nada serius. Liliya seketika memutar bola matanya, merasa frustasi dengan situasi ini. Dia pun berkata dengan acuh tak acuh, "Saya tidak tahu apa yang sedang Anda bicarakan, dan saya tidak peduli sama sekali! Ini adalah urusan saya. Jika Anda benar-benar teman ayah saya, Anda akan tahu bahwa saya harus pergi ke Kazan untuk mengucapkan selamat tinggal pada kedua orang tua saya!" sahut Liliya mencoba menahan rasa sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya. Igor mendekat, tatapannya tajam ke arah Liliya. "Kamu tidak mengerti. Mereka memburu keluargamu untuk alasan yang sangat berbahaya. Jika kamu pergi ke Kazan sekarang, kamu hanya akan membawa dirimu ke dalam bahaya yang lebih besar! Tolong dengarkan peringatan dari saya ini!" serunya lantang dan berharap gadis itu mau mendengarkan perkataannya. Namun, sebelum Liliya sempat membalas, ketukan keras kembali terdengar dari pintu apartemennya. Kali ini, ketukan itu disertai dengan suara langkah kaki berat dari arah koridor yang panjang. Igor langsung mematung, lalu tanpa berpikir panjang, dia pun meraih tangan Liliya. "Kita harus pergi sekarang," ujarnya serius. "Mereka sudah di sini!" serunya lagi. Liliya tersentak. "Apa maksudmu? Siapa mereka?" Tapi Igor tidak menjawab. Ketegangan di wajahnya cukup untuk membuat Liliya merasa bahwa ada sesuatu yang sangat salah sekarang. Sesaat kemudian, suara tembakan terdengar dari luar pintu. Liliya membelalakkannya mata dan tubuhnya mjlsk gemetar. "Ayo! Tidak ada waktu lagi!" seru Igor sambil menarik Liliya menuju pintu belakang apartemen yang langsung menujukd tangga darurat. Keduanya lalu berlari secepat mungkin menuruni tangga-tangga sempit yang berdecit di bawah beratnya langkah kaki mereka. Dari kejauhan, Liliya bisa mendengar suara langkah kaki lain yang mengejar mereka. Napasnya terengah-engah, dan pikirannya dipenuhi kekalutan. "Siapa mereka? Apa yang sebenarnya terjadi?" Liliya berteriak saat sedang berlari. "Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian orang tuamu," jawab Igor tanpa menoleh. "Dan sekarang mereka ingin menghabisimu juga!" Ketakutan mulai merayapi Liliya, namun tidak ada waktu untuk merenung. Mereka terus berlari, hingga akhirnya tiba di basement gedung apartemen. Beberapa pria berpakaian serba hitam sudah terlihat di ujung tangga, tapi Igor tidak berhenti. Dia lalu membuka pintu sebuah mobil hitam dan mendorong Liliya masuk. "Masuk cepat!" serunya sebelum dirinya juga masuk ke kursi pengemudi. Mesin mobil menyala, dan Igor segera menekan pedal gas, membuat mobil melaju kencang keluar dari basement. Ketika keduanya keluar dari tempat parkir, Liliya dapat mendengar suara ledakan besar di belakang mereka. Jantungnya hampir berhenti saat dia menoleh dan melihat apartemennya kini telah hancur berkeping-keping. "Astaga ...." Liliya terengah-engah, matanya tak percaya melihat kehancuran yang di belakangnya. "Itu ... itu apartemenku!" "Sudah kubilang, orang-orang itu tidak akan berhenti sampai mereka berhasil membunuhmu," seru Igor dengan nada tegas sambil tetap fokus pada jalan di depannya. "Ini bukanlah sebuah permainan, Liliya. Mereka benar-benar ingin kamu mati juga." Liliya tidak tahu harus berkata apa. Air matanya mulai mengalir lagi, kali ini bukan hanya karena kehilangan orang tuanya, akan tetapi juga karena kenyataan bahwa hidupnya kini dalam bahaya besar. Kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan, namun dia tidak tahu siapa yang bisa dipercaya atau apa yang harus dilakukan. "Kenapa ... kenapa mereka ingin membunuhku?" tanya Liliya dengan suara bergetar. Igor meliriknya sebentar sebelum kembali memfokuskan diri pada jalan. "Ceritanya sangat panjang. Tapi yang harus kamu tahu sekarang adalah jika ayahmu menyimpan sesuatu yang sangat berharga bagi orang-orang itu, dan mereka berpikir kamu tahu di mana sebuah dokumen disembunyikan!" seru Igor mulai menceritakan garis besarnya. Liliya terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Igor. Ayahnya? Sesuatu yang berharga? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mobil terus melaju kencang di bawah langit malam Kota Moskow yang semakin kelam, sementara di belakang mereka, bayangan kehancuran apartemen Liliya semakin menjauh. Namun, ketakutan dalam dirinya semakin mendekat, menyelubungi setiap langkah yang diambil olehnya ke dalam ketidakpastian yang mengerikan.Sudah sebulan berlalu sejak Liliya memulai latihan intensifnya. Setiap hari, gadis cantik itu menguji batas fisiknya dengan latihan lari, lompat, dan melampaui rintangan-rintangan yang telah dipersiapkan oleh Igor, pelatihnya. Seorang pria berbadan tegak dan berkharisma.Tubuhnya semakin kuat, refleksnya semakin tajam, dan kepercayaan dirinya juga ikut meningkat. Semua karena latihan fisik yang keras yang telah dilakoni olehnya selama kurang lebih satu bulan penuh. Selain itu, Liliya juga mempelajari berbagai seni bela diri, yang berguna untuk mengasah tekniknya agar bisa bertahan dan menyerang dengan lebih efektif jika sedang menghadapi lawannya.Namun, di dalam hatinya, Liliya tahu bahwa dia masih belum sempurna. Ada banyak yang harus dipelajari olehnya, terutama saat menghadapi lawan sekuat Igor. Igor adalah salah satu prajurit terbaik di pasukan pelatihannya, dikenal memiliki kemampuan menyerang yang mematikan dan pertahanan yang tak mudah ditembus. Hari ini, Liliya akan bertaru
Malam itu, setelah selesai makan malam, Liliya dengan sukarela membantu Bibi Belka membersihkan meja makan. Piring-piring kotor disusun rapi, sementara Bibi Belka menyiapkan air sabun untuk mencuci. Liliya berdiri di samping wastafel, memegang piring pertama yang telah dilumuri busa. “Terima kasih sudah membantu Bibi, Liliya,” ujar Bibi Belka sambil tersenyum lembut.“Tidak masalah, Bibi. Lagipula, ini cara yang terbaik untuk menghabiskan waktu bersama,” jawab Liliya sambil menggosok piring dengan lembut. Setelah mencuci beberapa piring, mereka mulai membersihkan dapur. Setiap sudut diperhatikan oleh Bibi Belka, memastikan tidak ada yang tertinggal berantakan.“Wah, Bibi sangat telaten saat membersihkan dapur,” puji Liliya.Bibi Belka tertawa kecil seraya berkata,“Ha-ha-ha. Membersihkan dapur dengan baik dan benar sama halnya jika kamu sedang melakukan misi penting untuk melenyapkan seseorang. Kamu harus melakukannya dengan sangat teliti Liliya. Makanya Bibi dan Igor akan mengajark
Angin semilir Kuskovo berhembus lembut, seolah-olah turut mengiringi langkah Liliya yang semakin mantap untuk mempersiapkan diri untuk membalaskan dendamnya. Matanya tajam, penuh tekad ingin segera menyelesaikan semuanya. Di kejauhan, sinar mentari tampak megah dengan warna keemasannya, namun yang terpenting bagi Liliya saat ini adalah latihan yang harus dijalani olehnya. Sebuah latihan untuk membalaskan dendamnya atas kematian kedua orang tuanya, yang telah dibunuh oleh mafia terkuat di Moskow. Tidak ada ruang untuk kesalahan dia harus bisa agar tetap fokus.Di sampingnya, Igor, pria dengan tubuh kekar dan mata yang penuh disiplin, berdiri tegap. Siap untuk membantu Liliya untuk mewujudkan balas dendamnya. Pria itu adalah mantan tentara yang kini menjadi pelatih pribadi Liliya. Igor terlihat sedang membawa sebuah alat timer di tangannya, wajahnya pun tampak serius."Kita mulai dengan lari cepat. Ingat, Liliya, disiplin adalah kunci atas segalanya. Tidak ada tempat untuk lelah. Kam
Keesokan harinya,Pagi yang dingin di Kuskovo, matahari masih belum sepenuhnya terbit ketika Liliya telah bangun dari tidurnya. Udara yang begitu sejuk menyelimuti rumah megah di pinggiran kota kecil itu. Liliya duduk di pinggir tempat tidurnya, merenung sejenak, mengusap wajahnya untuk menghilangkan sisa-sisa kantuk yang masih menyerangnya. Kemudian, pandangannya jatuh pada lemari kayu besar di sudut kamarnya. Sudah beberapa kali sejak tadi malam dia memperhatikan ada pakaian-pakaian baru di sana, semuanya pas dengan ukurannya. Hal itu membuat Liliya semakin penasaran.Gadis belia itu pun masuk ke dalam toilet yang juga terhubung di dalam kamar tersebut. Sekedar untuk membasuh wajahnya dan menggosok giginya.Setelah berganti berpakaian, Liliya melangkah keluar kamar mulai mencari-cari Bibi Belka di pagi yang masih buta itu. Kakinya pun menuntunnya untuk berjalan menuju ke kebun sayur yang ada di belakang rumah.Dari kejauhan, Liliya dapat melihat Bibi Belka yang sedang memetik buah
Di sebuah ruang tamu megah yang dihiasi dengan perabotan antik, Igor dan Bibi Belka duduk berhadapan. Liliya telah diantar oleh Bibi Belka dan masuk ke kamarnya setelah seharian tampak bingung dengan semua perubahan mendadak dalam hidupnya. Kematian tragis kedua orang tuanya masih menghantui rumah itu, dan Bibi Belka tahu, saatnya telah tiba untuk mempersiapkan Liliya menghadapi kenyataan pahit di depan mata."Igor," seru Bibi Belka sambil menatap tajam ke arah pria di depannya."Mulai besok, kita harus berbicara serius dengan Liliya tentang semuanya. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," ujar Bibi Belka memulai pembicaraan mereka malam itu."Tentu saja, Belka. Liliya memang harus mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Vadim dan Disca," jawab Igor tanpa ragu, suaranya dalam dan tegas. Pria berusia empat puluh tahunan itu telah bekerja untuk keluarga Liliya sejak lama. Dia sudah bersumpah untuk melindungi Liliya, apapun yang terjadi.Bibi Belka menghela napas panj
Setelah selesai makan malam, Liliya lalu mengikuti langkah Bibi Belka yang akan mengarahkannya ke lorong panjang yang sepi. Dinding-dinding rumah itu terasa dingin, seolah-olah menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Liliya berjalan pelan, merasakan beban berat yang tidak hanya di pundaknya akan tetapi juga di hatinya.Bayangan tentang kematian kedua orangtuanya, masih menjadi misteri baginya. Rasa sedih masih merasuki jiwa dan sanubarinya tapi demi untuk bertahan hidup, Liliya harus menjalani semuanya dengan ikhlas dan lapang dada.Lamunan gadis itu seketika menjadi buyar, mendengar ucapan dari Bibi Belka.“Liliya, mulai malam ini, kamar ini adalah tempat tinggalmu,” ucap Bibi Belka lembut, menghentikan langkah mereka di depan sebuah pintu kayu besar.Bibi Belka lalu mendorong pintu itu dengan perlahan, memperlihatkan sebuah kamar yang rapi dengan pencahayaan hangat. Ada ranjang besar di tengahnya, dengan seprai putih bersih yang terlipat sempurna. Di sudut ruangan, sebuah lemari