Sementara Budi sudah lebih dulu pulang ke rumahnya, saat ini Pak Ruslan masih mengamati Yusuf yang tertidur begitu pulas. Nampak sekali bahwa muridnya itu begitu kelelahan. Dia pun pergi dan menyuruh anaknya untuk mencarikan selimut untuk Yusuf. “Tolong kamu pakaikan saja selimutmu dulu padanya. Bapak mau menyiapkan lampu petromak dulu,” seru Pak Ruslan berlalu ke dapur. Setelah lama berselang, Pak Ruslan kembali membawakan lampu petromak yang sudah disiapkannya. Bukan untuk penerangan, tapi untuk sekadar menghangatkan Yusuf yang tertidur di ruangan tengah itu. Ketika Pak Ruslan kembali memompa tabung petromak tersebut di atas meja, Yusuf pun tersentak dari tidurnya. “Ah?! Maaf, Pak! Aku ketiduran,” ujarnya lirih, nampak kesulitan untuk bangkit. Pak Ruslan menahan bahu Yusuf, seakan mencegahnya untuk bangkit. “Sudah, kamu teruskan saja dulu istirahatnya. Jangan dipaksakan untuk terlalu banyak bergerak.” “Tapi, Pak...” “Tak apa. Bapak sudah beritahu ibumu. Lagi pula di luar sedan
Pasalnya, mereka mengkhawatirkan kondisi Yusuf karena rumor yang diterima Dani dari rekan-rekan kerjanya yang lain. Namun Yusuf tak membiarkan Bobby dan Dani larut dalam kebingungan mereka, dan segera menawarkan mereka untuk masuk ke dalam rumah.Sementara Rayna menyiapkan minuman di dapur, mereka bertiga duduk lesehan di ruang tengah di depan TV. Memang tak ada juga sofa di rumah tersebut, dan memang sebatas itu lah keluarga Yusuf bisa menjamu tamu selama ini.Rayna pun datang menyodorkan kopi pada mereka, dan menaruh botol gula di tengah-tengah. “Silakan. Gulanya ditakar sendiri saja ya.”Bobby dan Dani manggut-manggut sungkan. Bagaimana pun juga, selama ini Rayna itu adalah anak dari majikan mereka. Ini pertama kalinya mereka disuguhi kopi oleh istrinya Yusuf itu.Bobby pun sekarang sibuk mengaduk-aduk kopi itu sebelum membuka kembali obrolan mereka yang tadi ditunda Yusuf. “Aku sudah mencoba meneleponmu untuk memastikan cerita ini. Tapi nomormu tak kunjung bisa dihubungi. Karena k
Reaksi wajah Pak Ruslan berubah, nampak sedikit terkejut dengan keterangan Yusuf tersebut. Pasalnya, dia sendiri yang membantu ayah Yusuf mencarikan orang yang mau memberli motor milik Yusuf itu. Tentu dia tahu betul siapa yang membeli motor itu dulu.“Jadi kamu mengkhawatirkan si Ridho?” ucap Pak Ruslan.Yusuf pun langsung mengangkat wajahnya, sedikit tersentak karena gurunya itu bisa langsung menerka sejauh itu. Pak Ruslan hanya menghela nafas sesaat setelah melihat reaksi Yusuf.“Bapak sendiri yang bantu ayahmu untuk menjual motor itu pada Pak Yarmin. Kalau kamu melihat motormu di antara preman yang menyerangmu itu, kemungkinannya cuma si Ridho, satu-satunya anak laki-laki beliau. Kalau kamu mau, Bapak bisa langsung mendatangi Pak Yarmin dan memberitahunya mengenai masalah ini,” jelas Pak Ruslan.Namun Yusuf kembali nampak ragu juga dengan usulan itu. “Meski yang melukaiku dengan pisau adalah orang lain, tapi bisa saja si Ridho jadi ikut ditahan polisi nanti, Pak. Lagi pula, aku ju
Setelah Yusuf kembali diam, Bobby pun kembali menjalankan mobil itu. Bahkan ketika mereka sudah sampai di rumah, ketiga orang itu masih juga belum berkata apa-apa. Hingga kemudian Mak Sannah keluar dan menghampiri Yusuf dari sisi kiri mobil. “Itu, Mak sudah sediakan kasur di depan TV untuk Bobby dan Dani tidur. Ga pa-pa, kan?” tanyanya sedikit memiringkan kepala berbicara pada Bobby dan Dani. “Tak apa-apa, Mak! Tak perlu terlalu mengkhawatirkan kami yang bujang-bujang ini. Tidur di mana pun bisa,” jelas Dani sebelum dia turun dari mobil. Sebelum kembali masuk ke dalam rumah, Yusuf terhenti sesaat di pinggiran teras. Perhatiannya tertuju pada rumah kayu yang ditempati keluarga Mak Leni dahulu. Rumah itu terletak sedikit berjarak dari rumahnya, meski tak juga terlalu jauh di ujung ladang. Memang kondisinya sudah lama terlantar, tapi rumah kayu yang dibangun dengan kayu jati tua itu masih sangat kokoh, dengan atap dan dinding-dinding yang masih terawat. Hanya itu satu-satunya tempat y
Di suatu pagi, Yusuf sudah pergi meninggalkan rumah dengan meminjam motor milik Pak Salman. Dia menitipkan pekerjaan di ladangnya pada Dani dan Bobby, berkata bahwa dia akan sibuk di luar hingga sore.Tak ada yang tahu untuk kesibukan apa. Tidak Rayna, tidak juga Mak Sannah. Pagi-pagi sekali dia sudah meninggalkan rumah, di saat jalanan masih begitu sepi. Bahkan anak-anak sekolah pun belum ada yang meninggalkan rumah mereka.Di sebuah warung yang baru buka, Yusuf duduk di sana dengan memesan segelas kopi susu. Dari situ, dia terus melirik ke arah sebuah rumah yang agak jauh, seperti sedang mengamati sesuatu.“Pagi sekali kau keluar, Suf! Serius nih datang ke warung ini cuma untuk nyari kopi susu?” tanya Andra, salah seorang teman dekat Yusuf yang kebetulan keponakan dari pemilik warung.“Sekalian mau melihat keadaan. Kali saja ada touke yang lewat,” balas Yusuf.Meski dia tetap meladeni obrolan temannya itu, perhatian Yusuf masih tak lepas dari satu rumah dengan cat jingga tersebut. K
Tak juga sampai setengah jam Mila bisa bertahan dalam kecanggungan itu. Setelah itu dia memilih keluar dengan alasan ingin mengawasi kedua anaknya. Pada kenyataannya, Adi dan Ridwan hanya bermain kelereng di pinggir ladang, tak jauh dari teras rumah. Untuk sesaat, perhatiannya pun tertuju pada Bobby dan Dani yang begitu asing baginya.Dua orang itu tengah sibuk di ladang Yusuf. Bobby sedang menyemprotkan pestisida pada tumbuhan kentang. Sementara itu, Dani hanya berdiri saja di dekat greenhouse yang tertutup rapat setelah baru saja selesai merawat ladang di dalamnya.Yusuf sendiri sudah menitipkan padanya greenhouse tersebut, hanya perlu memeriksa apa ada hama atau pun gulma yang tumbuh. Berhubung tumbuhan kentang di greenhouse itu tak menggunakan pestisida, mereka hanya perlu merawat dan menjaganya secara langsung setiap hari.“ApaYusuf tak bilang padamu ke mana dia pergi?” tanya Dani pada Bobby.Bobby hanya menggeleng, tetap sibuk memompa cairan pestisida itu dari kaleng sprayer-nya
Saat sampai di sebuah pertigaan, jauh sebelum perempatan di jala raya, motor yang hendak diikuti Yusuf pun berpisah menyendiri dari rombongan lainnya. Semuanya terus menuju ke arah perempatan di jalan raya, sementara anak Pak Yarmin dan pacarnya itu berbelok kiri menuju ke arah sebuah gurun.Kening Yusuf pun berkerut, mulai mengkhawatirkan tujuan sepasang muda-mudi itu memisahkan diri dari rombongan lainnya ke arah jalanan sepi tersebut.“Tak aman ini,” gumamnya terus mengikuti dari kejauhan.Dua muda-mudi itu berhenti di sebuah tempat yang dikelilingi oleh ilalang yang begitu tinggi. Tak begitu tertutup juga, karena di bagian depan mereka cukup terbuka mengarah ke danau.Saat ini si preman tanggung sedang asyik berusaha mencari-cari kesempatan untuk grepe-grepe, meski anaknya Pak Yarmin itu rada-rada risih juga.“Apa sih, cuma pegang-pegang paha doang takut amat,” tutur si pemuda itu begitu lirih dan begitu dekat ke telinga cewek yang masih SMP itu.“Ngomongnya pegang paha, tapi usil
Yusuf pun bangkit, memperlihatkan gelagat kalau dia tak lagi peduli soal apa yang akan terjadi dengan remaja SMP itu. Namun akhirnya, ancaman Yusuf itu sukses juga memancing rasa takut dari Yessy. Dia pun menahan Yusuf dan berkata akan mendengarkan masukannya. “Tapi Yessy katakan, kalau Yessy sama sekali tak ada hubungannya dengan ini semua,” jelasnya. Yusuf pun kembali duduk. “Tapi polisi tetap akan mendatangimu untuk menanyakan perihal motor itu. Karena itu satu-satunya petunjuk. Dari situ, ayahmu pun pada akhirnya akan tahu soal hubungan kalian. Belum lagi soal apa yang barusan Abang lihat tadi,” jelas Yusuf menakut-nakutinya. “Lalu apa yang harus Yessy lakukan. Yessy yakin, Abang memberitahu ini untuk membantu Yessy, kan?” tanya anak gadis itu dengan polosnya. Yusuf menaikkan satu alisnya, berlagak seperti sedang serius memikirkan solusi untuk membantu Yessy. “Entahlah. Kenapa tak kamu coba dengan memberitahu Abang soal laki-laki tadi. Mungkin Abang bisa melihat kemungkinan di