"Rim, suamimu itu benar-benar keterlaluan. Coba kamu lihat ini!" ucap Mas Rian sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasnya. Dan memperlihatkan isinya kepadaku dan Mbak Lena. Sebuah surat perjanjian utang piutang atas nama Ilham Anggoro. Dengan jaminan rumah dan tanah."Ini maksudnya apa, Mas?" tanya Mbak Lena."Tadi aku bertemu dengan temanku, dia sering memberi pinjaman uang dengan jaminan rumah atau tanah. Dan saat aku lihat foto rumah yang sedang dia pegang membuat aku terkejut. Ternyata rumah di dalam foto itu adalah rumah ibu!""Jadi, maksudnya, Mas Ilham meminjam uang dengan jaminan rumah kita?" sahut ku terkejut mendengar apa yang diucapkan Mas Rian."Iya, Rim betul!" "Tapi, mana mungkin Mas Ilham bisa mendapatkan pinjaman. Sementara sertifikat nya saja di tangan kita?" "Si Ilham hanya memberikan foto copy nya saja, temanku bilang si Ilham hanya meminjam uang dalam kurun waktu 1 bulan. Dengan bunga 10%. Bukan hanya itu, sepertinya si Ilham pandai sekali berbohon
"Dasar istri kurang ajar! Semalaman gak pulang, ternyata kamu asik selingkuh dengan si Ibnu!" teriak Mas Ilham yang menyambutku dengan sebuah tamparan."Jangan asal ngomong kamu, Mas! Siapa yang selingkuh? Aku gak pulang semalaman karena jagain Aisyah di rumah sakit!" ucapku tak terima dengan tuduhan Mas Ilham."Gak usah mengelak kamu, dasar pelacur!" kali ini Mas Ilham mendorong tubuhku hingga terjatuh ke kursi."Kamu suami gak punya perasaan, Mas! Selama Aisyah tidak ada di rumah ini apa kamu pernah menanyakan dimana keberadaan Aisyah? Apa pernah kamu mengkhawatirkannya? Aisyah sakit aja kamu gak tau, Mas! Bahkan gak mau tau! Apa jangan-jangan kamu yang selama ini menyakiti Aisyah, Mas?" cecarku penuh emosi."Ngo-ngomong apa kamu, Rima? Jangan asal tuduh sembarangan!" jawab Mas Ilham terbata-bata. Kulihat dia sedikit salah tingkah. "Kenapa, Mas! Mas gak suka 'kan kalo di tuduh sembarangan?" tanyaku memicingkan mata."Jangan kurang ajar kamu, Rima!" "Siapa yang kurang ajar, Mas? Aku
Aku sama sekali tidak menghiraukannya, aku biarkan dia terus-menerus mengirim pesan, aku tidak akan membalasnya. Karena itu hanya sia-sia, Mas Ilham adalah orang yang sangat cemburuan, dia akan berbuat nekat jika aku melayaninya.Sesampainya di rumah sakit aku langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya Aisyah, kulihat Aisyah sedang asik bermain ponsel ditemani Mbak Lena."Assalamualaikum!" ucapku memberi salam."W*'alaikum salam," jawab Mbak Lena."Hai, Aisyah. Aisyah lagi liat apa?" tanyaku pada Aisyah lalu mencium pipi kanan dan kirinya. Aisyah tidak menjawab, namun dengan cekatan dia memperlihat kan layar ponsel yang sedang dia pegang ke arah wajahku, seolah ingin memberitahu apa yang sedang dia lihat."Oh, Aisyah, nonton doraemon, ya?"Aisyah langsung mengangguk mengiyakan."Mas Rian mana 'Mbak?" tanyaku pada Mbak Lena yang sedang menguap ditutupi oleh kedua tangannya, sepertinya Mbak lena ngantuk dan kelelahan, dia menjaga Aisyah seharian tanpa ada yang menggantikan."Mas Rian ta
Pov IlhamLelah sekali rasanya, bertempur dengan Rima untuk pertama kalinya setelah lima tahun tidak pernah berhubungan dengannya. Kulihat Rima masih terbaring lemas di atas ranjang.Aku segera bergegas keluar dari kamar menuju sofa di ruang TV, lalu ku ambil sebatang rokok yang tergeletak di atas meja. Kusandarkan pundakku di bibir sofa untuk beristirahat sambil menunggu peluh yang masih bercucuran ini surut.Rima keluar dari kamar, tubuh mulusnya dibalut selembar handuk putih, langkahnya sedikit tertatih. Sepertinya dia benar-benar kelelahan setelah melayaniku, kakinya melangkah menuju kamar mandi.Setelah kuhisap habis sebatang rokok, aku pun tertidur di atas sofa, entah berapa lama aku tertidur. Namun, saat mataku terbuka hari sudah semakin gelap, kulihat jam di ponsel pukul 19:15 suara gerimis masih terdengar nyaring di telingaku."Rima! Cepat buatkan aku kopi!" teriakku pada Rima."Rima! Rima!" berulang kali ku panggil namanya namun Rima tidak juga menampakan batang hidungnya. "
"Kurang ajar, kau Rima!" teriak Mas Ilham yang masih menutup matanya dengan tangan."Dasar istri pelacur!" hardik Mas Ilham lalu berdiri dengan mata yang masih tertutup mengayunkan tangan kanannya ke udara dan tangan kiri yang masih menutupi wajah, sepertinya dia mau menamparku. Namun sayang, tamparan itu tidak mengenaiku. Aku berhasil menghindar."Secepatnya aku akan mengurus surat perceraian, Mas! Siap-siap kamu angkat kaki dari rumahku!" ucapku lalu melangkah meninggalkan mereka. Mendengar ucapanku sepertinya Mas Ilham tidak terima. Dengan cepat dia menarik hijab ku dari belakang, sampai aku terjengkang."Sampai kapanpun, aku tidak akan keluar dari rumah itu!" teriak Mas Ilham dengan lantang sambil terus menarik hijabku.Melihatku yang masih duduk di lantai, mereka berdua mulai membalasku, Mas Ilham dan wanita simpanannya terus mengoyak-ngoyak baju dan hijabku. Tangan kananku terus menahan agar hijab yang ku pakai tidak terlepas.Bahkan wanita itu menendang bagian perut ku dengan s
Melihat keributan yang terjadi, para petugas pom bensin langsung melerai mereka. Mas Ilham segera dibawa menjauh dari Ibnu, Ibnu dengan wajah yang sudah babak belur, segera berdiri lalu menaiki mobilnya."Kamu tidak apa-apa, Nu? Bibirmu berdarah, sebaiknya kita kerumah sakit dulu" ucapku khawatir. "Gak apa-apa! Cuma sedikit ngilu saja!," jawab Ibnu. "Perutmu masih sakit?" tanya Ibnu yang melihatku masih terus memegang perut sepertinya Ibnu lebih menghkawatirkan kondisiku dibanding luka memar di wajahnya."Enggak!" Aku menggelengkan kepala dengan sedikit senyuman, walau sebenarnya perutku masih sakit, tapi aku tidak mau membuat Ibnu khawatir.Ibnu menyunggingkan bibir, tatapannya seolah tidak percaya dengan ucapanku. Dia menyalakan mesin mobilnya, lalu melaju meninggalkan pom bensin. Dari spion mobil kulihat Mas Ilham masih dipegang oleh beberapa petugas, sepertinya dia masih sangat kesal. Terdengar umpatan yang keluar dari mulutnya."Nu … maaf' ya!""Maaf untuk apa?" "Gara-gara aku,
"Ini tas siapa, Rim?" tanya Mas Rian penasaran."Aku gak tau, Mas! Tas ini aku ambil di kamarnya Aisyah, kulihat tas ini menggantung di belakang pintu kamar. Karena aku penasaran, makanya aku ambil!" jawabku menjelaskan pada Mas Rian."Sepertinya ini punya, Ilham," sambar Mbak Lena."Aku rasa juga begitu," timpal Mas Rian.Aku terus berpikir, untuk apa obat sebanyak ini di taruh di kamarnya Aisyah? Obat apa ini? Obat siapa? Puluhan butir obat yang ditemukan di dalam tas kecil usang ini membuat kami bertiga terkejut dan bingung.Ada beberapa jenis obat yang ditemukan, mulai dari butiran kecil di dalam kantong plastik klip dengan jumlah yang cukup banyak, sampai obat berbentuk tablet dan kapsul yang masih utuh.Mas Rian segera berdiri sambil membawa obat di tangan kanannya, dan tas usang di tangan kirinya. Dia berjalan menghampiri Ibnu yang tengah asyik bermain dengan Aisyah. Mas Rian ingin menanyakan perihal jenis obat ini pada Ibnu. Mengingat Ibnu adalah seorang dokter, pasti dia tau d
'Gawat! Apa yang harus aku lakukan?' Batinku cemas.Mas Ilham menarik bajuku dan berusaha melepaskan semuanya."Ja-jangan, Mas!" sahutku terbata."Kenapa jangan?" bentak Mas Ilham kepadaku."Ma-maksudku, jangan di sofa ini, Mas. Di kamar aja, tapi perutku laper banget, lebih baik kita sarapan dulu. Mas juga belum sarapan, kan?" "Ah … nanti saja sarapannya, kamu layani aku dulu," ucapnya dengan nada memaksa."Tapi, Mas, aku masakin makanan kesukaanmu, tuh kan perut Mas juga bunyi, pasti keroncongan juga kan. Mas pasti lapar," sahutku sambil mendorong tubuh Mas Ilham, aku segera berdiri dan menarik tangan Mas Ilham, mengajaknya ke meja makan.Aku membuka tudung saji dan menunjukan makanan kesukaan Mas Ilham yang sudah siap santap. "Nih, Mas, aku sengaja siapin sarapan buat kamu, aku yakin kamu pasti belum sarapan," ucapku lalu mengambil piring dan ku isi nasi lengkap dengan ayam balado, capcay dan tempe gorengnya, ku sodorkan di hadapan Mas Ilham yang sudah duduk di meja makan."Ayo,