共有

Dua

作者: Puspita
last update 最終更新日: 2023-02-18 11:59:21

"Ibu menyetujuinya?" Aku bertanya dengan sisa-sisa tenaga, terdengar lirih hampir mirip seperti bisikan.

Bergantian aku menatap ibu dan Sinta. Ada apa dengan wanita -wanita ini? Terbuat dari apa hati mereka? Hingga menganggap semua yang kualami adalah kewajaran. Aku tahu jika poligami itu sunnah. Namun, tak semudah itu untuk menjalaninya.

Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak muda itu menghela napas. "Semua terserah Haris, Nyia. Dia lelaki dan berhak memutuskan. Yang penting dia bisa berbuat adil. Udah itu aja. Sebagai istri harus manut sama suami. Toh, dia tetap menjadi suamimu kan?" ujarnya enteng, seolah itu adalah hal sepele.

"Apa ini karena aku belum hamil, Bu? Apa Ibu dan keluarga menekan Mas Haris untuk menikah lagi?" Entah mendapat keberanian dari mana aku bisa mengucapkannya.

Ibu menautkan kedua alisnya, setelah itu dia berdecak. "Sudahlah, Nyia. Ibu gak mau terlalu ikut campur. Lagian, keluarga wanita itu—"

"Namanya Rindu," sahut Sinta memotong ucapan ibu. Sinta tersenyum kikuk ketika tatapan kami bertemu.

"Rindu itu dari keluarga baik-baik. Sudah banyak lelaki yang ingin menikahinya, tapi ditolak karena ndak cocok sama anaknya. Pas ketemu sama Haris, anaknya itu langsung lengket. Anggap aja itu sebagai pertanda kalau mereka berjodoh." Lancar sekali ibu mengatakannya. Seolah mereka sudah saling mengenal.

"Sudahlah, ndak usah diperpanjang lagi. Tenangkan dirimu, tunjukkan kalau kamu itu wanita hebat. Bisa menjalani sunah yang orang lain belum tentu bisa menjalaninya," imbuhnya sebelum melangkah pergi. Aku lebih baik memilih menjadi wanita biasa daripada menjadi wanita hebat, tapi memendam lara.

Sinta menahan tubuhku yang hendak luruh, tenagaku benar-benar hilang. Perlahan Sinta memapahku ke ranjang.

"Sabar, Nyia. Sabar," hiburnya sambil mengelus punggungku setelah kami duduk bersisihan.

Tak henti-hentinya hati ini beristighfar, berharap sesak ini segera sirna. "Aku mau pulang, Sin," ucapku memecah kebisuan setelah beberapa saat dalam keheningan.

Aku segera bangkit setelah memesan ojek online.

"Biar diantar Mas Wisnu, ya," sahutnya sambil memegang lenganku.

"Gak usah." Aku pun segera berlalu setelah melepaskan tangannya yang memegang lenganku.

Sengaja memilih pintu samping agar tak melewati beberapa kerabat yang sudah datang. Sekilas ekor mataku melihat Mas Haris, dia tengah bercengkrama dengan para lelaki. Tak ada niat untuk berpamitan. Saat ini aku benar-benar marah padanya.

"Mau kemana?"

Aku berhenti melangkah setelah seseorang mencekal lenganku. Tanpa menoleh aku sudah tahu siapa yang bertanya.

"Pulang," sahutku datar.

"Nanti kita pulang sama-sama." Dari suara langkahnya, aku tahu jika Mas Haris mendekat.

"Nyia, tolonglah. Jangan seperti ini." Lelaki itu memohon sambil menggenggam kedua tanganku.

"Biarkan aku pulang. Itu lebih baik buatku!" tegasku tanpa mengalihkan tatapan padannya.

Mas Haris menghela napasnya. "Nyia—" Lelaki itu tak melanjutkan ucapannya setelah sebuah mobil memasuki halaman. Aku belum pernah melihat mobil itu, sepertinya bukan kerabat ibu mertua.

"Tunggu di sini, nanti aku antar pulang," titah Mas Haris, setelah seorang wanita turun dari mobil yang barusan datang.

"Gak usah, aku bisa pulang sendiri. Temui saja wanita itu."

Lagi-lagi Mas Haris menghela napasnya, setelah itu dia beranjak pergi. Bersamaan dengan itu, terdengar notifikasi di ponselku. Aku segera bergegas karena ojek online yang kupesan sudah sampai di depan.

**

Sampai rumah aku langsung duduk di sofa ruang tengah, tempat dimana biasanya aku dan Mas Haris berbagi cerita. Memindai setiap sudut ruangan yang biasanya selalu hangat jika kami bersama.

Pandanganku terpaku pada foto pernikahan yang menempel di dinding. Tanpa sadar bibir ini tersenyum walaupun hanya sekejap. Air mata tumpah tanpa bisa kucegah, membayangkan rumah tangga yang kujalani akan berakhir dengan sia-sia.

Perlahan aku berbaring. Saat ini, tak hanya raga, pikiran pun terasa lela. Baru saja kepala ini menempel di bantal sofa, ponselku berdering. Tak ada niat untuk meraih benda pintar tersebut, enggan rasanya untuk sekedar melihat siapa yang menghubungi.

Sampai larut malam aku masih meringkuk di sofa. Memikirkan apa yang akan kulakukan seandainya terjadi perpisahan, dan jika memilih bertahan, apa aku bisa melewatinya? Mengapa sesakit ini, Tuhan?

Entah kapan diri ini terlelap, tiba-tiba terjaga saat merasa kedinginan. Ada yang nyeri di hati setelah menyadari jika aku masih di tempat semula. Apa Mas Haris tidak pulang?

Dengan malas aku bangun, setelah duduk sejenak untuk mengumpulkan sisa-sisa kesadaran aku pun beranjak ke kamar. Belum terjadi pernikahan keduanya saja, aku sudah merasakan sakit yang luar biasa, lalu apa yang akan terjadi jika pernikahan itu terlaksana?

Bibirku tersenyum piluh, setelah mendapati kenyataan jika Mas Haris tak pulang.

**

Sudah seminggu setelah kejadian itu, Sinta setiap hari datang ke rumah, mengajakku berbincang lebih tepatnya dia bertausia. Membicarakan dan menceritakan beberapa kenalannya yang sukses menjalani hidup berpoligami.

Sementara itu hubunganku dengan Mas Haris semakin buruk. Aku masih dalam keteguhan pilihan yang kuberikan padanya. Memilih aku apa wanita itu. Sementara dia bersikeras tak ingin melepasku. Sejak saat itu tak ada lagi kehangatan dalam rumah ini. Aku dan Mas Haris sama-sama menjaga ego. Bicara pun seperlunya saja.

"Hari ini kamu masak apa, Nyia?" tanya Sinta yang sudah ada di dapurku. Jarak rumahku dengannya memang tidak terlalu jauh, hanya terpisah tiga rumah.

"Oseng kangkung," sahutku tanpa menoleh.

"Nyia—"

"Sin, setelah ini aku akan pergi, jadi kalau ndak ada keperluan, lebih baik kamu pulang."

"Mau ke mana?" tanyanya. Membuatku menoleh.

"Ada lah ...," sahutku sekedarnya. Sejak dia mendukung Mas Haris, aku jadi malas berkeluh kesah dengannya. Jelas-jelas kami berseberangan pemahaman, jadi lebih baik menghindarinya.

"Sendirian?" tanya Sinta masih dengan perhatiannya. Layaknya seorang sahabat yang tak tega melihat sahabatnya terluka.

"Ndak, sama teman."

"Kutemani ya? Aku ndak tega kamu pergi sendirian." Sinta meraih tanganku yang tengah mengelap kompor. "Aku tahu saat ini kamu butuh teman untuk bercerita. Aku khawatir kamu bercerita dengan orang yang salah, bukannya memberi solusi, tapi makin memperkeruh masalahmu."

"Aku baik-baik saja, Sin. Kamu tenang saja."

"Tapi, Nyia—"

"Terima kasih untuk perhatianmu, Sin. Kamu benar, aku harus bercerita pada orang yang tepat. Dan aku percaya sama temanku yang satu ini."

"Baiklah, aku pulang dulu." Sepertinya dia mulai menyadari sikapku yang mulai menghindarinya.

Setelah kepergian Sinta, aku mulai bersiap untuk pergi. Ada beberapa hal yang harus diselesaikan sebelum semua benar-benar usai.

Seseorang sudah duduk di sebuah kursi ketika aku baru saja masuk ke sebuah kafe. Aku menarik napas panjang sebelum kembali melangkah untuk menemuinya.

"Maaf, aku datang terlambat," ucapku membuatnya menoleh. Orang itu tersenyum lalu menerima uluran tanganku.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード
コメント (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Sinta sahabat kok tega begitu
すべてのコメントを表示

最新チャプター

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   tujuh puluh

    "Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh sembilan

    "Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh delapan -Pov Sinta

    "Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh tujuh - Pov Sinta

    Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh enam

    "Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh lima

    "Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status