Share

PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT
PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT
Penulis: Puspita

Bab Satu

"Breng sek kamu, Tania!" teriak Sinta, setelah wanita itu mengetahui sebuah kebenaran. Aku tak menyangka reaksinya akan seperti itu.

"Tenang, Sin!" Mas Wisnu berusaha menenangkannya. Lelaki berbadan tegap itu mencekal tangan Sinta yang sangat ingin menghajarku.

"Lepaskan aku, Mas! Aku harus memberi pelajaran pada wanita perebut suami orang ini!" teriaknya kesetanan. Napasnya tersengal seolah-olah habis berlarian.

"Tenang, Sinta! Tenang!" Mas Wisnu membentaknya, setelah itu menahan tubuh Sinta dengan memeluknya itu. Sementara wanita yang selalu mengatakan jika dimadu adalah jalan untuk meraih surga itu sudah sangat berantakan. Ini benar-benar lucu, kemana wanita yang dulu sangat mendukung suami sahabatnya untuk menikah lagi?

"Kamu memang breng sek, Nyia! La cur! Pe la kor! Lepaskan aku, Mas!" Sinta masih meraung dan berusaha berontak untuk menggapai aku. Sorot matanya tajam seolah hendak memangsa diriku hidup-hidup.

"Sesakit itu kah, Sin? Itulah yang kurasakan dulu!" sahutku. Nyatanya, sikapnya semakin parah, jika dibandingkan denganku dulu.

"Nyia, lebih baik kamu pulang. Aku akan memenangkan Sinta," titah Mas Wisnu dengan suara lembut. Lelaki berwajah teduh itu menatap penuh permohonan agar aku mengikuti perintahnya.

"Baiklah, Mas. Jangan lama-lama di sini ya," sahutku sambil melangkah keluar dari rumahnya.

Sementara jeritan Sinta terdengar semakin tak terkendali, mencaci-maki dan menghujat diriku yang telah berbaik hati memberikan jalan surga untuknya. Ah, Sinta, aku hanya berusaha menjadi sahabat yang baik, memberi apa yang selama ini kamu gembar-gemborkan.

______

Kembali ke lima tahun yang lalu ....

"Nyia, aku ada teman. Dia janda satu anak yang masih balita. Suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan." Cerita Sinta ketika kami bantu-bantu di rumah ibu mertua karena akan diadakan arisan keluarga.

"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Siapa, Sin? Kok aku gak denger," sahutku. Gerakan tanganku berhenti kemudian beralih menatapnya.

"Kamu ndak kenal, Nyia. Dia teman satu majelis taklim dari Bandung," sahutnya tanpa menoleh padaku, tangannya masih bergerak memindai kue dari box ke piring.

"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Setelah itu kembali melanjutkan aktivitas.

"Mas Haris yang tahu. Emang dia ndak pernah cerita?" ucapnya lagi. Gerakanku kembali terjedah, dahiku mengernyit mendengar ucapan Sinta. Kali ini kami beradu tatap, sorot matanya seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Ndak ada? Emangnya kejadiannya kapan sih, Sin?" tanyaku mulai penasaran.

"Udah lama sih, Nyia. Udah tiga tahunan gitu. Pas suaminya meninggal, temanku itu lagi hamil." Sinta melanjutkan ceritanya.

"Ya Allah, kasihan sekali anaknya. Sudah menjadi yatim sebelum dilahirkan," gumamku. Akhir-akhir ini aku memang suka sensitif jika membahas tentang buah hati.

"Kamu mau membantunya, ndak?" Sinta kembali berucap. Sekilas dia menoleh padaku yang memperhatikannya. Sepertinya memang ada yang hendak disampaikannya

"Bantu gimana maksudnya?" Aku semakin tak mengerti kemana arah pembicaraannya.

"Dia mau kok dijadiin istri kedua, dan sepertinya Mas Haris juga mau," balasnya dengan senyum kecil.

Aku tertawa mendengar ucapan Sinta. Sungguh, kali ini gurauannya sama sekali tak lucu. "Kenapa ndak Mas Wisnu aja, Sin?" Aku berusaha menimpali candanya.

"Udah keduluan sama Mas Haris. Suamimu itu memang selalu terdepan kalau masalah bantu membantu," ucapnya ringan tanpa beban.

"Maksudnya?" Aku semakin tak paham.

"Iya, Mas Haris yang lebih dulu tahu dan dia ingin membantu wanita itu. Menikahinya," balas Sinta dengan nada rendah. Namun, bagiku itu bagai petir tanpa mendung.

Sontak aku menghentikan gerakan, menatap intens pada sahabat sekaligus sepupu suamiku itu. Sepersekian detik kemudian aku bangkit lalu beranjak untuk mencari Mas Haris.

**

"Jadi Sinta sudah bilang? Anak itu memang tak sabaran," sahut Mas Haris sambil menggeleng, ketika aku menanyakan kebenaran tentang ucapan Sinta. Membuatku semakin melongo mendengarnya. Aku berharap dia akan menyangkal. Namun, jawabannya sungguh diluar dugaan.

"Maksudnya gimana sih, Mas? Jadi benar kamu mau menikah lagi?" Seperti orang bodoh, aku masih menanyakan hal yang sama.

"Iya, Nyia. Rencananya nanti sebelum acara arisan dimulai, aku akan memperkenalkannya," sahut lelaki yang sudah menikahiku itu tanpa beban.

"Kamu ... kamu serius, Mas?!" Aku mulai histeris. Bahkan sudah memukul lengannya. Salah satu bagian tubuhnya yang paling kusukai, karena lengan itulah yang menjadi bantal ketika aku tidur.

"Tenang, Nyia, tenang." Mas Haris mencoba memelukku. Sontak aku menepis tangannya yang terulur. Aku sakit, bahkan sebelum itu terjadi aku sudah merasa hancur.

"Aku akan bersikap adil, Nyia," sahutnya dengan suara tenang. Setelah sepersekian detik dalam kebisuan.

"Aku ndak bisa, Mas! Aku ndak mau berbagi cinta dengan wanita lain. Sekarang pilih aku atau dia?" tantangku. Mas Haris menatapku tajam, tiga tahun berumah tangga baru kali ini dia menatapku seperti itu.

"Masalah ini gak usah dibahas lagi. Mau gak mau, suka gak suka, keputusan sudah diambil jadi kamu harus menerimanya." Jika lelaki itu sudah mengatakan itu, artinya aku harus menurut.

"Pilih aku atau dia, Mas! Karena aku ndak akan bisa menjalaninya!" Sengaja aku menantangnya. Untuk hal ini aku takkan diam saja.

"Belajarlah untuk menerima, Nyia, walaupun itu hal yang tidak kamu sukai!" tegasnya. Setelah itu dia berlalu meninggalkanku sendirian di kamarnya sewaktu masih lajang.

Sinta mendatanginku yang masih berdiri termangu di tempat semula. Perlahan dia membawaku duduk di ranjang. Mungkin dia diminta oleh Mas Haris untuk membujuk dan menghiburku. Wanita bertubuh mungil itu mengatakan banyak hal tentang kebaikan dan kemuliaan yang akan kuraih jika menerima pernikahan kedua Mas Haris.

"Jaminannya Surga, Nyia. Apa—"

"Jangan bicara tentang Surga, Sin. Masih banyak jalan lainnya untuk menggapainya," sahutku memotong ucapannya. Sementara pipiku sudah basah oleh air mata.

"Iya, banyak, Nyia, tapi—"

"Lalu kenapa harus memilih jalan itu, Sin?!" Emosiku benar-benar meluap. Baru kali ini aku berkata cukup keras padannya.

"Astaghfirullah. Sabar, Nyia," ucapnya terkejut, sambil mencoba meraihku dalam dekapannya. "Bahkan Mas Haris bisa menikah tanpa izinmu. Kamu beruntung mendapatkan lelaki baik seperti dia. Jadi bersabarlah, anggap saja ini sebagai pelajaran hidup," imbuhnya dengan suara lembut seperti biasanya, membuatku semakin muak dengan semua penuturannya. Mudah sekali Sinta mengucapkannya, apa dia juga sanggup bila suaminya menikah lagi?

"Ada apa ini?" tanya Ibu mertua yang baru saja masuk ke dalam kamar.

Sinta mengurai pelukannya, kemudian bangkit dan beranjak menghampiri ibunya Mas Haris. Aku pun melakukan hal yang sama.

"Tania belum bisa menerima—"

"Apa Ibu tahu kalau Mas Haris hendak menikah lagi?" tanyaku pada wanita yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri itu.

"Iya, bukannya kamu juga sudah tahu? Bahkan nanti keluarga wanita itu akan datang ke sini," balas ibu dengan tatapan heran.

Jawaban ibu mertua bagai peluru yang menembus jantungku. Membuatku sekarat dan perlahan ma ti.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
goodnovel comment avatar
Christie
sorry gw males bacanya kalo soal poligami dan ceritanya tdk sesuai dgn ajaran agama gw. bye....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status