Share

enam

Author: Puspita
last update Last Updated: 2023-03-14 18:10:29

Sambil menunggu balasan pesan dari Mas Wisnu, aku membuka lemari untuk mengambil berkas-berkas penting yang kupunya. Aku harus memikirkan cara bagaimana mengungkap dan memberi pelajaran yang setimpal pada Mas Haris. Sertifikat rumah ini disimpan bapak, bagaimana bisa Mas Haris mendapatkannya. Benar-benar tidak beres.

Kegiatanku terhenti ketika notifikasi di ponsel berbunyi. [Selamat menikmati menjadi gembel, Nyia. Makanya jadi wanita jangan sok! Sekarang rasakan akibatnya] Bunyi sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Kutatap barisan huruf itu kubaca berulang kali. Dari gaya menulisnya, sepertinya aku tahu siapa pengirimnya. Namun, aku memilih abai. Sekali lagi kuteguhkan hati, tak perlu meladeni manusia toxic seperti itu.

Notif baru muncul, pesan dari Mas Wisnu masuk. Aku segera menggeser layar ponsel dan membaca pesannya. [Aku sudah sampai, langsung masuk apa nunggu di luar?]

Gegas kuketik balasan [Tunggu di luar saja, Mas] terkirim dan langsung terbaca. Sedetik kemudian emot jempol masuk. 

Ponsel kembali kuletakan di meja, kemudian bergegas memasukkan beberapa berkas ke tas. 

"Maaf, Mas Rendra, Mbak Anggun. Kalau bisa aku minta waktu sehari lagi. Barang-barang pribadiku belum semua kukemas," ucapku pada lelaki muda tersebut setelah keluar dari kamar.

"Bisa, Bu Tania. Kami juga harus berkemas di rumah lama," sahut lelaki muda tersebut sambil tersenyum.

"Terima kasih untuk pengertiannya, Mas Rendra, Mbak Anggun. Sekarang apa kita bisa keluar? Aku harus pergi."

"Bu, rumah ini sudah sah menjadi milik Mas Rendra. Kalau Ibu mau pergi ya silakan!" Lelaki pemilik kumis tebal itu menyela. Sepertinya dia punya dendam padaku. Heran, sedari tadi bicaranya selalu nyolot.

"Tidak bisa begitu, Pak. Di sini masih banyak barang pribadi dan berharga, jadi aku ndak mau ambil resiko. Satu lagi, Bapak yakin yang difoto itu aku? Karena aku ndak merasa berada di sana. Hati-hati loh, Pak." Setelah mendengar ucapanku, semua orang yang ada di tempat ini saling lempar pandang, setelah itu terdiam. Lalu satu persatu mulai keluar, begitu juga denganku.

Mas Wisnu sudah menunggu di teras. Suami Sinta itu bangkit dari duduknya setelah melihatku keluar. Kami memang sudah terbiasa bersama, karena Sinta sering meminta suaminya untuk menemaniku jika aku butuh teman.

"Ada apa, Nyia?" tanyanya sambil menatapku kemudian beralih pada orang-orang yang baru saja keluar pagar.

"Kita ngobrolnya jangan di sini," ucapku sambil beranjak. Mas Wisnu pun mengikutiku, hingga langkah kami sejajar.

"Pakai mobilmu saja, Mas. Aku malas naik mobil yang sering dipakai Mas Haris."

Suami Sinta itu tak menyahut, dia langsung membuka kunci mobilnya. Mas Wisnu pernah bercerita, jika Sinta itu tak pernah peduli dengannya. Katanya lagi Sinta lebih hapal semuanya tentang Mas Haris ketimbang dirinya. Waktu itu aku hanya menanggapinya dengan tawa dan mengatakan kalau Mas Haris dan Sinta memang sudah dekat sejak kecil. Wajar kalau Sinta tahu segalanya.

"Mau ke mana kita?" tanya Mas Wisnu membuyarkan lamunanku.

"Terserah, Mas. Ada banyak yang ingin kubicarakan, setelah itu tolong antar aku ke rumah Bapak."

"Kalau gitu ke rumah makan lesehan aja ya, dari sana kan lumayan dekat ke rumah Bapak."

"Hem." Hanya itu yang keluar dari bibirku.

Saat ini kami sudah berada di warung lesehan sambil menunggu pesanan datang aku memulai pembicaraan.

"Rumahku sudah dijual Mas Haris, dan wanita difoto itu bukan aku," balasku sambil menunjukkan foto yang tadi dikirim oleh lelaki berjas tadi.

"Susah di deteksi ini, Nyia. Lihatlah dia mirip sekali denganmu," ujarnya setelah mengamati.

"Iya, tapi itu bukan aku."

"Kalau mau membawa ini ke rana hukum, buktinya belum kuat, Nyia. Bagaimana dengan sertifikatnya?"

"Asli, tadi mereka menunjukkan padaku. Padahal sertifikat itu disimpan Bapak."

"Kamu belum cerita ke Bapak tentang masalahmu ini?"

Aku menggeleng. "Delapan hari yang lalu aku baru tahu kalau Mas Haris ingin menikah lagi, baru kemarin dia menalakku, dan sekarang aku baru tahu kalau rumahku dijual! Ini sangat luar biasa kan?"

Mas Wisnu terkekeh. "Dan kamu masih bisa tertawa. Kamu memang hebat, Nyia."

"Itu karena air mataku sudah habis, dan aku baru sadar jika tak ada untungnya menangisinya."

"Keren, keren ...."

"Aku mau minta tolong, bagaimanapun caranya, aku ingin Mas Haris mempertangungjawabkan perbuatannya."

"Nanti lah, aku konsultasi sama temanku yang pengacara. Setelah ini lebih baik kamu cerita sama Bapak. Tak baik menyembunyikan masalah dari orang tua."

"Iya. Nanti anterin, ya."

Lagi-lagi lelaki itu terkekeh mendengar ucapanku. "Mas, kamu juga hebat, bisa bertahan dengan Sinta," ucapku tiba-tiba.

Kami memang dekat, tapi baru kali ini aku keceplosan, membahas tentang rumah tangga.

"Mau bagaimana lagi, Nyia. Memang udah bagian hidupku. Biar begitu, Sinta itu sayang sama aku, Nyia. Dia bahkan sering menyuruhku nikah lagi." Tawanya pecah setelah mengucapkannya.

"Kamu serius?" Mataku membola mendengar ucapannya.

 

Mas Wisnu mengangguk. Sekilas tercipta senyum getir di bibirnya yang kecoklatan, khas lelaki penyuka rokok.

"Ya udah, nikah lagi aja," kelakarku. Menurutku ini benar-benar lucu, jadi benar Sinta ingin mempunyai madu?

"Kayak gak tahu Sinta saja, dia yang melempar batu, dia juga yang merasa tersakiti. Sinta itu sebenarnya sakit, Nyia. Dia terlalu terobsesi pada Haris," lirihnya. 

Kali ini aku tak seterkejut tadi, sebenarnya sudah lama aku merasa jika Sinta menyukai Mas Haris. Namun, aku berpikir itu hanya sebatas saudara sepupu. 

"Lalu mengapa dia menginginkan Mas Haris menikah lagi?"

"Dia tak ingin melihat wanita lain bahagia dengan Haris."

"Dan kamu masih bisa bertahan dengannya setelah mengetahui semuanya? Ruar biasa!"

"Aku punya hutang budi padanya, Nyia." Mas Wisnu menghela napas di akhir kalimatnya. 

Kini aku tahu mengapa Mas Wisnu mampu bertahan. Ternyata dia telah terikat dengan yang namanya balas budi. Setelah itu suasana menjadi hening, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. 

"Mas, aku ada ide—" Belum selesai aku bicara seorang karyawan datang membawa pesanan kami. Ah, apa mungkin Allah tak mengizinkan rencanaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tista Yudhariani
sama aja ternyata
goodnovel comment avatar
Maura Kayan
ternyata penghianat
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ternyata Sinta menyukai Haris
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   tujuh puluh

    "Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh sembilan

    "Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh delapan -Pov Sinta

    "Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh tujuh - Pov Sinta

    Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh enam

    "Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh lima

    "Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status