Sambil menunggu balasan pesan dari Mas Wisnu, aku membuka lemari untuk mengambil berkas-berkas penting yang kupunya. Aku harus memikirkan cara bagaimana mengungkap dan memberi pelajaran yang setimpal pada Mas Haris. Sertifikat rumah ini disimpan bapak, bagaimana bisa Mas Haris mendapatkannya. Benar-benar tidak beres.
Kegiatanku terhenti ketika notifikasi di ponsel berbunyi. [Selamat menikmati menjadi gembel, Nyia. Makanya jadi wanita jangan sok! Sekarang rasakan akibatnya] Bunyi sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Kutatap barisan huruf itu kubaca berulang kali. Dari gaya menulisnya, sepertinya aku tahu siapa pengirimnya. Namun, aku memilih abai. Sekali lagi kuteguhkan hati, tak perlu meladeni manusia toxic seperti itu.Notif baru muncul, pesan dari Mas Wisnu masuk. Aku segera menggeser layar ponsel dan membaca pesannya. [Aku sudah sampai, langsung masuk apa nunggu di luar?]Gegas kuketik balasan [Tunggu di luar saja, Mas] terkirim dan langsung terbaca. Sedetik kemudian emot jempol masuk. Ponsel kembali kuletakan di meja, kemudian bergegas memasukkan beberapa berkas ke tas. "Maaf, Mas Rendra, Mbak Anggun. Kalau bisa aku minta waktu sehari lagi. Barang-barang pribadiku belum semua kukemas," ucapku pada lelaki muda tersebut setelah keluar dari kamar."Bisa, Bu Tania. Kami juga harus berkemas di rumah lama," sahut lelaki muda tersebut sambil tersenyum."Terima kasih untuk pengertiannya, Mas Rendra, Mbak Anggun. Sekarang apa kita bisa keluar? Aku harus pergi.""Bu, rumah ini sudah sah menjadi milik Mas Rendra. Kalau Ibu mau pergi ya silakan!" Lelaki pemilik kumis tebal itu menyela. Sepertinya dia punya dendam padaku. Heran, sedari tadi bicaranya selalu nyolot."Tidak bisa begitu, Pak. Di sini masih banyak barang pribadi dan berharga, jadi aku ndak mau ambil resiko. Satu lagi, Bapak yakin yang difoto itu aku? Karena aku ndak merasa berada di sana. Hati-hati loh, Pak." Setelah mendengar ucapanku, semua orang yang ada di tempat ini saling lempar pandang, setelah itu terdiam. Lalu satu persatu mulai keluar, begitu juga denganku.Mas Wisnu sudah menunggu di teras. Suami Sinta itu bangkit dari duduknya setelah melihatku keluar. Kami memang sudah terbiasa bersama, karena Sinta sering meminta suaminya untuk menemaniku jika aku butuh teman."Ada apa, Nyia?" tanyanya sambil menatapku kemudian beralih pada orang-orang yang baru saja keluar pagar."Kita ngobrolnya jangan di sini," ucapku sambil beranjak. Mas Wisnu pun mengikutiku, hingga langkah kami sejajar."Pakai mobilmu saja, Mas. Aku malas naik mobil yang sering dipakai Mas Haris."Suami Sinta itu tak menyahut, dia langsung membuka kunci mobilnya. Mas Wisnu pernah bercerita, jika Sinta itu tak pernah peduli dengannya. Katanya lagi Sinta lebih hapal semuanya tentang Mas Haris ketimbang dirinya. Waktu itu aku hanya menanggapinya dengan tawa dan mengatakan kalau Mas Haris dan Sinta memang sudah dekat sejak kecil. Wajar kalau Sinta tahu segalanya."Mau ke mana kita?" tanya Mas Wisnu membuyarkan lamunanku."Terserah, Mas. Ada banyak yang ingin kubicarakan, setelah itu tolong antar aku ke rumah Bapak.""Kalau gitu ke rumah makan lesehan aja ya, dari sana kan lumayan dekat ke rumah Bapak.""Hem." Hanya itu yang keluar dari bibirku.Saat ini kami sudah berada di warung lesehan sambil menunggu pesanan datang aku memulai pembicaraan."Rumahku sudah dijual Mas Haris, dan wanita difoto itu bukan aku," balasku sambil menunjukkan foto yang tadi dikirim oleh lelaki berjas tadi."Susah di deteksi ini, Nyia. Lihatlah dia mirip sekali denganmu," ujarnya setelah mengamati."Iya, tapi itu bukan aku.""Kalau mau membawa ini ke rana hukum, buktinya belum kuat, Nyia. Bagaimana dengan sertifikatnya?""Asli, tadi mereka menunjukkan padaku. Padahal sertifikat itu disimpan Bapak.""Kamu belum cerita ke Bapak tentang masalahmu ini?"Aku menggeleng. "Delapan hari yang lalu aku baru tahu kalau Mas Haris ingin menikah lagi, baru kemarin dia menalakku, dan sekarang aku baru tahu kalau rumahku dijual! Ini sangat luar biasa kan?"Mas Wisnu terkekeh. "Dan kamu masih bisa tertawa. Kamu memang hebat, Nyia.""Itu karena air mataku sudah habis, dan aku baru sadar jika tak ada untungnya menangisinya.""Keren, keren ....""Aku mau minta tolong, bagaimanapun caranya, aku ingin Mas Haris mempertangungjawabkan perbuatannya.""Nanti lah, aku konsultasi sama temanku yang pengacara. Setelah ini lebih baik kamu cerita sama Bapak. Tak baik menyembunyikan masalah dari orang tua.""Iya. Nanti anterin, ya."Lagi-lagi lelaki itu terkekeh mendengar ucapanku. "Mas, kamu juga hebat, bisa bertahan dengan Sinta," ucapku tiba-tiba.Kami memang dekat, tapi baru kali ini aku keceplosan, membahas tentang rumah tangga."Mau bagaimana lagi, Nyia. Memang udah bagian hidupku. Biar begitu, Sinta itu sayang sama aku, Nyia. Dia bahkan sering menyuruhku nikah lagi." Tawanya pecah setelah mengucapkannya."Kamu serius?" Mataku membola mendengar ucapannya. Mas Wisnu mengangguk. Sekilas tercipta senyum getir di bibirnya yang kecoklatan, khas lelaki penyuka rokok."Ya udah, nikah lagi aja," kelakarku. Menurutku ini benar-benar lucu, jadi benar Sinta ingin mempunyai madu?"Kayak gak tahu Sinta saja, dia yang melempar batu, dia juga yang merasa tersakiti. Sinta itu sebenarnya sakit, Nyia. Dia terlalu terobsesi pada Haris," lirihnya. Kali ini aku tak seterkejut tadi, sebenarnya sudah lama aku merasa jika Sinta menyukai Mas Haris. Namun, aku berpikir itu hanya sebatas saudara sepupu. "Lalu mengapa dia menginginkan Mas Haris menikah lagi?""Dia tak ingin melihat wanita lain bahagia dengan Haris.""Dan kamu masih bisa bertahan dengannya setelah mengetahui semuanya? Ruar biasa!""Aku punya hutang budi padanya, Nyia." Mas Wisnu menghela napas di akhir kalimatnya. Kini aku tahu mengapa Mas Wisnu mampu bertahan. Ternyata dia telah terikat dengan yang namanya balas budi. Setelah itu suasana menjadi hening, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. "Mas, aku ada ide—" Belum selesai aku bicara seorang karyawan datang membawa pesanan kami. Ah, apa mungkin Allah tak mengizinkan rencanaku.Aku mengurungkan apa yang hendak kukatakan pada Mas Wisnu. Lelaki itu pun sepertinya tidak begitu merespon ucapanku tadi.Selesai makan, kami langsung meluncur ke rumah bapak. Saat ini pikiran ini sibuk merangkai kata yang akan kusampaikan pada bapak nanti. Hingga tak sadar sudah sampai di halaman rumah bapak."Kok nggak sama Haris?" tanya bapak setelah aku menyalaminya. "Mas Haris sibuk, Pak," sahutku asal. Mungkin saja kan dia sedang sibuk. Sibuk dengan calon istrinya.Setelah itu bapak mengajak Mas Wisnu masuk. Lelaki berwajah manis itu pun menurut. Belum juga air yang kumasak mendidih, bapak memanggil. "Nyia, Nak Wisnu mau balik!" Aku pun segera ke depan. "Nunggu kopinya jadi, Mas. Airnya udah hampir mendidih.""Ntar kesorean, Nyia. Keburu anak-anak tutup," sahut lelaki berambut ikal itu.Mas Wisnu punya sebuah bengkel, itulah pekerjaannya. Aku senang saja melihat orang yang punya usaha sendiri, walaupun kecil
[Suami yang mau menikah lagi, sepupu yang dimusuhi. Hadeh] chat Nina di grup warga. [Sabar Mbak Sinta. Orang baik pasti bertemu dengan orang baik][Eh, keluarkan saja si Tania. Dia juga sudah bukan warga sini. Bikin gaduh aja]Setelah itu beberapa tag memanggil namaku bertebaran di grup tersebut. Bahkan ada yang japri. Mereka rata-rata menanyakan kebenaran berita tersebut. Namun, ada juga yang menghujat. Mereka yang menghujat adalah para bestienya Sinta. Sifatnya ya setali tiga uang dengannya.Bapak kembali dari musolah tak sendiri. Dia datang bersama dengan seorang lelaki muda."Nyia, bikinin kopi," titah bapak setelah aku menjawab salamnya. Kopi adalah hal yang wajib disuguhkan pada setiap tamu yang datang ke rumah."Nyia, ini Nak Eko. Dia ini bekerja di polres. Tadi bapak sudah menceritakan semuanya padanya. Kata Nak Eko, kasusnya bisa dilaporkan sebagai penipuan.""Pak, yang di foto itu memang benar aku, tadi Mas Ha
Tepat pukul delapan pagi aku sampai di rumah yang tiba-tiba sudah bukan milikku. Bersamaan dengan sebuah mobil yang sepertinya juga hendak ke rumah ini."Maaf, Bu Tania. Kuncinya sudah kami ganti," ucap Rendra setelah dia turun dari mobil. Di belakangnya Ajeng nampak sungkan. Padahal aku belum sempat membuka kuncinya."Gak pa-pa, itu hak kalian," sahutku sambil sedikit menepi, memberi mereka tempat untuk membuka gembok. Kami masuk beriringan setelah pintu pagar terbuka. Tak ada obrolan, karena aku malas untuk sekedar basa-basi.Tujuanku langsung ke kamar, semua masih sama seperti kemarin. Aku pun mulai membuka lemari dan mengeluarkan semua pakaian. Aku takkan membawanya pulang, rencananya aku akan langsung membawa baju-baju ini ke panti. Semuanya ada empat koper.Setelah itu aku melangkah ke dapur. Di ruangan favoritku itu ada Rendra dan Ajeng, mereka seperti sedang mendiskusikan sesuatu. "Aku akan mengambil beberapa alat masak kesayangan," ujarku
Pov Wisnu"Kamu apa-apaan, Sin?! Bikin malu saja! Kamu sendiri yang tadi menyuruhku membantu Tania karena dia mau pindah. Kamu juga yang bikin heboh! Sampai kapan kamu mengusik kehidupan Tania, Sinta?!" Semakin hari, sikap Sinta membuatku senewen. Hampir semua ucapannya jauh dari kenyataan. "Kamu kenapa sih, Mas? Marah-marah gak jelas! Tugasmu itu hanya menuruti permintaanku, udah itu saja! Ndak usah protes! Ingat siapa yang membantumu hingga bisa seperti sekarang!" Selalu itu saja yang dijadikannya senjata untuk melemahkanku. Namun, kali ini Sinta benar-benar keterlaluan. Bodohnya aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolak setiap keinginannya. Ibu, ibu adalah alasan Sinta untuk lebih mengikatku. Wanita yang telah melahirkanku itu sangat mencintai Sinta, karena Sinta memperlakukannya dengan baik dan loyal. Walaupun kutahu semua itu hanya sandiwara. "Berhenti melakukan hal yang gak baik, Sin. Kita jalani hidup ini dengan sewajarnya. Jangan lagi
Kabar begitu cepat tersebar. Kedua mertuaku begitu murka melihat anaknya seolah tak berdaya. Sumpah serapah keluar dari mulut ibu mertua. Namun, Sinta kembali beraksi. Dia dengan air mata yang menganak sungai di pipi, mati-matian membelaku. Mengatakan bahwa semua ini salah Tania.Mas Haris dan calon istrinya juga datang, lelaki yang kuanggap seperti saudara itu menghadiahiku sebuah bogem mentah, tepat di wajah. Membuat cairan hangat dan kental keluar dari hidungku yang sepertinya patah."Bang sat! Tega kamu menyakiti Sinta!" murkanya. Kembali sebuah bogem dia lepaskan. Semua menjerit, Sinta dengan tubuh yang seolah rapuh menahannya, kemudian memelukku yang kepayahan.Ekor mataku menatap ibu yang tengah meringkuk di sudut ruangan. Wanita itu merasa bersalah atas apa yang sudah kulakukan."Mas Wisnu tidak bersalah, Mas. Ini memang salahku, terlalu percaya dengan Tania. Aku memang sering meminta Mas Wisnu saat Tania butuh teman dan aku tak bisa. Tak
Aku tetap berangkat ke bengkel, setelah mengobati hidung dan memastikan ibu baik-baik saja. Walaupun, wanita yang sangat kuhormati itu mendiamkanku. Tak masalah, asal dia masih bisa tersenyum bersama Sinta.Sampai di bengkel, sudah ada beberapa pelanggan yang antri. Mereka menatapku heran, tetapi tetap saja menyapa ketika aku lewat. Bahrul, salah satu pegawaiku menghampiri dan menyerahkan nota pembayaran untuk kutotal. Sesekali dia melirik kearahku. Di bengkel aku hanya mengawasi dan mentotal biaya yang harus dibayar pelanggan, sambil sesekali melayani pembeli yang mencari onderdil sepeda motor.Bengkel sudah tutup, tapi aku enggan untuk melangkah pulang. Iseng aku membuka aplikasi biru. Akun yang pertama kali terlihat adalah akun Sinta, itu karena dia sering mentag akunku.'Alhamdulillah, satu masalah teratasi. Hempaskan sahabat toxic, apalagi yang terang-terangan hendak merebut suami kita'Postingannya mendapatkan ratusan lika dan komentar. Rata
Pov Wisnu[Besok di warung lesehan tempo hari] terkirim dan langsung terbaca. Tania sedang mengetik.[Jam berapa, Mas?] Balasan masuk dari Tania.Aku menimbang-nimbang sebentar. [Sehabis Dzuhur, bisa?][Ok, makasih ya, Mas] balasnya cepat.[Sama-sama, Nyia] Ada yang lega di dalam hati, setelah berbalas pesan dengan Tania. Mungkin, kekhawatiran tentangnya telah hilang.Aku enggan menebak apa yang akan dibicarakan Tania, sepertinya cukup serius hingga dia menghubungiku lebih dulu. Aku langsung menghapus pesan darinya, khawatir akan dibaca Sinta dan akan dijadikan sebagai senjata untuk semakin menyudutkanku. Apa ini sebuah kesalahan, Tuhan? Semua tergantung niat, sahutku dalam hati.Malam ini terasa sangat panjang. Apakah diluar sana, ada seseorang yang mengalami masalah hidup seperti yang kualami ini. Terjebak dalam sebuah pernikahan yang penuh dengan sandiwara, dan sangat sulit untuk melepaskan diri.Aku baru mas
"Bagaimana keadaan Sinta?" tanyanya setelah pelayanan tadi pergi.Aku menggeleng sambil berdecak. "Mungkin ini kurang baik, membicarakan istri dengan wanita lain." Aku terkekeh. "Tapi, berhubun ada hubungannya denganmu, sebaiknya kita dibicarakan." Tania menatapku intens. Ah, mengapa sekarang Tania terlihat berbeda."Aku minta maaf atas tindakannya kemarin," imbuhku setelah sepersekian detik pikiranku melalang buana."Aku sakit hati, Mas. Walaupun sudah berusaha memaafkan. Sinta sudah keterlaluan dan aku ndak bisa seperti bapak.""Aku tahu, dan dia sama sekali tidak merasa bersalah." Aku menghela napas panjang jika mengingat perbuatan Sinta kemarin."Nyia, apa ini salahku yang tak bisa tegas sama dia?" Entah keberanian dari mana, aku bisa curhat sama Tania. Apa karena rasa nyaman ini?"Aku gak tahu, Mas. Yang kutahu, memang ada karakter orang seperti itu. Syukur-syukur Mas Wisnu bisa membuatnya berubah me