Share

Lima

"Mas, bisa jelasin semuanya?" Rindu menodong penjelasan pada calon suaminya.

"Dek Rindu, ini tidak seperti yang dikatakan Tania. Aku sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kamu dan Aurel." Mas Haris berucap sambil memegang kedua pundak Rindu.

Aku hampir kelepasan tawa ketika mendengar panggilan mesranya.

"Kamu memang yang terbaik, Mas. Aku semakin mantap untuk menikah denganmu," sahut Rindu dengan mata berbinar.

"Jadi, nunggu apa lagi? Silakan angkat kaki dari rumahku!" tegasku.

"Dengan senang hati, Tania. Kuharap kamu tidak menyesali semua ini." Dengan percaya diri, Mas Haris menggandeng tangan mulus Rindu, setelah itu mereka berjalan beriringan menuju luar yang diikuti oleh Sinta.

"Apa-apaan kamu, Nyia?!" seru seseorang dari arah depan. Membuat langkah ketiga orang itu berhenti.

Dahiku mengernyit melihat kedatangan wanita baya tersebut. Dari mana mantan mertuaku itu bisa tahu?

"Ibu?" Mas Haris menyongsong kedatangan orang tuanya. Begitu juga dengan Sinta si pencari muka. Sementara Rindu berbalik, wanita itu menatapku dengan senyum tersungging di bibirnya yang merah.

"Enak saja kamu mau mengusir anakku, kamu yang harusnya keluar dari rumah ini!" Tanpa bertanya dulu, wanita yang suka menyanggul rambutnya itu langsung marah sambil mengacungkan telunjuknya.

"Duduk dulu, Bu. Ibu datang langsung marah-marah, ingat darah tingginya," sahutku berusaha bersikap sopan. Dia tetaplah orang tua yang selayaknya dihormati.

"Kamu memang kurang ajar, Nyia. Kamu nyumpahin aku, iya?!" sungutnya tak terima. Padahal dia memang punya riwayat darah tinggi.

"Ndak, Bu. Ndak. Ayo duduk dulu. Aku buatkan teh, ya?"

"Gak perlu!" ketusnya. Namun, tetap duduk juga. Sementara Mas Haris berdiri di belakangnya bersisihan dengan Sinta. Rindu menyusul, dia kini berdampingan dengan Mas Haris.

Satu lawan empat, sungguh tak seimbang. Semoga saja aku bisa mengimbangi permainan mereka.

"Ibu, bagaimanapun juga, Mas Haris yang akan pergi, bukan begitu, Mas?" Lagi-lagi lelaki itu hanya diam, pengecut sekali kamu, Mas!

"Ini kan rumahnya Haris, jadi kamu yang pergi!" Mantan ibu mertuaku itu bicara dengan penuh percaya diri.

"Baiklah, mungkin sekarang waktunya untuk meluruskan semuanya. Bagaimana, Mas, kamu apa aku yang akan menjelaskan? Atau kamu, Sin? Kamu kan tahu segalanya, kita kan sahabat." Sinta memalingkan wajah ketika aku menatapnya. Sahabat busuk! umpatku dalam hati.

"Apalagi yang harus diluruskan? Haris sudah menalak kamu! Ya udah, pergi aja sana! Ngapain pakai diluruskan segala? Beruntung kalian tak punya anak! Bisa-bisa urusannya semakin ruwet!"

Karena lelaki bernama Haris itu tak kunjung buka suara, aku pun mulai bicara.

"Ini adalah rumahku. Tanpa ada campur tangan Mas Haris. Bapak membelikannya ketika aku masih kuliah. Bukan begitu, Mas Haris?"

Lagi-lagi lelaki itu bungkam, rahangnya terlihat mengeras. Mungkin dia tak terima boroknya akan terungkap.

"Jangan ngarang kamu, Nyia! Mana mungkin aku percaya kalau orang tuamu membelikan rumah ini? Dia kan hanya petani." Setelah berucap mantan mertuaku itu tertawa.

"Nyia, kamu jangan mimpi untuk menguasai harta anakku! Jadi, sekarang juga kamu pergi. Posisimu sebentar lagi akan digantikan oleh Nak Rindu," imbuhnya sambil tersenyum manis pada wanita yang berdiri di sisi Mas Haris itu.

"Bicara dong, Mas Haris, kenapa diam saja. Kalau memang tidak mau bicara, ya udah pergi aja."

"Ibu, mari ikut aku, ini memang rumah Nyia. Tak apa Ibu, karena aku sudah siapkan rumah yang lebih bagus dari ini. Ayo kita pergi." Akhirnya lelaki itu angkat bicara.

"Jangan lupa kunci mobil." Ucapanku membuat Mas Haris membuang napasnya dengan kasar. Setelah itu dia merogoh saku celana, tak lama kemudian Mas Haris melempar kunci mobil ke meja.

"Haris!" teriak ibunya.

"Itu juga aku yang beli, Bu. Ndak usah terkejut seperti itu."

"Haris, jangan mau dibodohi wanita itu, mana mungkin mobil itu dia yang beli? Memang kerja apa dia?" Mantan ibu mertua sepertinya tak terima dengan semua ini.

"Ayo, Bu," ajak Mas Haris.

"Awas kamu, Nyia!" ancamnya. Setelah itu mereka semua pergi meninggalkan rumahku.

Aku tak mau larut dalam kesedihan. Semua sudah berakhir. Tak ada untungnya menangisi kepergian manusia-manusia toxic seperti itu. Perlahan aku melangkah ke depan untuk menyaksikan kepergian mantan untuk yang terakhir kalinya.

**

Bel berbunyi tanpa henti ketika aku sedang membuat mie instan untuk sarapan. Dengan langkah lebar sambil menggerutu aku keluar.

Dari teras kulihat ada beberapa orang tengah berdiri di depan pagar. Aku pun bergegas menemui mereka.

"Ada apa ini?" tanyaku setelah membuka pintu pagar.

"Kami pemilik baru rumah ini, seharusnya Anda sudah mengosongkannya."

"Pemilik baru? Rumah ini?" Kupikir mereka salah alamat hingga menanyakan alamat pada salah satunya. Aku termenung sejenak setelah alamat yang mereka sebut adalah alamat rumah ini.

"Memang benar ini alamatnya, tapi saya tidak pernah menjualnya."

"Anda jangan mengada-ada, Bu. Semua surat jual-beli ada pada kami dan ini asli." Lelaki berjas itu menunjukkan selembar surat padaku.

"12 April," gumamku. "Ini baru bulan lalu?" Aku masih mengamati setiap huruf yang ada dikertas bermaterai ini.

"Bagaimana, Bu? Sudah ingat?" tanya lelaki itu.

"Sebentar, Pak. Saya akan menghubungi seseorang."

"Silakan, kami beri waktu sampai nanti siang untuk meninggalkan rumah. Sekarang kami akan masuk untuk melihat-lihat."

Ingin sekali mencegah. Namun, mereka membawa bukti yang kuat. Aku harus bagaimana, Tuhan?

"Permisi ya, Mbak. Saya Rendra dan ini istri saya, Anggun."

Aku tergagap karena sedang fokus menghubungi seseorang. "Tania," ucapku sambil menjabat tangan keduanya secara bergantian.

"Kami mau masuk dulu ya, Mbak. Mau ikut lihat-lihat."

Aku mengangguk kemudian segera tersadar jika kamarku tidak terkunci. Ada beberapa barang berharga di sana.

"Baik, Bu Tania, di sini tertulis rumah dijual beserta isinya, jadi kami rasa anda bisa segera keluar dari rumah ini."

Aku menghela napas. "Begini, Pak. Kalau boleh tahu siapa yang menjual rumah ini pada bapak?"

"Pak Haris dan anda sendiri kan, Bu?" Lelaki itu nampak keheranan. Sorot matanya menyatakan kalau dia kesal padaku. Mungkin, dia pikir aku tengah bermain-main.

"Kapan itu terjadi, Pak?"

"Ibu, Ibu jangan bercanda. Masih banyak yang harus kami kerjakan selain menjawab pertanyaan konyol, Ibu," sahutnya kesal. Benar memang katanya, kalau lagi bingung seperti ini, otak pun jadi ngeblang.

"Bagaimana Ibu Tania bisa lupa. Ibu tidak habis jatuh terus amnesia kan?" Jawabannya membuatku dongkol seketika.

"Apa semua baik-baik saja, Pak?" tanya Rendra.

"Beres, Mas Rendra. Ibu Tania aja yang aneh."

"Mungkin, Ibu Tania masih sayang meninggalkan rumah yang penuh kenangan ini," sahut Rendra. Aku hanya menghela napas mendengarnya. Ingin marah, tapi nanti aku sendiri yang malu.

Salah satu dari pria berjas menyodorkan ponselnya. "Ini, Bu. Foto ini diambil saat akad jual-beli. Itu Ibu Tania dan Pak Haris, kan?"

Aku tak bisa membantah. Itu memang Mas Haris, tapi si wanita bukanlah aku. "Boleh aku minta fotonya, Pak. Tolong kirim ke nomorku."

"Oh, boleh, Bu."

Setelah foto terkirim, aku berpamitan untuk mengemasi barang-barang pribadi.

[Mas, tolong datang ke rumahku sekarang] pesanku terkirim dan langsung terbaca. Di bawah namanya tertulis sedang mengetik.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si tania dungunya kelewatan tapi masih aja sok2an. makanya jgn banyak bacot nyet.
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Jahat banget Haris
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status