"Mas, bisa jelasin semuanya?" Rindu menodong penjelasan pada calon suaminya.
"Dek Rindu, ini tidak seperti yang dikatakan Tania. Aku sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kamu dan Aurel." Mas Haris berucap sambil memegang kedua pundak Rindu.Aku hampir kelepasan tawa ketika mendengar panggilan mesranya."Kamu memang yang terbaik, Mas. Aku semakin mantap untuk menikah denganmu," sahut Rindu dengan mata berbinar."Jadi, nunggu apa lagi? Silakan angkat kaki dari rumahku!" tegasku."Dengan senang hati, Tania. Kuharap kamu tidak menyesali semua ini." Dengan percaya diri, Mas Haris menggandeng tangan mulus Rindu, setelah itu mereka berjalan beriringan menuju luar yang diikuti oleh Sinta."Apa-apaan kamu, Nyia?!" seru seseorang dari arah depan. Membuat langkah ketiga orang itu berhenti.Dahiku mengernyit melihat kedatangan wanita baya tersebut. Dari mana mantan mertuaku itu bisa tahu?"Ibu?" Mas Haris menyongsong kedatangan orang tuanya. Begitu juga dengan Sinta si pencari muka. Sementara Rindu berbalik, wanita itu menatapku dengan senyum tersungging di bibirnya yang merah."Enak saja kamu mau mengusir anakku, kamu yang harusnya keluar dari rumah ini!" Tanpa bertanya dulu, wanita yang suka menyanggul rambutnya itu langsung marah sambil mengacungkan telunjuknya."Duduk dulu, Bu. Ibu datang langsung marah-marah, ingat darah tingginya," sahutku berusaha bersikap sopan. Dia tetaplah orang tua yang selayaknya dihormati."Kamu memang kurang ajar, Nyia. Kamu nyumpahin aku, iya?!" sungutnya tak terima. Padahal dia memang punya riwayat darah tinggi."Ndak, Bu. Ndak. Ayo duduk dulu. Aku buatkan teh, ya?""Gak perlu!" ketusnya. Namun, tetap duduk juga. Sementara Mas Haris berdiri di belakangnya bersisihan dengan Sinta. Rindu menyusul, dia kini berdampingan dengan Mas Haris.Satu lawan empat, sungguh tak seimbang. Semoga saja aku bisa mengimbangi permainan mereka."Ibu, bagaimanapun juga, Mas Haris yang akan pergi, bukan begitu, Mas?" Lagi-lagi lelaki itu hanya diam, pengecut sekali kamu, Mas!"Ini kan rumahnya Haris, jadi kamu yang pergi!" Mantan ibu mertuaku itu bicara dengan penuh percaya diri."Baiklah, mungkin sekarang waktunya untuk meluruskan semuanya. Bagaimana, Mas, kamu apa aku yang akan menjelaskan? Atau kamu, Sin? Kamu kan tahu segalanya, kita kan sahabat." Sinta memalingkan wajah ketika aku menatapnya. Sahabat busuk! umpatku dalam hati."Apalagi yang harus diluruskan? Haris sudah menalak kamu! Ya udah, pergi aja sana! Ngapain pakai diluruskan segala? Beruntung kalian tak punya anak! Bisa-bisa urusannya semakin ruwet!"Karena lelaki bernama Haris itu tak kunjung buka suara, aku pun mulai bicara."Ini adalah rumahku. Tanpa ada campur tangan Mas Haris. Bapak membelikannya ketika aku masih kuliah. Bukan begitu, Mas Haris?"Lagi-lagi lelaki itu bungkam, rahangnya terlihat mengeras. Mungkin dia tak terima boroknya akan terungkap."Jangan ngarang kamu, Nyia! Mana mungkin aku percaya kalau orang tuamu membelikan rumah ini? Dia kan hanya petani." Setelah berucap mantan mertuaku itu tertawa."Nyia, kamu jangan mimpi untuk menguasai harta anakku! Jadi, sekarang juga kamu pergi. Posisimu sebentar lagi akan digantikan oleh Nak Rindu," imbuhnya sambil tersenyum manis pada wanita yang berdiri di sisi Mas Haris itu."Bicara dong, Mas Haris, kenapa diam saja. Kalau memang tidak mau bicara, ya udah pergi aja.""Ibu, mari ikut aku, ini memang rumah Nyia. Tak apa Ibu, karena aku sudah siapkan rumah yang lebih bagus dari ini. Ayo kita pergi." Akhirnya lelaki itu angkat bicara."Jangan lupa kunci mobil." Ucapanku membuat Mas Haris membuang napasnya dengan kasar. Setelah itu dia merogoh saku celana, tak lama kemudian Mas Haris melempar kunci mobil ke meja."Haris!" teriak ibunya."Itu juga aku yang beli, Bu. Ndak usah terkejut seperti itu.""Haris, jangan mau dibodohi wanita itu, mana mungkin mobil itu dia yang beli? Memang kerja apa dia?" Mantan ibu mertua sepertinya tak terima dengan semua ini."Ayo, Bu," ajak Mas Haris."Awas kamu, Nyia!" ancamnya. Setelah itu mereka semua pergi meninggalkan rumahku.Aku tak mau larut dalam kesedihan. Semua sudah berakhir. Tak ada untungnya menangisi kepergian manusia-manusia toxic seperti itu. Perlahan aku melangkah ke depan untuk menyaksikan kepergian mantan untuk yang terakhir kalinya.**Bel berbunyi tanpa henti ketika aku sedang membuat mie instan untuk sarapan. Dengan langkah lebar sambil menggerutu aku keluar.Dari teras kulihat ada beberapa orang tengah berdiri di depan pagar. Aku pun bergegas menemui mereka."Ada apa ini?" tanyaku setelah membuka pintu pagar."Kami pemilik baru rumah ini, seharusnya Anda sudah mengosongkannya.""Pemilik baru? Rumah ini?" Kupikir mereka salah alamat hingga menanyakan alamat pada salah satunya. Aku termenung sejenak setelah alamat yang mereka sebut adalah alamat rumah ini."Memang benar ini alamatnya, tapi saya tidak pernah menjualnya.""Anda jangan mengada-ada, Bu. Semua surat jual-beli ada pada kami dan ini asli." Lelaki berjas itu menunjukkan selembar surat padaku."12 April," gumamku. "Ini baru bulan lalu?" Aku masih mengamati setiap huruf yang ada dikertas bermaterai ini."Bagaimana, Bu? Sudah ingat?" tanya lelaki itu."Sebentar, Pak. Saya akan menghubungi seseorang.""Silakan, kami beri waktu sampai nanti siang untuk meninggalkan rumah. Sekarang kami akan masuk untuk melihat-lihat."Ingin sekali mencegah. Namun, mereka membawa bukti yang kuat. Aku harus bagaimana, Tuhan?"Permisi ya, Mbak. Saya Rendra dan ini istri saya, Anggun."Aku tergagap karena sedang fokus menghubungi seseorang. "Tania," ucapku sambil menjabat tangan keduanya secara bergantian."Kami mau masuk dulu ya, Mbak. Mau ikut lihat-lihat."Aku mengangguk kemudian segera tersadar jika kamarku tidak terkunci. Ada beberapa barang berharga di sana."Baik, Bu Tania, di sini tertulis rumah dijual beserta isinya, jadi kami rasa anda bisa segera keluar dari rumah ini."Aku menghela napas. "Begini, Pak. Kalau boleh tahu siapa yang menjual rumah ini pada bapak?""Pak Haris dan anda sendiri kan, Bu?" Lelaki itu nampak keheranan. Sorot matanya menyatakan kalau dia kesal padaku. Mungkin, dia pikir aku tengah bermain-main."Kapan itu terjadi, Pak?""Ibu, Ibu jangan bercanda. Masih banyak yang harus kami kerjakan selain menjawab pertanyaan konyol, Ibu," sahutnya kesal. Benar memang katanya, kalau lagi bingung seperti ini, otak pun jadi ngeblang."Bagaimana Ibu Tania bisa lupa. Ibu tidak habis jatuh terus amnesia kan?" Jawabannya membuatku dongkol seketika."Apa semua baik-baik saja, Pak?" tanya Rendra."Beres, Mas Rendra. Ibu Tania aja yang aneh.""Mungkin, Ibu Tania masih sayang meninggalkan rumah yang penuh kenangan ini," sahut Rendra. Aku hanya menghela napas mendengarnya. Ingin marah, tapi nanti aku sendiri yang malu.Salah satu dari pria berjas menyodorkan ponselnya. "Ini, Bu. Foto ini diambil saat akad jual-beli. Itu Ibu Tania dan Pak Haris, kan?"Aku tak bisa membantah. Itu memang Mas Haris, tapi si wanita bukanlah aku. "Boleh aku minta fotonya, Pak. Tolong kirim ke nomorku.""Oh, boleh, Bu."Setelah foto terkirim, aku berpamitan untuk mengemasi barang-barang pribadi.[Mas, tolong datang ke rumahku sekarang] pesanku terkirim dan langsung terbaca. Di bawah namanya tertulis sedang mengetik."Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah
"Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m
"Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir
Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.
"Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i
"Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil