“Bukan.” Gadis tersenyum.“Lalu siapa?” Aku heran dan penasaran.“Dia Om Bima.” Gadis menjelaskan. Seketika itu aku langsung bangkit menatap Gadis penuh ketidakpercayaan.“Bima datang ke sini?”Gadis mengangguk. Aku pun lantas bangkit bersiap melenggang keluar dari kamar hendak menjumpai Bima yang berada di ruang tamu. Saat tiba, terlihat Bima sudah duduk di sofa bersama kedua orang tuaku. Melihat kedatanganku, mereka menatap dan segera menyuruhku untuk duduk.“Wulan, kamu apa kabar?” tanya Bima memulai obrolan. Aku duduk di sebelahnya sembari melempar senyum. “Aku baik-baik saja. Ternyata kamu sudah sembuh, ya, Bim. Aku senang melihat kamu lagi.” Reaksi kucoba untuk tetap terlihat tenang. Entah mengapa aku merasa salah tingkah ketika dekat dengannya. “Aku pun demikian, aku sangat senang bisa bertemu dengan kamu lagi di sini.” Bima berucap. “Kedatanganku ke sini ada sesuatu hal yang ingin aku sampaikan kepada kamu,” lanjutnya. “Sesuatu apa?”Bima menghela nafas beberapa detik. L
Laki-laki itu, dia malah berangsur pergi meninggalkan aku sendirian di ruangan ini. Entah akan kemana dia. Nggak ada rasa empati sedikit pun. Disaat rasa sakit pun mulai semakin menggebu, seketika itu beberapa orang datang menghampiriku. Mereka dokter dan juga suster yang sepertinya hendak akan memeriksakan kondosiku.“Sebenarnya Wulan ini sakit apa, Dok. Kok berulang kali dia mengeluh sakit di area kepala?” tanyanya pada laki-laki yang berpenampilan ala dokter.“Menurut dari hasil pemeriksaan, pasien ini menderita gangguan pada sel otak, namun tidak terlalu parah. Saya sarankan pasien untuk beristirahat dan jangan memikirkan sesuatu apapun terlebih dahulu. Untuk resep obatnya sudah saya persiapkan,” jelas Dokter membeberkan.“Tapi dia akan sembuh kan, Dok, saya takut keadaannya malah semakin memburuk?” tanyanya lagi seakan cemas dengan keadaanku.“InsyaAllah. Kita berdoa saja semoga keadaan pasien bisa kembali sembuh total. Kalau begitu saya permisi.” Setelah mengucap hal itu Dokter
“Haa? Jadi maksudmu Bima terpaksa melakukan itu semua?”“Sepertinya iya, tapi nggak tahu juga. Eh tapi ngomong-ngomong kenapa kamu seakan-akan ingin tahu. Kamu kenal dengan dia?” tanya Tomi seakan-akan heran.“Enggak! Aku nggak mengenal dia sama sekali. Aku hanya tertarik saja dengan kisah hidupnya,” ujarku tanpa memberitahu yang sebenarnya kalau memang aku sangat mengenal dekat Bima. Lagipula untuk apa jujur, masalah yang telah berlarut mungkin sudah seharusnya dilupakan. Tetapi, jika dipikir secara logis, jika memang Bima dipaksa kembali rujuk dengan Dinar dan dia sama sekali nggak mencintainya, kenapa mengiyakan, seharusnya sebagai laki-laki mempunyai pendirian apalagi ini menyangkut soal masa depan. Aku hanya terkejut saat dia mengatakan bahwa akan menungguku siap, namun nyatanya ... bulshit!“Ya namanya juga kita nggak tahu alur jalan hidup kita maupun orang lain bagaimana kedepannya, tetapi sebagai manusia tentunya juga punya pilihan dan keinginan. Walaupun aku sebagai temannya
Aku begitu terkejut saat mengetahui bahwa ternyata dia ....“Bima?”Dia memandangku sembari tersenyum. Wajahnya terlihat begitu bersih tak ada bekas noda apapun yang menempel di kedua pipinya. Bima memang cukup tampan, tak hayal, Dinar begitu tergila-gila kepadanya sehingga melakukan segala suatu cara apapun untuk mendapatkan Bima.“Amira,” lirihnya bersuara.“Kenapa kamu dan aku berada di sini? Tempat apa ini?” tanyaku sembari menatap ke sekeliling tempat ini.Bima bergeming, dia pun lalu memalingkan pandangan ke samping. “Wulan, aku ingin meminta maap terhadap kamu karena sudah membuatmu kecewa. Aku merasa menyesal karena sudah membuat luka yang terlalu dalam di hatimu. Jujur, demi apapun hingga detik ini aku sangat mencintaimu. Percaya sama aku, Wulan. Aku nggak lebih mencintai Dinar, aku bingung kenapa ini bisa terjadi lagi.”Nafasnya terengah, Bima menutup wajahnya dengan jari jemari telapak tangannya seakan tak ingin membiarkan aku melihatnya menangis.Mungkin Bima begitu sangat
“Jadi aku apa, Wulan, ayo teruskan?” ucap Tomi seakan penasaran ingin menantikan jawaban.“Aku insyaAllah siap ....”Tiba-tiba saja mulutku malah berucap seperti itu, nyatanya aku bimbang antara siap menerima pinangannya atau siap mengalami penderitaan seperti yang selalu kualami di pernikahan sebelumnya. Rasa trauma seakan membuatku diambang ketakutan, aku tak mampu lagi membayangkan bagaimana jadinya jika Tomi sama seperti Mas Hilman yang selalu membuatku menderita.“Kamu menerima lamaranku, Wulan?” Dia tersenyum girang. “Alhamdulillah ... akhirnyaa ...”Aku hanya terdiam memandangnya yang terlihat begitu senang padahal aku belum mengakatakan siap menjadi istrinya, tapi Tomi sudah merasa bahagia.Apa ini akhir dari perjuanganku setelah pasca perpisahanku dengan mantan suamiku?“Sebelum itu, aku ingin meminta untuk shalat istikhoroh terlebih dahulu, dengan begitu, semoga saja niat baik ini diberikan kelancaran, apakah kamu setuju?” ujarku padanya. Dengan sigap, Tomi langsung mengan
POV BIMA“Akhirnya kamu sudah sadar, Mas, aku senang melihat kamu bisa siuman lagi,” ucap suara perempuan yang terdengar begitu sangat familiar. Dari suaranya dia terdengar begitu sangat bahagia.Secara perlahan, aku mulai membuka kedua mata dan langsung menatap perempuan yang berada di sampingku. Saat itu juga, bola mataku seakan hampir akan keluar dari kelopaknya, aku benar-benar terkejut saat tahu bahwa perempuan itu ternyata ....Kenapa dia bisa ada di sini? Apa yang sudah terjadi? Dan, apa yang akan dia lakukan terhadapku? Seketika pertanyaan itu mulai menggema di kepala. Aku takut dia akan melakukan sesuatu hal cara sehingga membuatku menderita. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku memandangnya penuh ketidaksukaan.“Aku di sini karena ingin terus menjaga kamu, Mas. Pasca kecelakaan minggu lalu sampai sekarang aku berada di sini menunggu kamu sadar dari masa kritis,” ujarnya menjawab.Aku menggeleng tak percaya, mana mungkin dia mau menunggu aku di sini selama itu, sementara se
Tiba-tiba, terdengar nada pesan masuk ke aplikasi Whatsap milikku, aku menatap dengan heran pada pemilik nomer telepon yang begitu tak kukenali siapa karena tidak tersimpan di kontak telepon. Aku pun dengan heran lantas segera membuka dan melihat pesan yang dia kirim. Tiba-tiba dadaku seakan berhenti berdetak, kedua mataku melotot seperti ingin keluar dari kelopaknya. Tubuhku pun ikut meregang kaku ketika menatap beberapa foto Mama yang dikirim oleh dia. Terlihat Mama tengah berkurai lemas, wajahnya lebam ungu mengeluarkan darah dari mulut dan hidungnya yang seperti dihantam dan dipukuli oleh seseorang orang. Namun, ada seseorang yang begitu sangat kukenali di samping Mama, dia tersenyum kecut menghadap ke arah camera. Ternyata dia—“Astagfirullah. Mama?!”Br3ngsEk! Jadi dia orangnya! Bener-bener keterlalu4n. B14d4b. Dia ternyata sudah gil4, bisa-bisanya dia mencul1k dan meny3k4p mama kandungku sampai-sampai terluka seperti itu. Aku harus menemuinya sekarang juga sebelum nyawa Mama
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada Pak Anton dengan wajah yang sangat lusuh.“Nyonya, Pak Bos. Ternyata Nyonya sudah pulang ke rumah barusan,” ujar Pak Anton membuatku terkejut.Apa? Mama pulang? Tanpa pikir panjang aku langsung keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah dengan ngos-ngosan. Terlihat, Mama tengah duduk di ruang keluarga sembari menikmati cemilan yang berada di genggaman tangannya. Dengan perasaan heran yang menggebu di dalam hati aku langsung menghampiri dan duduk di samping ibu yang telah melahirkanku.“Mama dari kemarin kemana, kok nggak pulang?” tanyaku langsung mengintograsi. Mama pun langsung menatap ke arahku sejenak.“Mama itu kemarin habis liburan ke luar kota bareng temen Mama, nah sekarang baru pulang,” jelas Mama membuat dadaku seketika berhenti berdetak.Lalu apa tadi saat ada seseorang yang mengirimkan foto-foto Mama tengah disekap dan semua anggota tubuh nampak terlihat banyak lebam. Wajahnya sama persis seperti Mama. Dan, setelah mendapat pesan itu a