Mag-log in
“Pakailah lingerie ini sayang,” ucap Nick seraya memberikan lingerie berwarna merah maroon transparan.
Shireen memandang lingerie tersebut dengan tatapan campuran antara keinginan dan rasa malu yang terpancar jelas dari wajahnya. Kedua pipi Shireen seketika itu juga langsung memerah membayangkan dirinya memakai pakaian itu, karena seluruh tubuhnya akan terlihat karena pakaiannya yang transparan.
“Aku malu, Nick,” ucap Shireen sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Rasa gugup dan ketidaknyamanan mulai melanda hatinya. Bagaimana mungkin dia bisa tampil seksi di depan suaminya sendiri? Meskipun mereka baru saja menikah, tapi perasaan malu tetap ada dalam diri Shireen.
“Sayang, aku sudah menjadi suamimu. Maka kamu harus terlihat seksi dan menggoda di depan suamimu sendiri. Jadi, tidak perlu malu lagi,” ucap Nick dengan penuh kelembutan mencoba membujuk Shireen agar mau mengenakan lingerie tersebut. Dia ingin membuat istri barunya merasa percaya diri dan cantik dalam penampilannya.
Memang, mereka baru saja disahkan menjadi pasangan suami-istri beberapa jam yang lalu. Namun bagi Shireen yang selama ini hidup yatim piatu dan tinggal sendiri tanpa keluarga, memiliki seseorang seperti Nick sebagai suami adalah sebuah anugerah besar baginya.
Kini mereka sedang berada di sebuah hotel bintang 5 dengan kamar mewah khusus pengantin baru. Nick ingin memberikan yang terbaik untuk Shireen setelah pernikahan mereka yang indah. Setelah upacara pernikahan selesai, Nick langsung membawa Shireen ke hotel tersebut sebagai tempat pertama mereka menghabiskan malam.
“Baiklah, aku akan memakainya,” ucap Shireen akhirnya menyetujui permintaan Nick agar dirinya memakai lingerie seksi itu. “Tapi, aku ingin menggantinya di kamar mandi.”
Nick tersenyum puas mendengar jawaban Shireen. Dia merasa senang karena akhirnya Shireen mau mencoba memakai lingerie itu. Tidak sia-sia Nick berusaha membujuknya.
"Tentu saja, sayang. Lakukan apa yang kamu mau," balas Nick seraya mengusap pipi Shireen dengan lembut.
Shireen pun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dari sana menuju kamar mandi untuk mengganti bajunya. Kamar mandi terletak di sebelah ruangan tidur, sehingga tidak sulit bagi Shireen untuk sampai kesana dalam waktu singkat.
Setibanya di kamar mandi, Shireen langsung menutup pintunya rapat-rapat. Dia ingin memiliki privasi saat mengganti pakaiannya menjadi lingerie seksi tersebut. Dalam hatinya, dia merasa gugup namun juga penasaran dengan reaksi Nick ketika melihatnya nanti.
Shireen melepas gaun yang dipakainya dengan hati-hati dan menjaganya agar tidak terkena kerutan atau lipatan yang bisa merusak tampilannya nanti. Setelah berhasil melepaskan gaun tersebut, dia mulai membuka kotak tempat lingerie itu disimpan.
Selama beberapa saat, Shireen hanya diam memperhatikan dirinya sendiri yang memakai lingerie itu di depan cermin besar di kamar mandi. Tubuhnya benar-benar terlihat seksi dengan gunung kembar miliknya yang cukup besar, tubuhnya yang langsing, membuat siapa pun akan tertarik jika Shireen berpakaian seperti ini.
Shireen merasa gugup, tetapi dia berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan menggosok gigi agar tidak bau mulut. Dia ingin memberikan pengalaman terbaik bagi Nick malam ini dan hal-hal kecil seperti itu bisa membuat perbedaan. Kemudian, dia juga menyemprotkan parfum dibagian titik tubuhnya agar wangi. Memang, ini adalah pengalaman pertama bagi Shireen. Selama 21 tahun hidupnya, dia memang belum pernah melakukan hubungan intim dengan siapa pun, karena selama ini dia berusaha menjaga kehormatannya.
Setelah merasa tenang, Shireen pun keluar dari kamar mandi. Butuh waktu hampir 30 menit bagi Shireen hanya untuk mempersiapkan diri. Setiap gerakan yang dilakukan dengan hati-hati dan penuh perhatian agar tampilan dirinya sempurna saat bertemu dengan Nick. Shireen merasa gugup dan malu karena dia mengenakan lingerie yang begitu seksi.
Dengan langkah ragu-ragu, Shireen berjalan keluar dari kamar mandi sambil menundukkan kepalanya. Dia tidak ingin melihat reaksi Nick ketika melihatnya dalam penampilan yang sangat sensual ini. Hatinya berdebar-debar saat ia mendekati ranjang tempat Nick duduk.
Namun, sebelum Shireen mencapai ranjang, suara pujian terdengar di telinganya.
"Cantik sekali," kata seseorang dengan nada kagum.
Sesaat itu juga, tubuh Shireen membeku dan matanya terbelalak ketika menyadari bahwa pemilik suara bukanlah milik Nick.
Shireen refleks mengangkat wajahnya dan pandangan mata mereka bertemu. Terkejut adalah satu-satunya ekspresi yang bisa digambarkan oleh wajahnya saat ini. Laki-laki yang duduk di tepi ranjang itu bukanlah suaminya sendiri.
"Siapa kamu?" tanya Shireen seraya menutup bagian dadanya dengan cepat untuk menjaga privasinya tetap terlindungi dari pandangan orang asing tersebut.
Dia merasa panik dan bingung mencari keberadaan Nick. Pikirannya berkecamuk, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Laki-laki itu tersenyum lebar melihat reaksi Shireen yang kaget dan bingung. "Maafkan saya, aku tidak bermaksud mengejutkanmu," ucapnya dengan nada lembut.
Shireen masih dalam keadaan shock dan tak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa menatap laki-laki tersebut dengan tatapan penuh tanda tanya di matanya.
Laki-laki itu terlihat tampan dan wajahnya terlihat dewasa dengan rahang yang tegas, mata tajam berwarna coklat, membuat Shireen hanya bisa menelan salivanya dengan susah payah. Dia benar-benar tidak mengerti maksud dari situasi yang sedang dialaminya saat ini.
Shireen merasakan detak jantungnya semakin cepat ketika melihat laki-laki tersebut mendekat. Wajahnya memerah dan ia merasa seperti kehilangan kata-kata untuk menggambarkan betapa takut dan kagumnya Shireen disaat yang bersamaan pada pria itu. Lelaki itu memiliki aura maskulin yang begitu kuat sehingga sulit bagi Shireen untuk tidak terpesona oleh pesonanya.
Dalam upaya putus asa untuk menjaga privasinya, Shireen pun melangkah mundur sambil mencoba menutupi bagian dadanya dengan tangannya. Meskipun usaha tersebut sebenarnya percuma saja karena meski dia menutupinya, tetapi bagian tubuhnya tetap terlihat jelas mengingat saat ini Shireen memakai lingerie seksi transparan.
"Dia adalah ayahku.”Kata-kata itu jatuh di ruangan ICU yang steril, lebih sunyi dari bunyi monitor, lebih tajam dari jarum infus. Waktu seolah berhenti. Liam menatap Shireen, mencoba mencari jejak kebohongan atau kebingungan di matanya. Tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran yang menyakitkan dan ketakutan yang mendalam.Ayah Shireen. Pria yang membunuh ibunya.Dunia Liam yang baru saja mulai tertata kembali kini hancur berkeping-keping. Realita itu terlalu absurd, terlalu kejam untuk bisa diterima. Perempuan yang ia cintai, perempuan yang menjadi pusat alam semestanya, adalah putri dari monster yang telah menghancurkan keluarganya."Tidak," bisik Liam, lebih pada dirinya sendiri. Tangannya yang menggenggam tangan Shireen terasa dingin. "Itu... itu tidak mungkin. Nick pasti berbohong. Dia hanya ingin menghancurkan kita.""Aku juga berharap begitu, Liam," jawab Shireen lirih, air matanya mulai mengalir. "Tapi... entah kenapa, sebagian dari diriku merasa... itu benar.""Apa maksudmu?"
"Dia bilang, 'Jika Lawrence tahu siapa Shireen sebenarnya, dia tidak akan hanya membunuhku. Dia akan membunuh mereka semua'."Kata-kata itu menggantung di koridor rumah sakit yang sunyi, terasa lebih dingin dan lebih berbahaya daripada ancaman fisik mana pun. 'Mereka semua'. Siapa 'mereka'? Dan siapa Shireen sebenarnya? Pertanyaan itu berputar di benak Liam, menciptakan labirin baru yang lebih gelap dan lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan.Alessa menatapnya, menunggu reaksi. Tapi Liam hanya diam membeku. Otaknya mencoba memproses informasi itu, menghubungkannya dengan kepingan-kepingan aneh lainnya. Nick yang tiba-tiba punya sumber daya untuk melawannya. Daniel Hartman, paman Alessa, yang dihancurkan oleh ayahnya. Dan Shireen, seorang yatim piatu, yang entah bagaimana menjadi pusat dari semua badai ini."Liam?" panggil Alessa lembut, menyadarkannya."Pergilah, Alessa," kata Liam pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tidak menatapnya. Matanya terpaku pada pintu ruang ICU, seol
"Saat perempuan ini sadar nanti... jika dia sadar," kata Daniel, setiap katanya terdengar seperti vonis. "Singkirkan dia dari hidupmu. Selamanya.”Keheningan yang mengikuti ultimatum itu terasa lebih dingin daripada lantai rumah sakit. Liam mengangkat kepalanya perlahan, menatap ayahnya. Bukan lagi dengan tatapan anak yang terluka, tapi dengan tatapan seorang pria yang didorong hingga ke batasnya."Tidak," jawab Liam, suaranya pelan tapi begitu mantap hingga Daniel pun tampak sedikit terkejut."Apa katamu?""Aku bilang, tidak," ulang Liam, ia bangkit berdiri, kini mereka saling berhadapan dengan tinggi yang sejajar. "Aku tidak akan meninggalkannya."Daniel tertawa kecil, tawa yang penuh cemoohan. "Jangan bodoh, Liam. Kamu pikir apa yang bisa perempuan sepertinya berikan padamu? Selain masalah dan kelemahan?""Dia memberiku sesuatu yang tidak pernah kamu atau ibuku berikan," balas Liam, matanya berkilat. "Dia memberiku alasan untuk menjadi manusia.""Manusia?" Daniel mendengus. "Kita b
"Sudah kubilang, Nak," kata Daniel Lawrence. "Cinta hanya akan membuatmu lemah.”Kata-kata dingin itu menusuk Liam lebih tajam dari peluru mana pun. Ia mendongak, menatap ayahnya yang berdiri di ambang pintu, dikelilingi oleh pengawal-pengawal berjas hitam. Wajah Daniel tidak menunjukkan simpati, hanya kekecewaan dan rasa jijik yang tak terselubung. Seolah putranya yang sedang memangku seorang perempuan sekarat adalah sebuah aib yang harus segera dibersihkan.Tapi Liam tidak peduli. Dunianya kini menyempit, hanya sebatas wajah pucat Shireen di pangkuannya."Panggil ambulans!" teriak Liam, suaranya parau karena panik dan putus asa. "Cepat!"Arthur, yang baru saja selesai melumpuhkan Marco, langsung mengeluarkan ponselnya. "Sudah, Tuan! Mereka sedang dalam perjalanan!""Dia kehilangan banyak darah," bisik Liam pada dirinya sendiri. Ia menekan luka di perut Shireen dengan tangannya, mencoba menghentikan aliran darah yang tak mau berhenti. Tangannya bergetar hebat. Pria yang terbiasa meng
"Dia baru saja mengirimkan pesan padaku," lanjut Arthur. "Dia bilang, dia punya rencana cadangan.”Rencana cadangan. Dua kata itu terdengar seperti lonceng kematian. Waktu yang sudah tipis terasa semakin menipis. Nick, si ular licik itu, tidak hanya bermain catur dari tempat lain. Ia memiliki bidak lain di papan permainan yang tidak mereka ketahui.Wajah Liam mengeras. Kalimat yang tadi ingin ia selesaikan seolah tertelan kembali ke tenggorokannya. Tidak ada waktu untuk perasaan. Yang ada hanya waktu untuk bertindak."Apa isi pesannya?" tanya Liam, suaranya dingin dan terkendali."Hanya sebuah alamat, Tuan," jawab Arthur. "Dan satu kalimat: 'Jika terjadi sesuatu pada Marco, aku akan berkunjung ke tempat ini'."Liam berjalan cepat ke arah layar, mengetikkan alamat itu. Sebuah titik merah muncul di peta, jauh dari area pelabuhan. Jauh dari gudang tempat Alessa disandera.Jantung Shireen serasa jatuh ke perutnya. Itu alamat panti asuhan."Bajingan," desis Liam. Ia memukul meja dengan kep
"Potongan pertama akan segera kukirimkan ke depan pintumu.”Klik.Telepon mati, meninggalkan gaung suara tembakan dan jeritan Alessa di udara. Ruangan itu terasa menyusut, dindingnya seolah merapat, menghimpit napas Shireen. Satu jam. Waktu terasa seperti pasir yang mengalir terlalu cepat di antara jari-jari mereka.Liam membeku sesaat, wajahnya pucat pasi. Kepalan tangannya di sisi tubuhnya bergetar karena amarah yang tertahan. Lalu, ia bergerak. Bukan gerakan panik, tapi gerakan predator yang terdesak."Arthur!" teriaknya ke interkom. "Siapkan tim. Kita bergerak sekarang!""Tidak," sebuah suara pelan tapi mantap menghentikannya.Liam berbalik. Shireen berdiri di tengah ruangan, wajahnya pucat tapi matanya menyala dengan keteguhan yang mengejutkan. Tangis dan ketakutan yang tadi ada di matanya kini hilang, digantikan oleh sesuatu yang lebih dingin. Sesuatu yang menyerupai tekad."Apa maksudmu 'tidak'?" geram Liam. "Kita tidak punya waktu, Shireen!""Kamu tidak bisa pergi ke sana deng







