LOGINKetika menyadari bahwa laki-laki itu semakin dekat dengannya, Shireen panik dan bergegas menuju kamar mandi sebagai tempat perlindungan sementara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, tetapi dia merasa jika kamar mandi adalah tempat yang aman untuk saat ini daripada harus berlari keluar dengan keadaan seperti ini.
Namun sayangnya, takdir berkata lain. Ketika Shireen hampir mencapai pintu kamar mandi, laki-laki itu tiba-tiba berlari lebih cepat darinya dan dengan sigap berdiri di depan pintu kamar mandi tepat di depan Shireen. Hatinya berdegup kencang dan dia merasa terjebak dalam situasi yang semakin rumit.
Shireen menatap pria itu dengan tatapan takut dan bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Hatinya berdegup kencang, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang mencekam ini. Sementara pria itu meraih tangan Shireen dengan paksa, ia menyeretnya pergi dari sana dan melemparnya di atas ranjang yang empuk.
Shireen terkejut oleh perlakuan kasar pria tersebut. Dalam sekejap, dia bangkit dari posisi tidur dan duduk tegak di ujung ranjang, berusaha keras untuk menghindari serangan lebih lanjut. Tatapannya masih dipenuhi ketakutan saat dia mempertanyakan identitas orang asing ini.
"Siapa sebenarnya kamu?" desis Shireen dengan suara gemetar. "Apa yang kamu inginkan dariku?"
Pria itu tersenyum sombong dan angkuh saat menjawab pertanyaan Shireen. "Liam Lawrence," katanya dengan nada tinggi, memberikan kesan bahwa dirinya adalah sosok penting dalam kehidupannya sendiri. "Panggil aku Tuan Liam."
Saat mendengar nama tersebut, Shireen semakin gelisah. Apa hubungan antara mereka? Mengapa Liam tiba-tiba berada di kamar ini? Rasa takut melanda hati Shireen saat Liam mulai membuka satu persatu kancing kemeja yang ia kenakan.
"Apa ... apa yang akan kamu lakukan padaku?" desak Shireen dengan nada panik dalam suaranya. Matanya berkaca-kaca karena rasa putus asa yang melanda. "Dimana Nick? Apa kamu melakukan sesuatu padanya?"
Liam menggelengkan kepalanya pelan, mencoba menenangkan Shireen. "Kamu salah berpikir seperti itu," ucapnya dengan lembut. "Dalang dibalik suami ini adalah Nick. Dia memberikan malam pertamanya padaku karena hutangnya yang sangat besar."
Shireen terkejut mendengar pengakuan Liam tersebut. Dia sampai membulatkan kedua bola matanya karena tidak menyangka dengan apa yang dilakukan oleh Nick kepadanya. Hatinya berdesir tak menentu, campur aduk antara rasa marah dan kecewa. Bagaimana mungkin suaminya sendiri bisa melakukan hal seperti ini? Shireen merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, dan akhirnya turun membasahi wajah cantiknya.
“Jadi, dia … menyuruhku menggunakan lingerie ini karena untukmu?” tanya Shireen dengan suara serak, mencoba menahan tangis yang ingin pecah dari dadanya.
Liam tersenyum miring mendengar pertanyaan Shireen barusan. Tatapannya penuh dengan ketertarikan dan sedikit keserakahan saat melihat wanita yang sedang rapuh seperti itu.
“Pintar sekali, Shireen," ucap Liam sambil menggoda. "Memang benar, karena lingerie itu aku yang membelinya dan kamu terlihat cantik dan menggoda memakainya."
Mendengar jawaban Liam membuat hati Shireen semakin hancur berkeping-keping. Ia tidak pernah membayangkan bahwa cinta sejati yang ia harapkan dari suaminya ternyata hanya sebuah ilusi semata. Air mata semakin deras mengalir begitu saja tanpa bisa ditahan lagi.
Liam kembali menghampiri Shireen yang duduk di ujung ranjang dengan tatapan kosong dan tertekan tampak masih tidak percaya karena laki-laki yang baru saja menjadi suaminya bisa bertindak kejam seperti ini. Shireen merasa dunianya runtuh, semua harapan dan impian indah tentang pernikahan mereka hancur berantakan dalam sekejap.
Shireen mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk menatap Liam dengan tajam.
"Apa yang kamu pikirkan, Liam? Apakah kamu bahagia melihat aku menderita seperti ini?" ucapnya dengan nada penuh amarah.
"Panggil aku Tuan Liam!" ucap Liam dengan marah karena merasa ucapan Shireen tidak sopan barusan.
Wajahnya memerah dan matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. Dia meraih tangan Shireen lagi, meski sempat ada penolakan dari Shireen, tetapi tenaga Liam jauh lebih besar daripada Shireen sehingga penolakan itu berakhir sia-sia.
Dengan cepat dan tanpa ampun, Liam mengikat tangan Shireen di ujung kepala ranjang menggunakan seutas tali yang kuat. Kemudian, dia melanjutkan dengan mengikat satu tangannya lagi di ujung ranjang lainnya. Dalam sekejap, Shireen menjadi terperangkap dan tidak bisa melakukan apa pun untuk melepaskan diri. Tubuh seksi Shireen yang dibalut oleh lingerie transparan semakin terlihat jelas di bawah cahaya terang kamar tidur mewah tersebut. Melihat pemandangan ini membuat gairah dalam diri Liam semakin memuncak dan miliknya langsung berdiri tegak dibalik celana yang masih ia pakai.
"Aku mohon jangan lakukan apa pun padaku!" desis Shireen sambil terisak sedih. Air mata berlinang dari matanya saat dia mencoba memohon belas kasihan kepada Liam. "Berapa hutang Nick sampai dia mengorbankan aku?" tambahnya dengan suara gemetar.
Namun, wajah dingin dan tanpa ekspresi pada wajah Liam menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan putus asa Shireen. Dia hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh dengan niat jahat dan keinginan untuk mempermainkannya.
Shireen merasa tak berdaya di hadapan Liam yang begitu kuat dan tanpa belas kasihan. Dia merasakan ketakutan yang melanda tubuhnya. Saat ini, Liam tampak sibuk mencampurkan bahan-bahan untuk minuman yang sudah dia persiapkan sejak tadi.
Minuman tersebut tidak sembarang minuman. Di dalamnya terdapat obat perangsang yang telah dia buat untuk Shireen. Setelah selesai membuat minuman tersebut, Liam duduk di tepi ranjang wanita itu sambil menyodorkan gelas berisi minuman kepada Shireen. Awalnya, Shireen menolak dengan keras dan tidak mau meminum apa pun yang diberikan oleh Liam.
"Tidak! Aku tidak ingin meminum apapun dari tanganmu!" seru Shireen dengan nada marah meski rasa takut terpancar jelas di matanya.
"Dia adalah ayahku.”Kata-kata itu jatuh di ruangan ICU yang steril, lebih sunyi dari bunyi monitor, lebih tajam dari jarum infus. Waktu seolah berhenti. Liam menatap Shireen, mencoba mencari jejak kebohongan atau kebingungan di matanya. Tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran yang menyakitkan dan ketakutan yang mendalam.Ayah Shireen. Pria yang membunuh ibunya.Dunia Liam yang baru saja mulai tertata kembali kini hancur berkeping-keping. Realita itu terlalu absurd, terlalu kejam untuk bisa diterima. Perempuan yang ia cintai, perempuan yang menjadi pusat alam semestanya, adalah putri dari monster yang telah menghancurkan keluarganya."Tidak," bisik Liam, lebih pada dirinya sendiri. Tangannya yang menggenggam tangan Shireen terasa dingin. "Itu... itu tidak mungkin. Nick pasti berbohong. Dia hanya ingin menghancurkan kita.""Aku juga berharap begitu, Liam," jawab Shireen lirih, air matanya mulai mengalir. "Tapi... entah kenapa, sebagian dari diriku merasa... itu benar.""Apa maksudmu?"
"Dia bilang, 'Jika Lawrence tahu siapa Shireen sebenarnya, dia tidak akan hanya membunuhku. Dia akan membunuh mereka semua'."Kata-kata itu menggantung di koridor rumah sakit yang sunyi, terasa lebih dingin dan lebih berbahaya daripada ancaman fisik mana pun. 'Mereka semua'. Siapa 'mereka'? Dan siapa Shireen sebenarnya? Pertanyaan itu berputar di benak Liam, menciptakan labirin baru yang lebih gelap dan lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan.Alessa menatapnya, menunggu reaksi. Tapi Liam hanya diam membeku. Otaknya mencoba memproses informasi itu, menghubungkannya dengan kepingan-kepingan aneh lainnya. Nick yang tiba-tiba punya sumber daya untuk melawannya. Daniel Hartman, paman Alessa, yang dihancurkan oleh ayahnya. Dan Shireen, seorang yatim piatu, yang entah bagaimana menjadi pusat dari semua badai ini."Liam?" panggil Alessa lembut, menyadarkannya."Pergilah, Alessa," kata Liam pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tidak menatapnya. Matanya terpaku pada pintu ruang ICU, seol
"Saat perempuan ini sadar nanti... jika dia sadar," kata Daniel, setiap katanya terdengar seperti vonis. "Singkirkan dia dari hidupmu. Selamanya.”Keheningan yang mengikuti ultimatum itu terasa lebih dingin daripada lantai rumah sakit. Liam mengangkat kepalanya perlahan, menatap ayahnya. Bukan lagi dengan tatapan anak yang terluka, tapi dengan tatapan seorang pria yang didorong hingga ke batasnya."Tidak," jawab Liam, suaranya pelan tapi begitu mantap hingga Daniel pun tampak sedikit terkejut."Apa katamu?""Aku bilang, tidak," ulang Liam, ia bangkit berdiri, kini mereka saling berhadapan dengan tinggi yang sejajar. "Aku tidak akan meninggalkannya."Daniel tertawa kecil, tawa yang penuh cemoohan. "Jangan bodoh, Liam. Kamu pikir apa yang bisa perempuan sepertinya berikan padamu? Selain masalah dan kelemahan?""Dia memberiku sesuatu yang tidak pernah kamu atau ibuku berikan," balas Liam, matanya berkilat. "Dia memberiku alasan untuk menjadi manusia.""Manusia?" Daniel mendengus. "Kita b
"Sudah kubilang, Nak," kata Daniel Lawrence. "Cinta hanya akan membuatmu lemah.”Kata-kata dingin itu menusuk Liam lebih tajam dari peluru mana pun. Ia mendongak, menatap ayahnya yang berdiri di ambang pintu, dikelilingi oleh pengawal-pengawal berjas hitam. Wajah Daniel tidak menunjukkan simpati, hanya kekecewaan dan rasa jijik yang tak terselubung. Seolah putranya yang sedang memangku seorang perempuan sekarat adalah sebuah aib yang harus segera dibersihkan.Tapi Liam tidak peduli. Dunianya kini menyempit, hanya sebatas wajah pucat Shireen di pangkuannya."Panggil ambulans!" teriak Liam, suaranya parau karena panik dan putus asa. "Cepat!"Arthur, yang baru saja selesai melumpuhkan Marco, langsung mengeluarkan ponselnya. "Sudah, Tuan! Mereka sedang dalam perjalanan!""Dia kehilangan banyak darah," bisik Liam pada dirinya sendiri. Ia menekan luka di perut Shireen dengan tangannya, mencoba menghentikan aliran darah yang tak mau berhenti. Tangannya bergetar hebat. Pria yang terbiasa meng
"Dia baru saja mengirimkan pesan padaku," lanjut Arthur. "Dia bilang, dia punya rencana cadangan.”Rencana cadangan. Dua kata itu terdengar seperti lonceng kematian. Waktu yang sudah tipis terasa semakin menipis. Nick, si ular licik itu, tidak hanya bermain catur dari tempat lain. Ia memiliki bidak lain di papan permainan yang tidak mereka ketahui.Wajah Liam mengeras. Kalimat yang tadi ingin ia selesaikan seolah tertelan kembali ke tenggorokannya. Tidak ada waktu untuk perasaan. Yang ada hanya waktu untuk bertindak."Apa isi pesannya?" tanya Liam, suaranya dingin dan terkendali."Hanya sebuah alamat, Tuan," jawab Arthur. "Dan satu kalimat: 'Jika terjadi sesuatu pada Marco, aku akan berkunjung ke tempat ini'."Liam berjalan cepat ke arah layar, mengetikkan alamat itu. Sebuah titik merah muncul di peta, jauh dari area pelabuhan. Jauh dari gudang tempat Alessa disandera.Jantung Shireen serasa jatuh ke perutnya. Itu alamat panti asuhan."Bajingan," desis Liam. Ia memukul meja dengan kep
"Potongan pertama akan segera kukirimkan ke depan pintumu.”Klik.Telepon mati, meninggalkan gaung suara tembakan dan jeritan Alessa di udara. Ruangan itu terasa menyusut, dindingnya seolah merapat, menghimpit napas Shireen. Satu jam. Waktu terasa seperti pasir yang mengalir terlalu cepat di antara jari-jari mereka.Liam membeku sesaat, wajahnya pucat pasi. Kepalan tangannya di sisi tubuhnya bergetar karena amarah yang tertahan. Lalu, ia bergerak. Bukan gerakan panik, tapi gerakan predator yang terdesak."Arthur!" teriaknya ke interkom. "Siapkan tim. Kita bergerak sekarang!""Tidak," sebuah suara pelan tapi mantap menghentikannya.Liam berbalik. Shireen berdiri di tengah ruangan, wajahnya pucat tapi matanya menyala dengan keteguhan yang mengejutkan. Tangis dan ketakutan yang tadi ada di matanya kini hilang, digantikan oleh sesuatu yang lebih dingin. Sesuatu yang menyerupai tekad."Apa maksudmu 'tidak'?" geram Liam. "Kita tidak punya waktu, Shireen!""Kamu tidak bisa pergi ke sana deng







