Lima belas tahun kemudian...
“Auummmm .... geeaarrkgk ...! Heaaaaat ...!”
Wuuss ... !!
Wuuss ... !!
Sesosok bayangan meloncat ke sana ke mari ke dinding tebing dan ke beberapa batang dan cabang-cabang dengan amat gesit dan cepatnya. Sosok itu yang tampaknya seorang pemuda itu naga-naganya sedang berlatih untuk mempertajam serangan jurus-jurus yang dimilikinya.
Berbagai serangan dahsyat dan mengerikan ia peragakan berupa pukulan cepat berantai, tendangan-tendangan, dan sekali-sekali melakukan serangkaian sergapan dan cakaran dengan kedua jari-jari tangannya yang kuat laksana jari-jari baja. Sekali-sekali ia menghantam dinding jurang berbatu cadas maupun pepohonan dengan pukulan angin panas yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi, sehingga benda-benda sasarannya menjadi hancur atau meninggalkan bekas yang menganga dan menghitam. Suara teriakan yang diselingi dengan auman dan gerungannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi sekali-kali terdengar ketika tendangan dan cakaran mengenai dan menghancurkan setiap sasarannya.
Demikian juga serangan mencakarnya, pun meninggalkan bekas yang mengerikan. Kedua jari tangannya laksana sepasang cakar yang terbuat dari baja yang sangat tajam dan mematikan. Bisa dibayangkan, jika tubuh manusia yang menjadi sasaran serangan cakaran maut itu, maka bisa dipastikan sang musuh akan meregang nyawa dalam waktu yang singkat!
Dilihat dari bekas pukulan serta cakaran pada batang-batang pohon dan dinding tebing cadas yang sudah babak belur dan hancur di sana sini, naga-naganya tempat itu memang sudah biasa dipakai oleh si pemuda sakti berambut gondrong untuk berlatih ilmu kesaktian dan olah kanuragannya. Yang menjadi sasarannya adalah batang-batang pohon serta batu-batu cadas di sekitarnya.
“Auuuumm ... geaarrgk ...!! Heaaaat ...!!”
“Kak Panjiii ...!”
“Kak Panjiii ...!”
Suara panggilan dari pinggir ngarai membuat si pemuda sakti sontak menggagalkan pukulan tangan kanannya seonggok batu besar di depannya.
Setelah ia mengatur kembali nafasnya, pemuda sakti yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu menengok ke arah dua pemuda yang sedang berdiri di seberang sungai. Kedua pemuda itu mungkin beberapa tahun di bawahnya.
“Ada apa, Karta, Golong?”
“Kak Panji harus ikut kita ke Krajan sekarang,” sahut pemuda yang bernama Golong. Seorang pemuda bertubuh pendek tapi kekar. Ia adalah adik seperguruannya Panji Jagat. (Krajan adalah pusat keramaian atau pemerintahan di sebuah desa).
“Mengapa aku harus ikut kalian ke sana? Ada apa di Krajan?” tanya Panji sembari membasuh wajah dan tubuh pada aliran air sungai.
“Saat ini Ki Lurah Cokro sedang mengadakan sayembara Tarung Wibawa lagi. Biasa, sekarang sudah usai masa panen raya. Jadi Kak Panji harus ikut sayembara itu. Jika mampu mengalahkan empat pendekar penguji, Ki Lurah akan memberikan hadiah lima ratus keping emas. Sebuah hadiah yang besar, bukan?” ucap Karta dengan wajah penuh harap.
“Jadi Ki Lurah sudah menyelenggarakan lagi acara itu setelah selama lima tahun ditiadakan akibat paceklik dan pagebluk?”
“Iya, benar, Kak,” sahut Golong lagi. “Jadi Kak Panji harus ikut. Inilah saatnya Kak Panji untuk membalas kekalahan Kak Panji kepada Jan Tole dalam sayembara Tarung Wibawa sebelum-sebelumnya.”
“Kenapa putranya Ki Lurah itu yang harus aku hadapi?”
“Karena Jan Tole adalah salah satu dari empat pendekar penguji itu, Kak,” sahut Karta.
“Benar, Kak Panji,” sambung Golong. “Kami sangat yakin jika Kak Panji bisa mengalahkan si pemuda sombong itu kali ini! Kebetulan pula, Jan Tole adalah pendekar utamanya dalam pertarungan ini. Artinya, jika Kak Panji bisa mengalahkan tiga pendekar penguji, maka dipertarungan terakhir Kak Panji akan berhadapan dengan dia.”
Ucapan si Golong membuat Panji manggut-manggut yang menandakan ia sependapat dengan adik seperguruannya itu. Memang, mungkin inilah waktunya untuk membalaskan kekalahannya yang terus ia alami dari dulu dari putra Ki Lurah Cokro itu. Masih segar dalam ingatannya, betapa bocah yang bernama Jan Tole selalu membuatnya bertekuk lutut dalam beberapa kali pertarungan di tingkat bocah. Memang, terakhir kali ia bertarung dengan Jan Tole sekitar enam tahun yang lalu. Pada pertarungan terakhir lima tahun yang lalu, Ki Raksa Jagat melarangnya untuk ikut bertarung.
“Baik, aku mau!” jawab Panji Jagat.
“Horeeee....! Kak Panji akan menjadi jawaranyaaa ...!!” teriak Jolong dan Kerta girang nyaris bersamaan.
“Tapi masalahnya ... apakah guru kita akan mengijikan aku untuk ikut pertarungan itu? Di sayembara yang terakhir dulu aku dilarang untuk ikut. Kalian berdua pasti ingat itu, kan?”
“Alasan guru kita melarang Kak Panji dulu untuk ikut lagi pertarungan itu karena ilmu Kak Panji masih di bawah JanTole. Dan sekarang, tentu beliau tak akan melarang lagi sebab ilmu kak Panji sudah lebih tinggi dari pemuda itu.”
“Ya kalau begitu kita harus minta ijin dulu pada guru kita.”
“Nanti saja ijinnya,” sahut si Karta. “Lagi pula beliau sedang bersemedi di candi semedinya, jangan diganggu.”
“Baiklah kalau begitu. Ayok kita berangkat.”
***
Jarak padepokan Ki Permana Jagat dengan Krajan kuwu setempat cukup jauh sebenarnya, karena setelah mendakit jurang curam dan tinggi mereka harus melewati sebuah bukit lalu melintasi sebuah lembah yang cukup luas. Namun karena menggunakan kecepatan lari yang mengandung kekuatan ilmu meringankan tubuh, ketiga calon Pendekar Macan Tutul itu mampu mencapai kalangan pertarungan dalam waktu yang tak lama. Saat itu sedang berlangsung antara tiga Pendekar Penguji selaku pendekar tertantang dengan lima orang pendekar penantang. Pertarungan itu terlihat sangat seru, walau jika dilihat oleh orang-orang dunia kependekaran, tampak jelas sekali jika pertarungan itu tak seimbang. Lima pendekar memang sekali-sekali berhasil memasukkan pukulan maupun tendangan keras mereka ke tubuh ketiga pendekar penguji. Namun ketiga pendekar penguji berhasil membalas dengan serangan dan mengirimkan pukulan serta tendangan secara bertubi-tubi ke berbagai titik di tubuh kelima lawan mereka. “Kenapa ket
Tendangan dan hantaman keras dari ketiga Pendekar Penguji terjadi secara beruntun dan amat keras, membuat tubuh kelima pendekar penantang langsung terlempar dan mencelat ke luar panggung. Kelimanya jatuh dengan punggung membentur bumi, sehingga saat benturan itu terjadi dari mulut mereka menyembur darah segar. Para penonton dengan suka rela segera membantu kelima pendekar itu membantu menegakkan tubuh kelima pendekar malang itu. Ada juga di antara mereka segera memberinya air minum. Seorang laki-laki yang bertindah sebagai juru acara melompat ke atas panggung dan mengumumkan akan kemenangan dari ketiga Pendekar Penguji. Sambutan dengan tepuk tangan yang disertai teriakan-teriakan langsung membahana di sekeliling panggung pertarungan. “Yak, dengan kekalahan dari kelima pendekar penantang barusan,” lanjut sang juru acara lagi, “adalah akhir dari Sayembara Wibawa untuk tahun ini. Karena itu, Sayembara Wibawa tahun ini masih dimenangkan oleh para Pendekar Peng
Spontan pula ketiga Pendekar Penguji membalikkan tubuhnya hendak menangkap bagian tubuh Panji Jagat lalu menghajarnya secara berbarengan. Akan tetapi, bukan saja maksud ketiganya tak berhasil, bahkan di luar dugaan mereka Panji Jagat telah mendahului dengan gerakan mencakar yang amat cepat dan mematikan. Dan ... Creesshh ....!! Creesshh ...!! Cressshh ...!! “Aaauuuww ...!!” Bagian dada ketiga Pendekar Penguji langsung koyak dan mengeluarkan darah segar akibat cakaran cepat daroi kedua jari tangan Panji Jagat. Ketiganya pun menjerit tinggi nyaris bersamaan. Bukan saja ketiga Pendekar Penguji itu yang dibuat sangat kaget plus menderita, seluruh penonton pun langsung dibuat terbelalak dan berteriak tertahan. Demikian juga reaksi Ki Lurah Cokro Setiaji dan putranya, Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Ayah beranak itu sontak berdiri dari kursinya dengan wajah terperangah. Di atas Panggung, Panji Jagat berdiri tegak sembari melemparkan senyum sinis
Panji Jagat menangkap sekantong keping emas yang dilemparkan oleh Ki Luar Cokro dan berkata, “Terima kasih, Ki Lurah. Ki Lurah adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Saya sangat menghormati itu.” “Hm, sama-sama, Anak Muda yang hebat. Sampaikan salamku pada gurumu, Ki Raksa Jagat. Walaupun aku belum bernah melihat wajahnya, tetapi beliau adalah seorang pendekar besar yang sangat aku kagumi.” “Baik, Ki Lurah, salam Ki Lurah akan saya sampaikan kepada guru saya,” sahut Panji Jagat. Lalu berkata kepada Jan Tole, “Hai, Sobat. Kita lupakan masa lalu kita. Anggap itu sebagai cerita kita yang menyenangkan. Berlatihlah lebih keras lagi.” Bagi Jan Tole, kalimat itu tetap terasa sebagai sindiran tajam baginya. Ia mendengus kesal. Romonya, hanya melihatnya sesaat sebelum melangkah meninggalkannya untuk turun dari panggung. Jan Tole rupanya masih sangat penasaran. Ia juga merasa sakit hati karena diremehkan oleh romonya sendiri. Di luar dugaan siapa pu, tubuhnya m
Ki Raksa Jagat memerintahkan sang murid untuk mengambil sikap semedi dalam sebuah sendang kecil yang terletak di sebelah barat candi semedi. Golong dan Kerta hanya menyaksikan dari jarak yang cukup jauh prosesi penurunan ilmu pamungkas itu. Ki Raksa Jagat duduk di tepian sendang dengan sikap seperti sedang bersemedi setelah ia mengerahkan seluruh energi alam dan energi murni dari dalam dirinya lalu menyatukannya di kedua pelah tangannya. Kedua tangannyanya digerakkan ke depan dengan gerakan secara pelan dan indah yang juga diikuti oleh gerakan tubuhnya. Sekilas ia seperti orang yang sedang mengaduk masakan dalam belanga dengan tongkat ke depan. Air sendang yang direndami oleh Panji Jagat pun pelan-pelan ikut berputar, juga bergolak serta mulai mengepulkan asap. Ketika makin lama Ki Raksa Jagat menggerakkan gerakan berputar tangannya, maka makin cepat juga gerak berpusing air sendang berikut tubuh Panji Jagat. Lalu beberapa detik kemudian putaran air sendang yang dise
Tiba-tiba Panji memejamkan matanya. Ada sesuatu hal yang ia rasakan saat itu. “Dan ... Guru, mengapa aku seolah-olah bisa mendengarkan semua bahasa hewan? Oh, dunia tiba-tiba terasa ramai ...!” “Benar, Muridku. Karena dalam tubuhmu, dalam darah dan dagingmu, hingga tarik nafasmu, telah tertanam berbagai ilmu kesaktian. Kau mampu memahami bahasa binatang karena kau memiliki Ilmu Ajian Ginem, tubuhmu akan seperti baja dan tak akan ada yang mampu melukaimu karena dalam tubuhmu juga telah tertanama Ajian Brojomusti, kau akan mampu membelah wujudmu menjadi wujud yang banyak karena kau telah menyimpan Ajian Belah Rogo. Bahkan kau pun mampu berubah penampakan wujudmu dari pandangan orang lain dengan wujud apa pun karena engkau memiliki Ajian Malih Rupa. Namun karena kamu adalah Pendekar Macan Tutul, wujudmu akan terlihat seperti seekor macan tutul, baik oleh hewan maupun oleh musuh-musuhmu. Saat amarahmu menguasai dirimu, maka kau seakan-akan menjelma bagai seekor macan dengan ber
Panji Jagat tak mampu menatap wajah gurunya. Air matanya keluar begitu saja tanpa mampu ia bendung. “Seorang laki-laki sejati tak pantas untuk meneteskan air mata, apa pun pedihnya hal yang tengah kita hadapi, Muridku,” Ki Raksa Jagat mengigatkan. “Jika pun air matamu harus tumpah, maka tumpahkan saja ke dalam, jangan keluar. Air mata seorang laki-laki bisa melemahkan orang-orang di sekitarmu, terlebih kau kelak tentu akan menjadi seseorang sebagai tempat bersandarnya banyak orang.” “Ma-maafkan aku, Guru!” ucap Panji Jagat sembari menghapus air matanya dengan jari-jari tanganya. “Hm. Sekarang kaudengarkan aku. Aku pernah melakukan penyelidikan ke kota raja. Kondisi kehidupan di Kerajaan Gundala saat ini tidak sedang baik-baik saja. Pemerintahan Prabu Natanala seakan-akan berjalan tanpa arah yang jelas. Rakyat sendiri dicekik batang leher mereka dengan pajak yang tinggi. Pungutan haram yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan makin membuat kehidupan rakyat Gundal
Gantian laki-laki desa yang mengulang nama tempat yang disebutkan oleh Panji Jagat. Ada gambaran keheranan yang terlihat di wajah laki-laki paroh baya baya itu. Karena menurut masyarakat di sekitar, Ngarai Kulon adalah sebuah kawasan yang sangat angker dan tak siapa pun berani memasuki kawasan itu. Bukan karena sekedar angker tetapi untuk menuruni jurang agar bisa berpijak di kawasan itu amatlah sulit dan sangat berbahaya. Lalu tempat tinggal pemuda tampan berwajah bangsawan ini di sebelah mananya? “Kenapa, Ki ...?” “Oh, tak apa-apa, Den Bagus,” jawab laki-laki desa dengan cepat. “Jadi Den Bagus ini akan menuju kota raja?” “Iya, Ki. Apakah kota raja masih cukup jauh dari sini?” “Bukan masih jauh lagi, Den Bagus, tapi masih sangat jauh. Dengan naik kuda yang paling cepat karinya pun, Den Bagus baru sampai ke sana mungkin sudah mulai malam. Jika jalan kaki, ya mungkin bisa sampai esok hari, Den Bagus.” “Oh, baiklah. Saya akan menikmati perjalanan k