Share

PART 03

      Lima belas tahun kemudian...

      “Auummmm .... geeaarrkgk ...! Heaaaaat ...!”

      Wuuss ... !!

      Wuuss ... !!

      Sesosok bayangan meloncat ke sana ke mari ke dinding tebing dan ke beberapa batang dan cabang-cabang dengan amat gesit dan cepatnya. Sosok itu yang tampaknya seorang pemuda itu naga-naganya sedang berlatih untuk mempertajam serangan jurus-jurus yang dimilikinya.

      Berbagai serangan dahsyat dan mengerikan ia peragakan berupa pukulan cepat berantai, tendangan-tendangan, dan sekali-sekali melakukan serangkaian sergapan dan cakaran dengan kedua jari-jari tangannya yang kuat laksana jari-jari baja.  Sekali-sekali ia menghantam dinding jurang berbatu cadas maupun pepohonan dengan pukulan angin panas yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi, sehingga benda-benda sasarannya menjadi hancur atau meninggalkan bekas yang menganga dan menghitam. Suara teriakan yang diselingi dengan auman dan gerungannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi sekali-kali terdengar ketika tendangan dan cakaran mengenai dan menghancurkan setiap sasarannya.

       Demikian juga serangan mencakarnya, pun meninggalkan bekas yang mengerikan. Kedua jari tangannya laksana sepasang cakar yang terbuat dari baja yang sangat tajam dan mematikan. Bisa dibayangkan, jika tubuh manusia yang menjadi sasaran serangan cakaran maut itu, maka bisa dipastikan sang musuh akan meregang nyawa dalam waktu yang singkat!

      Dilihat dari bekas pukulan serta cakaran pada batang-batang pohon dan dinding tebing cadas yang sudah babak belur dan hancur di sana sini, naga-naganya tempat itu memang sudah biasa dipakai oleh si pemuda sakti berambut gondrong untuk berlatih ilmu kesaktian dan olah kanuragannya. Yang menjadi sasarannya adalah batang-batang pohon serta batu-batu cadas di sekitarnya.

      

     “Auuuumm ... geaarrgk ...!! Heaaaat ...!!”

     “Kak Panjiii ...!”

     “Kak Panjiii ...!”

     Suara panggilan dari pinggir ngarai membuat si pemuda sakti sontak menggagalkan pukulan tangan kanannya  seonggok batu besar di depannya.

      Setelah ia mengatur kembali nafasnya, pemuda sakti yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu menengok ke arah dua pemuda yang sedang berdiri di seberang sungai. Kedua pemuda itu mungkin beberapa tahun di bawahnya.

      “Ada apa, Karta, Golong?”

      “Kak Panji harus ikut kita ke Krajan sekarang,” sahut pemuda yang bernama Golong. Seorang pemuda bertubuh pendek tapi kekar. Ia adalah adik seperguruannya Panji Jagat. (Krajan adalah pusat keramaian atau pemerintahan di sebuah desa).

      “Mengapa aku harus ikut kalian ke sana? Ada apa di Krajan?” tanya Panji sembari membasuh wajah dan tubuh pada aliran air sungai.

      “Saat ini Ki Lurah Cokro sedang mengadakan sayembara Tarung Wibawa lagi. Biasa, sekarang sudah usai masa panen raya. Jadi Kak Panji harus ikut sayembara itu. Jika mampu mengalahkan empat pendekar penguji, Ki Lurah akan memberikan hadiah lima ratus keping emas. Sebuah hadiah yang besar, bukan?” ucap Karta dengan wajah penuh harap.

      “Jadi Ki Lurah sudah menyelenggarakan lagi acara itu setelah selama lima tahun ditiadakan akibat paceklik dan pagebluk?”

      “Iya, benar, Kak,” sahut Golong lagi. “Jadi Kak Panji harus ikut. Inilah saatnya Kak Panji untuk membalas kekalahan Kak Panji kepada Jan Tole dalam sayembara Tarung Wibawa sebelum-sebelumnya.”

      “Kenapa putranya Ki Lurah itu yang harus aku hadapi?”

      “Karena Jan Tole adalah salah satu dari empat pendekar penguji itu, Kak,” sahut Karta.

      “Benar, Kak Panji,” sambung Golong. “Kami sangat yakin jika Kak Panji bisa mengalahkan si pemuda sombong itu kali ini! Kebetulan pula, Jan Tole adalah pendekar utamanya dalam pertarungan ini. Artinya, jika Kak Panji bisa mengalahkan tiga pendekar penguji, maka dipertarungan terakhir Kak Panji akan berhadapan dengan dia.”

              Ucapan si Golong membuat Panji manggut-manggut yang menandakan ia sependapat dengan adik seperguruannya itu. Memang, mungkin inilah waktunya untuk membalaskan kekalahannya yang terus ia alami dari dulu dari putra Ki Lurah Cokro itu. Masih segar dalam ingatannya, betapa bocah yang bernama Jan Tole selalu membuatnya bertekuk lutut dalam beberapa kali pertarungan di tingkat bocah. Memang, terakhir kali ia bertarung dengan Jan Tole sekitar enam tahun yang lalu. Pada pertarungan terakhir  lima tahun yang lalu, Ki Raksa Jagat melarangnya untuk ikut bertarung.

       “Baik, aku mau!” jawab Panji Jagat.

       “Horeeee....! Kak Panji akan menjadi jawaranyaaa ...!!” teriak Jolong dan Kerta girang nyaris bersamaan.

      “Tapi masalahnya ... apakah guru kita akan mengijikan aku untuk ikut pertarungan itu? Di sayembara yang terakhir dulu aku dilarang untuk ikut. Kalian berdua pasti ingat itu, kan?”

      “Alasan guru kita melarang Kak Panji dulu untuk ikut lagi pertarungan itu karena ilmu Kak Panji masih di bawah JanTole. Dan sekarang, tentu beliau tak akan melarang lagi sebab ilmu kak Panji sudah lebih tinggi dari pemuda itu.”

       “Ya kalau begitu kita harus minta ijin dulu pada guru kita.”

       “Nanti saja ijinnya,” sahut si Karta.  “Lagi pula beliau sedang bersemedi di candi semedinya, jangan diganggu.”

      “Baiklah kalau begitu. Ayok kita berangkat.”

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status