Share

PART 03

Author: Aura Kisah
last update Last Updated: 2022-12-03 21:36:35

      Lima belas tahun kemudian...

      “Auummmm .... geeaarrkgk ...! Heaaaaat ...!”

      Wuuss ... !!

      Wuuss ... !!

      Sesosok bayangan meloncat ke sana ke mari ke dinding tebing dan ke beberapa batang dan cabang-cabang dengan amat gesit dan cepatnya. Sosok itu yang tampaknya seorang pemuda itu naga-naganya sedang berlatih untuk mempertajam serangan jurus-jurus yang dimilikinya.

      Berbagai serangan dahsyat dan mengerikan ia peragakan berupa pukulan cepat berantai, tendangan-tendangan, dan sekali-sekali melakukan serangkaian sergapan dan cakaran dengan kedua jari-jari tangannya yang kuat laksana jari-jari baja.  Sekali-sekali ia menghantam dinding jurang berbatu cadas maupun pepohonan dengan pukulan angin panas yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi, sehingga benda-benda sasarannya menjadi hancur atau meninggalkan bekas yang menganga dan menghitam. Suara teriakan yang diselingi dengan auman dan gerungannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi sekali-kali terdengar ketika tendangan dan cakaran mengenai dan menghancurkan setiap sasarannya.

       Demikian juga serangan mencakarnya, pun meninggalkan bekas yang mengerikan. Kedua jari tangannya laksana sepasang cakar yang terbuat dari baja yang sangat tajam dan mematikan. Bisa dibayangkan, jika tubuh manusia yang menjadi sasaran serangan cakaran maut itu, maka bisa dipastikan sang musuh akan meregang nyawa dalam waktu yang singkat!

      Dilihat dari bekas pukulan serta cakaran pada batang-batang pohon dan dinding tebing cadas yang sudah babak belur dan hancur di sana sini, naga-naganya tempat itu memang sudah biasa dipakai oleh si pemuda sakti berambut gondrong untuk berlatih ilmu kesaktian dan olah kanuragannya. Yang menjadi sasarannya adalah batang-batang pohon serta batu-batu cadas di sekitarnya.

      

     “Auuuumm ... geaarrgk ...!! Heaaaat ...!!”

     “Kak Panjiii ...!”

     “Kak Panjiii ...!”

     Suara panggilan dari pinggir ngarai membuat si pemuda sakti sontak menggagalkan pukulan tangan kanannya  seonggok batu besar di depannya.

      Setelah ia mengatur kembali nafasnya, pemuda sakti yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu menengok ke arah dua pemuda yang sedang berdiri di seberang sungai. Kedua pemuda itu mungkin beberapa tahun di bawahnya.

      “Ada apa, Karta, Golong?”

      “Kak Panji harus ikut kita ke Krajan sekarang,” sahut pemuda yang bernama Golong. Seorang pemuda bertubuh pendek tapi kekar. Ia adalah adik seperguruannya Panji Jagat. (Krajan adalah pusat keramaian atau pemerintahan di sebuah desa).

      “Mengapa aku harus ikut kalian ke sana? Ada apa di Krajan?” tanya Panji sembari membasuh wajah dan tubuh pada aliran air sungai.

      “Saat ini Ki Lurah Cokro sedang mengadakan sayembara Tarung Wibawa lagi. Biasa, sekarang sudah usai masa panen raya. Jadi Kak Panji harus ikut sayembara itu. Jika mampu mengalahkan empat pendekar penguji, Ki Lurah akan memberikan hadiah lima ratus keping emas. Sebuah hadiah yang besar, bukan?” ucap Karta dengan wajah penuh harap.

      “Jadi Ki Lurah sudah menyelenggarakan lagi acara itu setelah selama lima tahun ditiadakan akibat paceklik dan pagebluk?”

      “Iya, benar, Kak,” sahut Golong lagi. “Jadi Kak Panji harus ikut. Inilah saatnya Kak Panji untuk membalas kekalahan Kak Panji kepada Jan Tole dalam sayembara Tarung Wibawa sebelum-sebelumnya.”

      “Kenapa putranya Ki Lurah itu yang harus aku hadapi?”

      “Karena Jan Tole adalah salah satu dari empat pendekar penguji itu, Kak,” sahut Karta.

      “Benar, Kak Panji,” sambung Golong. “Kami sangat yakin jika Kak Panji bisa mengalahkan si pemuda sombong itu kali ini! Kebetulan pula, Jan Tole adalah pendekar utamanya dalam pertarungan ini. Artinya, jika Kak Panji bisa mengalahkan tiga pendekar penguji, maka dipertarungan terakhir Kak Panji akan berhadapan dengan dia.”

              Ucapan si Golong membuat Panji manggut-manggut yang menandakan ia sependapat dengan adik seperguruannya itu. Memang, mungkin inilah waktunya untuk membalaskan kekalahannya yang terus ia alami dari dulu dari putra Ki Lurah Cokro itu. Masih segar dalam ingatannya, betapa bocah yang bernama Jan Tole selalu membuatnya bertekuk lutut dalam beberapa kali pertarungan di tingkat bocah. Memang, terakhir kali ia bertarung dengan Jan Tole sekitar enam tahun yang lalu. Pada pertarungan terakhir  lima tahun yang lalu, Ki Raksa Jagat melarangnya untuk ikut bertarung.

       “Baik, aku mau!” jawab Panji Jagat.

       “Horeeee....! Kak Panji akan menjadi jawaranyaaa ...!!” teriak Jolong dan Kerta girang nyaris bersamaan.

      “Tapi masalahnya ... apakah guru kita akan mengijikan aku untuk ikut pertarungan itu? Di sayembara yang terakhir dulu aku dilarang untuk ikut. Kalian berdua pasti ingat itu, kan?”

      “Alasan guru kita melarang Kak Panji dulu untuk ikut lagi pertarungan itu karena ilmu Kak Panji masih di bawah JanTole. Dan sekarang, tentu beliau tak akan melarang lagi sebab ilmu kak Panji sudah lebih tinggi dari pemuda itu.”

       “Ya kalau begitu kita harus minta ijin dulu pada guru kita.”

       “Nanti saja ijinnya,” sahut si Karta.  “Lagi pula beliau sedang bersemedi di candi semedinya, jangan diganggu.”

      “Baiklah kalau begitu. Ayok kita berangkat.”

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PENDEKAR MACAN TUTUL   PART 47

    Panji Jagat alias Prabu Kertabhumi harus berpikir untuk menetap sedikit lebih lama di Kuwu Kradenan ini. Ia harus menyelesaikan permasalahan di desa itu dengan tuntas. Warga harus dibebaskan dari segala penderitaan yang ditimbulkan oleh pemimpin lalimmereka, Lurah Arga Seta. Mungkin langkan yang paling bagus adalah ia harus melenyapkan sang lurah itu tanpa menimbulkan gejolak apa pun. Dan itu ia mampu melakukannya dengan kesaktian yang dimilikinya. Hanya saja, tentu ia akan melakukan secara pelan-pelan dan bertahap. Pada suatu siang Panji Jagat mengajak Arya Wening untuk jalan-jalan berkeliling dengan menunggang kuda. Keduanya berkeliling hingga ke kawasan persawahan yang di sebelah timur desa atau kuwu. Kawasan persawahan itu merupakan persawahan yang bisa ditanami tiga kali dalam setahun karena memiliki bendungan yang bisa mengairi persawahan itu di sepanjang tahun. Sementara kawasan persawahan di sebelah barat desa kebanyakan tanah tadah hujan. Hanya sedikit lahan persaw

  • PENDEKAR MACAN TUTUL   PART 46

    Beberapa hari setelah keluarga itu kembali menempati rumahnya, keadaan berangsur-angsur membaik. Ada perasaan tenang di wajah mereka, walau rasa waswas itu tetap ada dalam hati mereka. Mereka masih belum yakin akan jaminan kedamaian hidup mereka. Ki Lurah Arga Seta adalah orang yang licik dan culas. Ia punya banyak cara untuk tidak membiarkan warganya untuk menikmati hidup aman dan tenteram. Seolah-olah hanya dia saja yang boleh tenteram dan makmur hidupnya, sementara rakyatnya tak boleh lebih dari hanya sekelompok sapi perah saja baginya. Siang itu wajah Nyi Utari, Nyi Utanti, Ajeng Kumalahari, serta Nismara terlihat cerah ketika melihat Panji Jagat dan Arya Wening kembali dari padang perburuan dengan membawa hasil perburuan mereka. Di punggung kuda kedua laki-laki itu masing-masing membawa dua ekor kijang jantan yang besar-besar. Semuanya ada empat ekor rusa yang berhasil mereka buru. Tetangga kiri kanan yang melihat kepulangan dua laki-laki itu dari perburuan, se

  • PENDEKAR MACAN TUTUL   PART 45

    Namun saat hampir semua warga sudah pulang ke rumahnya masing-masing, tiba-tiba seorang ibu dan anak gadisnya datang dengan tergopoh-gopoh dan langsung memeluk tubuh Nyi Utari dan Ajeng Kumalahari semari memecahkan tangis mereka. Menurut Ki Martani, keduanya adalah adik dan kemenakan dari istrinya. Namanya Nyi Utanti dan putrinya Nismara. Rumah mereka berada di ujung perkampungan di sebelah timur. Nyi Utanti tinggal bertiga dengan kedua anaknya, Bayuaji dan Nismara, setelah setahun yang lalu suaminya meninggal. “Kalian dari mana kok baru tiba sekarang?” tanya Nyi Utari pada Nyi Utanti dan Nismara. “Kami baru pulang dari persawahan untuk mencari sisa-sisa padi, Yu. Kami sangat kaget sekaligus gembira karena kalian sudah kembali di rumah ini.” “Iya, Nimas. Itu karena Angger Panji yang melunasi semua hutang kami,” jawab Ki Martani. “Tole Bayuaji ke mana kok tidak bersama kalian?” “Dia belum pulang dari menjagakan ternak Ki Lurah dimpadang sebelah ut

  • PENDEKAR MACAN TUTUL   PART 44

    Melihat pemberian di luar dugaan itu, membuat Poranda dan kesembilan anak buahnya kaget, terbelalak, dan girang yang bercampur aduk. Setelah meletakkan segenggam keping emas itu di tangannya Ki Poranda, Panji Jagat pun segera bergegas masuk dengan mengabaikan ucapan terima kasih dari laki-laki itu dan anak buahnya, menyusul Ki Martani dan keluarganya. Saat ia menyusul masuk ke dalam rumah besar yang tadi dilihatnya, Ki Martani dan Nyi Utari sedang menangis berpelukan haru dengan putrinya, Ajeng Kumalahari. “Apakah Anak Muda ini yang akan melunaskan hutangmu, Ki Martani?” tanya Ki Lurah Arga Seta sembari menatap kepada Panji Jagat. Dan pertanyaan itu langsung dibenarkan sendiri oleh Panji Jagat. “Baik, silakan duduk,” Ki Lurah Arga Seta mempersilakan Panji Jagat duduk, sebelum lanjut bertanya, “Apakah kalian sudah tahu berapa hutang kalian sekarang? Jumlahnya masih delapan ratus keping emas ! Apakah kalian membawa keping emas sejumlah itu?” Mendengar juml

  • PENDEKAR MACAN TUTUL   PART 43

    Benar saja apa yang diceritakan oleh Ki Martani, dalam kamar itu tersimpan berpeti-peti keping emas dan perak (selaka). Selain disimpan dalam peti-peti yang terbuat dari bahan yang sama dengan isinya, keping-keping emas dan perak disimpan dalam kantong-kantong dari bahan kulit hewan. Kantong serupa banyak dijual di pasar-pasar dan kedai. Panji Jagat memperkirakan, tiap kantong itu berisi lebih dari lima ribu keping emas atau perak. “Benar-benar gila ini lurah. Seolah-olah jika dia mampus seluruh harta yang ditumpuknya akan dibawanya serta ke neraka,” gumannya sambil menggeleng-geleng. “Hm, jika aku ambil dua kantong saja, tentu si lurah fasik dan zalim itu tak akan menyadarinya,” desahnya pula. Karena kantong-kantong itu hanya disusun dan ditumpuk begitu saja. Dan ia sama sekali tak merasa akan menjadi pencuri atas harta itu, karena ia merasa bahwa harta-harta itu diperoleh oleh Ki Lurah Arga Seta dengan jalan fasik dan zalim. Ia mengambilnya untuk dikembalikan kepada

  • PENDEKAR MACAN TUTUL   PART 42

    Terenyuh sekaligus geram hati Panji Jagat mendengar cerita laki-laki yang malang di depannya. “Lalu dangau dan sawah yang Ki Martani tanami dan jaga ini milik siapa?” “Ini milik saudara laki-laki saya, Ngger. Dia seorang perwira di kerajaan. Dia menyerahkan kepada saya untuk menggarapnya.” “Saudara laki-laki Ki Martani seorang perwira kerajaan? Mengapa dia tak turun tangan untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh Ki Martani?” “Pastinya dia sangat ingin melakukannya,” sahut Ki Martani sembari menyelesaikan makanannya. “Tapi dia tak memiliki kuasa apa pun, kendati ia seorang perwira kerajaan. Sementara Ki Lurah Arga Seta masih merupakan kerabat istana. Tentu raja akan membela trahnya sendiri. Salah-salah saudara saya justru mendapat masalah. Raja kami bukanlah seorang raja yang adil dan bijaksana, Ngger.” Kendati dirinya juga seorang raja dari sebuah kerajaan besar, namun Panji Jagat belum begitu paham dan kenal tentang kerajaan-kerajaan lain beriku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status