Share

Dendam Kesumat

Hoshh... hosh... 

Ambu terus berlari turun dari gunung dan masuk ke hutan yang sangat gelap itu meski sudah mulai kehabisan napas dan juga kedinginan. Paru-parunya bekerja lebih keras dari sebelumnya meski tangan kirinya sudah mulai mati rasa.

"Sialan! Siluman itu! Aku pasti akan membunuhnya! Bapak, ibu! Maafkan aku! Aku tidak berguna dan justru lari seperti pecundang!" teriak Ambu memecah keheningan hutan disertai dengan tangisan.

Koin emas yang diwariskan oleh bapaknya, Ambu simpan baik-baik di dalam bajunya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat besi satunya yang masih berada di luar rumah. Ambu merasa dirinya akan sedikit aman jika membawa sebuah senjata. Ambu juga tak tahu kalo dirinya sedang dikejar oleh puluhan tuyul.

Beberapa menit berlalu, stamina Ambu mulai melemah. Dirinya sudah mulai merasa lelah karena berlari dengan membawa tongkat besi yang lumayan berat. Meski tangisnya sudah berhenti, tapi lubang besar di hatinya akan sulit ditutup. Hal itu sangat diuntungkan bagi para tuyul di belakang Ambu. Alhasil para tuyul itu hampir menyusul Ambu dan memenuhi misinya saat Ambu berhenti sejenak untuk mengatur napas.

"Apa-apaan ini?! Jadi benar ada yang mengejarku!" batin Ambu setelah mendengar suara langkah kaki yang banyak di belakangnya.

"Aku harus segera lari kembali! Percuma saja kalo aku tertangkap di sini! Pengorbanan bapak dan ibu hanya akan sia-sia saja," pikir Ambu lantas berancang-ancang untuk berlari lagi.

Para tuyul yang seperti goblin itu terus saja mengejar Ambu hingga masuk ke bagian hutan paling dalam. Cuma cahaya rembulan dan bintang malam yang menerangi hutan.

"Aku sungguh tidak kuat lagi berlari. Apa aku harus melawan mereka juga, ya? Tapi percuma saja. Saat di hadapan siluman yang tadi pun aku tak bisa bertindak apa-apa! Sial!" recok Ambu dengan napas tersengal-sengal. Dirinya kini berhenti dari larinya.

Ambu mulai merasakan kepalanya pusing tujuh keliling. Pijakan kakinya pun serasa lemas lunglai. Pandangan matanya mulai kabur dan tubuhnya pun gontai.

"Tidak... aku harus bisa kabur dari hutan ini dan memenuhi wasiat bapak. Aku tidak boleh tak sadarkan diri di sini," lirih Ambu masih berusaha menjaga matanya agar tetap terbuka.

Meski Ambu sudah merasa tubuhnya yang lemah itu akan tersungkur, namun dengan segenap kekuatannya Ambu tetap mempertahankannya. Hingga sampailah para tuyul itu berhasil menyusul remaja yang tengah berkecamuk dengan perasaannya itu.

"Knk bch pnkt!" ucap si pimpinan tuyul dengan bahasa mereka sendiri setelah melihat Ambu.

"Tgkp dy dn bw k T.Ptr psknk!" perintah si pimpinan. Para tuyul itu pun segera menuruti perintahnya.

Tuyul berukuran 60-120 cm yang berjumlah 30 itu langsung menyerbu Ambu secara bersamaan. Ambu yang melihat hal tersebut langsung bereaksi dengan mengayunkan tongkat besinya ke sana ke mari untuk menghalau para tuyul.

Suhu tubuh Ambu seketika mendidih dan peluh pun berceceran mulai dari keningnya sampai jatuh ke tanah. Tangan kirinya yang tadi sangat mati rasa karena dinginnya udara malam di hutan, kini sudah bisa digerakkan lagi.

Pemimpin tuyul hanya berdiri tak jauh dari Ambu berada. Terpaksa Ambu yang berniat lari malah meladeni tuyul-tuyul yang terus berdatangan padanya. 4 sampai 5 tuyul berhasil Ambu tumbangkan, namun jumlah yang sama kembali datang padanya. Ditambah lagi tuyul tersebut tidak langsung mati karena ayunan tongkat Ambu tidak terlalu kuat untuk membuat para tuyul itu pingsan bahkan mati.

"Matilah! Matilah kalian, Siluman Jahat!" umpat Ambu hingga tak terasa air matanya mulai mengalir bercampur kemurkaan saat dia mengayunkan tongkat besinya.

"Cpt tgkp dy!" perintah si pimpinan tuyul.

10 tuyul yang masih ada di belakang dengan segera mengarah ke Ambu. Para tuyul lainnya yang sudah tumbang pun bangkit kembali dan hendak menangkap Ambu juga.

"Gawat! Mereka semakin banyak! Aku tak mungkin sanggup melawan mereka semua! Semuanya akan berakhir jika aku tertangkap di sini!" pikir Ambu untuk tetap berusaha tenang.

Tanpa pikir panjang lagi Ambu langsung angkat kaki dari tempatnya semula dan kembali berlari dengan harapan ada yang menolongnya.

Hutan dengan pepohonan yang lebat dan besar itu sungguh mengerikan saat malam hari. Para tuyul berwarna hijau dengan matanya yang merah serta badan kecil menambah kesan menakutkannya hutan. Belum lagi hewan-hewan buas yang tak bisa diterka kapan munculnya.

Entah kenapa Ambu masih kuat berlari saat itu, namun tetap saja itu tidak akan mengubah hasil yang sudah bisa diperkirakan. Hanya selang beberapa langkah kaki saja, Ambu terjatuh. Kakinya sungguh tak bisa diajak lari lebih lama lagi.

"Ah! Sial! Ayolah kaki! Berdirilah!" pekik Ambu setinggi langit sembari memukul kakinya. Sesekali Ambu melirik ke belakang dan melihat para tuyul itu hampir berhasil menangkapnya untuk ke sekian kali. Perlahan untuk kedua kalinya karena tenaga Ambu betul-betul sudah terkuras, pandangan matanya buyar. Tangan yang tadinya menggenggam sebuah tongkat besi dengan kuat juga mulai melemah dan tongkat pun mencium tanah sepenuhnya.

"Ah... apa ini akhirnya untukku? Bapak, ibu, maaf tidak bisa memenuhi wasiat kalian berdua. Andai saja sejak dulu aku tidak malas untuk berlatih, jika hal seperti ini terjadi pastinya aku akan lebih berguna dari pada hanya bisa lari saja," batin Ambu sesaat sebelum matanya tertutup rapat dan hanya bisa memandangi tuyul yang sudah sangat dekat padanya untuk terakhir kali.

Ambu juga masih bisa melihat dengan samar kalo seorang tuyul berhasil meraih kakinya. Beberapa tuyul yang lain pun mendekatinya juga untuk membawanya ke Putri Siluman. Beberapa lagi berusaha merogoh pakaian Ambu untuk mencari keberadaan koin emas yang di bawa anak itu. 

Tawa nyaring sang Putri Siluman yang menggema di tengah hutan pun terdengar jelas oleh telinga Ambu. Remaja itu sangat tahu apa yang akan terjadi padanya saat dirinya tertangkap.

“Di mana kau bocah penakut?! Aku pasti akan merebut koin emas itu darimu!”

Suara si Putri Siluman semakin dekat. Dengan arahan dari beberapa tuyul yang ada di hutan itu, si Putri Siluman pun akhirnya melihat keberadaan Ambu dari kejauhan. Senyum culas terukir jelas di bibir siluman yang berparas wanita cantik itu. Tak ketinggalan pula tawa nyaring kembali memecah keheningan di tengah hutan.

Namun tiba-tiba saja...

Rawwrrrrr!!! Rawrr!!!!

Sekujur tubuh Ambu yang sudah tak berdaya hanya bisa meratapi nasibnya yang malang. Tatapannya nanar ke arah langit malam yang semakin pekat dengan awan hitam yang menggumpal. Rasa dendam kesumat yang membara sebelumnya seakan lenyap seketika. Untuk menggerakkan tangan dan kakinya saja dia sudah tidak sanggup. Hanya terdengar suara degupan jantung yang mulai melemah dirasakannya. "Ah... tampaknya mati karena dimakan singa lebih baik dari pada dimakan siluman laknat!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status