Share

Lima Bandit Berewokan

Suara arungan seekor singa terdengar tepat beberapa detik sebelum akhirnya Ambu menutup mata. Ambu Radul pun pingsan di hutan karena kehabisan tenaga. Ambu mengira kalo riwayatnya sudah tamat. Namun nyatanya, keesokan harinya Ambu masih bisa membuka lebar kedua matanya itu.

"Di mana aku?" tanya Ambu pada dirinya sendiri seraya bangkit dari posisinya yang semula telentang.

Semburat sinar mentari menghangatkan tubuh yang hampir sepenuhnya dingin. Pandangan Ambu mengamati sekitar dan tahulah Ambu bahwa dirinya berada di sebuah pasar yang baru buka pagi itu. Banyak orang lalu lalang dan hanya memandangi Ambu yang berpakaian lusuh layaknya gelandangan. Hiruk pikuk meramaikan suasana di pasar.

"Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Aku masih hidup?" pikir Ambu memegangi kepalanya yang terasa pusing.

Sedikit demi sedikit Ambu ingat akan kejadian yang dialaminya semalam. Ingatannya terputus saat dirinya jatuh pingsan dan mendengar suara auman singa yang keras.

"Betul juga! Apa mungkin sang singa yang menolongku? Ah! Tapi sepertinya itu hal yang tak masuk akal! Tapi..." lirih Ambu berbicara pada dirinya sendiri.

Ambu merasakan perutnya sakit saat mendengar perutnya yang keroncongan. Ambu memegangi perutnya dan menatap ke depan. Tubuhnya yang masih lemas dia sandarkan pada dinding di sampingnya. Rambut Ambu berantakan dengan muka yang kotor dan pucat.

"Lapar... aku juga tidak punya uang untuk beli makanan."

Seketika Ambu ingat akan koin emas yang dibawanya. Dengan cepat Ambu pun meraba selipan bajunya untuk memastikan kalo koin emas tersebut masih ada. Harap-harap cemas kalo-kalo koin emas tersebut hilang.

"Untunglah koin emas ini masih ada. Aku harus menyimpannya baik-baik," ujar Ambu lantas menyelipkan kembali koin emasnya.

Ambu merasa bersyukur masih bisa selamat dari maut. Namun dari rasa lapar, Ambu berpikir keras untuk bisa menanganinya juga. Ambu pun berusaha bangkit dari duduknya dan mencari makanan untuk mengganjal perutnya. Pikiran Ambu sangat susah diajak untuk tidak mencuri. Perutnya yang terasa perih sungguh memaksa Ambu untuk mencuri beberapa potong wajik yang kelihatan menggiurkan di mata Ambu.

Wajik merupakan jajanan yang cukup tenar di kalangan masyarakat baik dari golongan biasa mau pun golongan bangsawan. Kue yang terbuat dari campuran ketan, gula merah, kelapa, dan dipotong menjadi segi empat itu dijual saat pagi.

"Wajik!! Wajik enak!! Wajik murah!" teriak si penjual wajik.

Seketika banyak orang yang berdatangan ke tempatnya untuk membeli wajik tersebut sebagai camilan sesudah makan. Ambu pun mengambil kesempatan tersebut untuk berbaur ke kerumunan pembeli dan mencuri beberapa wajik tersebut untuk mengganjal perutnya. Ambu tak tahu klo ada beberapa pasang mata yang sedari tadi mengincarnya.

Usai berhasil dengan misinya, Ambu segera meninggalkan tempat tersebut dan melahap kue wajiknya di tempat yang sepi. Beberapa orang yang tadi sudah mengamati Ambu pun menghampiri Ambu dan mulai beraksi. Mereka adalah komplotan bandit yang kebetulan lewat.

"Oi, Anak Muda! Sepertinya kau mempunyai barang yang cukup berharga di balik sakumu itu!" ucap si ketua bandit.

"Oh, yang dimaksud itu kue wajik ini ya, Paman? " ujar Ambu pura-pura tak tahu dan berusaha untuk tetap tenang.

"Kampret! Sekarang apa lagi? Mana tongkat besiku juga tadi tidak ada di sisiku. Ke mana hilangnya? Mereka mengincar koin emas yang berada di sakuku. Sepertinya aku tadi kurang berhati-hati dalam mengeluarkan koin emas sehingga mereka melihatnya," batin Ambu menerka alasan kedatangan 5 lelaki yang semuanya punya berewok itu.

"Heh bocah! Jangan pura-pura tak tahu kau!" bentak si pimpinan bandit seraya menyibakkan bajunya guna memperlihatkan golok tajam yang berada di pinggangnya.

Ambu menelan ludah pelan setelah melihat golok tersebut. Dirinya betul-betul terdesak seperti kejadian tadi malam. Tidak bisa menolong dirinya sendiri dan tidak ada orang yang datang untuk menolongnya. Kalo pun Ambu teriak minta tolong, dirinya tidak yakin akan ada yang menolongnya.

Ambu menghela napasnya pelan dan berusaha untuk tetap tenang. Dirinya sudah terkepung oleh 5 orang bandit dari kanan, kiri, depan, dan belakang sehingga tidak bisa melarikan diri. Dilahapnya sisa wajik yang masih ada di tangannya.

"Sepertinya bocah bau kencur ini meremehkan kita. Pegang dia! Biar aku sendiri yang mengajarinya sopan santun dan mengambil barang berharga miliknya itu!" perintah si pimpinan bandit bernama Tejo.

"Eh tunggu! Tunggu sebentar! Apa yang kalian inginkan?! Aku tak bermaksud meremehkan kalian!" berontak Ambu saat 2 orang di sisi kanan dan kirinya mulai mendekatinya.

2 orang yang berada di samping kanan dan kiri Ambu dengan cepat memegangi kedua lengan Ambu sesuai perintah. Ambu hanya bisa terus-terusan berteriak sampai tak sadar kalo saat itu juga Ambu berteriak minta tolong. 

"Diam kau bocah!" hardik Tejo.

"Buat dia babak belur, Kang! Jangan kasih ampun sebab telah meremehkan kita!" ucap seseorang yang sedari tadi berada di samping Tejo.

"Tunggu! Apa yang kalian inginkan?! Tolong! Tolong!" teriak Ambu sambil terus berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman dua orang bandit itu.

Tejo maju beberapa langkah dan langsung melayangkan pukulannya dengan keras ke arah muka Ambu Radul tanpa aba-aba.

"To..."

Bugh!! Bugh! Bugh!!!

Berkali-kali Tejo memukulkan kepalan tangan yang kasar itu pada bocah berumur belasan tahun tanpa ampun. Sesekali dia memukul perut dan dada Ambu. Muka Ambu sudah bonyok kanan kiri dan tak berdaya untuk melawan. Ambu hanya bisa mengumpat dalam hati sampai kembali tak sadarkan diri. Barulah setelah Tejo merasa puas, dua orang bandit itu melepaskan Ambu dan membiarkannya jatuh ke tanah.

"Hahah dasar bocah lemah! Baru begitu saja sudah tepar! Aku ambil koin emasmu, Bocah!" kata Tejo yang langsung merogoh ke saku yang berada di dalam baju Ambu.

"Malam ini kita bisa puas minum-minum!" ujar seorang bandit berbaju cokelat. 

Bandit yang lain ikut tertawa mendengarnya. Hup! Namun tak disangka setelah itu bandit berbaju cokelat tersebut langsung tersungkur begitu saja ke tanah setelah tangan kanannya memegangi tengkuknya. Tejo dan 3 orang lainnya sontak kaget dan mencari tahu siapa pelakunya. Mereka tahu kalo temannya itu diserang secara sembunyi-sembunyi menggunakan tulup.

"Di mana agaknya orang yang berani menyerang kami?!" teriak Tejo berharap si pelaku berani menampakkan batang hidungnya.

4 orang bandit yang tersisa langsung siaga dan mengeluarkan senjatanya masing-masing. Tejo yang mengenakan baju hitam dengan goloknya, seorang bandit berbaju cokelat yang di samping Tejo juga dengan kerisnya, dan dua orang lain yang mengenakan baju abu-abu yang tadi memegangi lengan Ambu bersiaga dengan celuritnya. Mereka berempat mengamati daerah sekitar yang sepi itu. 

Semua mata mengarah ke setiap penjuru guna menemukan si pelaku yang telah merobohkan rekannya. Di daerah sepi tersebut hanya ada beberapa rumah kosong saja yang tak jauh dari pasar. Pohon di sekitarnya pun tidak terlalu lebat dan tinggi. 4 orang bandit itu tak menemukan adanya seseorang di atas pohon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status