Share

Si Bocah Botak

Tejo mengisyaratkan dengan lirikan matanya pada seorang anak buahnya untuk mengecek keadaan rekannya yang telah tumbang itu. Seorang bandit yang berada di sampingnya langsung menurut dan menghampiri tubuh si rekan yang juga mengenakan baju berwarna cokelat.

"Dia sudah mati," ucap si bandit berpakaian cokelat beberapa saat setelah mengecek keadaan rekannya.

Merasa geram dan dipermainkan oleh seseorang, Tejo mengeluarkan bentakan yang sangat lantang. Dirinya yang memang lumayan jago di dunia persilatan saat itu menjadi murka.

"Orang gila siapa yang membunuh rekanku dan berani mencari mati denganku, keluarlah!!"

Tiga kali Tejo berteriak seperti itu. Namun setelah ditunggu agak lama tetap tak ada seorang pun yang memunculkan diri.

"Apa mungkin bocah ini yang melakukannya?" terka seorang anak buah Tejo berpakaian abu-abu.

Tejo melirik ke arah Ambu berada. Ambu masih tetap tak sadarkan diri dengan tubuh yang babak belur penuh luka dan lebam.

"Tak mungkin. Pasti ada seseorang yang juga berada di sini tapi masih tetap menyembunyikan dirinya!" ucap Tejo kemudian langsung melirik ke arah lain.

Sementara itu, di atas salah satu atap rumah yang tak jauh dari komplotan bandit itu berada, dua orang tengah berselisih satu sama lain. Seorang anak laki-laki berambut gondrong tengah disekap mulutnya oleh seorang anak perempuan cantik berpakaian putih sebayanya. Si anak laki-laki berambut gondrong meronta-ronta agar bisa melepaskan tangan temannya itu dari mulutnya.

"Diam! Jangan berisik! Kau mengacaukan rencanaku!" bisik si anak perempuan cantik dengan nada berat.

"Hmphh.. hmph..."

Mulut si gondrong seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi tidak bisa. Kedua tangannya memegang tangan si perempuan yang berada di mulutnya dengan kuat untuk memaksa si perempuan melepaskan tangannya.

Dilepasnya dengan paksa tangan si perempuan dari mulutnya dan akhirnya si gondrong bisa bernapas dengan leluasa.

"Ah kasar sekali!" lirih si perempuan.

"Hufff... itu lihat!" tunjuk si gondrong ke arah bawah.

Anak perempuan itu melihat ke arah yang ditunjuk si gondrong. Seorang anak lelaki berkepala botak yang tak memiliki rambut barang sehelai pun tengah berjalan ke arah para bandit berada.

"Siapa dia?" tanya si anak perempuan heran.

"Tak tahu, sepertinya anak nyasar. Bagaimana? Tertarik menolongnya?" tanya si gondrong meminta persetujuan.

"Biarkan saja. Dia pasti akan baik-baik saja," ujar si anak perempuan dengan yakin.

"Lantas sekarang bagaimana? Satu sudah aku tumbangkan. Bukankah sekarang jadi lebih mudah untuk mengalahkan mereka dan menolong anak yang pingsan di sana?"

Si anak perempuan langsung saja menjitak kepala si gondrong. Si gondrong meringis kesakitan dan memegangi kepalanya.

"Bodoh! Meski begitu 4 lawan 2 masih terlalu sulit untuk kita."

"Cih! Padahal aku sudah cukup membantu," ujar si gondrong.

Mereka berdua pun memutuskan untuk mengamati pergerakan si anak botak dan para bandit itu dari kejauhan.

"Oh! Jadi kau pelakunya, Bocah Botak!" terka Tejo dengan sangat geram.

Tejo yang melihat kedatangan si bocah botak itu langsung menarik golok dari pinggangnya dan segera menghampiri bocah botak.

Bocah dengan muka bonyok dan pakaian lusuh itu kini mulai membuka matanya pelan. Dia mendapati dirinya masih terbaring di tanah. Bola matanya memutar ke sekelilingnya. Perlahan dia mulai bangkit dari posisinya dan duduk di tempat yang teduh sambil memegangi luka yang dirasanya sakit. Siapa lagi bocah itu kalo bukan Ambu Radul yang tadi pingsan akibat dipukuli si Tejo. 

Ambu merasa dirinya tak sadarkan diri cukup lama. Semuanya berubah dari keadaannya yang semula. Matahari semakin terik dengan angin sepoi-sepoi yang sedikit menyejukkan udara panas. 

Ambu melihat dengan kedua matanya sendiri di mana 5 bandit berewokan yang tak sadarkan diri di tanah dalam keadaan mengenaskan. Ada yang kepalanya terpisah dari tubuhnya, ada juga yang patah tulang sana sini kemudian pingsan, ada pula yang masih utuh tubuhnya namun sudah tak bernyawa. Ambu juga sangat heran dengan adanya seorang anak berkepala botak yang duduk di sampingnya.

"Siapa gerangan anak ini? Aku baru menyadarinya," batin Ambu saat mengamatinya.

"Yo! Kau sudah sadar rupanya. Baguslah kalo begitu, sekarang bayar wajik yang telah kau makan beberapa saat yang lalu!" tegas si anak botak membuka matanya.

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Ambu pura-pura tak tahu. 

Ambu kembali merasakan sakit di kepalanya. Dia memegangi kepalanya itu kemudian sadar apa yang terjadi sebelumnya. Ambu segera merogoh saku dalam bajunya namun dia tak menemukan koin emas miliknya.

"Kau mencari ini?" Si anak botak langsung memperlihatkan koin emas itu.

Dengan cepat, Ambu langsung mengambilnya. Namun tak disangka, si anak botak justru tidak mengizinkan Ambu untuk mengambil kembali koin emasnya.

"Ini milikmu?" tanya anak botak memastikan.

Ambu mengangguk pelan.

"Bayar dulu wajik yang sudah kau makan tadi! Nanti aku kembalikan koin emas aneh milikmu ini," lanjut si anak botak langsung menyembunyikan koin emas itu kembali.

"Itu milikku! Kembalikan! Kau mencurinya!" bentak Ambu tak terima.

"Maling teriak maling!" ucap si anak botak lalu teetawa kencang.

Anak laki-laki itu sungguh tak takut sama sekali terhadap Ambu. Padahal Ambu sudah merasa menang fisik yang besar dan tinggi dibanding si anak botak. Ambu pun mengira kalo anak botak ini juga yang telah mengalahkan para bandit yang tak bisa dilawan Ambu.

"Cih! Siapa kau sebenarnya? Biar nanti aku bayar wajik yang sudah kumakan asalkan kembalikan dulu koin emas milikku!" kata Ambu penasaran memberi penawaran.

Si anak botak mengalihkan pandangannya ke arah Ambu lalu menjawab, "Aku melihatmu mencuri beberapa potong wajik dari si penjual wajik di pasar. Kalo kau memang sanggup membayarnya, kenapa kau mencurinya?" 

Ambu tak bisa mengelak. Dia terpaksa blak-blakan terhadap si anak botak saat itu juga.

"Baiklah! Baiklah! Aku memang mencurinya karena sangat lapar dan tak punya uang! Puas kau?!" kata Ambu tanpa keraguan sedikit pun. Dirinya sudah pasrah dan tak bisa berbuat banyak asal bisa mendapatkan koin emasnya kembali.

"Terus kenapa kau tadi bilang mau membayarnya?" pancing si anak botak.

"Sudahlah! Kembalikan saja koin emas itu! Aku tak bisa membayar biaya wajik yang sudah kumakan," jelas Ambu merasa jengkel dan menyesal karena telah mencuri.

Si anak botak menghela napasnya usai mendengarkan penuturan Ambu. Sesaat kemudian, si anak botak tiba-tiba saja mengembalikan koin emas itu pada Ambu begitu saja. Ambu pun terheran-heran dengan hal tersebut.

"Kau anak yang jujur. Siapa namamu?" tanya si anak botak.

Ambu yang menerima koin emasnya kembali, langsung menyimpannya baik-baik di tempat yang sama lalu menjawab pertanyaan si anak botak.

"Ambu Radul. Panggil saja Ambu. Namamu sendiri siapa?" 

"Sibo. Sibo Takakikukeko," jawab si anak botak.

"Ngomong-ngomong kau yang telah mengalahkan para bandit itu seorang diri?" tanya Ambu sambil menunjuk ke arah para bandit itu.

"Iya. Entahlah aku pun tak begitu ingat dengan hal yang baru saja terjadi."

Ambu hanya bisa garuk-garuk kepalanya bingung. Di satu sisi Ambu yakin bocah botak bernama Sibo itu yang sudah mengalahkan bandit berewokan dan menolong dirinya. Tapi di sisi yang lain kalo Ambu pikir berulang kali rasanya mustahil. Tapi tetap saja di situ hanya ada dirinya dan Sibo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status