Share

PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN
PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN
Penulis: Moonlae Dirla

Pembantaian di Malam Purnama

Trang! Dua buah tongkat besi saling beradu. Tampak di halaman sebuah rumah saat kegelapan malam tiba dua orang lelaki tengah berlatih menggunakan tongkat besi yang panjang. Keduanya yakni seorang lelaki yang sudah berumur 40 tahun ke atas dengan kumis tebal melintang di bawah lubang hidungnya. Satunya lagi seorang remaja belasan tahun yang cukup tinggi dengan rambut pendek dan bertelinga lebar.

Sementara Ambu dan pak Janaka berlatih dalam dinginnya angin malam, Ibu Ambu dan adik perempuannya melihat dari seberang pelataran rumahnya. Mereka berdua duduk di bangku yang terbuat dari bambu seraya menyiapkan minum untuk Ambu dan bapaknya saat telah selesai berlatih.

Napas Ambu mulai tak beraturan. Walau dirinya sudah terbiasa dengan angin malam di daerah pegunungan, tapi pernapasannya masih belum cukup baik dikuasainya saat dalam pertarungan bahkan meski cuma latihan. Sedang Bapak Ambu tampak baik-baik saja. Meski sedikit ngos-ngosan juga, tapi tak seburuk yang Ambu kira.

"Bapak dulu juga seorang pendekar, kah?" tanya Ambu yang penasaran dengan napas tersengal-sengal.

"Oh bukan. Bapak hanya pernah belajar beberapa hal dasar dalam dunia persilatan saja," jawab Pak Janaka.

"Oh," lirih Ambu.

Ambu berusaha mengontrol napasnya dengan baik. Tongkat besi di tangan kanannya ditancapkannya ke tanah dan dijadikannya sebuah topangan. Bapak Ambu hanya tersenyum lalu berkata, "Kamu itu... baru beberapa menit berlatih sudah kelelahan begitu. Lanang dudu sih? (Laki-laki bukan si?) Cemen!"

"Bapak hitung sampai 10 detik, kita mulai lagi latihannya!" lanjutnya.

Ambu tampak panik dan gusar. Cepat-cepatlah dia bersemangat kembali, mencabut tongkat besinya itu dan bersiap menerima serangan dari bapaknya dan menyerang saat mendapat celah. Bukannya apa, Ambu tahu persis kalau bapaknya itu tidak pernah main-main saat latihan sekali pun. Saat dia bilang akan mulai lagi dalam 10 detik, maka itu betulan bapaknya akan menyerang Ambu tak peduli Ambu sudah siap atau belum. Kalau pun sudah siap itu bagus, tapi kalau Ambu belum siap, risiko nyawa Ambu melayang pun tak jadi pasal.

Trang! Drtt! Tongkat yang dipegang Ambu sampai bergetar hebat dan hampir jatuh. Untung saja tadi dia menguatkan pegangannya lebih kuat lagi dari sebelumnya. Belum selesai sampai di situ, Ambu memilih mundur beberapa langkah dan menyerang balik saat mendapat celah kembali. 

Namun Janaka tak membiarkannya begitu saja. Kali ini Janaka sengaja memegang pangkal tongkatnya sehingga bisa sedikit memanjang dan membenturkan tongkat besi itu ke tongkat besi Ambu saat Ambu hendak mundur. Kedua tongkat saling beradu dan menghasilkan suara dentingan yang nyaring lagi. Namun kali ini Janaka berhasil menyempurnakan rencananya. .

"Kau masih belum cukup lihai melawan bapakmu untuk saat ini! Tapi aku akui permainan tongkatmu menjadi lebih luwes dari sebelumnya. Kau juga berhasil bertahan agak lebih lama lagi namun ujung-ujungnya tetap jatuh dan kalah dariku," ledek pak Janaka.

Sungguh Ambu merasakannya berulang kali. Meski awalnya memang malas dan buang-buang tenaga, kini Ambu mulai berpikir latihan silat sedikit menyenangkan juga. Ambu bangkit dari tempatnya. Ditepuk-tepuklah pakaian bawahnya yang kotor terkena debu. Tak menghiraukan ucapan bapaknya, Ambu hanya berlalu menuju ke bangku bambu di mana ibu dan adik perempuannya menunggu.

"Kangmas! Bapak! Ayo sini! Istirahat dulu!" teriak Ratih, si adik perempuan Ambu yang berumur 7 tahun itu berdiri menyambut kakaknya.

"Kangmas hebat! Bisa bertarung seimbang melawan bapak!" puji Ratih pada kakaknya itu.

"Iya," singkat Ambu lantas hanya membelai pelan rambut Ratih kemudian duduk bersama.

Janaka ikut pula duduk bersama keluarganya tersebut. Ibu Ambu segera menyiapkan minuman untuk suaminya. Sedang Ambu mengambil sendiri minumnya ke gelas kayu.

"Duh... Ratih tiba-tiba ingin pipis. Ratih izin ke kamar mandi dulu ya bu," ujar Ratih lantas berlari masuk ke dalam rumah.

Janaka merasa khawatir dengan hal itu. Ia pun memberikan kode pada Ibu Ambu untuk menemani Ratih. Baru saja Ibu Ambu turun dari bangku bambu tersebut, terdengar suara teriakan Ratih dari dalam rumah.

"Aaaaak!! Bapak!! Ibu!! Kangmas!"

Tiga orang yang tadi duduk santai di luar rumah kini dengan cepat masuk ke dalam setelah mendengar teriakan Ratih. Alangkah terkejutnya mereka bertiga ketika melihat putri bungsunya itu tengah dimakan oleh seorang putri siluman. Bu Yanti langsung tersungkur lemas. Sedang Ambu membatu di tempat. Kedua mata Pak Janaka dan Bu Yanti saling beradu dengan mata putri siluman tersebut.

"Hah? Kalian semua mengganggu makan malamku saja!" bentak si putri siluman langsung menyerang ke arah Pak Janaka dan yang lainnya.

Putri siluman yang tadi tengah memakan bagian tiap bagian dari tubuh Ratih yang sangat diinginkannya itu pun terhentikan dan entah kenapa langsung menyerang Pak Janaka dan semua yang berada di situ. Dirinya merasa terganggu dengan kedatangan mereka semua. Namun dengan cepat Pak Janaka menyadari hal itu dan segera mengambil tindakan. Begitu juga dengan Bu Yanti.

Pak Janaka mengambil sesuatu yang berada di dalam saku celananya yang tak lain dan tak bukan yakni koin emas. Pak Janaka langsung melempar koin emas itu pada Ambu seraya berteriak. Sesaat kemudian Ambu yang membatu langsung sadarkan diri mendengar teriakan bapaknya. Ambu juga segera menangkap koin emas tersebut namun tak langsung berlari.

"Sudah kuduga dia mempunyai benda itu," batin si Putri Siluman setelah sekilas melihat benda yang dilempar Pak Janaka. 

Hanya butuh beberapa detik saja si putri siluman itu langsung mengubah arah serangan dan kini mengarah ke Ambu berada.

"Serahkan padaku koin emas itu, Bocah Penakut!" teriak Si Putri Siluman dengan raut muka menyeramkan. Gaun putih yang dikenakannya perlahan berubah warna dengan sendirinya menjadi hitam. Rambut hitam panjangnya yang terurai itu semakin hitam dan mengilat.

Pak Janaka dan Bu Yanti yang melihat anaknya menjadi sasaran siluman itu segera melindunginya. Meski bukan pendekar hebat, sepasang suami istri itu rela mati demi melindungi Ambu.

"Ambu!! Cepatlah lari!! Jaga koin emas itu dan carilah seseorang bernama Ki Om Pong!" teriak Pak Janaka. 

Ambu merasa ingin membantu tapi tidak tahu harus bagaimana. Ambu sangat ketakutan. Semua latihan yang selama ini dijalaninya langsung tak berkutik di hadapan siluman. Ambu tak bisa menggunakan ilmunya itu karena hatinya sudah takut terlebih dahulu.

Pertarungan semakin berat sebelah. Tentu saja Pak Janaka dan Bu Yanti sudah tahu kalo mereka tak akan bisa menang dari si Putri Siluman. Namun mereka tetap melawan dengan sekuat tenaga meski berakhir dengan meregang nyawa.

Di depan pintu rumah persis Ambu merasa dirinya tak berdaya sama sekali. Dia membatu di tempat dengan perasaan yang berkecamuk saat melihat kedua orang tuanya tewas persis di depan matanya. Teriakan terakhir pak Janaka saat itu tetap memerintahkan Ambu untuk lari secepat mungkin. Seketika dengan ajaib kaki Ambu bisa digerakkan dan tubuhnya pun seakan bergerak sendiri menuruti perintah bapaknya.

Pak Janaka dan Bu Yanti saling tatap dan tersenyum satu sama lain sebelum menghembuskan napas terakhir.

"Sialan! sekarang anak itu sudah lari terbirit-birit! Aku yakin dia tidak akan bisa lari lebih jauh dari hutan," kesal si putri siluman.

Si putri siluman bertepuk tangan sekali lalu muncullah seorang tuyul berbadan hijau di hadapannya.

"Kerahkan pasukanmu dan kejar anak laki-laki berambut pendek yang sedang lari ke hutan serta rebut koin emas yang dimilikinya!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status