Share

Satu Lawan Empat

"Apa-apan dia itu?! Kenapa sikapnya sangat berlawanan sekali dengan yang tadi! Apa kita salah orang?" tanya si anak gondrong pada temannya.

"Dasar bodoh! Dia masih tetap anak yang tadi!" hardik si anak perempuan.

"Emm.. tapi aneh sekali. Saat bertarung tadi, dia seakan kesurupan dan sikapnya pun sungguh aneh. Tapi sekarang si anak botak itu sangat bersahabat sekali dengan anak itu," pikir si anak perempuan keheranan sendiri dengan perubahan sikap Sibo.

Dua anak yang sedari tadi masih berada di atap sebuah rumah masih saja mengintai. Mereka berdua juga mengetahui dengan jelas apa yang terjadi saat Ambu tak sadarkan diri. Si anak gondrong teramat sangat ingin turun dan menemui Ambu yang bersama Sibo. Tapi berulang kali pula rekannya yang anak perempuan cantik itu menghalangi bahkan melarangnya.

"Sepertinya kita memang harus turun dan menemui mereka berdua," saran si gondrong.

"Jangan dulu. Misi kita sudah gagal karena ulahmu yang sembrono!" bentak si anak perempuan menyalahkan si gondrong.

"Terus saja salahkan aku. Padahal kau sendiri tak bertindak apa pun dari tadi," balas si gondrong.

"Cih! Tunggu beberapa saat lagi. Kita pun akan menemui mereka berdua secara baik-baik."

"Baiklah, baiklah," ucap si gondrong berusaha sabar.

"Ngomong-ngomong ilmu bela diri si bocah botak itu boleh juga. Aku terkesan saat melihatnya tadi. Mungkin saja dia bisa mengalahkanku," kata si bocah gondrong mengajak ngobrol si anak perempuan.

"Ya... dia sungguh hebat. Kau mungkin akan dikalahkannya dengan cepat," ujar si anak perempuan.

"Cih! Sialan! Tak segampang itu kali!" ucap si gondrong tak terima.

Ia jadi teringat akan pertarungan si anak botak dan 5 bandit berewok itu.

Beberapa saat yang lalu....

Tanpa peringatan terlebih dahulu, si Tejo langsung saja mengayunkan golok yang tajam itu pada Sibo. Sibo yang tak tahu apa-apa hanya bisa ketakutan dan menghindar.

"Ada apa ini? Kenapa menyerangku secara tiba-tiba?" tanya Sibo dengan gemetaran. Dia berhasil menghindari serangan pertama Tejo.

"Kau yang telah membunuh salah satu rekanku menggunakan tulup, bukan?! Mati saja kau!" ucap Tejo kembali menyerang Sibo.

Sibo yang baru datang ke daerah situ alhasil hanya bisa menghindari serangan Tejo tanpa tahu apa maksudnya.

"Tulup?! Aku baru saja ke sini, Paman! Aku pun tak membawa tulup!" jelas Sibo dengan kaki yang mulai bergetar ketakutan dan keringat dingin yang mulai turun.

Tejo mengamati sekujur badan Sibo untuk memastikan. Memang benar Sibo tak membawa tulup saat itu. Namun karena pikiran Tejo yang beranggapan bahwa Sibo akan melaporkannya karena melihat langsung tengah merampas benda berharga milik Ambu, Tejo tetap memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi Sibo.

"Bereskan dia!" perintah Tejo lantas langsung mundur ke tempat Ambu dan duduk di samping Ambu.

3 orang bandit yang masih di situ pun langsung berjalan menuju Sibo secara bersamaan dan berniat menghajar Sibo dengan tangan kosong. Senjata yang tadi mereka tarik dari bungkusnya sudah dimasukkan kembali.

"Oi, Bocah! Sebaiknya kau cukup tangguh untuk menerima pukulan kami bertiga!" teriak si bandit berbaju cokelat sambil menggertakkan jari jemarinya.

"Haha.. kau benar, Parjo! Jangan sampai kau seperti anak lemah di belakang sana!" sahut si bandit berbaju abu-abu

Bandit berbaju cokelat bernama Parjo itu semakin dekat ke arah Sibo dengan seringai yang terukir di wajahnya. Dua orang bandit yang berbaju abu-abu pun ikut mendekati Sibo.

"Apa yang hendak kalian lakukan padaku? Aku tidak bersalah apa pun," ucap Sibo dengan bibir bergetar dan mata berbinar ketakutan.

Sibo semakin melangkah mundur namun tetap saja bisa diikuti oleh ketiga bandit itu.

Whusshh!! Bughh!! Parjo tanpa menunda lagi langsung meninju muka bocah botak yang sudah ada di jarak pukulannya itu. Pukulan yang lumayan keras dari tangan kanan Parjo berhasil membuat Sibo terjatuh ke belakang.

"Bocah botak itu tadi berhasil menghindari sabetan golokku yang lumayan serius. Tapi kenapa dia sekarang hanya menerima pukulan si Parjo begitu saja? Apa karena Parjo menyerang dia secara mendadak?! Ah tidak! Tadi aku juga seketika menyerangnya begitu saja bahkan dengan mengayunkan golok!" batin Tejo yang bingung dengan tingkah Sibo. 

Tejo semakin dibuat penasaran dengan jalannya pertarungan antara 3 anak buahnya dengan bocah botak di depan matanya. Dia memutuskan untuk menontonnya barang sebentar dari pada memilih pergi sendirian. Terlebih lagi, otaknya yang sudah menganggap si bocah botak sebagai seseorang yang telah menulup rekannya itu membuat Tejo tak bisa membiarkan si bocah botak lolos begitu saja tanpa diberi perhitungan.

"Sepertinya anak itu lebih tangguh dari pada kau, Botak! Bangunlah dan terimalah pembalasan dendam kami karena kau sudah membunuh teman kami!" kata si Parjo sembari menunjuk ke arah Ambu.

"Aku tidak membunuh teman Ki Berewok," lirih Sibo dengan terbata-bata seraya berusaha bangkit.

Kedua tangan Sibo memegangi bagian hidung dan wajah lainnya yang tadi terkena pukulan Parjo.

"Kalian berdua lihat saja. Aku sendiri sudah cukup untuk memberi perhitungan pada anak ini! Kebetulan dia sudah membuatku panas dan juga berani berbohong," ujar Parjo pada kedua rekannya yang dari tadi hanya berdiri saja melihat tindakan Parjo.

Dua orang berbaju abu-abu itu hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju. Sedang Parjo langsung menendang Sibo begitu saja saat Sibo baru saja hendak berdiri. Seakan tak punya perasaan terhadap anak kecil yang masih berumur belasan tahun itu, Parjo santai-santai saja menyepak perut Sibo dengan kaki kanannya yang akhirnya membuat Sibo terjungkal lagi. Tak mau terlalu lama bermain-main dengan orang yang dianggap sebagai pembunuh salah satu temannya, Parjo langsung berlari mendekati Sibo yang masih tersungkur di tanah. Diayunkannya kaki kanannya lagi ke tubuh Sibo berkali-kali. Sedang Sibo hanya bisa bertahan dengan melindungi kepalanya agar tidak ditendang si Parjo.

"Mati kau, Bocah Pembunuh! Mati kau!" geram Parjo yang masih terus menendang Sibo.

"Aku tidak bersalah. Aku hanya sedang lewat di daerah sini dan tak tahu apa-apa," rengek Sibo yang sudah sangat kesakitan dan muntah darah.

Setelah dirasa mulai bosan dengan cara seperti itu, Parjo yang diliputi amarah berniat untuk membunuh Sibo langsung menggunakan keris yang berada di pinggangnya. Parjo berhenti menggerakkan kakinya dan mencabut keris miliknya itu. Sementara di tanah, Sibo terlihat tak menggerakkan tubuhnya sama sekali. Namun tak peduli dengan hal tersebut, Parjo berjongkok lebih dekat ke arah Sibo dan segera menghunuskan keris itu pada tubuh Sibo.

Krakkk!! Pekikan setinggi langit langsung terdengar seketika bebarengan dengan bunyi patahnya tulang pergelangan tangan kanan Parjo. Keris yang tadi ada di genggamannya pun kini terlempar entah ke mana. Tangan kirinya sontak memegangi tangan kanan yang terasa sangat sakit itu. Kedua mata Parjo melotot tatkala tak melihat si bocah botak tidak ada di depannya.

"Di mana bocah itu?!" teriak Parjo mulai panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status