Dan hasilnya sama saja, putrinya itu tidak berminat sama sekali meski berbagai tawaran harta benda yang tidak sedikit turut diajukan sebagai mahar pernikahan.
"Putriku, duduklah di samping Jalu," ucap Nyi Sundari kepada putrinya seusai gadis cantik itu meletakkan makanan di atas meja.
Gadis cantik yang seusia dengan Jalu itu menatap ibunya penuh pertanyaan, tapi kode mata dari Nyi Sundari membuatnya meletakkan pantat di bantalan kursi samping Jalu. Ekor matanya melirik ke arah pemuda tampan yang sedari tadi menundukkan wajahnya.
"Jalu, kenalkan ini putriku, namanya Ayu Wulandari. Kau bisa memanggilnya Ayu," kata Nyi Sundari.
Lagi-lagi Jalu hanya memberi anggukan kecil tanpa ekspresi apapun di wajahnya, dan apa yang dilakukannya itu sukses membuat penilaian pertama Ayu Wulandari untuknya tidak bagus.
"Sombong sekali, dia. Bahkan untuk melirikku pun tidak mau!" ucapnya kesal dalam hati.
"Jalu, tugasmu nanti adalah mengawal putriku kemanapun dia keluar rumah. Apa kau bisa melakukannya?"
"Baik, Bi, aku sanggup." Sebenarnya Jalu enggan jika harus mengawal putri Nyi Sundari, tapi karena dia masih awam di dunia luar dan butuh pengalaman berbaur dengan orang banyak, maka dia pun mengiyakan permintaan Nyi Sundari.
Berbeda sikap ditunjukkan Ayu Wulandari. Kesan pertama yang ditangkapnya dari sikap Jalu sudah membuatnya kesal, apalagi harus bersama-sama tiap hari setiap dia keluar rumah.
"Aku tidak mau!" ucapnya keras memberi penolakan, "Tidak kurang penjaga yang ada di rumah ini, kenapa harus dia? Memangnya apa kelebihan yang dimilikinya?"
Kali ini Jalu melirik Ayu Wulandari. Bukan karena sakit hati atau kesal, tapi lebih kepada ingin tahu kenapa gadis cantik itu menolak perintah ibunya.
"Sudah untung kau memiliki ayah dan ibu, hormati dan bersikap baiklah kepada mereka berdua. Jika nanti kau sudah tidak memiliki keduanya di dunia ini, kepada siapa kau akan berkeluh kesah atas masalah yang kau alami."
Ayu Wulandari seketika mengarahkan pandangannya kepada Jalu. Wajahnya memerah terbakar emosi. Perlahan rasa bencinya terpupuk oleh sikap sok dewasa yang ditunjukkan Jalu.
"Kau jangan ikut campur urusanku! Memangnya kau siapa? Apa kau juga bersikap sama seperti yang ucapkan baru saja?"
Jalu menggeleng, "Sayangnya aku tidak pernah ..."
"Huuuft, ternyata kau tidak lebih baik dariku!" cibir Ayu Wulandari memotong ucapkan Jalu.
"Aku tidak pernah mendapat kesempatan berbakti kepada kedua orang tuaku karena aku sudah ditinggalkan mereka berdua sejak masih berusia beberapa bulan."
Nyi Sundari menatap Jalu yang tanpa sadar telah mengungkap jati dirinya. Saudagar kaya itu menduga jika pemuda tampan tersebut sudah kembali ingatannya.
"Kau kira aku percaya dengan ucapanmu itu?" Ayu Wulandari yang sudah terlanjur kesal dan tidak suka dengan Jalu akhirnya bangkit berdiri. Gadis cantik itu mendengus sebelum berjalan cepat meninggalkan keduanya.
"Maafkan sikap putriku, Jalu. Sikapnya seperti itu karena kesalahan kami yang begitu memanjakannya sejak kecil. Seharusnya kami bisa mendidiknya lebih baik, tapi ..."
"Tidak apa-apa, Bi, aku tidak sakit hati sedikitpun meski sikap Ayu seperti itu. Aku bisa memakluminya," jawab Jalu.
Nyi Sundari mengangguk. Pembicaraan mereka terus berlangsung sambil menikmati makanan yang terhidang di meja. Dalam kesempatan itu Jalu juga berpura-pura jika sebagian ingatannya sudah kembali.
Keesokan paginya, Ayu Wulandari pergi keluar dari rumah untuk pergi ke hutan mencari pohon anggrek yang biasanya tumbuh di pepohonan besar. Dua orang penjaga diberi perintah Nyi Sundari untuk mengawal putrinya, salah satunya adalah Purnomo, seorang lelaki bertubuh gagah berusia sekitar tiga puluhan yang juga anggota perguruan Pedang Tunggal.
Kurang lebih satu jam perjalanan dengan menggunakan kereta kuda, Ayu Wulandari bersama dua pengawalnya telah sampai di bibir hutan. Gadis cantik itu bergegas masuk ke dalam hutan bersama dengan Purnomo. Sedangkan satu pengawal lainnya tetap berada di bibir hutan untuk menjaga kereta kuda.
Lima ratus meter memasuki hutan, Purnomo yang berjalan di belakang Ayu Wulandari tak henti menelan ludah melihat tubuh sintal putri dari juragannya tersebut. Niat buruk pun seketika terlintas di dalam pikirannya, terlebih suasananya sangat mendukung, sepi dan hanya ada mereka berdua.
Sebelum menjalankan aksinya mengambil kesucian Ayu Wulandari, Purnomo melihat sekeliling dan juga belakang. Takutnya teman yang bersamanya dan saat ini menjaga kereta kuda turut masuk ke dalam hutan.
Setelah dirasa aman dan tidak ada orang lagi di dalam hutan itu kecuali mereka berdua, Purnomo berjalan sedikit cepat dan tangan kanannya langsung membekap mulut Ayu Wulandari agar tidak berteriak. Sedangkan tangan kirinya merangkul erat perut gadis cantik itu.
Ayu Wulandari berusaha meronta, tapi apa daya tenaga lelaki itu lebih kuat darinya. Purnomo yang pikirannya sudah dikuasai setan cabul pun membawa paksa tubuh Ayu Wulandari ke sebuah semak-semak yang lebat.
"Diam atau aku akan menghabisimu lalu kuambil kesucianmu!" bentak Purnomo.
Karakter keras dan judes Ayu Wulandari seperti menghilang seketika. Ancaman Purnomo membuatnya ketakutan jika anggota perguruan Pedang Tunggal itu benar akan membunuhnya.
Dalam keadaan seperti itu, hanya buliran air bening mengalir membasahi pipinya sajalah yang bisa merangkum dan mengekspresikan kesedihan di dalam hati serta pikirannya.
Ya. Ayu Wulandari tidak bisa berbuat apapun untuk mempertahankan kesuciannya. Kesangarannya ketika berada di rumah kini tiada artinya lagi. Semua runtuh dalam sekejap saja.
"Tidak, lebih baik aku mati dari pada kehilangan kesucianku!" muncul semangat dalam hatinya.
Ayu Wulandari menggigit telapak tangan Purnomo sekuat mungkin hingga sowal dan berdarah-darah.
Lelaki bertubuh tinggi dengan badan yang tidak terlalu kekar itu terang saja kesakitan. Seketika dia naik pitam dan memberikan hardikan keras yang disusul pukulan ke arah tengkuk Ayu Wulandari.
"Dasar sundel!"
Kesadaran Ayu Wulandari seketika menghilang. Gadis cantik itu pingsan selepas tengkuknya terkena hantaman Purnomo dengan cukup telak.
Anggota perguruan Pedang Tunggal itu meletakkan tubuh Ayu Wulandari dengan kasar. Selepas itu dia merobek pakaian putri juragannya tersebut untuk membebat lukanya yang terus mengeluarkan darah.
"Bedebah, diajak enak-enak malah melawan!" ucapnya geram. Namun Purnomo tiba-tiba kuatir jika pukulannya tadi terlalu keras dan membuat gadis cantik itu kehilangan nyawa. Percuma saja bila menggauli mayat, pikirnya.
Tanpa berpikir panjang dia memegang leher Ayu Wulandari untuk memeriksa denyut nadinya.
Hembusan napas lega meluncur keluar dari mulut Purnomo. Gadis cantik itu ternyata hanya pingsan saja. "Kau hampir saja membuat usahaku sia-sia untuk merasakan sempitnya barangmu, Gadis cantik," ucapnya seraya menyeringai lebar.
Purnomo melepas ikatan pedang di punggung dan meletakkannya di tanah. Selepas itu dia membuka bajunya dan hanya menyisakan celananya saja.
Melihat tubuh sintal Ayu Wulandari yang sudah tidak berdaya, senjata pusaka Purnomo menegang hingga sekeras batu giok. Tanpa berpikir panjang dia bergegas membuka pakaian yang dikenakan gadis cantik tersebut.
"Ckckck, bagaimana mungkin seorang pengawal akan mencelakai orang yang dikawalnya?"Purnomo terkejut mendengar suara yang berasal dari belakang tubuhnya. Dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada seorang pun yang dilihatnya.Penasaran dengan suara yang baru saja didengarnya, Purnomo pun berdiri lalu melihat sekeliling. Tapi lagi-lagi sejauh matanya memandang tak terlihat siapapun."Kau mencariku?"Purnomo mendongak ke atas. Dilihatnya pemuda yang datang bersama Nyi Sundari dan Aji tengah duduk di atas sebuah dahan dengan pandangan terarah kepadanya."Kau jangan ikut campur urusanku, Bocah ingusan!" bentaknya keras."Hahahaha, bagaimana mungkin aku tidak ikut campur jika Bibi Sundari yang memintaku untuk menjaga Ayu." Jalu tertawa lebar karena menganggap apa yang diucapkan Purnomo kepadanya adalah hal yang lucu.Sejatinya Jalu tidak mengerti apa yang hendak dilakukan Purnomo kepada Ayu Wulandari, sebab selama hidup di Pulau Tengkorak dia tidak mengenal lawan jenis dan juga tentang birah
"Bohong! Kau pasti sudah bekerja sama dengan Purnomo untuk bisa menikmati tubuhku, bukan?" sahut Ayu Wulandari dengan penuh emosi. Jalu semakin bingung dengan kosakata baru yang dia tidak mengerti maksudnya. Bagaimana mungkin dia bisa dituduh hendak memakan gadis cantik putri dari Nyi Sundari dan Aji tersebut, sedangkan dirinya hanya berniat menyelamatkan Ayu Wulandari dari niat buruk Purnomo yang sebenarnya dia pun tidak paham apa hendak dilakukan lelaki bertubuh jangkung itu.Ya, Jalu memaknai arti kata menikmati sama dengan memakan. Keterbatasan berkomunikasi selama delapan belas tahun tinggal di pulau tengkorak membuatnya menjadi sosok yang lugu tapi bengis jika sudah berhadapan dengan sesama pendekar."Apa kau kira aku kanibal pemakan daging sesama manusia?" "Jangan pura-pura lugu, bedebah! Aku tahu kau berupaya mendekati orang tuaku agar bisa mendapatkanku." Lagi-lagi Ayu Wulandari menuduh Jalu tanpa dasar yang kuat. Dia hanya berpikir jika Jalu tak jauh berbeda dengan lelaki
Pertanyaan yang sama berseliweran di dalam pikiran setiap anggota perguruan Kelabang Hitam. Siapa pemuda yang berdiri di pintu gerbang? Ada masalah apa sehingga keempat penjaga sampai dibunuhnya? Puluhan lelaki berpakaian serba hitam yang merupakan anggota perguruan Kelabang Hitam itupun bergerak mendekati Jalu. Mereka masih menyangsikan bahwa pembunuh keempat penjaga tersebut adalah sang pemuda yang tampak tidak berbahaya jika dinilai dari wajah tampannya.Jalu mengambil beberapa ranting pohon kering yang tergeletak di dekat kakinya. Setelah itu dia mematahkannya kecil-kecil seukuran satu ruas jari. Satu ranting sebesar jempol kaki sepanjang satu meter dibiarkannya utuh dan dipegangnya di tangan kiri.Lelaki muda berusia delapan belas tahun berwajah tampan itu tersenyum tipis sebelum mengayunkan langkah kakinya. Dia kemudian berhenti dan berdiri setelah berjalan empat meter jauhnya.Puluhan anggota perguruan Kelabang Hitam itu heran dan bingung dengan keberanian yang ditunjukkan pe
Terang saja puluhan lelaki yang semuanya memakai pakaian berwarna hitam itupun bergegas memberikan perlawanan.Tapi Jalu jelas bukan lawan sepadan buat mereka. Satu persatu anggota Perguruan Kelabang Hitam tergeletak di tanah. Mereka yang terkena sabetan ranting kayu di kepala seketika tewas dengan tengkorak retak. Darah meleleh keluar dari retakan hasil tebasan ranting yang sudah dialiri tenaga dalam. Sengaja Jalu hanya mengincar bagian leher dan kepala yang merupakan dua titik vital dan bisa mengakibatkan kematian secara cepat. Sambil terus menyabetkan ranting di tangannya, Jalu bergerak gesit mendekati lelaki bertubuh tinggi besar yang tampak terkejut melihat pemuda itu bergerak ke arahnya.Tanpa menunggu temannya untuk menghadang pergerakan Jalu, lelaki bertubuh tinggi besar besar tersebut menyongsong datangnya serangan yang mengarah kepadanya."Minggir semua! Biar aku yang menghadapinya," teriaknya keras memberi perintah kepada teman-temannya.Belasan anggota Perguruan Kelabang
Jalu tersenyum mendapati lawan sudah mulai dilanda rasa takut. Tiba-tiba saja dia berpikir jika semua penghuni yang ada di perguruan itu dibunuhnya, lantas siapa yang akan mengakuinya sebagai pendekar terkuat?"Kedatanganku kemari sebenarnya tidak untuk bertarung melawan kalian. Cukup kalian yang berada di perguruan ini mau mengakui takluk kepadaku, maka aku tidak akan menyentuh kalian.""Sombong!"Terdengar suara keras dari belakang belasan anggota perguruan Kelabang Hitam yang berkumpul dan disusul melompatnya tiga orang lelaki tua melewati atas kepala belasan anggota tersebut.Ketiga lelaki tua itu mendarat beberapa langkah di depan Jalu dengan tatapan tajam penuh kebencian. Benci karena nama perguruan Kelabang Hitam begitu disepelekan oleh pemuda ingusan. "Mulutnya itu terlalu sombong dan perlu diberi pelajaran, Anak muda! Jangan kira karena kau bisa menghabisi beberapa anggota kami itu sama artinya dengan kekalahan perguruan ini!" ujar salah seorang dari ketiga lelaki tua yang
"Biarkan kami membantumu, Ki," ucap salah satu teman Ki Sodolanang."Diam kau, Karya! Aku belum selesai bermain dengan kecoa ini!" sahut Ki Sodolanang sebelum mengalihkan pandangannya kepada Jalu yang tertawa pelan melihatnya."Apa yang kau tertawakan, Bedebah?" bentak Ki Sodolanang."Wajahmu itu semakin terlihat mengerikan, Tua Bangka. Coba kau cari cermin dan berkacalah, pasti kau akan takut dengan wajahmu sendiri," ejek Jalu.Ki Sodolanang mengusap wajahnya yang dipenuhi debu dengan punggung tangan. Setelah itu dia memompa tenaga dalamnya dan kemudian kembali melesat memberi serangan. Kecepatan lelaki tua bertubuh tinggi kurus tersebut semakin bertambah dan membuat Jalu sedikit kerepotan."Mati kau!" Ki Sodolanang berteriak sambil melepaskan pukulan setelah melihat celah terbuka di bagian belakang pertahanan lawan.Bugh!Punggung Jalu terpukul cukup keras hingga membuat pemuda tampan itu terdorong jauh ke depan. Tapi Jalu tidak merasakan sakit karena pukulan Ki Sodolanang malah men
Tanpa berpikir panjang pemuda tampan itu meloloskan pedang pusaka berbilah hitam itu dari wadahnya. Energi yang kuat seketika menyebar menekan kedua lelaki tua yang hendak mengeroyoknya.Karya dan Janaka sampai menyipit melihat sinar kebiruan yang menyelimuti pedang Halilintar di tangan Jalu. Meski tidak tahu mengenai pedang pusaka yang akan digunakan pemuda itu untuk melawan mereka berdua, tapi kedua lelaki tua itu sadar jika pedang tersebut bukanlah senjata biasa. Itu terlihat dari aura dan energi yang sedang mereka lihat dan rasakan.Jarang sekali ada atau bahkan tidak ada senjata pusaka yang mengeluarkan aura biru terang dari bilah yang berwarna hitam. Pada umumnya pedang berbilah hitam akan mengeluarkan energi berwarna hitam pula, Itu yang ada di dalam pikiran mereka berdua.Kedua tetua utama perguruan Kelabang Hitam selain Ki Sodolanang itu kemudian mencabut senjatanya masing-masing. Karya menggunakan pedang, sedangkan Janaka memakai tombak pendek bermata tiga seperti trisula."
Serangan mereka berdua terus berlanjut, Jalu yang dibuat kerepotan akhirnya terkena sayatan dari pedang Karya di rusuknya. Darah mengalir keluar cukup deras dan berwarna kehitaman. Menyadari senjata lawannya mengandung racun, Jalu menempelkan telapak tangan kanannya dan menekan luka tersebut.Secara perlahan, luka sayatan tersebut mengering dan keluar asap hitam yang berbau sedikit busuk. Jalu tersenyum kecil melihat hal tersebut. Pelajaran yang diberikan Caraka dalam menangani racun ternyata sangat berguna untuknya.Di sisi lain, Janaka berpikir sesuatu telah terjadi pada Jalu dan menemukan celah untuk menyerang, Dia bergerak cepat dan melepaskan serangan. Lelaki tua bertubuh pendek kekar berjuluk pendekar tombak Sambernyawa itupun kemudian mengeluarkan salah satu jurusnya yang cukup ditakuti di dunia persilatan, jurus Tombak Peregang Nyawa."Mati kau!" Selama tombaknya bisa menyentuh lawan, Janaka yakin bisa menyerap tenaga dalam dan energi kehidupan yang dimiliki lawannya.Nyatany