Share

Daratan Swarnadwipa

"Di mana para perompak itu?" tanya Aji penasaran.

"Tidak perlu memikirkan tentang mereka. Entah kenapa para perompak itu tiba-tiba saja memutuskan untuk berbalik arah dan tidak jadi menyerang kapal kita," jawab Jalu beralasan. Tidak mungkin juga dia mengatakan kepada sepasang saudagar kaya itu bahwa para perompak Hantu Laut telah dia kirim nyawanya menemui Dewa kematian.

Dahi Aji berkerut tebal. Dia sulit untuk percaya dengan ucapan Jalu, sebab dirinya tahu betul bagaimana reputasi perompak Hantu Laut yang tidak akan melepaskan sasarannya begitu saja.

Bergegas suami Nyi Sundari itu keluar dari kamar dan melihat ke bagian belakang kapal. Ditatapnya lautan yang membentang luas mencari keberadaan perompak Hantu Laut yang sudah tidak terlihat. Selepas itu dia kembali Jalu dan istrinya.

Empat hari berselang, kapal besar itu akhirnya bersandar juga di pelabuhan. Jalu, Aji dan Nyi Sundari bergegas turun dari kapal. Barang dagangan yang baru saja diambil sepasang saudagar kaya dari daratan Jawadwipa itu diturunkan oleh para kuli angkut yang sudah terbiasa melakukannya.

Pertama kali melihat daratan selain Pulau Tengkorak, Jalu menatap takjub dengan situasi yang sangat berbeda dibanding pulau tempatnya dibesarkan. Belasan bngunan besar kecil berdiri berderetan, begitu pula aktifitas ratusan manusia yang lalu lalang meramaikan suasana di pelabuhan besar tersebut.

Tanpa disadari Jalu, selama perjalanan menuju pelabuhan setelah berhasil menghabisi perompak Hantu Laut, para pekerja kapal tidak memiliki keberanian walau untuk sekedar menatap wajahnya. Rupanya salah satu pekerja kapal melihat aksinya membantai para perompak keji tersebut lalu memberi tahu teman-temannya.

Atas dasar itulah sikap mereka berubah total dan tidak berani sedikitpun menyinggung pemuda tampan tersebut.

Sebuah kereta kuda dan gerobak besar  yang ditarik dua ekor sapi sudah menanti. Barang dagangan Aji dan Nyi Sundari dinaikkan ke atas gerobak, sedangkan Jalu bersama sepasang saudagar kaya itu menaiki kereta kuda. Secara perlahan kedua kendaraan yang menggunakan tenaga hewan itu berurutan meninggalkan pelabuhan.

Setelah kepergian Jalu bersama Aji dan Nyi Sundari dari pelabuhan, nama pemuda tampan itu melejit dalam waktu singkat. Aksinya menghancurkan gerombolan perompak yang dikenal menakutkan itu menjadi buah bibir seantero pelabuhan. Kehebohan pun terjadi begitu cepat. Setiap mulut di pelabuhan tidak ada yang tidak membicarakan tentang sang pahlawan.

Di tengah perjalanan setelah meninggalkan pelabuhan, dari sela jendela Jalu melihat sebuah bangunan cukup luas yang berdiri di pinggir jalan. Di atas pintu gerbang bangunan itu tertera besar sebuah tulisan, Perguruan Pedang Tunggal.

Jalu menatap dingin tanpa ekpresi. Ingatannya tertuju kepada perintah kakeknya untuk menguasai dunia persilatan. 

Selama perjalanan menuju rumah Nyi Sundari, Jalu lebih banyak diam dan memejamkan mata. Sulit untuknya yang berkarakter pendiam untuk dipaksa banyak berbicara. Sesekali dia membuka mata ketika merasa kereta kuda sedang berbelok arah.

Untungnya Nyi Sundari dan suaminya bisa memahami karakternya tersebut, sehingga keduanya hanya bicara berdua saja.

Tak sampai sehari perjalanan, mereka pun tiba di sebuah rumah yang sangat besar mirip istana dalam ukuran lebih kecil.   Sekeliling rumah besar tersebut dikelilingi dinding bata setinggi tiga meter yang terbuat dari tanah liat dikeraskan lalu  digesek-gesekkan hingga menempel satu sama lain.

Kesan mewah rumah besar itu semakin terlihat dengan adanya pintu gerbang kokoh dari kayu berbentuk kupu tarung yang dihiasi ukiran indah. Empat orang penjaga berperawakan tinggi besar berdiri di kedua sisinya. Di pinggang mereka tergantung pedang yang cukup untuk membuat orang berpikir jika ingin berbuat jahat.

Tidak jauh dari rumah besar tersebut ada sebuah desa yang cukup besar dan dikelilingi rimbunan pepohonan bambu sebagai benteng alam.

Dua orang penjaga sigap membuka pintu gerbang. Kereta kuda yang ditumpangi Aji, Nyi Sundari dan Jalu bergerak melewati pintu gerbang, begitu pula gerobak yang membawa barang dagangan di belakang.

"Ayo turun, kita sudah sampai," kata Nyi Sundari seraya memberikan senyum hangat kepada Jalu.

Pemuda tampan itu hanya mengangguk kecil sebelum membuka pintu kereta kuda. Begitu berada di luar kereta kuda, mata Jalu menatap heran dan kagum dengan bangunan besar di depannya.

Dibandingkan dengan gubuk yang didiaminya selama delapan belas tahun, rumah di depannya memiliki ukuran puluhan kali lebih besar. Dan itu yang membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.

Cukup lama Jalu berdiri terpaku hingga akhirnya Nyi Sundari membuyarkan kebekuannya.

"Jalu, kenapa kau berdiri saja di situ? Ayo masuk!" ajak Nyi Sundari.

Jalu menoleh ke samping kanannya dan melihat Nyi Sundari dan suaminya tampak tersenyum hangat kepadanya. Pemuda tampan itu hanya memberi anggukan kecil sebelum berjalan mengikuti ayunan langkah sepasang saudagar kaya itu.

"Duduklah! Bibi dan Paman Aji masuk ke dalam dulu," kata Nyi Sundari setelah berada di dalam rumah.

Apapun yang ada di rumah Nyi Sundari berhasil membuat Jalu terpana. Kehidupannya yang sangat jauh dari dunia luar menjadikannya merasa begitu kerdil dan bodoh.

Tak lama Nyi Sundari keluar dan kemudian duduk di depan pemuda tampan itu. Senyumnya melebar menatap wajah Jalu yang menunduk.

"Bibi dan Paman Aji sudah sepakat kau boleh tinggal di rumah ini. Kamar juga sudah disiapkan pelayan untukmu. Untuk penjaga lain kami tempatkan di rumah lain, tapi khusus untukmu kau boleh tinggal bersama kami."

"Terima kasih, Bi," jawab Jalu singkat.

"Jika ada yang ingin kau tanyakan, Bibi dengan senang hati akan menjawabnya," ucap Nyi Sundari memancing Jalu untuk mau berbicara banyak dengannya. Pada dasarnya dia ingin lebih jauh mengetahui seluk beluk pemuda di depannya seperti apa, tapi karena Jalu sedang mengalami hilang ingatan dia tidak berusaha untuk bertanya yang berat-berat.

"Ada, Bi, apa bibi tahu tentang perguruan Pedang Tunggal yang tadi kita lewati?"

Dahi Nyi Sundari sedikit mengernyit. Ekspresinya menunjukkan rasa terkejut meski tidak terlalu besar. "Aku tidak terlalu paham tentang yang kau tanyakan, tapi ada salah satu orangku yang berasal dari perguruan Pedang Tunggal. Sebentar aku panggilkan Purnomo dulu agar menjelaskannya kepadamu." 

"Tidak perlu, Bi, pertanyaanku tadi juga tidak terlalu penting," cegah Jalu.

Nyi Sundari kembali duduk di kursinya. Pandangannya tertuju kepada seorang gadis cantik dan wanita setengah baya yang membawa makanan di tangan. "Jalu, itu putri Bibi," ucapnya.

Jalu hanya menoleh sedikit sebelum kembali menundukkan kepalanya.

Nyi Sundari tersenyum kecut melihat reaksi Jalu yang terkesan biasa saja dan tidak menaruh ketertarikan kepada putrinya yang memilki wajah cantik. Padahal tidak kurang perjaka tampan dan kaya yang mencoba menarik perhatian putrinya, tapi semuanya gagal menaklukkan putri satu-satunya tersebut.

Tidak sedikit pula pemuda yang datang bersama orang tuanya untuk meminta langsung kepadanya, tapi dia dan suaminya tidak mau memberi keputusan sepihak. Mereka berdua menyerahkan kepada putrinya untuk memberikan jawaban.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dangiank
ceritanya bagus keren.... lanjut thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status