KANAYALelaki yang akan menjadi suamiku itu tidak tua, tetapi amat dewasa. Ia seusai adik papa yang paling kecil sekitar tiga puluh lima tahun usianya. Perawakannya tinggi, tegap dan tampan. Hanya saja rautnya tidak ramah, tak pula semringah.Aku sama sekali tak berani menatapnya. Dia lebih angker dari guru killer di kelasku dulu. Apakah ini kutukan atas kekurangajaranku pada pak guru. Oh, Tuhan ampuni hamba yang selalu mengerjainya. Sepanjang acara makan, aku sama sekali tak mengeluarkan suara. Hanya ayah dan lelaki itu yang bicara. Mereka tentu saja membahas bisnis yang aku tak mengerti. Sesekali mama ikut nimbrung dalam obrolan mereka.Sesekali mata ini beradu dengan netranya . Namun, hanya sekian detik saja aku sanggup menatapnya. Kulihat iris biru terang itu amat tajam. Persis elang atau rajawali mengincar mangsanya. "Baiklah, kami akan keluar sebentar. Mungkin Tuan Hans dan Kanaya ingin berbincang lebih jauh. Ayo, Mah!"Aku gagal meraih tangan papa. Mereka terlanjur beranjak m
HANS"Membatalkan pernikahan? Jangan bodoh, Hans. Menikahi gadis polos itu lebih baik daripada wanita yang sudah melanglangbuana. Dia takkan ikut campur dengan urusanmu! Cukup penuhi keinginannya, beres!"Roy benar, Kanaya masih polos. Dia takkan menjadi batu sandungan dalam sepak terjangku ke depan. Justru berbahaya jika putri Wicaksana paham seluk beluk bisnis. Bisa terbongkar rahasiaku olehnya. Namun, apa iya dia sepolos itu?"Lagipula kapan lagi kau akan menikah? Keburu karatan nanti. Percayalah menikah itu nikmat, Hans! Bersenang-senanglah, nikmati surga dunia, jangan hanya memikirkan uang dan uang! Memangnya rekening akan kau bawa mati?" Lelaki yang usianya lima tahun di atasku itu menyodorkan rokok. Ia paham dalam kondisi galau benda bernikotin itulah obatnya. Mengisapnya dapat merelaksasi saraf yang cukup tegang.Aku terpaksa berbagi bangku kayu di gazebo belakang rumah dengan lelaki berperawakan besar itu. Ia seenaknya saja duduk tepat di sampingku padahal di kanan dan kiri
HANSPapi seorang muslim saat menikah dengan mami. Ia melepas keyakinan demi gadis impiannya. Sementara keluarga Om Will masih dalam keyakinan lama. Aku, tentu saja mengikuti papi dan mami meski hanya tertera di KTP saja. Dengan demikian pernikahan ini dilangsungkan sesuai tata cara agama Islam.Kami memasuki ballroom hotel Grand Internasional. Ruangan ini didekorasi serupa balairung istana. Pelaminan dirancang dengan konsep modern Eropa berpadu klasik ningrat Jawa. Aku tak ikut campur dengan keseluruhan konsep acara. Ini murni program keluarga wanita dibantu Roy sebagai wakil pihak pria. Kurasa selera mereka boleh juga. Seiring rombongan pria berjalan menuju tempat proses akad, masuk pula arak-arakan pengantin wanita dari arah kanan gedung. Sesaat, ayunan kakiku tertahan kala netra ini menangkap sosok jelita bergaun putih bertabur mutiara. Iya, dialah pengantin beliaku. Kanaya. Cantik, sangat cantik.Untuk sesaat aku terpana. Seakan tak puas mata ini mandanginya. Sungguh, begitu ind
HANS"Kamu lelah?"Aku harus cepat mengantisipasi situasi tak nyaman pada dirinya. Gawat kalau ia berperilaku kekanak-kanakan di depan para undangan. Entahlah aku selalu berpikir ia itu anak kecil yang manja. "Ti, tidak!" jawabnya sedikit tergagap. Matanya langsung dipalingkan dariku, lalu tangannya sibuk memilih gaun pengantin. Pada situasi semacam ini aku sedikit merasa bersalah memaksakan pernikahan ini. Mungkin ia amat tersiksa sebab bukan wanita yang memang siap menjalin ikatan serius. "Baiknya kita makan dulu, ayo!" Tanpa menunggunya menjawab, kuraih tangan mungil itu. Aku baru ingat kami berdua belum makan dan minum sedikit pun pasca akad berlangsung. Mungkin ini juga yang membuat Kanaya lesu. Kasihan sekali kalau memang itu masalahnya. Ah, mengapa sampai melupakan hal itu Baru saja menjejak lantai di bawah pelaminan, serombongan pria yang sangat kukenal berjalan menuju arah kami. Sepertinya acara makan harus tertunda lagi. Tak mungkin mengabaikan tamu istimewa itu. Mereka
KANAYACincin telah tersemat di jariku. Ikatan ini nyata, aku telah menjadi istri sah seorang pria. Iya, pria yang tak pernah kukenal sebelumnya.Meski tak ada cela pada pengantin lelakiku, tapi tetap saja hampa. Mungkin ini berawal dari ketidakihklasan, tak terbumbui cinta apalagi hasrat menjalin rumah tangga.Aku yang memang belum siap menjalin komitmen dipaksa untuk hidup dalam sangkar berlian. Segala kemewahan dunia akan kupunya, tetapi apakah akan mewujudkan bahagia?Kehadiran teman-teman sedikit meringankan kesedihan. Tawa, canda dan kenarsisan mereka cukup mengobati lara. Genk satu kelas datang bersamaan, mungkin janjian. Kegaduhan di pelaminan pun terjadi di pukul delapan malam. "Jiaah, jadi pengen kawin gue!" celoteh Nindia yang kemudian disambut gelak tawa yang lain. "Emang ada gitu yang mo sama lo?" ejek Rudi, musuh bebuyutannya."Yang pasti bukan lo!" tangkis Nindia. Menit berikutnya suasana adu mulut makin heboh.Tak lengkap kenarsisan kalau belum foto-foto. Berbagai ga
KANAYALepas puas menangis, aku tak langsung kembali ke pelaminan. Rasanya ingin mencari tempat menyepi. Barang sebentar pergi tak apa mungkin. Toh, mereka juga tak terlalu peduli padaku. Mayoritas undangan adalah relasi Mr Hans, papa dan mama.Aku sengaja berjalan di pinggir ruangan. Jika berpapasan dengan orang, aku pura-pura merapikan dandanan. Biar mereka tak curiga.Akhirnya aku sampai di balkon ruangan. Tempat ini kuketahui saat tirai tersibak. Nekat saja masuk ke sana. Dan, aku senang sekali ada di area terbuka.Aku mempercepat langkah menuju ujung balkon. Tempat ini dibatasi pagar tembok setinggi pinggang lelaki dewasa. Di atasnya ada terali besi yang ujungnya runcing. Tingginya sekitar tiga meter atau lebih. Mungkin sebagai antisipasi agar tak dipakai bunuh diri.Untung saja di sini ada beberapa lampu hingga cukup terang meski malam makin menemui kepekatannya. Kuikat ke pinggang pakaian yang menjuntai agar lebih leluasa bergerak. Sepatu yang tingginya sepuluh senti pun dilepa
KANAYAPukul sebelas malam, pesta pernikahan usai. Aku langsung dibawa ke kamar termewah di hotel Grand Internasional. Ruangan ini memang disiapkan untuk pengantin memadu kasih. Ranjangnya dihiasi ribuan kelopak mawar yang terhampar di atas sprei putih menjuntai. Namun, kamar bertirai serupa undakan awan ini justru membuatku gemetar.Jujur saja, meski sudah tak takut dengan Mr Hans, tetap saja kalau harus berhubungan lebih jauh aku belum siap. Otakku berputar mencari rangkaian kata yang tepat untuk memohon agar ia tak menyentuh malam ini. Namun, sial kenapa begitu buntu.Akhirnya aku hanya bisa berlama-lama di toilet. Selain mencari ide juga mengulur waktu. Aku berharap Mr tertidur hingga aku bebas malam ini. Namun, rupanya harapan ini harus dikubur. Lelaki itu malah berdiri di sisi jendela yang tirainya sedikit tersingkap.Aku memberanikan diri keluar dari toilet. Sambil tertunduk aku berjalan diiringi tatapan lelaki yang kini telah membalikkan badan. Ya, Tuhan aku takut sekali!Untu
HANSSeumur hidup tak pernah aku merasa setakberharga ini. Ditolak itu menyakitkan. Segala cara telah kugunakan untuk meluluhkan hati Kanaya. Hasilnya sia-sia belaka. Ia dekat, tapi tak tercapai tangan.Kemewahan yang kuberi tak membuatnya membuka hati. Kemegahan ini tak menyilaukannya sama sekali. Perhatian, ketulusan yang tak pernah kuberikan pada orang lain pun seakan tak mampu menerjang karang terjal itu. Ia lebih keras kepala dari yang kukira.Helaan panjang napas ini tak mampu meredakan kesesakan yang memenuhi dada. Kini, aku hanya mampu mandangi bintang. Berharap semua dapat meringankan sedikit lara.*"Teman-teman mengundangku ke acara perpisahan sebelum kami kuliah di tempat berbeda, bolehkah aku datang?" pintanya pagi ini. Sendok yang akan masuk ke dalam mulut kutarik kembali. Setelah melepaskannya, mata ini melempar tatapan menyelidiki padanya. Jujur, aku tak suka dengan permintaan itu."Hanya perempuan. Mereka teman-teman satu genk saat kelas tiga. Lepas ini mereka akan per