Share

AMAT BELIA

HANS

"Jadi, Agung Wicaksana menjual putrinya padamu?"

Kujengkitkan bahu untuk menanggapi pertanyaan Roy. Lelaki yang lima belas tahun mendampingi itu mengempaskan bokongnya di kursi seberang meja ini. Seperti biasa ia akan meraih berkas-berkas yang sedang kupelajari. Sok serius, padahal tidak fokus pikirannya.

Tak selang dua menit, pria yang sebelah telinganya beranting itu meletakkan kertas di atas meja. Ia menyandarkan punggung di badan kursi, lantas menumpangkan satu kaki ke kaki lainnya. Detik kemudian bicara, "Well, akhirnya kau akan menikah, Kawan!"

Benarkan, tujuannya ke sini lepas makan siang hanya ingin memastikan pernikahanku. Sudah kuduga sebab dirinya senang sekali ikut campur urusan pribadiku.

Pandangan kami beradu, ia pasti paham aku tak suka dengan pernyataan itu. Lelaki berdada bidang itu mengangkat kedua alisnya. Kalau bukan Roy tentu takkan berani menantang ketajaman netra ini.

Aku bangkit dari kursi kebesaran, melangkah perlahan menuju dinding kaca yang melingkupi seperdua ruangan ini. Dari sini dapat terlihat kepadatan arus jalan raya. Kendaraan berjejer menunggu antrean keluar jalur utama. Para pengguna jalanan itu pastilah tak jauh beda dengan diriku. Mereka rela hilir mudik di sana demi mendapatkan sejumlah harta.

Tanpa menengok ke arah Roy, aku bicara, "Pernikahan ini hanya alat bisnis Roy. Untuk mengambil utuh perusahaan mereka maka aku harus menerima tawaran lawan!"

Ya, pernikahan itu tak berarti apa-apa untukku. Hal itu hanya umpan kecil untuk hasil besar. Bagiku tak ada yang lebih berharga daripada harta dan kekuasaan. Ambisi memiliki kerajaan bisnis tiada tanding adalah satu-satunya tujuan hidup.

Kubalikkan badan hingga kembali dapat melihat lelaki yang kini bangkit dari kursi. Punggung ini menempel di dinding kaca, sementara dua tangan masuk saku celana.

Lintasan sepak terang dalam dunia bisnis bersama Roy berseliweran di kepala. Lima belas tahun terjun di sana membuatku semakin bernapsu menjadi yang terhebat. Tak ada lawan dan kawan sejati, hanya ada kepentingan abadi. Itulah prinsip yang mengantarkanku menjadi setangguh ini.

Agung Wicaksana adalah mangsa yang sudah lama kuincar. Lelaki lemah itu tak pernah menyadari bahwa yang berada di balik kekacauan bisnisnya adalah perusahaanku. Bodoh sekali dia meminta pertolongan dengan menukarkan putrinya. Kutarik satu sudut bibir mengingat kesuksesan yang dicapai tanpa rintangan berarti.

Tentang pernikahan, jalani saja. Bagus juga nanti istriku itu akan mendampingi di acara seremoni. Aku tak perlu lagi membawa para sekretaris ganjen atau wanita tak jelas yang disodorkan Roy. Kadang, ingin kukutuk pesta yang mewajibkan membawa pasangan. Lagipula untuk apa ladies itu ikut serta, toh mereka di sana hanya pamer kekayaan suaminya.

"Tiga rekan bisnis harapan terakhir Wicaksana sudah meninggalkannya. Setelah pernikahan digelar segera leburkan perusahaan itu," saran Roy saat berdiri bersisian denganku. Tanpa saran darinya, hal itu tentu sudah dalam rencanaku.

"Aku akan mengganti seluruh jajaran direksi beserta direktur cabang secara bertahap agar tak terlalu mencolok."

"Good job!" ungkap Roy. Ia mengacungkan dua jempolnya.

"Semoga Kanaya takkan merepotkan di kemudian hari," gumamku yang entah apa di dengar Roy atau tidak.

Sebelum aku masuk dalam alam lamunan, Roy menepuk pundak dan bicara, "Satu jam dari sekarang aku ada meeting dengan CEO Grand Corporation. Aku pergi dulu. Oh, iya kalau bingung malam pertama hubungi saja jangan sungkan! Hahaha!"

Tawa lelaki yang sudah empat kali kawin cerai itu masih membahana sampai pintu ruangan tertutup. Menit berikutnya tempat ini kembali hening. Untuk dua jam ke depan hanya akan ada aku dan tumpukan pekerjaan di atas meja.

*

Malam ini Agung Wicaksana akan memperkenalkan putrinya padaku. Tentu ini langkah yang tepat. Meski tak terlalu penasaran, tak salah juga melihat calon istriku.

Roy memesankan tempat istimewa untuk menyambut calon pendampingku kelak. Restoran Edelweis adalah pilihan tepat. Selain mewah, di sana juga terdapat berbagai ruang eksklusif yang dapat menjaga privasi pengunjung.

Sepuluh menit dari janji, aku sudah ada di ruangan yang lampu hiasnya bersusun lima undakan. Sepertinya itu import dari timur tengah. Kursinya serupa singgasana ratu dan raja. Meja bulat membentang di depan susunan tempat duduk ini.

Seorang pelayan menyampaikan informasi bahwa tamu yang ditunggu sedang menuju ruangan. Saat pintu terbuka, aku berdiri sebagai simbol penghormatan. Netra ini langsung tertuju pada dua wanita yang digandeng oleh Mr Agung.

Mataku sedikit melebar kala sadar bahwa gadis yang diapit di sebelah kiri itulah calon istriku. Meski lekuk tubuhnya sama dengan wanita dewasa, tetapi wajah mungil itu menampilkan bahwa ia amat belia.

Sebelia itukah calon istriku?

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status