Share

[6]

last update Last Updated: 2025-06-18 10:00:11

“Lho, Mami jemput aku?” Nabil bertanya dengan wajah heran tapi tetap semringah lantaran aku yang datang menjemputnya di tempat les.

“Iya. Papa ada urusan.” Aku tak mungkin membalas senyumnya. Memeluk erat putriku dengan penuh kasih sayang. “Enggak masalah, kan, kalau Mami yang jemput?”

“Enggak dong!” Nabil pun bergegas mengenakan seat belt. “Aku lapar, Mi. Boleh mampir makan ke KFC?”

Aku mengangguk menyetujui permintaan putriku. Keinginan membuatkan makan malam spesial sudah menguap entah ke mana. Sebenarnya isi kepalaku juga sudah tak lagi fokus pada sekitar. Tertumpu pada pesan yang terlanjur aku baca namun tak bisa aku jadikan bukti untuk bertanya.

Apa maksud Mas Hanung mengirim pesan seperti itu? Ditujukan pada siapa pesan itu, ya?

“Oiya, Mi, aku lupa bilang. Arya boleh pulang bareng? Dia enggak dijemput maminya.”

Keningku berkerut. “Arya teman kamu itu?”

Tanpa ragu Nabil mengangguk. “Iya, Mi. Kasihan dia kalau pulang sendiri. Biasanya juga Papa antar dia pulang.”

“Seberapa sering?” tanyaku yang berusaha tak terdengar mendesak putriku untuk terus bicara.

“Hampir setiap hari,” sahut Nabil dengan polosnya. “Kadang mampir ke McD untuk makan bersama. Sama Tante Rara juga. Habis itu baru deh pulang antar Tante Rara dan Arya ke rumah. Baru deh aku dan Papa pulang.”

Ini sedikit memberiku penjelasan kenapa Nabil terkadang menolak makan malam. Perutnya sudah lebih dulu kenyang lantaran mampir ke salah satu restoran cepat saji. “Enggak baik makan McD terus, lho.”

Nabil tertawa. “Aku suka, Mi. Lagian Arya juga suka, kok.” Ia pun menurunkan jendela mobil dan melambaikan tangan. “Arya, ayo pulang bareng!”

Sebenarnya aku tak setuju dan keberatan mengantarkan anak ini pulang tapi tak ada salahnya untuk memberi tumpangan. Meski pikiranku semakin kalut karena ucapan Nabil tadi, siapa tahu ada hal baru yang bisa aku tahu.

“Hallo, Tante,” sapanya ramah sesaat setelah duduk di kursi belakang. “Maaf, apa boleh Arya pulang bersama?”

Kalau sudah seperti ini mana bisa aku menolaknya? Lagi pula anak ini termasuk anak yang mengerti sopan santun. Sejak masuk ke dalam mobil, dia langsung mengulurkan tangan untuk menyalamiku. Hanya bicara meminta izin untuk pulang bersama. Dan membalas pertanyaan Nabil dengan singkat. Sisanya diam dan menikmati perjalanan seolah ada banyak hal yang mengganggu pikirannya.

Padahal anak itu dan Nabil bisa dibilang seusia, tapi kenapa Arya tampak jauh lebih dewasa?

“Mau mampir makan dulu?” tawarku pada Arya. “Nabil mau KFC.”

“Ehm ... enggak usah, Tante.”

“Tapi aku lapar, Arya. Kamu memangnya enggak lapar? Siang tadi kamu enggak makan, lho.” Nabil merengut. “Ayo, ah, makan. Miss Nina bilang, jangan sampai melewatkan makan. Enggak baik.”

“Tapi boleh enggak makan di mobil saja?” tanya Arya dengan hati-hati. Sepertinya tak mudah untuk menolak keinginan Nabil tapi aku merasa ada yang ingin anak itu lakukan.

“Kenapa memangnya?” tanyaku hati-hati. “Arya mau segera pulang?”

Pelan, dia mengangguk. “Mami mau ke Semarang. Aku belum bertemu Mami dari pagi. Biasanya sebelum Mami pergi, aku peluk Mami dulu.”

Ah ... begitu rupanya. “Nabil enggak keberatan kalau kita makan di mobil saja?”

“Yang penting makan, Mi. Aku lapar.”

Aku tersenyum saja. Sepanjang perjalanan, mereka bicara tanpa canggung. Membuat aku bertanya-tanya seberapa sering mereka pulang bersama. Karena aku tahu perangai putriku yang agak pemalu. Dia butuh adaptasi agak lama dengan orang baru. Terkecuali sudah sering bertemu dan menjadi akrab lantaran tiap hari bersama menghabiskan waktu.

Tapi bukankah Mas Hanung sudah tak lagi mengantar Nabil ke sekolah? Hanya sesekali dia menjemput Nabil itu pun kalau searah.

“Oiya, Mami,” panggil Nabil yang membuat aku menoleh. “Mulai besok lebih baik Papa yang antar aku sekolah. Jadi Papa enggak repot jemput Arya dulu. Kan biar sekalian.”

Aku terperangah. “Maksudnya?”

“Iya. Kan Arya tiap hari diantar Papa ke sekolah. Aku diantar Mami, Papa jemput Arya dulu dan antar ke sekolah baru deh kerja. Papa dan Tante Rara sering berangkat bersama, kok. Memangnya Mami enggak tahu?”

Sungguh, ucapan Nabil seperti petir yang menyambar sekujur tubuhku tanpa sisa. Untungnya aku masih bisa berkonsentrasi di belakang kemudi. Jika tidak, mungkin kami sudah terlibat kecelakaan lantaran konsentrasiku buyar begitu saja.

“Iya, kan, Arya?”

“Iya,” sahut Arya begitu saja.

“Makanya, Mami enggak usah antar aku lagi. Biar Papa enggak kerepotan juga.”

Jadi selama ini ... Mas Hanung berangkat pagi bukan segera menuju kantor atau garment? Tapi ke rumah Rara dan mengantar anaknya dulu? Lalu berangkat kerja bersama?

Entah kenapa sekelebatan pesan yang suamiku tarik itu pun berkeliaran di kepala. Semarang. Ibunya Arya juga akan pergi ke Semarang. Mas Hanung ada urusan mendadak ke Semarang.

Ini bukankah kebetulan yang sangat-sangat mencurigakan, ya?

****

Hatiku sama sekali tak tenang. Bahkan saat Arya pamit padaku, aku mengabaikannya. Pandanganku tertuju pada rumah dua lantai yang Arya tunjuk sebagai tempat tinggalnya. Sebuah mobil Yariz putih terparkir di sana. Arya bilang, ibunya belum pergi karena mobilnya masih ada.

Entah ilham dari mana, aku mengurungkan niat untuk segera meninggalkan area perumahan ini. Aku memilih untuk menepikan mobil di blok lain yang tak jauh dari rumah wanita bernama Rara. Entah kenapa hatiku mengatakan, aku harus menunggu walau tak tahu apa yang aku tunggu.

“Mi, masih lama?” tanya Nabil untuk ke sekian kalinya. Aku yakin putriku sudah bosan menunggu. Meski sebenarnya aku merasakan hal yang sama, tapi entah kenapa aku merasa belum puas memerhatikan rumah itu.

Meski sudah tiga puluh menit tak ada pergerakan apa pun tapi ... feelingku mengatakan jika aku harus menunggu sedikit lagi.

“Sabar, ya, Sayang. Mami ada urusan.”

Nabil merengut tapi segera teralih dengan tablet yang ada di tangannya. Ia kembali asyik bermain di gadget miliknya. Sementara aku kembali memerhatikan rumah itu dari jauh.

Mungkin Tuhan tengah baik hati. Mungkin juga Tuhan tak suka jika aku terkadang dibohongi. Atau ... Tuhan menjawab kegelisahanku yang tak bertepi ini.

Tak lama, mobil Mas Hanung terparkir di depan gerbang rumah itu. Suamiku tampak gagah mengenakan kemeja biru langit. Senyumnya juga terkembang lebar seolah ingin menyambut seseorang. Di tangannya terdapat buket mawar yang ... sepertinya mirip dengan apa yang pernah dia beri untukku.

Itu belum seberapa dibanding saat si pemilik rumah menyambut kedatangan suamiku. Wanita itu segera memeluk suamiku dengan mesranya. Serta melayangkan kecupan mesra di pipi kanan dan kiri seolah ada kerinduan yang besar dan harus dituntaskan saat itu juga.

Tanganku gemetaran. Aku tak mampu bersuara sama sekali. Bahkan napasku mendadak tersengal melihat semua pemandangan gila ini.

“Enggak mungkin ...,” lirihku tak percaya. “Enggak mungkin Mas Hanung seperti ini.”

Demi mengonfirmasi sesuatu, walau tangan ini gemetaran serta aku berusaha dengan amat agar tetap tenang, aku meraih ponsel di tas. Satu-satunya orang yang ingin kuhubungi adalah pria yang masih digelayuti manja oleh wanita lain di ujung sana. Di jarak yang tak terlalu jauh dariku, hanya terhalang jalan utama pemisah blok serta aku yang berada di dalam mobil.

“Ya, Sayang?” sahutnya dengan suara riang. Terlihat olehku, dia sedikit mengurai pelukannya dengan wanita sialan itu.

“Kamu di mana?” tanyaku berusaha senormal mungkin.

“Sudah di bandara. Baru saja sampai. Penerbangan jam 7 nanti. Kamu di mana? Sudah di rumah?”

Tanganku terkepal kuat. Air mataku siap tumpah tapi sekali lagi, aku berusaha menahan diri. “Kalau begitu, hati-hati selama penerbangan ya Mas. Safe flight.”

“Kamu juga, baik-baik di rumah bersama Nabil, ya. Mas ada kirim sesuatu untuk kamu. Mungkin ... satu jam lagi sampai.”

Aku sudah tak lagi antusias.

“Mas tutup, ya.”

Begitu sambungan telepon itu ditutup, aku melihat Mas Hanung merangkul mesra wanita sialan itu. Lalu ... melangkah masuk ke dalam rumah seolah tak ada yang mengawasi mereka.

“Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku, Mas?” Air mataku turun tanpa peringatan. “Gila kamu!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurmila Karyadi
bodoh bukan disamperin
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [9]

    “Nabil, roti lapisnya sudah Mami siapkan dan dibungkus. Jangan lupa dimasukkan ke tas, ya!”Lisa mengangkat suara dari dapur sambil menyusun bekal di kotak makan masing-masing.“Iyaaa, Ma!” Terdengar suara langkah kaki kecil mendekat, disusul Arya yang diam-diam ikut masuk ke dapur.“Ini, Tante,” kata Arya sambil menyerahkan botol minumnya. Juga botol minum Nabil agar diisi oleh air menyegarkan yang dibuatkan Lisa untuk mereka. Arya suka sekali dengan apa yang dibuat Lisa. Dan rasanya ... ia tak ingin pulang dari rumah yang benar-benar hangat ini.Lisa tersenyum dan mengisi botol itu dengan infused water. “Kamu suka yang lemon strawberry, kan?”Arya mengangguk. “Iya. Enak.”Lisa mengusap puncak kepala Arya penuh sayang. “Tante buatkan lagi, ya. Jangan lupa bekalnya dihabiskan, ya. Sarapannya sudah Tante siapkan di meja. Makan dulu sama Nabil..”“Iya, Tante.”Lisa pun sibuk dengan 2 botol milik bocah kecil yang meramaikan rumahnya ini. lantas bergegas mengisi dengan minuman yang diingi

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [8]

    “Ayo, anak-anak. Sudah waktunya kalian tidur, kan?” peringat Lisa sembari membawakan dua gelas susu hangat untuk dua anak yang masih berkutat dengan buku gambar. Setelah mengerjakan PR yang cukup banyak, mereka memilih menghilangkan penat dengan menggambar.Tadinya Nabil ingin menonton film tapi Arya tak mau. Katanya nanti bisa terlalu malam tidurnya. Bagus juga peringatan yang Arya ungkapkan untuk Nabil. Jadi anak itu bisa lebih mandiri dan disiplin untuk tidur.“Iya, Mi. Sebentar lagi,” kata Nabil yang masih sibuk mencari salah satu pensil warna yang ia butuhkan.“Minum susunya dulu.”Mereka pun patuh. Duduk bersama menikmati segelas susu hangat buatan Lisa, mereka juga banyak bercerita mengenai kegiatan di tempat les. Terutama Nabil yang mendapatkan nilai sempurna untuk perhitungan dasar. Arya memujinya beberapa kali dan Nabil benar-benar senang dengan pujian itu.“Kalau nanti kamu kesulitan pas belajar menghitung, tanya aku saja, Ya,” kata Nabil.Arya mengangguk sembari tersenyum

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [7]

    Winda datang menjelang sore karena waktu yang sahabatnya punya, hanya di sekitar jam luang. Dan bisa dibilang, Winda sekalian pulang setelah bekerja. Lagi pula pekerjaan Winda sebenarnya bisa saja dikerjakan di rumah. Hanya Winda lebih memilih berangkat ke kantor untuk menghilangkan penat.“Hei, kamu ngelamun lagi,” tegur Winda sambil menjentikkan jari di depan wajah Lisa. “Ini satin udah tiga kali kamu lipat-lipat, tapi enggak rapi-rapi.”Lisa terkesiap. “Hah? Ya ampun, sorry. Aku nggak fokus.”“Kelihatan banget.” Winda meletakkan tote bag-nya di kursi rotan pojok butik, lalu duduk santai. “Udah, sini. Duduk dulu. Cerita.”Winda sejak tadi memerhatikan Lisa. Bukan sekali dua kali sahabatnya melamun seperti ini. Entah apa yang dipikirkan tapi rasanya ... aneh sekali. Saat ada masalah dengan mantan suaminya yang berengsek itu, Lisa tak sampai kehilangan fokus seperti ini.Tapi kali ini ...“Kamu enggak mau cerita?” desak Winda dengan sorot mata penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [6]

    “Kalian berdua, semangat sekolahnya, ya,” kata Lisa sembari memberi pelukan hangat pada Nabil juga Arya. Tak jauh dari mobil Lisa terparkir, ada Erna serta rekan Lisa lainnya yang turut mengantar anak mereka. Lisa menyapa ramah tapi kembali fokus pada kedua anak yang kini berjalan memasuki area lobby sekolah.“Lho, bukannya itu anaknya si pelakor itu?” tanya Bu Erna dengan wajah terkejut. “Kok bisa bareng sama kamu?”Lisa tersenyum tipis. “Iya, Mbak. Arya nginap di rumah aku seminggu ke depan. Ayahnya lagi ada dinas ke Surabaya seminggu ke depan.”Erna masih belum bisa mencerna perkataan Lisa barusan. “Ta-tapi, kan, dia ...”“Mbak Erna, mohon maaf banget. Aku harus ke butik pagi ini. Bagaimana kalau kita ngobrol pas anak-anak acara berenang? Anakmu ikut, kan?”Erna segera mengangguk. “Kamu benar. Lebih baik kita bicara saat waktunya longgar. Tapi kamu benar-benar harus cerita yang detail, ya, Lis. Aku penasaran banget, lho. Kalau Tina dan Jihan tahu, mereka pasti sama. Menuntut penjel

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [5]

    Hari pertama Arya menginap di rumah Lisa, Lisa merasa seperti memiliki 2 anak dengan kepribadian yang sangat berbeda. Nabil dengan tingkahnya yang cerewet dan terkadang banyak protes. Arya lebih banyak diam dan menuruti semua keinginan Nabil. Bocah lelaki itu memosisikan dirinya sebagai kakak laki-laki yang bisa Nabil andalkan.Tapi satu hal yang membuat Lisa senang. Arya tak pernah sungkan untuk bicara dengannya walau perlahan dan terkadang, butuh ditanya ulang apa keinginan anak itu.“Kamu yakin sudah cukup?” tanya Lisa penasaran. Kotak bekal Arya sudah ia buatkan roti lapis dengan selai strawberry juga coklat yang menjadi kesukaan bocah itu. Tapi ternyata, Arya juga menginginkan nasi goreng seafood buatan Lisa. Hanya saja, isinya sedikit sekali.“Iya, Tante. Ini sudah cukup. Lagian kita mau sarapan bersama, kan?”“Iya.” Lisa tersenyum lebar. Diusapnya lembut puncak kepala Arya. “Nah, sementara Tante siapkan jus, boleh panggilkan Nabil? Tante rasa dia sudah selesai merapikan bukunya.

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [4]

    Kalau ada yang ingin mengatakan betapa konyol dan impulsif tindakan Lisa, silakan utarakan. Lisa sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya. Kenapa juga ia setuju dengan permintaan Ronald.Saat pria itu diberikan keputusan jika Lisa mau membantu, wajah tampannya jauh lebih bersinar dari sebelumnya. Bisa dibilang, mungkin sebagian besar bebannya berkurang banyak.“Mami kenapa?” tanya Nabil bingung. Sejak tadi ibunya berulang kali gonta-ganti siaran TV. biasanya, ia tak pernah seperti itu.“Enggak apa-apa, Sayang,” Lisa menyeringai tipis. “Duduk sini.” Ia pun meminta anaknya untuk duduk di dekatnya. Nabil menuruti dan segera bersandar begitu Lisa merangkulnya penuh sayang. “Ehm ... Mami mau ngomong sama kamu. Bisa?”“Biasanya juga ngomong, kan?”Lisa tertawa jadinya. “Iya, juga, ya.” Tak mungkin ia tak membicarakan dengan anaknya, kan? “Menurutmu, kalau Arya tin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status