Share

[5]

last update Last Updated: 2025-06-17 06:51:50

Mas Suami :

Cintaku, Manisku, Manjaku. Lagi apa? Sudah makan belum?

Aku yang baru saja merapikan stok gamis edisi terbaru, mengernyitkan kening membaca pesan dari Mas Hanung. Saking terherannya, aku sampai terduduk dengan mata yang tak lepas dari ponsel.

Mas Suami :

Kok cuma dibaca saja, Dek? Sibuk ya? Padahal Mas kangen lho.

Jemariku refleks menuliskan balasan karena sepertinya responsku ditunggu oleh Mas Hanung.

Me :

Bukan enggak mau balas, tapi tumben banget Mas panggil aku semanis itu?

Bukannya balasan yang kembali aku dapatkan, melainkan telepon di mana saat aku angkat, suara Mas Hanung tertawa dengan renyahnya.

“Enggak boleh, ya, aku panggil kamu seperti itu, Dek?”

Aku? Ya tersipu malu, lah! Mas Hanung memang orang yang cukup romantis tapi jarang sekali menunjukkan sisi yang seperti ini. Aku bersyukur, kesalahpahaman beberapa waktu lalu berakhir. Mas Hanung meyakinkanku jika pemikiran yang terus menerus ada di kepalaku, hanya kekhawatiran yang tak akan pernah terjadi.

Mas Hanung melimpahkan banyak cinta untukku serta memperbaiki cara kami berkomunikasi. Aku juga mengakui kesalahan bodoh yang kuperbuat di mana memperkeruh suasana. Kami habisnya tiga hari dua malam liburan ke Puncak Bogor demi melenyapkan perasaan tak nyaman yang pernah dirasakan.

Nabil sangat gembira dengan liburan dadakan yang kami adakan itu. Mas Hanung berjanji, akan mengajak kami liburan ke Bali jika urusannya sudah selesai. Aku berharap urusan Mas Hanung bisa segera terselesaikan dan proyeknya terus terjalin dalam waktu yang lama.

“Boleh, Mas,” sahutku sembari memegangi pipiku yang sedikit memanas.

“Sudah makan?”

“Belum. Aku janjian sama Winda makan ikan bakar di Tebet nanti. Kamu sendiri?”

Kudengar helaan panjang yang berasal dari Mas Hanung. “Jangan sampai telat makan, Dek. Nanti magh-mu kumat. Mas juga yang repot.”

Aku terkikik. “Iya, Mas.”

“Oiya, nanti Mas yang jemput Nabil les.”

“Mas enggak repot?” Aku harus memastikan hal itu karena aku tahu, suamiku benar-benar sibuk. Entah sudah berapa kali gangguan dari kliennya datang di saat kami berkumpul bersama. Tadinya aku menaruh curiga tapi sepertinya, aku harus membuang pemikiran buruk itu. Mas Hanung memang sibuk bekerja dan bicara dengan banyak klien.

Aku sungguh istri yang buruk, menuduh suamiku bermain serong. Duh, jangan sampai hal itu benar-benar terjadi.

“Enggak, kok. Mas memang ada urusan ke daerah tempat les Nabil. Jadi satu arah.”

“Ya sudah. Nanti aku siapkan makan malam yang enak.”

“Iya, Cintanya aku. Terima kasih, ya. Mas kerja lagi, ya. Masih ada laporan yang harus dicek. Kabari Mas kalau sudah bertemu Winda. Jangan telat makan, Sayang.”

Aku mengulum senyum. Mesra sekali suamiku. Jadi tambah cinta. “Iya, Mas.” Tak lama berselang, percakapan kami terputus. Aku masih tak menyangka jika Mas Hanung bisa kembali bersikap mesra. Seperti saat pertama kali kami berumah tangga. Manis dan romantis sekali.

Baru saja aku akan beranjak meneruskan pekerjaan—sembari menunggu Winda datang menjemput—sekali lagi aku mendapati Mas Hanung mengirimkan pesan.

Mas Suami :

Untuk cintaku,

Setiap hari bersamamu adalah anugerah terindah. Senyummu, tawamu, dan cintamu adalah hal yang selalu kunanti. Kamu adalah rumah bagi hatiku, pelabuhan bagi lelahku. Aku mencintaimu, hari ini, besok, dan selamanya. Tak ada hari tanpa syukur karena memilikimu di sisiku. 💕

Suamimu yang selalu tergila-gila padamu.

Ah ... aku jadi ingin segera pulang dan bertemu Mas Hanung.

***

“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Winda dengan herannya. Aku dan Winda sudah bersahabat lama. Dia temanku semasa SMA. Dia juga tahu bagaimana kisah cintaku berakhir di pelaminan bersama Mas Hanung. Banyak hal seputar rumah tangga kami yang kubagi dengan Winda.

Karena bagiku, Winda lebih dari sekadar sahabat. Meski hingga kini, dia belum jua berumah tangga. Rasa kecewa dan sakit hati lantaran mantan tunangannya berselingkuh dua hari sebelum pesta pernikahannya berlangsung, benar-benar memberikan bekas yang teramat dalam.

“Mas Hanung kirim pesan.”

“Macam ABG saja kamu,” seloroh Winda sembari sedikit menyenggol bahuku. “Kembali pacaran, eh?”

“Enggak juga.” Aku meletakkan ponsel di tas. Menu pesanan kami sudah datang dan aku tak terbiasa memainkan ponsel sembari makan.

“Apa kalian habis bertengkar?” tanya Winda tanpa beban. Ia menyuap kuah sup ayam dengan lahapnya.

Aku tak menyahut lantaran pertanyaan itu benar adanya.

“Biasanya kalau pasangan suami istri habis bertengkar, pasti ujung-ujungnya mesra betul macam ABG kasmaran. Dan enggak lama terdengar kabar kalau si istri hamil muda,” ucap Winda dengan entengnya.

“Sok tahu,” sahutku dengan cibiran.

“Lho, banyak kejadian di depan mata. Kamu pikir aku enggak pernah mengamati teman-teman kantorku?” Winda terbahak jadinya. “Aku sudah terbiasa melihat pertengkaran rekan kerjaku dengan pasangannya yang berakhir tambah anak tanpa rencana. Saking terbuai dengan kemesraan yang terjadi setelah bertengkar.”

Aku merengut tapi tak menyangga. Karena kemesraan itu memang aku alami selama kami habiskan waktu bersama di Puncak. Entah sudah berapa kali kami habiskan waktu berdua tanpa mengenakan apa-apa, terutama saat Nabil terlelap dan terbuai di alam mimpi.

“Tapi biasanya,” Winda sekali lagi menyuap makanannya dengan lahap. “Aku mengatakan hal ini karena banyak rekan kerjaku yang mengalaminya, ya. Tapi semoga saja itu enggak terjadi sama kamu, Lis.”

Aku mengerutkan kening. “Ada apa memangnya?”

“Biasanya, suami yang mendadak berubah mesra, berbeda dari kesehariannya, kecuali kalau memang dia adalah tipe orang yang senang melontarkan kata-kata manis. Itu beda lagi, ya.” Winda bicara sembari menyantap makanannya tanpa takut tersedak. Meski begitu, matanya sesekali mengarah padaku sekadar untuk memastikan agar aku memerhatikannya.

“Biasanya dia menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar.”

“Apa maksud kamu?” tanyaku penuh heran.

“Bersikap manis dan mesra ke istri untuk menutupi perbuatannya dia yang mungkin enggak pernah terbayang oleh kamu, Lis.”

“Win, bisa bicara jangan asal? Apa yang kamu katakan membuat aku overthinking.”

“Tapi lebih banyak terjadi seperti itu, Lis. Dia mendadak berubah mesra tapi ternyata punya hal yang bikin istri merasa hidup di neraka.”

Aku berdecak kesal jadinya. “Mas Hanung enggak mungkin melakukan hal itu.”

“Aku sungguh berharap suamimu enggak melakukan hal itu. Aku senang rumah tangga kalian baik-baik saja. Apa, sih, yang aku harap selain melihat perjalanan rumah tangga sahabat karibnya adem ayem? Rukun dan damai sampai tua nanti?”

Aku terdiam.

“Enggak usah kamu pikirkan ucapanku. Aku hanya bicara sesuai dengan pengamatan yang aku dapat di kantor, kok. Bukan berarti rumah tangga kamu juga mengalami hal itu. Aku yakin suamimu enggak seperti itu.”

“Mas Hanung enggak mungkin selingkuh.”

Winda tersenyum lebar. “Iya. Dia cinta banget sama kamu. Enggak mungkin dia selingkuh dari kamu. Bodoh kalau dia selingkuhi kamu, Lis. Benar-benar pria yang bodoh kalau sampai dilakukan.”

Selepas makan siang bersama, kami kembali menjalani aktivitas masing-masing. Aku sibuk dengan kegiatan di butik, Winda sibuk dengan agenda perencanaan akhir bulan dengan Pemda setempat. Tanpa kusadari, waktu cepat sekali berlalu. Begitu memutuskan untuk segera pulang lantaran tak ingin terlambat menyiapkan makan malam spesial, aku dikejutkan oleh sebuah pesan.

Mas Suami :

Baby, Mas ada kirim paket ke kantor. Sudah terima? kalau sudah, nanti dipakai saat kita di Semarang ya. Mas kangen.

“Paket?” gumamku keheranan. “Semarang? Mas Hanung enggak bilang kita mau ke Semarang.” Jemariku segera saja mengetikkan balasan namun ... pesan barusan ditarik oleh sang pengirim. Aku? Melongo.

“Kenapa pesan barusan ditarik?”

Tak lama berselang, pesan baru pun datang.

Mas Suami :

Sayang, hari ini Mas enggak bisa jemput Nabil. Mas ada urusan mendadak ke Semarang. Kamu bisa jemput Nabil, kan?

Apa maksudnya ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [5]

    Mas Suami :Cintaku, Manisku, Manjaku. Lagi apa? Sudah makan belum?Aku yang baru saja merapikan stok gamis edisi terbaru, mengernyitkan kening membaca pesan dari Mas Hanung. Saking terherannya, aku sampai terduduk dengan mata yang tak lepas dari ponsel.Mas Suami :Kok cuma dibaca saja, Dek? Sibuk ya? Padahal Mas kangen lho.Jemariku refleks menuliskan balasan karena sepertinya responsku ditunggu oleh Mas Hanung.Me :Bukan enggak mau balas, tapi tumben banget Mas panggil aku semanis itu?Bukannya balasan yang kembali aku dapatkan, melainkan telepon di mana saat aku angkat, suara Mas Hanung tertawa dengan renyahnya.“Enggak boleh, ya, aku panggil kamu seperti itu, Dek?”Aku? Ya tersipu malu, lah! Mas Hanung memang orang yang cukup romantis tapi jarang sekali menunjukkan sisi yang seperti ini. Aku bersyukur, kesalahpahaman beberapa waktu lalu berakhir. Mas Hanung meyakinkanku jika pemikiran yang terus menerus ada di kepalaku, hanya kekhawatiran yang tak akan pernah terjadi.Mas Hanung

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [4]

    “Wah, akhirnya Lisa gabung juga ke sini!”Aku menyeringai canggung. Kedatanganku ke kafe ini untuk menuntaskan rasa penasaran yang setinggi Gunung Everest. Padahal kesibukanku di butik tak bisa terlalu sering ditinggal hanya demi berkumpul bersama ibu-ibu wali murid di kelas yang sama dengan Nabil. Hanya saja ...“Iya, Bu Erna. Kebetulan aku lagi lowong.” Aku pun mengambil duduk di tengah kerumunan, karena kebetulan juga, salah satu dari mereka menyodorkan tempat itu untukku. “Lagian sudah lama enggak bertemu ibu-ibu sekalian, kan? Apa kabar semuanya?”Setidaknya, aku harus ramah dan bersikap seolah akrab dengan mereka semua. Sebenarnya perkumpulan seperti ini, memiliki hal yang positif juga. Tapi terkadang dipandang sebelah mata karena sepertinya lebih banyak hal negatifnya, seperti bersaing satu sama lain terkait anak atau suami. Oh, yang paling parah ... berkaitan dengan keuangan rumah tangga masing-masing.Mereka bersaing siapa yang lebih unggul di kumpulan ini. Mengenakan pakaian

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [3]

    “Jadi ini nomor Rara,” gumamku pelan. Mataku terus menatap lekat layar ponsel yang memperlihatkan deretan angka, tanpa profil apa-apa, serta jarang terlihat online mungkin karena kesibukannya. Sepertinya wanita itu memberi pengaturan jika nomornya tidak disimpan, maka tidak bisa melihat foto profil penggunanya.Karena itulah, aku mengetikkan namanya sebagai kontak baru.Nomor itu juga masuk ke grup sekolah, persis dengan timing yang Nabil katakan padaku pagi tadi. Sepertinya benar, jika Rasya Arya adalah siswa pindahan dan baru mengikuti ajaran baru di semester ini. Dan sebab itu juga, nomor baru diundang masuk ke dalam grup yang kebanyakan berisi orang tua murid yang sekelas dengan Nabil.“Aku save, deh,” putusku dan segera saja jemari ini mengetikkan nama pada kontak baru di ponsel.Pada akhirnya, aku ikut Mas Hanung ke Le Meridien. Meski sepanjang jalan suamiku merengut, tapi aku tak mau kalah. Lagi pula kalau memang kecurigaanku itu hanya bualan semata, seharusnya suamiku tak perl

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [2]

    “Dia itu murid pindahan, Mi,” kata Nabil memberiku penjelasan saat bertanya siapa Arya Arya. Bukan apa, aku baru mendengar namanya. Apa aku yang terlalu ketinggalan berita mengenai sekolah Nabil?“Oh, murid pindahan?” tegasku. Pantas saja aku tak familier dengan nama anak itu.“Miss Nina bilang, Arya pindah dari Semarang. Anaknya baik, kok. Les juga di EFF Pondok Indah, satu room sama aku.”Aku mengangguk paham. “Kamu akrab dengan Arya?” tanyaku pada Nabil sembari diam-diam mencari kontak baru di grup sekolah, siapa tahu aku bisa mendapatkan nomor orang tua Arya. Yang dipanggil Tante Rara oleh Nabil.“Kami berteman. Dia cerita, kalau papanya kerja di laut. Bukankah laut itu luas, Mi? Enggak ada tanah, kan, di laut? Jadi dia kerjanya bagaimana?”Aku nyengir. “Ehm ... mungkin di kapal besar?”Ada banyak hal yang Nabil katakan seputar teman barunya itu. Kebanyakan berisi informasi betapa keren sosok Arya dalam hal seni—menggambar dan mewarnai. Tapi sepanjang cerita itu juga, Mas Hanung d

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [1]

    “Lho, Mas? Mau ke mana?” tanyaku heran sesaat setelah meletakkan bekal makanan kesukaan Nabil—putriku, nasi goreng seafood.“Antar Nabil sekolah,” sahut Mas Hanung dengan entengnya. “Memang aku mau ke mana lagi, sih, Dek?” Enteng pula dia beri sebuah kecupan mesra di pipi, kanan dan kiri. Membuat aku merona malu. “Sarapan untukku sudah disiapkan?”“Sudah, Mas.” Aku mengekori langkahnya ke meja makan. “Kopi dan roti bakar lapis madu, kan?”Mas Hanung tersenyum lembut dan mengusap puncak kepalaku. “Istri aku paling tahu apa yang aku sukai. Tapi ... sepertinya kamu lupa kalau semalam aku bilang aku enggak akan sempat sarapan di rumah. Ada janji dengan buyer di Tebet.”Keningku berkerut banyak. “Iya, kah?”Tanpa ragu Mas Hanung mengangguk. “Apa semalam apa yang Mas lakukan buat kamu lupa?”Ugh! Mas Hanung paling bisa membuatku malu dan benar-benar tersipu. Sampai menundukkan pandangan tak lagi berani menatap manik mata kecokelatan milik suamiku yang tampan. “Mas! Jangan begitu. Nanti Nabi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status