Share

[7]

last update Last Updated: 2025-06-18 11:00:45

“Dengan cara apa lagi aku harus buat kamu percaya, Dek?”

Aku melengos. Sudah berlalu seminggu sejak aku mendapati Mas Hanung bermesraan dengan wanita lain di belakangku. Dan selama seminggu itu juga dia ada di Semarang. Selama itu pula, aku tak pernah tenang. Setiap hari aku lalui dengan rasa gelisah juga gamang. Pemikiranku penuh dengan banyak hal buruk termasuk ... apa yang suamiku lakukan di sana?

Apa benar apa yang kulihat? Semuanya terasa seperti mimpi yang sangat buruk, menghantuiku keseharianku sampai aku tak berdaya. Jika bukan karena kewajibanku memastikan Nabil dalam keadaan nyaman dan aman, serta pekerjaanku di butik yang tak bisa ditinggalkan begitu saja, mungkin aku sudah menepi sejenak.

Sekadar untuk memfokuskan diri, bagaimana caraku menghadapi ujian ini.

“Kamu sudah lihat bukti dan apa saja kegiatanku di Semarang, kan? Pak Bimo juga sudah konfirmasi langsung ke kamu. Bahkan Anas juga sudah ada bicara sama kamu. Lantas ... bagaimana lagi cara Mas membuktikan kalau apa yang kamu tuduh itu enggak benar.” Mas Hanung menarik agak keras kursi di sampingku.

Ia duduk dengan tampang kusut. Rambutnya tak lagi tertata apik. Mungkin karena kekeraskepalaanku yang belum ingin percaya. Padahal Mas Hanung sudah meyakinkan jika ia tak melakukan apa-apa seperti kecurigaanku. Tapi entahlah, aku masih belum bisa yakin seratus persen.

“Mas berani sumpah, Mas enggak seperti apa yang kamu tuduh. Lagian kamu bisa saja salah lihat, Dek. Memangnya yang punya mobil seperti Mas, hanya Mas saja?”

Itu benar, tapi plat nomor tak bisa ditipu, kan?

“Demi Tuhan aku enggak bertemu Rara apalagi sampai peluk-peluk seperti tuduhanmu itu!” Mas Hanung mulai tak sabar. “Terserahlah. Mas sudah capek membuat kamu percaya. Silakan kamu dan asumsimu. Tapi aku enggak ikhlas kamu tuduh selingkuh, Dek!” Mas Hanung lagi-lagi meninggalkanku begitu saja.

Aku masih mempertahankan diri duduk dengan wajah tak gentar. Meski hati mulai bertanya-tanya, benarkah yang kulihat? Atau benarkah ucapan Mas Hanung?

Belum aku lupakan bagaimana pagi tadi berlalu. Mas Hanung datang dengan wajah semringah, bercerita ini dan itu mengenai perjalanan serta pekerjaannya selama di Semarang. Di sela kisahnya, sesekali ia selipkan kecupan manis di pipiku atau kening. Seolah mengukuhkan diri, jika ia sangat menyayangiku.

Andai saja mata ini bisa dikelabui, mungkin aku sudah terbuai oleh sikapnya. Namun ...

“Mas berangkat bareng siapa pas ke Semarang?” tanyaku sembari menghindari pelukannya.

Mas Hanung menatapku dengan herannya. “Kamu enggak kangen aku, Dek?”

Mataku terpejam sesaat hanya demi menahan diri dan emosi. “Jawab saja pertanyaanku, Mas.”

“Aku berangkat sendiri, kok. Saat kamu telepon itu, Mas memang sudah di bandara. Begitu sampai juga Mas langsung beritahu kamu, kan?” Mas Hanung masih menatapku dengan sorot bertanya-tanya. “Ada apa, sih? Kamu kenapa?” Lalu pria itu berusaha untuk memelukku kembali. “Terlalu kangen sama aku, ya? Jadi ngambek aku terlalu lama di Semarang?”

Andai itu yang kurasakan, pasti sudah kubalas peluknya dengan erat.

“Enggak ada yang kamu sembunyikan dari aku, Mas?” tanyaku penuh selidik. Aku bukan tak ingin membombardir suamiku dengan banyak tanya. Asal tahu, kepalaku penuh dengan berbagai jenis pertanyaan yang siap muntah kapan saja. Tapi aku menahan diri. Jangan sampai suamiku justru bersikap defense alias menghindar. Atau yang paling buruk, dia justru membalikkan fakta yang ada.

“Oh, ada.” Mas Hanung nyengir. “Tadinya mau aku beritahu saat kita di kamar, tapi sepertinya suasana cintanya aku ini lagi buruk. Kenapa, sih?” Ia merangkulku dengan mesranya. Tak terhitung berapa kali ia mengecup sisi kepalaku serta membelai rambutku yang tergerai. “Duduk dulu, ya. Ceritakan sama Mas, kamu kenapa? Atau ... ada tempat yang ingin kamu kunjungi? Biar moodnya kembali bagus?”

Aku menggeleng segera. “Jawab saja pertanyaanku, Mas.”

Mas Hanung menghela pelan. “Enggak ada yang aku sembunyikan darimu, Cinta. Mas bawa oleh-oleh yang kamu suka, itu doang yang Mas sembunyikan di koper.”

“Yakin?” tanyaku dengan mata memicing curiga.

“Sejak tadi, Mas merasa kamu interogasi Mas atas sesuatu. Apa yang sebenarnya terjadi, sih? Mas enggak paham arah pertanyaan kamu. Mas sudah bicara jujur tapi sepertinya ada sesuatu yang buat kamu enggak percaya.”

Aku terdiam, menatap suamiku yang sangat aku cintai ini dengan penuh pertimbangan. Bukan karena tak ingin segera menyuarakan kegelisahanku, tapi aku masih belum memercayai semua yang terjadi. Suamiku memeluk wanita lain? Tanpa ragu dan tanpa tahu malu?

Ya Tuhan!

“Aku lihat kamu jemput Mbak Rara di rumahnya,” kataku akhirnya. Aku tak lagi menatap Mas Hanung sekadar untuk menjaga agar air mata yang kutahan sejak tadi, tak tumpang begitu saja. Jangan.

“Aku ... enggak jemput dia. Mas langsung ke bandara, kok.” Mas Hanung memegangi bahuku, meminta agar kami kembali saling bertatapan.

“Bukan cuma ngejemput, Mas, tapi kamu pelukan mesra banget sama dia,” kataku menahan gemetar pada suara.

“Astaga, Dek,” Mas Hanung menghela panjang. “Jadi karena hal ini kamu bersikap aneh sejak tadi? Apa yang aku jawab dari pertanyaanku, kesannya aku berbohong sama kamu? Iya?”

Aku tak menyahut karena ucapan itu benar adanya.

“Dek,” panggil Mas Hanung pelan.

Aku belum mau bersuara.

“Lisa Prameswari, istriku tercinta,” panggilnya sekali lagi. “Lihat Mas dulu, Sayang.”

Suamiku sedikit memaksa yang membuatku akhirnya mengalah. Bukan tak berdaya, tapi saat Mas Hanung memanggil namaku dengan cara seperti itu, sebagian kecil hati ini masih menyangkal jika Mas Hanung berselingkuh.

Dia adalah pria yang kucintai segenap hati, bertanggung jawab atas kami, jarang mengeluh mengenai keadaan dan mau terus berjuang, penyayang dan panutan putriku. Jadi ... jika dia sampai berselingkuh, rasanya itu adalah sebuah kemustahilan.

Iya, kan?

“Mas enggak jemput Rara. Mas juga enggak peluk dia. Untuk apa coba? Mas juga enggak tahu kamu dapat informasi itu dari siapa. Tapi bagi Mas itu enggak penting. Karena kalau Mas banyak bertanya, Mas seperti mencari banyak alasan untuk kecurigaan kamu. Yang bisa Mas lakukan adalah mengatakan kejujuran. Dan itu adalah kejujuran yang bisa Mas katakan.”

Aku masih belum mau bicara.

“Di Semarang, meski Mas beberapa kali bertemu Rara tapi hubungan kami hanya sebatas dia adalah asisten Pak Bimo. Benar-benar murni urusan bisnis. Kalau kamu enggak percaya, Mas bersama Anas, kok. Kamu kenal Anas, kan? Kamu bisa tanya apa saja kegiatan Mas selama di sana. Dan perlu kamu tahu juga, Mas satu pesawat sama dia. Atau kamu boleh bertanya sama Pak Bimo. Kalian pernah berkenalan, kan?”

Tak ada lagi yang bicara di antara kami.

“Mas istirahat dulu. Sebenarnya Mas agak kecewa karena sambutan kamu benar-benar berbeda. Mas pikir, kamu bakalan sambut Mas seperti biasanya. Tapi karena kamu memikirkan hal yang enggak aku lakukan, membuat kamu seperti ini. Mas beri kamu waktu biar kamu tenang.” Ia mengusap puncak kepalaku lembut. “Mas enggak mungkin melakukan hal enggak berguna seperti itu, Dek.”

Ia pun meninggalkanku begitu saja, juga ponselnya yang ternyata masih tergeletak di meja. Entah Mas Hanung sengaja atau memang lupa, aku tak mengerti. Tapi yang jelas, aku ditinggalkan sendiri seolah dia memberiku ruang untuk kembali berpikir ... apa yang harus aku percayai.

Mataku sendiri atau penjelasannya. Tak mungkin mataku salah melihat, kan? Bodohnya kenapa aku tak mengambil bukti kala itu? Saking gemetar tak menyangka Mas Hanung seperti itu, otakku sampai kosong tak bisa berpikir apa pun. Malah aku bersyukur masih bisa berkendara dengan selamat sampai rumah meski begitu masuk ke kamar, aku kembali menangis. Sejadi-jadinya. Sungguh, kebodohanku benar-benar pantas dikuadratkan. Bodoh-bodoh-bodoh.

“Ya Tuhan,” gumamku pelan. “Tolong tunjukkan sesuatu agar aku tak lagi meragu,” pintaku dengan amat.

Meski berat, tapi aku tetap harus menjalani hari ini dengan baik. Aku harus menjemput Nabil siang ini. Putriku tak ada jadwal les. Dan sebelum menjemputnya, setidaknya ada makan siang tersedia di meja. Nabil menyukai masakanku. Jangan sampai dia lagi-lagi meminta makan di restoran cepat saji. Tak baik untuk kesehatannya, kan.

Baru saja akan beranjak, ponsel Mas Hanung berdering meminta perhatian. Mataku tanpa sadar segera melirik ke arah benda pipih berwarna hitam itu. Nama Anas muncul di layar. Lebih baik aku abaikan tapi ... bukankah ini kesempatan untuk bertanya pada Anas? Dia ikut Mas Hanung ke Semarang, kan?

“Ya, Anas?” kataku sesaat setelah menggeser icon hijau dan menerima panggilan telepon itu.

“Oh, Ibu. Maaf, Bu, ganggu waktunya,” sahut suara yang aku kenali itu. Anas bekerja di bawah pengawasan suamiku sejak tiga tahun lalu. Terkadang kami bertemu sekadar bicara hal yang berkaitan dengan urusan Mas Hanung.

“Bapak ada, Bu?”

“Ada di kamar. Sepertinya Bapak masih lelah. Ada perlu apa?”

“Oh, enggak. Cuma memang ada yang agak penting. Seharusnya sebelum antar Bapak pulang, saya pastikan dulu,” dia tertawa canggung di ujung sana. “Maaf, ya, Bu. Kalau begitu saya tutup telepon—“

“Tunggu dulu, Anas,” selaku segera. “Kamu yang antar Bapak pulang?”

“Iya, Bu. Kan mobil Bapak saya yang bawa.”

Aku mengangguk samar. “Saat berangkat, kamu juga sama Bapak?”

“Iya. Saya satu pesawat juga sama Bapak.”

“Jam berapa kalian terbang?” tanyaku lagi.

“Jam 7 lewat sepuluh, Bu. Sampai Semarang ... kisaran jam delapan atau setengah sembilan begitu, Bu. Soalnya pagi hari kita harus ke pabrik Pak Bimo.”

Berarti apa yang Mas Hanung katakan, bisa dibuktikan.

“Kamu enggak bohong sama saya, kan, Nas?”

“Bohong?” tanya Anas dengan suara yang bingung. “Maksudnya? Saya kurang paham, Bu.”

“Selama di Semarang, kamu selalu sama Bapak?”

“Iya, Bu,” sahut Anas tegas. “Bapak beraktivitas normal, enggak ada yang aneh juga. Saya bisa pastikan itu. Tapi kenapa, ya, Bu? Maaf, saya jadi bertanya.”

“Ah, enggak ada apa-apa,” kataku segera. “Ya sudah, kalau nanti Bapak sudah selesai istirahatnya, saya minta beliau hubungi kamu segera, ya.”

“Baik, Bu.”

Tak lama berselang, telepon itu pun terputus. Menyisakan aku yang bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang aku lihat di depan rumah Rara?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [27]

    Papa!Aku tak menyangka kedatangan Papa terlalu tiba-tiba di saat kami masih beradu pendapat seperti ini. Aku tak ingin memperlihatkan jika hubungan kami semakin memburuk meski ... mungkin saja Papa sudah menduga hal ini.“E-enggak, Pa,” selaku segera. Menghampiri beliau yang masih menatap Mas Hanung dengan tajamnya.“Enggak ada bagaimana, Lis?” sentak Papa. Wajahnya tampak gusar dan mungkin jika habis sabarnya, Papa pasti membuat perhitungan tersendiri untuk Mas Hanung. Tapi untuk saat ini, aku tak ingin masalah ini semakin diperpanjang.“Kami lagi bicara saja, Pa. Ada sedikit selisih paham tapi sudah selesai, kok. Iya, kan, Mas?”Mas Hanung menoleh padaku. Tatapannya tajam namun menyimpan keraguan, seolah menimbang apakah ucapanku patut disikapi dengan bijak atau tidak. Aku juga tahu, dia menyadari tatapan Papa yang tajam seolah ingin memastikan satu hal—tak ada masalah apa pun di rumah ini.&ldquo

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [26]

    “Gil4!”Winda kembali membanting pulpen ke meja, ekspresinya seolah sedang melihat kejahatan berat yang dibungkus rapi dengan label legalitas. Aku mengusap pelipis, mencoba tetap fokus meski detak jantungku sudah kacau sejak tadi.Aku memintanya secara khusus untuk mengecek data yang dibawakan Anas padaku secara diam-diam. Aku tak terlalu mengerti jika laporannya sekompleks ini. Aku hanya mengelola butik kecil yang tak terlalu merepotkan laporan keuangannya, tapi kalau garment yang Mas Hanung tangani bukan hal yang sepele dalam laporan, kan?Winda bekerja sebagai seorang Forensic Accountant dan dipastikan dia jauh lebih mengerti mengenai hal ini. Dan benar saja, sejak awal ia membaca dan meneliti semua data yang ada, raut wajahnya semakin menegang. Seolah ia menemukan sesuatu di luar kewajaran. Dan karena itu juga ... aku semakin gelisah.Apa benar Mas Hanung bermain-main dengan perusahaan dan kepercayaan Papa? Bagaimana aku harus menampilkan

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [25]

    “Papa?”Aku sama sekali tak menyangka jika ayahku datang berkunjung dan juga tanpa pemberitahuan. Jantungku serasa mencelus. Tadi ... apa beliau mendengar semua? Sejak kapan beliau ada di sini? Apakah sejak aku mulai menceritakan tentang Hanung ke Bu Ningsih?Ayah berdiri di depan pintu ruang tamu, kedua tangannya terlipat di dada. Satu-satunya hal yang kini mengusikku—beliau berdiri dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa kutebak. Ada kekhawatiran. Ada kemarahan. Ada juga rasa sakit yang seolah tak sanggup lagi beliau sembunyikan.Aku refleks berdiri namun sayangnya, tindakanku ini ada yang mendahului.“Saya rasa pembicaraan kita cukup sampai di sini, Bu Lisa,” kata Ningsih dengan santun. Ucapannya barusan membuat aku menoleh dan meski sedikit bingung, aku tetap menghadirkan senyum ramah.“Oh, baiklah.”“Akan saya informasikan lebih jauh, apa yang perlu Ibu lakukan untuk langkah selanjutnya

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [24]

    Aku duduk di dalam mobil, menggenggam ponsel erat-erat. Jemariku gemetar, bukan karena takut, tapi karena semua ini terasa terlalu berat. Sayangnya ini salah satu dari sekian banyak hal yang harus kulakukan. Anas duduk di kursi pengemudi, menatapku dari kaca spion dengan ragu-ragu."Bu Lisa," katanya pelan. "Saya sudah pasang alatnya tadi siang. Di bagian bawah dekat ban belakang."Aku menarik napas panjang. "Kamu pastikan ini aman, Nas?"Anas mengangguk, meski kulihat ada sedikit keraguan di matanya. "Alatnya kecil, Bu. Pakai magnet kuat, dan sinyalnya langsung ke ponsel Ibu. Cuma Ibu yang punya akses aplikasinya.”Sekali lagi aku menatap ponsel yang kini berisi aplikasi pelacak untuk mobil Mas Hanung. Entah langkah ini tepat kulakukan atau nantinya menjadi bumerang, aku tak yakin. Tapi satu-satunya hal yang ingin aku tegaskan, aku harus tahu pergerakan suamiku. Agar bisa mengumpulkan banyak bukti, apa yang sesungguhnya dia lakukan di belakangku.

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [23]

    “Kamu enggak seharusnya memperlakukan Hannah seperti itu, Dek!”Aku menatap Mas Hanung dengan sorot tak percaya. Padahal aku sudah menjelaskan apa yang terjadi tapi ternyata dia tak pernah berniat membelaku. Berbeda saat dulu Hannah berbuat ulah yang merugikan, terutama untukku, Mas Hanung adalah garda terdepan yang akan membelaku.Ke mana perginya suamiku itu? Entah apa yang merasuki Mas Hanung sampai membutakan pengamatannya seperti itu.“Mas, aku memperlakukan Hannah sesuai tindakannya,” kataku, berusaha menahan getar di suaraku. Tanganku terkepal kuat menahan gelombang emosi yang mulai membesar. Siap meledak kapan pun. “Dia mengambil uang di butik, Mas. Tanpa izin. Dan itu bukan jumlah kecil. Ditambah lagi dia seenaknya memakai barang pribadi aku.”“Itu kan cuma tas!” sergah Mas Hanung. “Dan soal uang, Hannah pasti cuma pinjam. Kamu aja yang keburu marah duluan.”Aku terkekeh pelan, su

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [22]

    Tarik napas yang dalam, embuskan perlahan, sembari terus menerus mengucap kata sabar. Itu yang aku lakukan sepanjang langkah memasuki rumah. Aku tak terlalu memedulikan sambutan Minah, hanya mendengar sepintas lalu jika ada tamu datang berkunjung. Entah siapa yang datang, aku hanya ingin bertemu Hannah.Setelahnya, kuurus tamu yang datang meski sedikit terlambat.Kekesalanku sudah memuncak. Dari rekaman CCTV di ruang kasir, Hannah sedikit memaksa karyawanku untuk membuka mesin kasir. Lantas tampak memarahi mereka seolah Hannah adalah pemilik serta orang yang menggaji para staf di butik. Meski aku yang menggaji mereka, aku belum pernah memarahi sampai menuding mereka seenaknya seperti Hannah.Adik iparku itu benar-benar keterlaluan.“Assalamualaikum,” sapaku begitu memasuki ruang tamu. Kulihat ibu mertuaku tampak bersantai memainkan ponselnya. Di meja, beberapa camilan menemani saat santainya itu.Ibu mertuaku melirik tajam. “Kamu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status