Share

[8]

last update Last Updated: 2025-06-19 10:00:04

“Apa jadwalmu hari ini, Dek?”

Pertanyaan Mas Hanung membuat aku menghentikan sejenak kegiatan mengoles roti tawar untuk Nabil. “Kenapa memangnya, Mas?”

Kesalah pahaman mengenai urusan Mas Hanung di Semarang, aku berusaha tekan sebesar mungkin. Aku kembali belajar untuk percaya, apa yang Mas Hanung katakan adalah benar adanya. Lagi pula seperti yang dia katakan, Pak Bimo sendiri juga memperkuat ucapan suamiku. Jadi, meski masih meragukannya aku memilih untuk kembali percaya.

Walau tak mudah dan sering kali masih merasa curiga. Aku tak munafik, kekhawatiranku masih terlalu besar untuk diredam.

“Mas antar kamu ke butik, ya?”

Keningku berkerut. “Tumben.” Ucapan itu meluncur begitu saja.

“Kenapa? Enggak boleh?” Mas Hanung menatapku dengan tajam. “Terganggu kalau Mas antar kamu?”

“Bukan begitu,” Aku menghela panjang. “Aku enggak keberatan kalau Mas antar. Tapi ... tumben banget. Biasanya Mas selalu bilang sibuk,” ungkapku. Itu benar adanya. Mas Hanung sudah lama sekali tak pernah mengantarku ke butik. Alasannya; sibuk bertemu klien dan proyek baru yang harus segera dikerjakan.

Aku belum lupa saat awal kami menjajaki hidup bernama rumah tangga. Mas Hanung memang harus cepat beradaptasi lantaran sebagian usaha ayahku diserahkan padanya. Saat itu, ayahku masih bisa memantau dan banyak menggelontorkan ilmunya pada suamiku. Beliau beranggapan, suamiku adalah orang yang harus bisa diandalkan untuk masa depan kami.

Ayahku dan mendiang ibuku bercita-cita menikmati hari tua dengan tenang. Menjalani hidup bersama dan sesekali mengunjungi rumahku serta bermain dengan cucu. Karena itulah, Mas Hanung diminta meneruskan usaha Ayah agar bisa menjadikan penghidupan bagi keluarga kami.

Mas Hanung adalah pria yang ulet dan mau bekerja keras. Jika dia melakukan kesalahan, ia tak segan untuk meminta maaf dan berusaha untuk berjuang lebih keras. Dan mungkin karena sikapnya ini ayahku tak terlalu khawatir mengenai jalannya usaha garmen di Tangerang. Ayahku masih memegang garmen lain di area Jakarta Selatan.

Dan mungkin karena itu juga, Mas Hanung mulai sibuk dengan banyak hal termasuk seringnya bertemu klien. Aku memakluminya meski pada awalnya, aku keberatan. Pengantin baru tapi sering ditinggal demi pekerjaan. Aku belum puas bermanja-manja dengan suamiku. Tapi mendiang ibuku bilang, apa yang Mas Hanung kerjakan sekarang demi masa depan kami. Bukan semata untuk dirinya sendiri.

Meski ada benarnya tapi tetap saja aku belajar menerima kesibukan Mas Hanung membutuhkan waktu yang tak sebentar. Mungkin karena itu juga, aku terbiasa melakukan kegiatan apa pun sendiri, tanpa merecoki kegiatan Mas Hanung.

Dan sekarang, ucapan serta tindakan Mas Hanung sungguh aku tak mengerti.

“Oh, jadi sekarang enggak senang lagi kalau diantar?”

“Senang, kok.” Aku lebih baik mengalah. Lagi pula hal seperti ini tak penting juga dijadikan bahan untuk mempertajam amarah. “Aku siapkan bekal Nabil dulu.”

“Kamu enggak mau siapkan bekal untukku juga?”

Aku mengerjap bingung. “Mas ... mau bawa bekal juga?” Sungguh, Mas Hanung dan sikapnya pagi ini membuat aku terheran-heran. Sudah lama sekali aku tak menyiapkan bekal untuknya, bukan tak ingin, tapi Mas Hanung selalu menolak dengan alasan makan siang bersama klien agar hubungan mereka bisa lebih akrab.

“Kenapa memangnya?”

“Aku enggak siapkan apa-apa kecuali ayam goreng dan sup.”

Dia tertawa. “Memangnya kenapa kalau Mas bekal ayam goreng saja? Supnya pakai makaroni, ya?”

Aku jadi agak kelabakan. “Iya. Mas enggak doyan, kan? Ehm ... bagaimana kalau besok saja aku siapkan bekal untuk Mas? Besok aku buatkan capcay dan ayam katsu. Biar ada seratnya, ya.”

Mas Hanung tampak mempertimbangkan usulanku sampai akhirnya dia mengangguk. “Mulai besok bawakan Mas bekal juga, ya. Masakan buatan istri Mas paling juara soalnya. Kangen juga enggak makan siang masakan buatan kamu.”

Entah aku harus berbangga diri atau tersipu malu. Sejak kesalahpahaman itu aku sudahi, dan Mas Hanung berterima kasih karena aku kembali memercayainya—padahal aku masih berusaha agar kembali yakin. Mas Hanung jauh lebih sering menunjukkan sikapnya yang manis. Jauh lebih manis dan penuh rayuan melebihi saat kami diberi gelar ‘pengantin baru’.

“Ya sudah, ayo kita sarapan dulu. Biar Nabil enggak terlambat sampai sekolah,” putus Mas Hanung yang segera mengambil satu tangkup roti. “Tolong oles selai nanas untukku, Dek.”

Aku tak bisa menolaknya, kan?

“Yeay! Hari ini Papa yang antar, ya?” pekik Nabil dengan suara riangnya.

“Iya, Sayang. Senang, ya, kalau Papa yang antar?” Mas Hanung mengusap puncak kepala Nabil dengan sayangnya.

“Senang dong.” Nabil tersenyum cerah. Di tangannya sudah ada roti lapis yang baru saja kubuat. Siap untuk dia santap bersama dengan segelas susu hangat. “Tapi kalau Papa yang antar, kita jemput Arya atau enggak usah?”

Ucapan Nabil membuatku seperti tersengat aliran listrik. Jadi ... wajar, kan, kalau aku masih memendam curiga?

***

“Pulang jam 5, kan, nanti?” tanya Mas Hanung.

“Iya, Mas.” Aku melepas seat belt. Butik peninggalan ibuku sudah terlihat tak jauh dari area mobil terparkir. “Mas yakin enggak keberatan antar jemput aku seperti ini?”

Lagi-lagi hanya tawa yang kudengar. Lantas ia mendekat dan mencuri satu kecup ringan di pipiku. “Kenapa harus keberatan? Seharusnya Mas lakukan ini sejak lama. Mas jadi merasa bersalah sama kamu.”

Kali ini responsku tersenyum tipis. “Aku enggak pernah mengeluh dengan kesibukan kamu. Lagian sibuknya kamu untuk keluarga, bukan hal yang lain. Iya, kan?”

“Iya, lah. Masa iya sibuknya untuk hal lain? Enggak berguna banget.” Mas Hanung terkikik. “Mas lakukan ini semua juga biar kamu enggak terus merasa gelisah dan curiga. Karena Mas tahu kalau kamu masih memikirkan kejadian beberapa waktu belakangan. Mas ingin buktikan kalau Mas enggak melakukan semua itu.”

Tanganku ia genggam erat. Sesekali aku mendapati ia memberi kecupan singkat.

“Kalau Mas selalu bilang, terserah kamu mau percaya sama Mas atau enggak, pasti kamu overthinking terus. Makanya Mas memilih untuk membuktikan kalau semua yang ada di kepala kamu, enggak terbukti.”

“Aku harap begitu, Mas,” kataku sembari menarik senyuman di bibir. Sungguh, aku berharap ucapannya bisa dipertanggungjawabkan. Meski banyak bukti tapi hatiku masih belum bisa sepenuhnya percaya.

“Hari ini Mas bertemu Pak Bimo?” tanyaku begitu saja.

“Enggak. Urusan sama Pak Bimo sudah selesai di Semarang. Mas mau cek aktivitas garmen di Tangerang. Mungkin ke kantor dulu baru jalan ke sana bersama Anas.”

Aku mengangguk paham. “Kalau begitu, aku masuk dulu, ya.”

“Oh, sebentar,” kata Mas Hanung yang lagi-lagi menahanku. Aku sedikit bingung apa lagi yang suamiku inginkan? Aku memerhatikan tiap gerak geriknya. Dia berusaha keras untuk mengeluarkan sesuatu dari tas miliknya yang ditaruh di kursi belakang.

Tak butuh waktu lama, kotak hitam berbahan beludru mewah disodorkan padaku. Terukir indah merek perhiasan yang tengah digandrungi banyak orang. Katanya, “Hadiah untuk cintaku, sayangku, istriku, dan ibu dari anakku. Yang paling aku cinta di dunia.”

Aku terkejut, sungguh. Tak menyangka kejutan yang Mas Hanung beri adalah kotak perhiasan yang entah apa isinya. “Ini buat aku, Mas?”

Tanpa ragu Mas Hanung mengangguk. “Aku enggak tahu kamu suka modelnya atau enggak, tapi aku berharap banget kamu suka.” Ia membuka kotak itu perlahan. Sebuah cincin berkilauan ditempa cahaya segera mengisi penglihatanku.

“Ini bagus banget, Mas,” kataku yang masih terkagum dengan pemberian Mas Hanung ini.

“Untuk kamu harus yang paling bagus, kan?” Mas Hanung tersenyum simpul. “Mana jemari kamu? Biar Mas pakaikan.”

Aku menyodorkan tanganku begitu saja. Dan Mas Hanung memasangkan cincin itu dengan hati-hati. Ditutup dengan kecupan sayang dari Mas Hanung di punggung tanganku ini. “Cantik banget dipakai sama kamu, Sayang.”

“Makasih, ya, Mas.” Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Hanung memberikan hadiah seperti ini.

“Mas cinta sama kamu, Dek. Cinta banget. Hilangkan keraguanmu, ya.”

Entah karena cincin dan kilaunya mengambil alih kewarasan pemikiranku, atau sikap Mas Hanung yang membuatku kembali tak berdaya, jawaban atas permintaannya adalah anggukan patuh.

“Semangat kerjanya, ya, cintanya aku. Mas jemput tepat waktu nantinya.” Ia pun menangkup wajahku dan memberi kecupan agak lama di kening, lalu turun ke mata, ujung hidung, serta lumatan singkat di bibir. “Love you, Sayang.”

Ah ... bolehkah aku berharap, jika kegelisahan dan kecurigaanku ini segera lenyap?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [9]

    “Nabil, roti lapisnya sudah Mami siapkan dan dibungkus. Jangan lupa dimasukkan ke tas, ya!”Lisa mengangkat suara dari dapur sambil menyusun bekal di kotak makan masing-masing.“Iyaaa, Ma!” Terdengar suara langkah kaki kecil mendekat, disusul Arya yang diam-diam ikut masuk ke dapur.“Ini, Tante,” kata Arya sambil menyerahkan botol minumnya. Juga botol minum Nabil agar diisi oleh air menyegarkan yang dibuatkan Lisa untuk mereka. Arya suka sekali dengan apa yang dibuat Lisa. Dan rasanya ... ia tak ingin pulang dari rumah yang benar-benar hangat ini.Lisa tersenyum dan mengisi botol itu dengan infused water. “Kamu suka yang lemon strawberry, kan?”Arya mengangguk. “Iya. Enak.”Lisa mengusap puncak kepala Arya penuh sayang. “Tante buatkan lagi, ya. Jangan lupa bekalnya dihabiskan, ya. Sarapannya sudah Tante siapkan di meja. Makan dulu sama Nabil..”“Iya, Tante.”Lisa pun sibuk dengan 2 botol milik bocah kecil yang meramaikan rumahnya ini. lantas bergegas mengisi dengan minuman yang diingi

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [8]

    “Ayo, anak-anak. Sudah waktunya kalian tidur, kan?” peringat Lisa sembari membawakan dua gelas susu hangat untuk dua anak yang masih berkutat dengan buku gambar. Setelah mengerjakan PR yang cukup banyak, mereka memilih menghilangkan penat dengan menggambar.Tadinya Nabil ingin menonton film tapi Arya tak mau. Katanya nanti bisa terlalu malam tidurnya. Bagus juga peringatan yang Arya ungkapkan untuk Nabil. Jadi anak itu bisa lebih mandiri dan disiplin untuk tidur.“Iya, Mi. Sebentar lagi,” kata Nabil yang masih sibuk mencari salah satu pensil warna yang ia butuhkan.“Minum susunya dulu.”Mereka pun patuh. Duduk bersama menikmati segelas susu hangat buatan Lisa, mereka juga banyak bercerita mengenai kegiatan di tempat les. Terutama Nabil yang mendapatkan nilai sempurna untuk perhitungan dasar. Arya memujinya beberapa kali dan Nabil benar-benar senang dengan pujian itu.“Kalau nanti kamu kesulitan pas belajar menghitung, tanya aku saja, Ya,” kata Nabil.Arya mengangguk sembari tersenyum

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [7]

    Winda datang menjelang sore karena waktu yang sahabatnya punya, hanya di sekitar jam luang. Dan bisa dibilang, Winda sekalian pulang setelah bekerja. Lagi pula pekerjaan Winda sebenarnya bisa saja dikerjakan di rumah. Hanya Winda lebih memilih berangkat ke kantor untuk menghilangkan penat.“Hei, kamu ngelamun lagi,” tegur Winda sambil menjentikkan jari di depan wajah Lisa. “Ini satin udah tiga kali kamu lipat-lipat, tapi enggak rapi-rapi.”Lisa terkesiap. “Hah? Ya ampun, sorry. Aku nggak fokus.”“Kelihatan banget.” Winda meletakkan tote bag-nya di kursi rotan pojok butik, lalu duduk santai. “Udah, sini. Duduk dulu. Cerita.”Winda sejak tadi memerhatikan Lisa. Bukan sekali dua kali sahabatnya melamun seperti ini. Entah apa yang dipikirkan tapi rasanya ... aneh sekali. Saat ada masalah dengan mantan suaminya yang berengsek itu, Lisa tak sampai kehilangan fokus seperti ini.Tapi kali ini ...“Kamu enggak mau cerita?” desak Winda dengan sorot mata penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [6]

    “Kalian berdua, semangat sekolahnya, ya,” kata Lisa sembari memberi pelukan hangat pada Nabil juga Arya. Tak jauh dari mobil Lisa terparkir, ada Erna serta rekan Lisa lainnya yang turut mengantar anak mereka. Lisa menyapa ramah tapi kembali fokus pada kedua anak yang kini berjalan memasuki area lobby sekolah.“Lho, bukannya itu anaknya si pelakor itu?” tanya Bu Erna dengan wajah terkejut. “Kok bisa bareng sama kamu?”Lisa tersenyum tipis. “Iya, Mbak. Arya nginap di rumah aku seminggu ke depan. Ayahnya lagi ada dinas ke Surabaya seminggu ke depan.”Erna masih belum bisa mencerna perkataan Lisa barusan. “Ta-tapi, kan, dia ...”“Mbak Erna, mohon maaf banget. Aku harus ke butik pagi ini. Bagaimana kalau kita ngobrol pas anak-anak acara berenang? Anakmu ikut, kan?”Erna segera mengangguk. “Kamu benar. Lebih baik kita bicara saat waktunya longgar. Tapi kamu benar-benar harus cerita yang detail, ya, Lis. Aku penasaran banget, lho. Kalau Tina dan Jihan tahu, mereka pasti sama. Menuntut penjel

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [5]

    Hari pertama Arya menginap di rumah Lisa, Lisa merasa seperti memiliki 2 anak dengan kepribadian yang sangat berbeda. Nabil dengan tingkahnya yang cerewet dan terkadang banyak protes. Arya lebih banyak diam dan menuruti semua keinginan Nabil. Bocah lelaki itu memosisikan dirinya sebagai kakak laki-laki yang bisa Nabil andalkan.Tapi satu hal yang membuat Lisa senang. Arya tak pernah sungkan untuk bicara dengannya walau perlahan dan terkadang, butuh ditanya ulang apa keinginan anak itu.“Kamu yakin sudah cukup?” tanya Lisa penasaran. Kotak bekal Arya sudah ia buatkan roti lapis dengan selai strawberry juga coklat yang menjadi kesukaan bocah itu. Tapi ternyata, Arya juga menginginkan nasi goreng seafood buatan Lisa. Hanya saja, isinya sedikit sekali.“Iya, Tante. Ini sudah cukup. Lagian kita mau sarapan bersama, kan?”“Iya.” Lisa tersenyum lebar. Diusapnya lembut puncak kepala Arya. “Nah, sementara Tante siapkan jus, boleh panggilkan Nabil? Tante rasa dia sudah selesai merapikan bukunya.

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [4]

    Kalau ada yang ingin mengatakan betapa konyol dan impulsif tindakan Lisa, silakan utarakan. Lisa sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya. Kenapa juga ia setuju dengan permintaan Ronald.Saat pria itu diberikan keputusan jika Lisa mau membantu, wajah tampannya jauh lebih bersinar dari sebelumnya. Bisa dibilang, mungkin sebagian besar bebannya berkurang banyak.“Mami kenapa?” tanya Nabil bingung. Sejak tadi ibunya berulang kali gonta-ganti siaran TV. biasanya, ia tak pernah seperti itu.“Enggak apa-apa, Sayang,” Lisa menyeringai tipis. “Duduk sini.” Ia pun meminta anaknya untuk duduk di dekatnya. Nabil menuruti dan segera bersandar begitu Lisa merangkulnya penuh sayang. “Ehm ... Mami mau ngomong sama kamu. Bisa?”“Biasanya juga ngomong, kan?”Lisa tertawa jadinya. “Iya, juga, ya.” Tak mungkin ia tak membicarakan dengan anaknya, kan? “Menurutmu, kalau Arya tin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status