Share

PENGKHIANATAN
PENGKHIANATAN
Penulis: Quilla Tsabita

Alasan

Budayakan Subscribe dulu sebelum baca ya😉Suport dengan tekan tanda love di bawah ini😍 Jangan sungkan buat layangkan komentar😉

 

 

Hujan siang ini cukup deras, kebetulan hari weekend, suamiku tertidur dengan pulasnya. Kaila berada di dekapan Mas Sa'dan. 

 

"Makasih, ya, Mas. Kamu berarti buat kami. Jaga anakmu, Mas." 

 

Sapuan tanganku tak mampu mengalahkan pulasnya tidur Mas Sa'dan. Dia terlihat sangat menikmati hari di mana tidak lagi berurusan dengan pekerjaan kantor. 

 

Tiba-tiba ada sesuatu kusentuh di dekat kepala mas Sa'dan. 

 

"Hp? Mas, Mas. Saking capeknya, ya. Sampai lupa meletakkan hp di atas meja. Ntar kalau jatuh gimana?" 

 

Ada rasa pensaran, sejak kami menikah, aku tak lagi ngerecokin hp Mas Sa'dan. Aku yakin dia suami yang setia apalagi sudah ada Kaila. Kaila memperkuat ikatan kami. 

 

Sandinya ganti? Bukan lagi tanggal jadian kami. Bukan juga tanggal pernikahan kami. Akhirnya secara perlahan kuraih jari Mas Sa'dan. Kunci hp terbuka. Dan langsung berada di halaman chat. 

 

"Chat siapa ini? Mm mungkin urusan pekerjaan." 

 

Badanku mendadak gemetar saat melihat ada satu kata asing di sana. Bahkan sudah lama aku tak pernah mendengar kata-kata itu darinya. 

 

"Sayang?" 

 

Proses scroll pun berlanjut. Kugigit bibir bawahku agar Mas Sa'dan tak terbangun karena mendengar isak tangis. 

 

[Mas. Untuk tiga hari kedepan tolong jangan chat aku, ya.]

 

[Kenapa, Sayang? Kamu gak kangen sama aku?]

 

[Kangen dong, Mas. suamiku datang dari luar kota. Jadi aku takut dia tahu, bisa mati aku dibuatnya.]

 

[Yasudah. Tiga hari aja, ya.]

 

[Iya, Mas. Tenang, kamu tetap yang kusayang. Miss you.]

 

Mas Sa'dan membalas dengan stiker love. 

 

"Kenapa kamu khianati aku, Mas? Aku salah apa sama kamu." 

 

"Haruskan aku menggugat cerai? Tapi bagaimana nasib Kaila, aku tak ingin dia besar tanpa seorang ayah. Aku tak sanggup melukai hatinya." 

 

Tangan mas Sa'dan bergerak. Sesegera mungkin aku berusaha menghilangkan jejak. 

 

"Sekarang nikmati saja hari liburmu, Mas. Aku ikuti dulu permainanmu. Aku tak terima kamu perlakukan seperti ini. Padahal saat pacaran dulu, kamu bilang tak akan ada pengkhianatan di antara kita. Kenapa kamu tega, Mas?" Gertu ini hanya kupendam dalam hati. 

 

Semua akan pecah pada masanya, Mas. 

 

"Ren, aku lapar. Bisa ambilin aku makan nggak?" 

 

"Iya, Mas." 

 

Hati ini memang tersayat, tapi akan lebih tersayat jika aku dikendalikan amarah saat ini.

 

"Ini, Mas." 

 

"Lenganku ditindih kepala Kaila. Boleh suapin nggak?" 

 

"Iya, Mas." 

 

"Tumben banget kamu tak banyak bicara?" 

 

"Gak papa, Mas." 

 

Mas Sa'dan tak banyak protes lagi. Dia menikmati suap demi suap makanan yang kumasak spesial buat dia.

 

"Kenapa kamu balas dengan pengkhiatan yang sakitnya tak berbanding apapun, Mas?" 

 

"Jika aku mau, bukan hal yang sulit untuk membalas semuanya, Mas. Kaila, iya, Kaila. Aku harus bertahan demi dia." 

 

Diam adalah senjataku saat ini. Jika pun aku butuh menjerit, biar jerit itu hanya di hati. 

 

***

 

Tiga hari berjalan dengan cepat bahkan lebih cepat rasanya dari sambaran kilat. Aku menaruh curiga yang hampir bisa dikatakan mas Sa'dan sudah terbukti bersalah. Chat itu jelas bahkan tanpa kode-kodean. 

 

"Lihat saja apa yang hendak aku lakukan, Mas."

 

Pososiku sedang membuntuti suamiku, sengaja tak menggunakan mobil pribadi agar suamiku tak curiga. Bahkan dia pasti menggap aku menemani Kaila di sekolah. 

 

"Aku tak sebodoh yang kamu kira, Mas. Lihat saja, karena kamu bermain cantik denganku maka caraku tak kalah halus, Mas." 

 

Benar, mas Sa'dan berhenti di depan rumah yang kurasa itu bukan rumah kerabat kami. Keluarlah seorang wanita, hatiku semakin hancur saat melihat mas Sa'dan mencium kening perempuan itu. 

 

"Mas. Aku kecewa sama kamu mas." 

 

Inisiatifku mulai beraksi. 

 

"Hallo, Mas." 

 

"Iya, Ren? Ada apa?" 

 

"Mas, Kaila demam tinggi. Kamu di mana, Mas?" 

 

"Aku lagi rapat, Ren. Kamu bawa dulu Kaila ke rumah sakit ya." 

 

Sambungan telepon pun langsung dimatikannya. Sebelum itu, bukti panggilan juga foto mas Sa'dan kusimpan. Kini kesempatanku untuk mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya sebelum menyerang. 

 

"Oke, Mas. Kita tunggu siapa yang akan mengalah. Kamu yang mengakui kesahanmu dan meninggalkan kelakuan bejatmu. Atau aku mundur yang tentunya hak asuh Kaila harus jatuh di tanganku?"

 

"Kamu jahat, Mas."

 

 

***

"Haruskah kubuat kamu tiada berhasrat sama siapapun? Tega sekali kamu permainkan cintaku, Mas." 

"Mas! Putar balik." Perintahku pada sopir grab. 

"Oh, baik, Buk." 

"Percuma aku pergoki dia pagi ini, aku harus banyak mengumpulkan bukti. Bagaimanapun dia ayah dari anakku." 

"Mas! Ke sekolah Padika Kasih, ya, Mas." 

"Baik, Buk." 

"Sayaaang..."

Kaila lari berhamburan menyambutku. Dia alasan semangat ini. Alasan mengapa hati ini tak boleh lemah. 

"Bunda... Besok aku ada acara pertemuan wali murid. Aku pengen Ayah yang nemenin. Boleh, Bun?" 

"Iya. Boleh, Sayang. Tapi kalau Ayah tidak sibuk kerja, ya." 

"Asyiiik." 

"Dah... Belajar yang rajin, ya. Agar kelak jadi anak pandai dan sukses. Semangat!" 

Kaila masuk kelas. Aku punya kesempatan mencari informasi tentang Mas Sa'dan melalui Dewi. Dia teman seperjuanganku yang kini kerja sebagai salah satu staf di kantor Mas Sa'dan. Apa mungkin Mas Sa'dan selingkuh dengan sekretaris kantornya? 

[Dew... Sibuk, nggak?] Kulayangkan chat untuk Dewi. 

Drett... Drett... Dewi antusias dan langsung menelfonku. 

"Hallo, Ren. Gimana kabarmu?" 

"Alhamdulillah, Dew. Aku baik. Kamu sendiri?" 

"Alhamdulillah, aku juga baik." 

"Oiya, tumben kamu telfon aku sepagi ini? Ada apa?" 

"Ehem, gini Dew. Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya." 

"Tenang, Ren. Ada apa? Ceritakan saja." 

"Mmm... Sebenarnya Mas Sa'dan kalau di kantor gimana sih, Dew?" 

"Ouh, Pak Sa'dan. Mm baik, terus kalau gimananya aku kurang paham sih, aku jarang ketemu dia pas makan siang, denger-denger lebih suka makan di luar gitu. Eh, maaf, Ren. Aku cuma bicara apa adanya." 

"Mm, iya, Dew. Gak papa kok, lagian memang aku  yang nanya, kan. Terus, kamu punya foto sekretaris Mas Sa'dan, nggak?" 

"Duh, kalau itu sih aku gak punya. Tapi kalau kamu butuh bisa aku fotoin kok." 

"Nah, boleh. Sore nanti bisa ketemu, nggak?" 

"Mmm.. Sore?. Bisa..." 

"Oke, sampai ketemu nanti, ya. Jangan lupa fotonya yang terpenting." 

"Sip."

Sedikit bisa bernapas lega. Aku harus mengatur strategi. Haruskah aku masih membahas cinta? Apa mungkin cinta Mas Ardan sudah lenyap?

"Perlahan aku yakin akan terungkap pengkhianatanmu, Mas. Satu persatu bukti akan kudapatkan." 

***

"Bundaaa..." 

"Mmm Sayangnya bunda sudah pulang? Gimana tadi, Nak?" 

"Aku dapat nilai tertinggi, Bun. Terus kata Bu Guru, jangan lupa besok wali murid harus datang."

  

"Iya, Sayang. Kita bilang ayah nanti, ya." 

"Bun, pengen ice cream." 

"Iya, Sayang. Kita beli ice cream, ya." 

Kugandeng tangan Kaila. Sekilas terlintas bayangan Mas Sa'dan tadi pagi. Dia menggandeng tangan wanita itu dengan penuh rasa percaya diri. Dengan lagak lelaki belum berisitri. 

"Bunda... Bunda kenapa menangis?" 

"Ehem.. Bunda gak papa, Sayang. Tadi kena debu." 

Kami pun menuju rumah. Kembali kupesan grab. 

***

"Assalamu'alaikum." 

"Ayaaaah..." 

Kaila memeluk ayahnya. Tetap pada posisiku saat ini kurasa lebih baik. Teringat ini sudah sore, dan ada janji dengan Dewi. Aku bergegas pamit pada Mas Sa'dan untuk keluar. 

"Mau ke mana, Ren?" 

"Ketemu Dewi, Mas." 

"Di mana? Mau Mas antar?" 

"Ouh, nggak. Enggak usah. Aku bisa sendiri kok."

  

"Kaila Sayang. Kaila sama Ayah dulu, ya. Bunda masih mau keluar bentar. Kaila mau oleh-oleh apa?" 

"Olehin Pizza, ya, Bun. Yang beeesar." 

Kaila menjawab dengan peraga tangannya. Kukecup dan usap keningnya sebelum berangkat. Mecium punggung tangan Mas Sa'dan. 

Mobil pun melaju, sudah tak sabar ingin tahu siapa dan seperti apa sekretaris Mas Sa'dan sekarang. Aku tahu sekretaris itu cantik-cantik, tapi jika cinta Mas Sa'dan benar-benar sejati mana mungkin dia akan berkhianat. 

***

"Ren."

Ternyata Dewi sudah datang lebih awal. Dia memanggilu dengan melambaikan tangannya. Aku tersenyum menghampirinya. 

"Unch... Maaf, ya. Sudah menunggu lama." 

"Ouh, enggak kok. Aku juga baru datang." 

"Oiya, nih aku sudah dapet foto yang kamu minta."

Dewi menyodorkan hpnya. Kuamati lekat-lekat foto itu. Wajahnya tidak sama dengan wanita yang kutemui sudah dijemput suamiku tadi pagi. Lalu siapa wanita itu. 

"Mmm makasih ya, Dew." 

"Sebanarnya ada apa sih, Ren? Ceritakan jika memang kamu perlu menceritakan." 

"Gak papa, Dew. Aku cuma minta tolong, ya. Kalau ada tingkah laku dari Mas Sa'dan yang nyeleneh, kamu langsung bilang aku. Plisss, bantu Aku, Dew." 

"Kamu curiga Pak Sa'dan selingkuh, ya?" 

"Iya, Dew. Sedangkan Aku terbatas untuk nyelidikin semua itu, Aku harus jaga Kaila." 

"Iya, Ren. Tenang, ya. InsyaAllah aku bantu. Kamu yang sabar ya. Semoga tidak terjadi apa-apa. Kasihan Kaila. Dia masih kecil." 

"Pagi tadi Aku pergoki Mas Sa'dan jemput seorang wanita. Dia beralasan meeting saat kutelfon padahal jelas di depan matau dia menggandeng seorang wanita." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status