Share

Labrak!!!

Budayakan Subscribe dulu sebelum baca ya😉Suport dengan tekan tanda love di bawah ini😍 Jangan sungkan buat layangkan komentar😉

"Pembantu?" 

Mas Sa'dan kebingungan, mungkin dia merasa tak aman lagi untuk bisa menemui gundiknya. Aku sudah mengurus semuanya, bahkan tugas-tugasnya. Kini tinggal diri ini mengatur siasatku sendiri.  

"Aku tak sepolos yang kamu pikir, Mas," gumamku dalam hati. 

"Eum, iya, Mas. Kita pakai pembantu, ya. Biar bisa lebih banyak waktu buat Kaila dan Mama." 

Terpancar raut aneh dari wajah Mas Sa'dan. Namun dia mengalihkan dengan meraih roti dan mengoleskan coklat di atasnya. Pagi ini Aku berniat mulai menjalankan misiku sendiri. Tak enak juga jika Aku selalu harus melibatkan Dewi. 

"Oma... Oma... Aku ke sekolahnya bareng Oma, ya." 

"Oh, mau? Bareng Oma?" 

Kaila mengangguk riang. Oma mencuil hidung Kaila. Jangankan Oma, Aku pun tak kuasa ingin mencubit pipi cabinya jika sedang bermanja-manja. 

***

Posisiku berada di belakang mobil Mas Sa'dan. Untuk kali ini Aku harus lebih ekstra hati-hati dan lebih teliti. Kupakai kaca mata hitam dan masker. 

"Mas, ikuti mobil di depan itu, ya." 

"Baik, Mbak." 

Wanita itu keluar dan meraih lengan Mas Sa'dan dengan manja. Aku merasa geli melihatnya. 

"Jalan, Mas!"

Mobil itu menuju cafe, mungkin bukan hanya pagi ini mereka ke cafe tersebut, bahkan bisa jadi setiap pagi. Tempatnya tidak terlalu ramai dan cukup indah terhias bunga-bunga. 

"Mas, tunggu di sini sebentar, ya. Nanti saya bayar lebih." 

"Baik, Mbak." 

Aku pun turun dan mengikuti Mas Sa'dan beserta gundiknya. Amarah ini menggebu-gebu melihat hal itu, tapi biar saja dulu kuingin mengetahui lebih jauh. 

"Silakan duduk, Bidadariku." Gombalan itu yang meluncur dari lisan Mas Sa'dan sembari menarik kursi di depannya. Wanita itu tersenyum manja. Muak rasanya saat telinga ini mendengar kata-kata lebay tersebut. Sedang untukku, jangankan kata-kata seperti itu, Mas Sa'dan saja memanggilku dengan namaku.  

Aku menutup wajahku dengan majalah walau tanpa demikian, Mas Sa'dan tak mungkin curiga. Wajah ini sudah samar tertutup kaca mata hitam. 

"Sayang, kapan kamu mau ninggalin suamimu?" 

"Santai dong, Mas. Aku masih butuh duitnya, setelah itu baru aku akan meninggalkannya." 

"Kamu kan sudah dapat uang dari aku? Bahkan hampir setiap hari kamu ngajak shoping sudah aku penuhi, kan?" 

"Mas, tidak semudah itu aku meminta cerai dari suamiku. Kamu paham, kan?" 

"Yasudah, intinya kamu harus jaga hatimu untukku, ya. Hanya kamu di hatiku." 

"Bener? Istrimu?" 

Sudah sejak awal kupersiapkan camera perekam, semua pembicaraan mereka tidak akan bisa dielak lagi. 

"Halah, mungkin sebentar lagi aku akan menceraikannya. Aku tak lagi butuh dia, kan sudah ada kamu." 

"Oh, gitu, Mas?" sindirku dengan memberanikan diri menemui keduanya. 

"R-rena." 

Mas Sa'dan terbelalak mengetahui kehadiranku. Menoleh ke beberapa arah, bingung. Semua mata tertuju pada kami yang sama-sama berdiri. Wajahnya memerah. 

"Siapa, Mas?" tanya wanita itu. 

"Wanita ini? Kenapa wajahnya begitu mirip dengan Dewi?"gumamku pelan. 

Mas Sa'dan cuma menjawab dengan isyarat agar wanita itu diam dan tidak bertanya. Tentu dia terheran-heran. 

"E... e... Ren. Ngapain kamu di sini?" 

"Seharusnya Aku yang tanya kamu, Mas. Ngapain kamu di sini? Dan siapa wanita ini?" 

Mendegar nadaku meninggi wanita itu pun berdiri. 

"Heh, Mbak. Anda siapa? Berani-beraninya bentak-bentak calon suamiku?" 

"Oh, calon suami, ya, Mbak? Emang sudah tunangan sejak kapan? Mbaknya perawan tua atau gimana? Kok kayak sudah punya anak tiga?" 

Plak... 

"Jaga mulut kamu, ya." 

Aku memegang pipiku yang kurasa kini sudah merah akibat tamparan itu. Amarahku semakin membara. 

"Oh, Mbak nantang saya?" 

Plak... Plak... Plak... Kujambak rambutnya karena tanpa alasan jelas sudah berani menamparkan bahkan di tengah keramaian, dia berusaha keras lepas dari jambakanku. 

"Auw." Dia mengaduh. 

"Sakit?! Hah?!" 

Aku tak peduli semua mata tertuju padaku. Semakin merasa geram saat Mas Sa'dan bahkan tak sedikit pun membela atau menjelaskan siapa diriku. Kulepaskan jambakan itu, memberi kesempatan apa yang hendak ditukaskan kepada lelaki yang sangat dipujanya itu.  

"Mas! Kenapa kamu diam aja. Aku ditampar wanita gak jelas ini, tanyain kek, apa mau dia. Kali dia butuh uang buat bayar makanannya." 

Mendengar kata-katanya yang semakin ngelantur, Aku pun membuka dompetku. Mengeluarkan seisinya dan melempar ke arah muka wanita simpanan suamiku. 

"Uang? Nih, makan tuh uang. Uang saya tak berkekurangan. Saya rasa Anda yang sedang butuh uang, sampai rela merebut  suami orang dan memanfaatkan suami sendiri. Makan tuh uang." 

Dia melongo, mungkin baru sadar kalau aku istri Mas Sa'dan. Menatap tajam ke arahku. 

"Kenapa? Kaget?! Iya, Aku Rena, istri dari Sa'dan Adiguna, pemilik perusahaan Centra Jaya." 

"Mas! Benar apa yang dia katakan?" 

Mas Sa'dan hanya menatapnya dengan tanpa jawaban walau sepatah kata. 

"Jadi, kamu bilang kalau perusahaan itu milikmu, itu semua bohong, Mas?" 

Wanita itu mendorong Mas Sa'dan dan lari menghambur keluar. 

"Shell.... Shelly..." 

Sekarang Aku tahu, nama wanita itu Shelly. Sedikit merasa lega karena bisa memergoki Mas Sa'dan secara langsung. 

"Ren... Apa-apaan sih?!" 

"Apanya yang apa, Mas?" 

"Malu tau diliatin banyak orang." 

Mas Sa'dan berbisik dengan gigi dirapatkannya. 

"Ouh, malu? Jadi, kalau kamu selingkuh itu bukan perbuatan memalukan?" 

"Ren... Ren... Maafin Aku, ya. Aku khilaf." 

"Khilaf? Sudah ketahuan selingkuh kamu bilang khilaf, Mas?" 

"Lagian aku tidak aneh-aneh, kok. Cuma buat seneng-seneng aja." 

"Jadi, menurut kamu? Selingkuh itu baik asal tidak aneh-aneh? Aku jadi berfikir, gimana kalau Mama sampai tahu, gimana dengan penyakit jantungnya." 

"Ren... Ren... Jangan bilang Mama, ya. Pliss jangan bilang Mama. Aku janji gak akan kuulangi lagi, ya." 

"Satu lagi? Seneng-seneng kamu bilang? Aku ini istrimu, Mas. Apa gunanya Aku? Aku kurang apa, Mas?" 

"Ren... Iya, aku akui aku salah. Tapi-tapi... Aku khilaf, Ren. Dan aku sudah berjanji untuk tidak mengulangi lagi." 

"Sudahlah, Mas. Hatiku patah sepatah-patahnya, Mas. Entah bisa atau tidak aku memaafkan pengkhianatanmu." 

Aku pun memutuskan untuk segera pulang, Aku tidak mau menangis di depan Mas Sa'dan. Jika Aku menangis di depannya, bisa akan dengan mudah dia meremehkanku. 

"Ini belum seberapa, Mas. Hatiku terlanjur kau hancurkan, layaknya cermin yang pecah, sekalipun puannya berusaha menyatukan kembali, pasti tak akan sempurna lagi." 

Laju kencang mobil adalah pelampiasanku sekarang. Entah sudah hilang akal atau bagaimana. Cinta ini terlalu suci dan susah payah dijaga, tapi ternyata salah satu di antara kami justru berkhianat, dan telah merobek hati dengan keji. 

"Jika hati yang terluka, masih bisa dijahit, Mas. Tapi bagaimana jika kepercayaan yang pecah sanggupkah tuk dirajut kembali? Hatiku sakit, iya, terlampau sakit, Mas." 


Jangan lupa Like and Komennya, ya. Masih penulis pemula yang berusaha belajar dari kritik dan saran yang membangun. 😍😍🤩🤩


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status