Pagi hari, Ron sudah berdiri di depan pintu kamar Rin dengan membawa nampan berisi penuh makanan.
Pria itu mematung sejenak di depan kamar, tanpa langsung membuka pintu ruangan yang ditempati oleh tawanannya itu."Kenapa aku harus repot merawat gadis itu?" gerutu Ron sembari menatap sinis piring makanan yang dibawanya.Setelah mengalami perang batin beberapa saat, akhirnya Ron membuka kamar tempat Rin beristirahat. Pandangan mata pria itu langsung tertuju pada tubuh mungil Rin yang terlentang di atas ranjang."Wajahnya pucat sekali," gumam Ron makin tak tega melihat bibir Rin yang sudah pucat pasi."Hei! Bangun!" Ron mencolek bahu Rin dan mencoba mengguncang-guncangkan tubuh gadis kecil itu perlahan untuk membangunkannya.Beberapa kali Ron mencoba mengguncangkan tubuh Rin, namun sayangnya gadis itu tak menunjukkan pergerakan sekecil apapun.Ron terus mengoceh untuk membangunkan gadis berwajah pucat itu, tapi Rin tak memberikan sahutan maupun respon apapun."Hei, kau baik-baik saja, kan? Bangun!" Ron mulai panik saat dirinya tak mendapatkan jawaban apapun dari Rin.Bulir bening lolos begitu saja saat Ron menatap Rin yang terkulai lemas tanpa bergerak sedikitpun. Pikiran pria itu kembali melayang, mengingat sosok calon istrinya yang juga sempat mengalami kondisi yang sama di depan matanya."Lilian! Bangun!" racau Ron kembali teringat dengan Lilian hingga ia mengira Rin adalah Lilian."Bangun!" Ron mulai berteriak histeris sembari memeluk erat tubuh Rin yang masih terbaring lemah di ranjang."Lilian siapa? Apa dia mengigau?" batin Rin bingung saat mendengar nama Lilian disebut.Gadis itu berpura-pura pingsan di depan Ron dan sengaja tak merespon Ron saat pria itu membangunkannya.Rin masih mencoba mencari celah untuk melarikan diri dengan berpura-pura pingsan untuk mencari kesempatan melarikan diri saat Ron membawanya ke rumah sakit."Semoga dia membawaku ke rumah sakit! Semoga dia membawaku ke rumah sakit!" batin Rin penuh harap."Cepat panggil dokter! Panggil dokter sekarang!" pekik Ron dengan suara kencang hingga membuat Rin tersentak kaget.Gadis itu membuka mata sedikit dan mendapati dirinya sudah berada dalam pelukan Ron, sementara para anak buah Ron tengah kalang kabut memanggilkan dokter."Kenapa dia malah memanggil dokter? Bawa aku ke rumah sakit, bodoh!" gerutu Rin dalam hati."Lilian, kau harus bertahan! Lilian! Bangunlah, kumohon!" ujar Ron masih diselimuti kepanikan."Kenapa dia terus memanggilku Lilian?" batin Rin bingung.Krukkkk!Suara cacing di perut Rin yang berbunyi kencang, membuat tangisan dan ocehan panik Ron terhenti seketika."Suara apa itu?" gumam Ron dengan dahi berkerut.Kruukkk!Perut keroncongan Rin berbunyi makin kencang hingga berulangkali dan membuat Ron mulai sadar kalau gadis yang dipeluknya bukanlah Lilian, melainkan Rin."Sial! Tolong bekerja samalah sedikit denganku, dasar perut laknat!" batin Rin geram."Apa yang sudah kulakukan?" oceh Ron kebingungan sembari melepaskan pelukannya pada Rin.Pria itu mengusap air mata yang membasahi pipinya dan segera menjauh dari Rin yang masih terbaring dengan mata tertutup."Dokter sudah tiba, Bos!" ujar seorang pria bertampang preman pada Ron."Cepat tangani gadis ini! Gadis ini tidak boleh mati sekarang! Dia hanya boleh mati di hadapan pria brengsek itu!" titah Ron dengan wajah memerah penuh amarah.Mendengar ucapan Ron, jantung Rin langsung berpacu kencang dan ketakutan kembali menghantuinya. "Sepertinya hidupku benar-benar akan berakhir di tangan pria gila ini!" batin Rin pasrah.Beberapa dokter dan perawat langsung masuk ke dalam kamar Rin, kemudian memasang banyak peralatan untuk menangani gadis itu."Jika kalian tidak bisa membangunkan gadis ini, jangan harap kalian bisa keluar hidup-hidup dari sini!" ujar Ron penuh ancaman.Keringat dingin mulai menetes, membanjiri peluh para tenaga medis yang tengah bersiap di kamar Rin. "B-baik, Tuan.""Apa yang harus kita lakukan?" tanya perawat pada dokter dengan tubuh gemetar ketakutan."Kita periksa dulu keadaan pasien," ujar dokter mencoba untuk tetap tenang."Apa yang akan mereka lakukan?" batin Rin mulai cemas saat petugas medis mulai mengotak-atik tubuhnya."Siapkan jarum suntik!" titah dokter pada perawat."J-jarum suntik?!" jerit Rin dalam hati."Suntik di pantat saja agar obatnya cepat terserap!" titah dokter."P-pantat? Apa-apaan ini?" omel Rin dalam hati, masih dalam kondisi mata tertutup.Rin mulai merasakan sentuhan tangan yang sudah bertengger di bokongnya dengan kondisi celana yang telah terbuka."Aaakkkhh!" Gadis itu memekik kencang begitu ia merasakan tusukan jarum suntik runcing yang tertancap di pantatnya.Rencana Rin yang berpura-pura pingsan pun akhirnya gagal total, ditambah lagi dirinya justru harus menerima suntikan jarum di pantat."Sial! Sial! Sial!" umpat Rin lirih dengan sudut mata yang sudah berair.Ron yang menunggu di luar kamar Rin, mendengar dengan jelas suara pekikan Rin yang begitu kencang. "Dasar iblis kecil! Dia pasti sengaja berpura-pura di hadapanku!" geram Ron sudah menyadari akal bulus Rin."Awas saja kau, bocah! Nerakamu akan segera dimulai!"***"Kami sudah mencari gadis yang ada di foto itu, tapi kami tidak menemukan satu pun gadis yang mirip, Bos!" ujar anak buah kiriman Han pada Han yang tengah menunggu kabar.Pria yang tadinya yakin dapat menculik Rin itu, justru harus dibuat kesal, karena target yang ia kejar ternyata berhasil melarikan diri sebelum ia mulai mengejar. "Apa aku tidak salah dengar? Memangnya ada perubahan jadwal penerbangan? Atau mereka menggunakan maskapai lain?" tanya Han bingung.Han berhasil dibuat kesal karena rencananya yang gagal total. Para anak buahnya nampak sibuk mencari keberadaan Rin, disaat Rin dan Ron telah lama meninggalkan bandara dan menuju ke tempat yang tidak diketahui oleh Han."CARI LAGI SAMPAI KETEMU! Aku yakin mereka ada di dalam pesawat!" titah Han.Pria itu langsung membanting ponsel dan mengamuk di dalam mobil begitu target yang ia kejar ternyata dapat meloloskan diri dengan mudah."Apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa Rin dan Ron bisa menghilang?" gumam Han dibuat bingung.Seme
“Sudah siap?” tanya Ron pada Rin yang tengah menyeret koper keluar dari kamarnya. Setelah berminggu-minggu tinggal bersama Ron di Roma, Rin mulai terbiasa dan mulai tak rela meninggalkan kota tempatnya berlibur itu.“Aku sudah siap!” cetus Rin dengan wajah lesu.Ron menangkap dengan jelas wajah muram Rin, kemudian mengacak gemas rambut panjang gadis cantik itu. “Aku akan mengajakmu kembali lagi kemari nanti. Aku janji!” hibur Ron pada Rin yang terlihat jelas sekali, tidak rela meninggalkan tempat liburan mereka.“Siapa juga yang ingin kembali kemari bersamamu? Aku bisa kembali ke sini sendiri,” timpal Rin sinis.“Memangnya kau punya uang?” cibir Ron begitu menohok pada gadis miskin yang memang tidak memiliki banyak uang itu.Ron merebut koper yang diseret oleh Rin, dan mengajak gadis itu pergi meninggalkan rumah yang mereka tempati. Bersama dengan taksi yang mereka tumpangi, Ron dan Rin memulai perjalanan mereka untuk pulang ke negara asal. Kedua orang itu pulang dengan wajah tenang,
“Tempat apa ini?” gumam Rin begitu ia dan Ron tiba di sebuah taman kecil yang berada di pusat kota. Ron tidak berencana melakukan banyak hal untuk hari terakhir liburannya bersama dengan Rin. Pria itu hanya ingin mengajak Rin menikmati kencan ringan dengan bersepeda dan berolahraga bersama di taman.“Kuburan!” celetuk Ron dongkol mendengar pertanyaan tidak penting dari Rin.“Ah, kau berencana untuk menguburku hidup-hidup di sini?” sergah Rin dengan wajah masam.“Benar! Aku akan menggali makam untukmu!” tukas Ron sembari menyeret Rin untuk berlari bersama dengan dirinya mengelilingi taman kecil itu. Ron mengambil sepeda yang disewakan di taman, sementara Rin harus berlari dengan susah payah mengejar Ron, karena Ron tidak begitu tega menaiki sepeda seorang diri, tanpa mengajaknya.“Ron, aku juga ingin sepeda!” rengek Rin sembari menyeka keringat yang bercucuran di dahiny.“Kejar aku dulu kalau bisa! Kau terlalu kurus dan lembek, Rin! Sebaiknya kau lebih rajin berolahraga!” cibir Ron den
Ren nampak tengah berguling-guling di ranjang hotel dengan santainya tanpa melakukan banyak hal. Pria itu masih diperlakukan seperti raja untuk sementara waktu, sampai Ren tidak akan lagi berguna. Ren masih belum memikirkan rencana lain untuk ke depannya. Pikiran pria itu masih dipenuhi dengan kecemasan mengenai Rin yang kini masih berada di luar negeri bersama Ron.“Apa sebaiknya aku menghubungi Rin saja? Mereka masih akan menargetkan Rin atau tidak, ya?” gumam Ren tenggelam dalam pikiranya sendiri dan membuat pria itu tak dapat tidur nyenyak.Akhirnya, Ren pun memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar hotel sejenak sembari mengirup udara segar. “Rin pasti juga sedang menginap di hotel mewah sekarang, kan? Bukan aku saja yang tengah menikmati ranjang empuk di sini, kan?” oceh Ren sedikit merasa bersalah pada adiknya yang entah sekarang dapat beristirahat dengan nyenyak atau tidak.Pria itu berjalan di lorong hotel dengan langkah gontai dan tanpa sengaja berpapasan dengan salah seora
"Sebelum kita pulang ... bagaimana kalau kita pergi berlibur bersama? Berkeliling kota untuk yang terakhir mungkin?" ajak Ron ragu-ragu pada Rin.Ron sudah membulatkan tekad akan pulang ke negara asal bersama dengan Rin. Pria itu sudah tak ingin lagi melarikan diri dari teror, dan akan berusaha menangkap dalang dari peneroran yang dialaminya selama ini."Berlibur?" tanya Rin dengan dahi berkerut."Em, anggap saja ini sebagai ... kenang-kenangan perjalanan pertama kita. Kita tidak bisa mengunjungi banyak tempat karena kau masih diganggu oleh peneror itu, kan?" cetus Ron. "Sekarang kau sudah tidak lagi diganggu oleh orang itu. Kau bisa menikmati waktu liburan kita sejenak dengan nyaman."Setidaknya Ron ingin memberikan kenangan yang berkesan bagi Rin di liburan pertama gadis itu di luar negeri. Ron juga ingin menjadi bagian dari ingatan yang menyenangkan bagi Rin selama mereka bisa menghabiskan waktu untuk bersama."Kapan kita akan pulang?" tanya Rin mengalihkan pembicaraan."Lusa mungk
"Akhir-akhir ini kau terus melamun," tegur Ron pada Rin yang tengah duduk termenung seorang diri di bangku halaman rumah.Rin sontak menyadarkan diri dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Ron yang tengah memegang dua kaleng soda. "Minumlah! Kau sepertinya perlu menyegarkan pikiran," cetus Ron.Rin mengulas senyum tipis, kemudian menyambut minuman dingin yang diberikan oleh Ron. "Terima kasih!" ucap Rin."Apalagi yang kau cemaskan? Ada yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Ron menemani Rin berbincang di malam yang dingin itu.Rin meneguk minuman kaleng soda itu, kemudian mulai membuka suara. "Aku hanya merasa aneh saja. Pria itu tidak lagi menghubungiku. Dia tidak lagi membahas mengenai mengenai Ren dan informasi yang dia inginkan darimu. Aku takut ... terjadi sesuatu pada Ren," terang Rin dengan perasaan kalut."Ren sudah menghubungimu kemarin, kan? Dia baik-baik saja, kan?" tukas Ron."Memang benar kalau Ren baik-baik saja," ujar Rin. "Tapi tetap saja ... aku takut ada sesuatu yang t