Share

PENYESALAN SEORANG LELAKI
PENYESALAN SEORANG LELAKI
Author: Rosa Rasyidin

Akad Nikah

Sah. Satu kata yang diucapkan oleh wali hakim yang menikahkan Dika dengan Camelia. Pernikahan itu hanya digelar secara agama saja, tanpa pengesahan kenegeraan. Alasannya karena orang tua dari Dika tidak menyetujui calon istri yang ia bawa.

Wanita yang tak jelas siapa bapaknya. Sebab nasab yang mengikut pada ibunya. Pernikahan itu pun hanya dihadiri keluarga dekat dari pihak Camelia saja, termasuk ibunya yang sudah menikah lagi. Ayah kandung wanita itu kabur tanpa jejak yang bisa terendus entah ke mana, tak ada yang tahu.

Tidak ada resepsi, catering dan lagu yang dibawakan oleh biduan sebagai penanda di rumah itu ada pernikahan yang sedang berlangsung. Dika harus merahasiakannya, sebab jika kedua orang tuanya tahu maka semua fasilitas bulanannya akan dihentikan. Itu juga berarti ia tak bisa memberikan nafkah untuk Camelia—istrinya. Yang kedua orang tua Dika tahu, putranya sudah putus sejak enam bulan lalu dengan gadis tak jelas siapa bapaknya itu.

Malam pun akhirnya datang menyapa. Dua insan yang sudah sah secara agama itu akhirnya merasakan apa yang disebut orang sebagai malam pertama. Tanpa rasa takut atau waswas sebab mereka memang sudah suami istri.

Sampai malam berganti pagi dan keduanya masih terlelap dalam selimut yang sama. Ketika bangun, Camelia berusaha menjadi seorang istri yang menyejukkan hati bagi suaminya. Ia siapkan semua kebutuhan Dika, termasuk makan dan pakaian.

Kemaren, selesai Amel langsung dibawa ke rumah kontrakan sederhana, tapi Camelia menerima semuanya dengan lapang dada, karena itu merupakan pilihan mereka berdua untuk merahasiakan pernikahan, entah sampai kapan.

“Mel,” sapaan Camelia, begitu Dika memanggilnya.

“Iya, kenapa, Bang?” tanya wanita itu, ia bawakan sepiring makanan yang asapnya masih mengepul. Kebutuhan dapur di rumah itu dipenuhi Dika dengan baik.

“Malam ini Abang nggak bisa pulang, ya. Bisa curiga kedua orang tua Abang, karena alasan kemaren cuma main ke rumah temen di luar kota.” Lelaki itu memegang tangan Camelia. Begitulah resiko dari pernikahan diam-diam.

“Iya, nggak apa, Bang, Amel sangat mengerti, kok. Hati-hati di jalan, ya. Bilang sama mertua dapat salam dari menantunya yang paling cantik.” Camelia tersenyum dan terlihatkan satu lesung pipinya di sebelah kanan.

“Soal itu, Abang belum bisa bilang, Mel. Perlu waktu, tapi Abang janji akan menafkahi Amel, lahir batin terpenuhi.”

“Iya, Amel tahu, Bang. Semoga saja hati kedua mertuaku terbuka dan pernikahan kita bisa disahkan secara hukum.” Begitu harapan sederhana Amel.

Perempuan yang sekolah hanya sampai bangku SMP saja, begitu mudah terpesona dengan paras menawan Dika yang notabenenya seorang anak pengusaha. Tentu dengan sesuka hatinya bisa mendapatkan dan membuang perempuan sangat mudah.

Lelaki itu pulang dari rumah istri sirinya. Ia menaiki motor besar yang dibelikan oleh kedua orang tuanya. Dengan perlahan-lahan ia kendarai hingga membelah jalanan aspal di kota besar.

Jarak dari rumah Dika ke rumah istri sirinya memakan waktu tiga jam lamanya. Dalam perjalanan pulang, jujur saja lelaki dengan paras menawan itu sempat pusing. Ia takut ketahuan oleh keluarga besarnya. Namun, untuk melepaskan Camelia juga Dika tak bisa.

Paras manis wanita tersebut telah membuatnya susah tidur dan sulit makan. Setahun mengenal Amel membuat Dika berani mengambil keputusan untuk menikahinya.

***

“Udah puas nginap di rumah temen?” tanya Mama Dika, sering dipanggil Bu Inah.

“Udah, Ma. Dika ke kamar dulu, ya, lelah, ingin mandi terus tidur,” jawab anak pertama laki-laki yang merupakan kebanggaan keluarga itu.

“Nanti kita bicara, Nak. Mama sama Papa sudah punya calon istri buat kamu. Harus kami yang tentukan bukan orang lain. Supaya harta keluarga ini nggak jatuh ke tangan yang salah.” Tegas Bu Inah, ia mewakili suaminya yang sedang berada di kantor.

Anak lelaki di antara dua adik perempuannya itu hanya mengangguk saja, ia sedang tak mau berpikir atau berdebat dengan siapa pun. Sampai di kamar, ia mandi dan merebahkan tubuhnya. Masih tergambar jelas dalam benaknya, rasa-rasa melewati malam pertama. Ia yang masih perjaka dan Camelia yang masih gadis ting ting.

Ada rasa kecanduan yang membuatnya ingin mengulangi lagi, sayang sekali istri sirinya sangat jauh. Dika hanya bisa meredam rasa itu dengan tertiur pulas saja.

Saat malam kembali lelaki itu mengambil ponsel nokianya, tak banyak orang yang bisa membeli benda itu. Ia masih dibelikan oleh orang tuanya agar mudah berkomunikasi dengan cara sms atau telepon langsung. Camelia juga Dika belikan, hasil uang tabungan yang ia simpan diam-diam.

Ketika ingin melakukan panggilan dengan istri sirinya, pintu kamar Dika terbuka, Bu Inah masuk mengajaknya makan malam bersama.

“Iya, Ma. Dika beresin jurnal dulu.” Lelaki itu sempat menyelipkan ponselnya di antara buku-buku ekonomi yang ia miliki.

Bu Inah sedikit curiga, ia sempat bertanya tentang tanda kemerahan di leher putranya. Lelaki itu berkilah, ia katakan digigit nyamuk saat pergi bersama teman-temannya ke hutan.

Makan malam tersaji, Dika makan secukupnya saja. Masakan yang kalau jauh dengan buatan Camelia. Jika ada yang mengetahui tentang pernikahan mereka berdua, tentu saja meja makan akan heboh dengan ujaran bahwa Dika yang baru satu hari berpisah dengan Amel sudah sangat merindukan istrinya. Nyatanya, tidak ada obrolan apa pun di meja itu. Kecuali ketika piring sudah bersih.

“Namanya, Sinta, anak baik-baik, kalem, lemah lembut juga, anak dari salah satu teman Papa,” ujar kepala keluarga di rumah itu. Jika ia sudah bertitah, maka tak ada yang bisa membantah.

“Iya, Pa,” jawab Dika bohong. “Tapi kalau boleh Dika selesaikan S2 dulu, satu tahun lagi. Baru memikirkan ke jenjang yang Papa dan Mama inginkan.”

“Oh, tentu, selesaikan kuliahmu, kerja dulu, baru pikirin menikah. Supaya nggak menelantarkan anak gadis orang. Nikahi baik-baik dan nafkahi lahir batin baik-baik. Dan mulai besok, kamu sudah harus ikut kerja sama Papa di bagian bawah dulu, supaya tahu apa itu berproses.” Khidmat kepala keluarga itu berkata, semua yang ada di meja makan hanya mendengar saja.

“Harus kerja dan kuliah dengan baik, Dika. Kamu itu anak pertama laki-laki, panutan kedua adik kamu. Jangan sampai memberikan contoh yang salah,” sahut Bu Inah pula. Lelaki itu hanya mengangguk saja, yang ia pikirkan ialah jadwal kunjungannya untuk Camelia yang pasti kacau balau.

“Kerja ada liburnya, kan?” tanya Dika. Sang ayah hanya bilang iya saja tanpa menanyakan alasan lagi.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status