Part 23POV Hendri"Din, carikan aku kerjaan dong. Kamu kan tahu aku sekarang pengangguran. Aku nggak punya teman lain yang bisa aku mintain tolong selain kamu, Din. Tolong dong carikan aku pekerjaan. Tapi kalau bisa jangan jadi tukang parkir lagi ya karena aku butuh kerjaan yang lebih baik, lebih enak, nggak bikin capek, dan nggak harus kerja keras banting tulang kayak jadi tukang parkir, Din. Tapi duitnya juga banyak.""Kamu pasti bisa bantu mencarikan kan, Din? Please ... kamu biasanya banyak informasi. Tolongin, Din, kasih tahu aku kalau ada lowongan pekerjaan yang bisa aku masukin. Aku butuh banget ini," ujarku memohon pada Dino yang tengah duduk di kantin sarapan pagi.Barusan aku memang menghubunginya, menanyakan keberadaannya dan Dino mengatakan kalau dirinya tengah berada di kantin yang berada tak jauh dari kantornya ini sehingga aku pun langsung meluncur menuju ke sini.Mendengar perkataanku, Dino menghentikan suapan soto ayam dari mulutnya lalu menatapku."Apa? Kamu ingin c
Part 24POV Hendri."Pak Hendri, kita ke jalan Delima ya. Saya mau ambil pesanan nasi ayam di rumah temen saya, untuk makan siang seluruh karyawan hari ini," ujar Pak Himawan saat aku tiba dan memulai hari pertamaku bekerja padanya.Mendengar nama jalan itu disebut, sejenak aku menatap kaget. Jalan Delima? Hmm ... Di situ kan kediaman orang tua Anita di mana saat ini mantan istri yang amat aku rindukan itu juga tinggal di sana?Ah, kebetulan sekali kalau begitu. Siapa tahu tanpa sengaja aku bisa bertemu dengannya. Jadi aku bisa pamer dan menunjukkan padanya kalau sekarang aku sudah punya pekerjaan baru yang cukup menjanjikan setelah diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS sebab sekarang aku bekerja pada seorang pengusaha sukses seperti Pak Himawan. Mana tahu lama lama dari seorang sopir pribadi, aku bisa diangkat menjadi karyawan tetap perusahaan dengan posisi lumayan tinggi mengingat Pak Hima konon bukan orang yang pelit dan perhitungan.Dengan begitu Anita pasti tak akan meren
Part 25POV Hendri."Insya Allah bisa, Mas. Nanti aku kasih tahu anak anak supaya siap siap ikut ya, Mas," jawab Anita sebelum akhirnya Pak Himawan tersenyum ceria dan gegas memintaku memasukkan nasi ayam geprek di tangannya padaku.Dengan gerakan tak bersemangat dan hati diliputi api amarah, aku mengambil kantong plastik besar berisikan nasi di tangan Pak Himawan lalu segera memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Tentu saja dengan tetap menundukkan kepala dalam dalam saat harus mendekat ke arah Anita yang masih saja tersenyum senyum ceria dan membuatku sebal tak alang kepalang.Kalau tak ingat aku harus tetap pura pura tak kenal dan menyembunyikan identitas diriku darinya, ingin rasanya kucengkeram kerah baju mantan istriku itu dan meneriakkan di telinganya betapa aku tak akan sedikit pun rela melepaskan dirinya untuk laki laki lain.Tapi karena aku sadar, aku harus tetep diam supaya semua rencana ini tak gagal, akhirnya aku pun hanya bisa menekan api amarah dan rasa cemburu sekuat ten
Part 1"Dek, bangun! Sudah siang! Tolong siapin baju kerja dan perlengkapan kantor Mas dong. Mas udah telat nih!" Kusibak selimut tebal yang membungkus tubuhku dan tubuh Mia, istri mudaku yang tampak masih pulas dalam tidurnya dengan buru-buru.Jarum jam sudah menginjak pukul sembilan pagi, berarti sudah satu setengah jam aku terlambat masuk kantor. Buru-buru aku meraih handuk dan masuk kamar mandi sembari kembali berteriak membangunkan Mia agar segera bangun dan mempersiapkan seragam kerja serta sarapan pagi. Namun, ternyata setelah keluar dari dalam kamar mandi, kutemui Mia masih bergelung malas dalam selimut. Jangankan menyiapkan seragam dan sarapan pagi, berkali-kali dibangunkan saja, Mia hanya bergeming saja.***"Mas, tadi pagi kamu pake seragam yang mana? Kok seragam yang di jemuran masih ada?" tanya Mia melalui sambungan telepon saat aku sedang istirahat makan siang di kantin kantor.Meski rasa jengkel akibat sikapnya yang tak peduli saat suaminya ini hendak berangkat menca
Part 2"Papa? Nggak salah pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Anita pagi tadi saat aku buru-buru masuk ke dalam rumah dengan piyama mandi masih melekat di badan.Jarak rumah Mia dengan rumah istri pertamaku, Anita memang tidak begitu jauh, hanya berkisar seratus meteran saja dan berselang tujuh buah rumah. Jadi tak sulit bagiku bila harus berganti hari giliran atau pun mobile dari rumah istri mudaku itu menuju kediaman istri pertamaku.Mia sendiri adalah seorang janda tanpa anak yang sehari-harinya bekerja di salon kecil yang berada di depan kompleks perumahan ini.Karena seringnya kami bertemu dan bertegur sapa, membuat benih-benih cinta antara aku dan Mia pun mulai tumbuh subur dan bersemi.Tak ingin diam-diam selingkuh dan berbuat zina, akhirnya aku pun memberanikan diri mengutarakan niat di hatiku itu untuk menikah lagi dengan Mia pada Anita.Awalnya Anita menolak keras keinginanku itu karena katanya tak ada satu pun wanita di dunia ini yang rela cinta suaminya dan penghasilan dari su
Part 3"Mas, aku minta tambahan uang belanja ya? Soalnya yang kemarin kamu kasih udah habis ...," ucap Mia saat kami tengah berbaring di atas peraduan sembari jemarinya mengelus lembut dadaku yang masih terbuka.Kami baru saja mengarungi surga dunia yang penuh kehangatan khas pengantin baru. Sejak menikah siri seminggu lalu dengannya aku memang banyak menghabiskan waktu bersama istri mudaku ini ketimbang bersama Anita dan anak anak di rumah.Jujur aku akui, kebutuhan akan hubungan suami istri yang lumayan tinggi yang aku miliki selama ini dan jarang bisa aku dapatkan dari Anita karena alasan capek mengurus anak anak dan rumah, memang menjadi alasan utama yang membuatku nekat meminta izin untuk menikah lagi. Bersama Mia aku mendapat apa yang kuinginkan selama ini, pemenuhan kebutuhan batin yang tak pernah kurang dia berikan dan selalu bisa memuaskanku.Sayangnya dibalik semua kelebihan itu, Mia juga memiliki banyak kekurangan, di antaranya kurang bisa melayani kebutuhan sehari-hari ku
Part 4"Kok cuma segini, Pa?" Anita menatap uang sebesar satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah yang kuberikan sebagai jatah belanja bulan ini padanya.Biasanya gajiku yang hanya sebesar empat juta rupiah itu memang kuserahkan utuh padanya, hanya dipotong uang bensin dan makan siang di kantor saja sebesar lima ratus ribu rupiah.Namun, sejak menikah dengan Mia, otomatis jatah belanja yang kuberikan pada Anita harus dikurangi. Jadi mau tak mau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah ini harus cukup dialokasikan Anita buat kebutuhan hidup keluarga kami selama satu bulan."Kan Papa harus kasih Mia uang belanja juga, Ma. Makanya Papa cuma bisa kasih segitu. Dihemat-hemat saja biar cukup," ucapku dengan perasaan tak enak. Tapi mau gimana lagi, tak mungkin aku mengabaikan permintaan Mia kemarin, karena dia sekarang sudah jadi istriku juga."Iya, Mama tahu. Tapi harusnya Papa kan bisa adil. Mama harus mencukupi kebutuhan semua orang di rumah ini, termasuk Papa yang setiap hari pul
Part 5"Din, kamu bisa bantu nggak? Aku butuh kerja sampingan nih. Gaji dari kantor nggak cukup lagi buat biaya hidup, jadi aku butuh job tambahan buat nambah pendapatan? Kamu bisa bantu nggak?" ujarku pada Dino, rekan satu kantor yang kutahu punya kerja sampingan sebagai juru parkir liar di malam hari di sebuah mall yang cukup besar di kota ini.Dino sering bercerita kalau dari job sampingannya itu lumayan bisa menambah pemasukan keluarga supaya tak kesulitan lagi. Karenanya aku ingin minta bantuan sahabatku itu agar bisa ikut menjadi juru parkir juga di tempat ia bekerja untuk bisa membiayai hidupku dan Mia."Lho, tumben nggak cukup? Biasanya kan cukup, Hen?" Dino menyeruput gelas kopinya lalu menatapku dengan pandangan tak percaya.Sahabatku itu lalu meneruskan ucapannya. "Apa karena sekarang makmum kamu bertambah ya, makanya gaji bulanan nggak cukup lagi?" imbuhnya sembari menyeringai lebar.Aku tersenyum kecut mendengar ucapannya. Sejujurnya harus aku akui kalau yang Dino kataka