Share

Bab 3

Part 3

 

 

"Mas, aku minta tambahan uang belanja ya? Soalnya yang kemarin kamu kasih udah habis ...," ucap Mia saat kami tengah berbaring di atas peraduan sembari jemarinya mengelus lembut dadaku yang masih terbuka.

 

 

Kami baru saja mengarungi surga dunia yang penuh kehangatan khas pengantin baru. Sejak menikah siri seminggu lalu dengannya aku memang banyak menghabiskan waktu bersama istri mudaku ini ketimbang bersama Anita dan anak anak di rumah.

 

 

Jujur aku akui, kebutuhan akan hubungan suami istri yang lumayan tinggi yang aku miliki selama ini dan jarang bisa aku dapatkan dari Anita karena alasan capek mengurus anak anak dan rumah, memang menjadi alasan utama yang membuatku nekat meminta izin untuk menikah lagi. 

 

 

Bersama Mia aku mendapat apa yang kuinginkan selama ini, pemenuhan kebutuhan batin yang tak pernah kurang dia berikan dan selalu bisa memuaskanku.

 

 

Sayangnya dibalik semua kelebihan itu, Mia juga memiliki banyak kekurangan, di antaranya kurang bisa melayani kebutuhan sehari-hari ku di rumah, seperti menyiapkan makanan, menyiapkan minuman dan pakaian untukku. Jadilah akhirnya aku masih harus merepotkan Anita setiap kali hendak berangkat kerja, meski sedang jatah giliran di rumah Mia.

 

 

Tapi mungkin tak mengapa sebab sejauh ini Anita tak protes dan tak melayangkan keberatan. 

 

 

"Kok sudah habis sih, Mi? Satu juta lho kemarin Mas kasih kan?" sahutku sembari membelai bagian belakang kepalanya dengan lembut, meski batinku mulai kacau mendengar permintaannya barusan.

 

 

Mia menatapku lalu membaringkan kepalanya di dadaku.

 

 

"Habis, Mas ... kemarin aku 'kan ke mall, beli baju sama kosmetik. Masa kamu mau aku tampil berantakan dan kusam di depan suami? Enggak kan?" sahutnya lagi dengan nada ringan tanpa beban, seolah uang satu juta itu kecil baginya. Padahal buatku tentu saja sangat besar. Seperempat gajiku bekerja selama satu bulan sebagai seorang ASN di sebuah kantor kecamatan.

 

 

Aku tersenyum masam mendengarnya. Masa satu juta rupiah habis untuk beli baju dan kosmetik saja? Dalam waktu satu minggu pula ? Boros sekali kalau begitu dibandingkan Anita yang satu juta rupiah cukup untuk biaya hidup kami satu keluarga selama lebih dari satu minggu. 

 

 

Aku diam sembari berpikir pikir.. Kalau kuberikan lagi satu juta padanya dan habis lagi dalam waktu satu minggu, berarti sebulan biaya hidup Mia sama besar dengan gajiku bekerja selama satu bulan pula.

 

 

Lalu aku, Anita dan anak-anak mau makan apa jika semua penghasilan kuberikan pada Mia?

 

 

"Gimana, Mas? Kok malah diam? Boleh nggak aku minta uang lagi?" tanya Mia kembali sembari mencubit hidungku saat dilihatnya aku hanya diam saja menanggapi permintaannya tadi. 

 

 

Namun aku hanya bergeming saja, tak bergairah untuk menanggapi candaannya itu. Pikiranku mulai kusut dan tak tenang memikirkan uang belanja yang barusan dia minta tambah lagi itu. Ke mana harus kucari karena gajiku juga pas-pasan? Aargh! 

 

 

"Mas...?" lagi lagi Mia menatapku, menunggu jawabanku.

 

 

"Hmm, nanti lah Mas kasih. Tapi hemat-hemat ya. Jangan beli pakaian terus,, nanti habis lagi uangnya, ...!" ucapku akhirnya sembari dengan malas turun dari ranjang hendak mengambil minuman di dapur untuk melegalkan tenggorokan yang mendadak terasa tercekat mendengar permintaannya tadi soal tambahan uang belanja.

 

 

Namun, aku urung melakukan itu saat Mia tiba tiba menarik tanganku lalu menghujani kecupan di wajahku, merasa senang permintaannya barusan aku kabulkan.

 

 

"Makasih ya, Mas. Kamu memang suami terbaik deh!" ucapnya dengan nada gembira sambil memelukku berulang ulang.

 

 

Setelah puas memeluk, perempuan itu pun dengan wajah berbinar memberi isyarat padaku untuk mengarungi kebahagiaan kami lagi, sehingga aku pun tak berdaya dibuatnya dan akhirnya menyambut pula ajakannya dengan mesra.

 

 

Ya, andai Mia tak banyak minta uang belanja, tentu kebahagiaan ini lengkap dan sempurna.

 

 

Sayang, Mia tak begitu, hingga membuatku mulai merasa resah dan tak menentu.

 

 

*****

 

 

"Kok cuma segini, Mas? Mana cukup untuk biaya makanku minggu depan?"

 

 

Mia mencebik sembari menyodorkan kembali dua lembar uang kertas berwarna merah yang barusan aku berikan padanya.

 

 

Aku memang tak bisa memberinya uang sebesar yang kemarin aku berikan padanya. Selain karena gajiku pas-pasan, aku juga harus bisa mendidik Mia agar tidak terlalu boros dalam menggunakan uang belanja, sama seperti Anita, yang selalu bisa mencukupkan uang nafkah yang aku berikan padanya dengan pengeluaran kami selama satu bulan.

 

 

Aku ingin Mia juga sama seperti Anita. Super hemat dan tidak boros. Saat aku sedang tak punya uang, selalu maklum dan berusaha belanja seadanya yang penting kami tetap bisa makan.

 

 

Nah, aku ingin Mia juga sama seperti itu. Tak seperti sekarang yang seolah menuntut semuanya harus serba ada. 

 

 

Awalnya kupikir masalah uang belanja ini tidak akan terlalu jadi masalah dalam rumah tangga kami karena Mia juga bekerja. Aku tak pernah mengekangnya dengan memintanya berhenti mencari nafkah setelah menjadi istriku. Aku berharap dengan begitu, tak akan ada yang berubah hanya karena kami menikah.

 

 

Dia tetap punya penghasilan sendiri dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dari penghasilan yang dia dapatkan. Tak menuntut nafkah dariku karena gajiku juga pas pasan.

 

 

Tapi ternyata dugaanku salah. Sejak menikah dan menjadi istriku, Mia jadi membebankan semua keperluan dan biaya hidupnya itu di pundakku.

 

 

Padahal niat awal menikah dengannya, bukanlah seperti itu. Aku hanya akan memberikan nafkah batin secara full padanya dan sedikit nafkah lahir karena dia juga bekerja. Toh, kalau pun tidak menikah dan menjadi istriku, dia juga tetap harus membiayai hidupnya sendiri.

 

 

Tapi ternyata pikiranku salah. Sebab setelah menikah, Mia justru memintaku menafkahi semua kebutuhan hidupnya meski aku tak selalu makan di rumah ini. 

 

 

Lantas, apa yang harus aku lakukan? Benarkah keputusanku ini dengan menikah lagi? Sungguh, aku mulai resah dan bingung memikirkannya. Memikirkan uang belanja yang ternyata menjadi bagian penting saat seorang suami memutuskan hendak menikah lagi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
waa...hahahaha....sekelas ASN kantor kecamatan aja kok berpoligami...wani piiiro.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status