Pulang dari kantor, aku bergegas menuju ke rumah ibu. Mata ibu tampak sembab dengan penampilan yang berantakan. Ibu langsung memelukku. Ibu terlihat sangat terguncang, penampilannya berantakan. Bahkan rumah pun terlihat kotor dan berdebu.
"Kenapa sih, Bu? Kenapa ikut-ikutan investasi yang gak jelas itu?" tanyaku. Ibu justru menangis. Ibu pasti sangat shock kehilangan uang 250 juta dari hasil gadai rumah. Dan keberadaan rumah ini menjadi taruhannya. Terancam disita. Arggh, kenapa masalah semakin hari semakin rumit saja.
Aku menghela nafas dalam-dalam.
"Rizki, pokoknya kamu harus bantu ibu. Kamu harus bayarin setoran ke bank'nya, Ki," sergah ibu, dengan kekhawatiran yang begitu besar.
"Berapa setorannya, Bu?"
"Sembilan jutaan lebih, Ki. Ibu ambil jangka waktu 2,5 tahun, bunganya 12%," tukas ibu dengan air mata menetes di pipinya.
"Haduh Bu, setoran segitu banyak, Rizki dapat dari mana, Bu? Gaji pokok Rizki aja paling 10 ju
Kepalaku pusing sekali ketika diberitahu oleh staffku bahwa ada masalah pada proses kerjasama yang tempo hari aku tandatangani. Garis besarnya, karena kecerobohan keputusanku itulah membuat perusahaan merugi secara finansial. Sedangkan Leo yang mengusulkan hal itu, sudah mengundurkan diri dari beberapa hari yang lalu. "Pak, dipanggil Pak Direktur ke ruangannya," ujar Alya, salah satu staff kantor ini. "Ya, ya, aku segera kesana!" sahutku. 'Mampus aku!' gumamku dalam hati. Dengan degupan jantung yang berpacu kencang, aku menghampiri ruangan Pak Direktur, disana sudah ada beberapa pegawai yang lainnya. "Kalian boleh pergi," tukas Pak Direktur kepada mereka. Mereka mengangguk dan meninggalkan ruangan Pak Direktur. "Pak Rizki, bapak pasti sudah tahu bukan, kenapa dipanggil kesini?" ujar Pak Direktur dengan nada penuh penekanan. "Baca laporan ini!" seru Pak Direktur sembari memberikan map itu padaku. Raut wajahnya sangat
Setelah sampai di rumah sakit, ibu langsung ditangani oleh tenaga medis. Aku dan Keysha menunggu di luar. "Key, apa kamu punya simpanan uang?" tanyaku padanya. Padahal aku tahu itu tidak mungkin. Karena Keysha sendiri aku jatah dua juta saja perbulan. Dia hanya menggeleng, sudah kuduga. "Mas, aku mau pulang dulu," pamitnya kemudian. "Apa, pulang? Tidak-tidak, kamu harus disini, jaga ibuku. Aku harus cari pinjaman untuk biaya perawatan ibu," tukasku. Dia menunduk. Lalu duduk lagi di ruang tunggu. Kalau dia tidak sedang hamil, sudah kuomeli habis-habisan. Gimana sih, seperti tidak punya hati, ibu mertuanya sedang sakit malah mau pulang. Ibuku seperti ini juga kan karena gara-gara dia. "Keluarga Ibu Prayoga?" panggil salah seorang perawat diambang pintu. "Iya sus, saya anaknya," jawabku kemudian masuk, begitu pula dengan Keysha. "Bagaimana dengan kondisi ibu saya, dokter?" tanyaku pada dokter yang menangani ib
Minggu pagi, masih seperti biasanya, aku berkutat dalam pekerjaan dapur. Aku belum bisa bersantai ria seperti pekerja kantoran yang tiap minggu ada hari liburnya. Sedangkan aku, .asih harus berjuang gigih untuk memajukan usaha kulinerku. Sedikit demi sedikit, usaha ini sudah dikenal orang, karyawanku bertambah satu orang, jadi totalnya udah empat orang. Tiinn ... Tiinn ... Suara klakson mobil yang sengaja dibunyikan. Aku tersenyum melihat kedatangannya. Siapa lagi kalau bukan Mas Hasbi. Setiap minggu pasti dia akan datang untuk membantuku. Entah itu ikut membersihkan toko maupun menyiram tanaman. "Dek, bisakah kita bicara sebentar," ucapnya dengan nada serius. Dia menatapku lekat-lekat, seperti ada yang ingin diucapkannya tapi ragu-ragu. "Iya mas, ada apa? Katakan saja," jawabku sambil terus berusaha untuk tersenyum. "Aku ingin bicara berdua denganmu, bisakah
"Maksudmu, apa kau bersedia menikah denganku dalam waktu dekat ini?"Aku hanya mengangguk sambil tersenyum."Benarkah? Coba tolong katakan, aku ingin dengar suaramu," sergahnya lagi."Iya mas, tolong pertemukan aku dengan Mbak Nisa.""Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah," sahutnya.Tak pernah kusangka ekspresinya bisa sebahagia itu. Mendadak dia berlutut dan menengadahkan tangannya keatas seperti orang yang sedang berdoa."Terima kasih, Ya Allah, terima kasih," serunya dengan suara yang cukup keras. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang terkesan lucu."Udah mas, ayo. Mau sampai kapan seperti itu?" tegurku.Dia tersenyum kemudian bangkit berdiri."Kita langsung ke rumahku ya ketemu mbak Nisa," ucapnya.Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya dari belakang."Hati-hati dek," katanya ketika melewati jalan setapak.Kami berjalan bersama hingga sampai di parkiran minimarket, dimana mobi
"Emmh ... Anu mbak, katanya Mbak Nadia gak boleh dekat-dekat sama calon suaminya." "Calon suami? Mbak tahu siapa?" "Ini ada undangannya mbak," ujar Mbak Sarni sembari memberikan kertas undangan mewah berwarna gold dengan hiasan pita. "Makasih ya Mbak." Mbak Sarni mengangguk. "Saya permisi dulu mbak Nadia," lanjutnya lagi. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku segera membuka tali pita tersebut. Mataku terbelalak kaget, melihat ukiran nama yang terpampang begitu jelas dalam undangan pernikahan itu. Menikah : Hasbi Alhanan & Andin Kartika Mendadak hatiku rasanya luluh lantak. Belum apa-apa rasanya udah sesakit ini. Ada yang berdenyut sakit di ulu hati. Bunga-bunga yang tadinya bermekaran mendadak layu kembali. Tanganku gemetaran memegang surat undangan ini. Kalau sudah punya calon istri, kenapa harus melamarku? Apa Mas H
[Hallo, assalamualaikum Nadia. Kamu ada dimana?] tanya Mas Hasbi di seberang telepon.[Waalaikum salam, iya mas. Aku ada di rumah sakit][Lho, kamu sakit?][Enggak sih mas, cuma ...][Tunggu, tunggu. Kamu jangan kemana-mana ya. Tetap disitu, aku akan menjemputmu][Baik, mas][Assalamualaikum][Waalaikum salam]Panggilan itupun terputus. Kuembuskan nafas dalam-dalam. Bukan tanpa alasan aku berada disini. Aku melakukan pemeriksaan kesuburan di rumah sakit ini, sesuai permintaan Mbak Nisa. Sebenarnya ingin kurahasiakan ini dari Mas Hasbi. Tapi Mas Hasbi pasti khawatir kalau tiba-tiba aku berada di rumah sakit. Apa yang harus kukatakan padanya?Aku menunggu di halaman parkir rumah sakit. Selang beberapa waktu, mobil Mas Hasbi datang. Seperti biasa, dia tersenyum padaku.Lelaki berkacamata itu terlihat berlari-lari kecil ke arahku."Nadia kamu sakit apa?" tanya Mas Hasbi menautkan kedua alisnya."Ak
3 hari berlaluAku kembali ke rumah sakit, untuk mengambil hasil tes lab, hasil pemeriksaan tes kesuburanku kemarin."Ini Bu, hasil pemeriksaannya," ujar seorang suster sembari memberikan lembaran kertas itu padaku."Terima kasih ya, sus. Kalau begitu saya permisi.""Baik, Bu. Kalau mau konsultasi lagi, bisa hubungi dokter yang kemarin menangani ibu ya.""Baik, sus. Saya permisi."Perawat itu mengangguk dan tersenyum. Aku kembali melangkah keluar rumah sakit. Lembaran kertas ini langsung kumasukkan ke dalam tas tanpa membukanya lebih dulu. Nyaliku terlalu ciut untuk mengetahui tentang kenyataan. Jantungku berdegup kencang. Entahlah, rasanya begitu takut, mendadak rasa tak percaya diri kembali hadir. Apakah aku pantas untuk Mas Hasbi?Tiba-tiba, Bruukk ...Seseorang menabrakku hingga aku terjatuh, sepertinya dia sedang terburu-buru. Segera kupungut kertas hasil tes lab dan beberapa barang lain yang berserakan di lantai."
Aku segera memasukkan lingerie itu kembali ke dalam kotak. "Apa yang sedang kalian lakukan, sepertinya sangat seru?" tanyanya. "Emmh ini Mas, Mirna nganterin kebaya pengantinku," jawabku. Mirna masih saja cengengesan. "Oh ya, kalian belum makan kan, bagaimana kalau kita makan dulu, yuk ..." ajakku sambil menarik Mirna untuk duduk ke meja makan. "Sebenarnya aku ingin pulang, Nadia," jawab Mirna. "Ayolah Mirna sekali ini saja, kita sudah lama tidak makan bersama. Please ..." "Oke, baiklah." Mas Hasbi mengikuti kami. Mereka duduk di meja makan bersama. Sedangkan aku ke belakang menyiapkan makanan untuk mereka. Mak Piah membantuku membawakan makanan-makanan itu dan menghidangkannya diatas meja. "Wah, sepertinya enak banget nih," celetuk Mirna saat melihat makanan di hadapannya. "Makasih ya, Mak Piah." "Iya, sama-sama mbak." Kami menyantap makanan bersama. "R