"Rizki, ada apa kesini?" tanya Hasbi.
"Maaf kalau mengganggu waktu kalian," sahutku.
"Ya, ada apa Rizki?" tanya Hasbi kembali.
"Emmh begini Hasbi, Nadia, ibuku ingin bertemu Nadia. Akhir-akhir ini ibu bisa berbicara, tapi hanya kata Nadia yang diucapkan oleh ibu. Berkali-kali ibu juga mengigau menyebut nama Nadia. Aku pikir ibu pasti ingin bertemu denganmu, Nadia. Kalau kamu tidak keberatan, datanglah ke rumah untuk menemui ibu."
Mereka terdiam dan saling pandang.
"Aku gak memaksa kalian kok, kalau kalian tidak bisa datang, aku akan bilang sama ibu. Sebelumnya aku minta maaf, kalau sudah mengganggu waktu kalian."
Aku berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban darinya. Aku merasa sangat malu terhadap mereka.
"Tunggu, Mas!"
Sebuah suara yang sangat kurindukan mencegah langkahku. Aku menoleh sambil berusaha tersenyum, menutupi kekalutanku sendiri.
"Insyaallah kami akan kesana, menjenguk ibu. Apa ibu
"Aaarghhh ..."Teriakan suara seorang wanita menggema di seluruh ruangan. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Penampilannya berantakan. Pun dengan barang-barangnya terlihat pecah belah, berserakkan di lantai. Remuk redam. Ada yang patah jauh di lubuk hatinya."Kenapa kau tega sekali padaku, Mas?? Kau lebih memilih wanita udik itu dari pada aku?" pekiknya dengan histeris. Ia menangis tersedu, menangisi sesuatu yang bukan miliknya. Perasaannya tercabik-cabik seperti disayat sembilu. Rasa sesak memenuhi rongga dadanya.Ia mematut diri di depan cermin, memperhatikan wajah cantiknya. Sambil sesekali membelai pipinya sendiri."Apa kurangku? Apa aku kurang cantik?""Apa aku kurang menarik?""Apa aku kurang seksi?""Atau jangan-jangan dia punya kelainan? Kenapa dia lebih memilih wanita udik itu dari pada aku?""Apa istimewanya wanita itu? Dia hanyalah seorang janda, pekerjaannya pun hanya penjual makanan! Apalagi kalau liha
"Din, kamu mau ikut jenguk Pak Hasbi, gak?" tanya sebuah suara di seberang telepon."Hmmm ...""Mau ikut enggak, ini rencananya rombongan kantor mau nengokin Pak Hasbi, beliau sudah pulang ke rumah. Sekalian silaturahmi pengin kenalan sama istrinya.""Kapan?""Nanti malam Din, kalau mau ikut nanti kumpul dulu di Cafe Cinta ya, Din.""Oke."Wanita itu menutup panggilan teleponnya. Hatinya sangat sakit bila mengingat pria pujaannya sudah menikah dengan wanita udik.Aargghh ...! Dia melemparkan kosmetik dan skincare di meja riasnya, hingga jatuh berserakan ke lantai.Aku harus cari cara yang lain agar mereka bisa berpisah. Ya, aku harus cari cara yang lain. Siapapun tak boleh bersama dengan Mas Hasbi! Hanya aku yang boleh, aku adalah pasangan terbaiknya, bukan wanita itu. Batinnya meracau sendiri.Menjelang sore, wanita itu sudah bersiap-siap, membersihkan diri, memakai wewangian, memoles wajahnya dengan make
"Pak, pelaku sudah tertangkap," ucap sebuah suara di seberang telepon. "Sekarang ada dimana?" "Kantor polisi pak," jawabnya lagi. "Baik, saya segera kesana." Kututup panggilan telepon dari Johan, seseorang yang kusuruh menyelidiki kasus ini. Dia memang kompeten dalam bidangnya. "Sayang, mas keluar sebentar ya," pamitku pada Nadia. Dia tengah sibuk membantu memasak. Wajahnya sedikit kemerahan karena kepanasan di dapur, tapi justru terlihat menggemaskan. Ia melepaskan apron yang melekat di tubuhnya. "Mau kemana, Mas?" tanyanya menghampiriku setelah ia mencuci tangan. "Mas ke kantor polisi dulu ya," ucapku kemudian. "Oh oke, apa pelakunya sudah tertangkap?" tanya Nadia. Aku mengangguk "Ya sudah hati-hati dijalan ya mas. Kamu kan baru sembuh, jangan ngebut ya," ucap istriku penuh perhatian. "Iya sayang." Aku mengecup keningnya dengan lembut lalu
Ya ampun, aku benar-benar tak bisa menahan tawa melihat ekspresinya yang lucu. Aduhai Nadiaku. "I love you," ucapku sembari mengerlingkan mataku untuk menggodanya. "Ehem ehem. Kenapa diam aja, Sayang? aku ingin dengar suaramu yang merdu." Dia masih diam saja dengan rona pipinya terlihat memerah, tapi kuanggap itu sebagai bentuk persetujuannya. Ya sejauh ini aku hanya memeluk dan menciumnya saja. Tapi sepertinya malam ini bakal berbeda, aku akan menunaikan kewajibanku, memberikan nafkah batin untuk istriku. Meskipun sudah menikah beberapa hari yang lalu, tapi kami memang belum melakukannya. Hari-hari sebelumnya aku masih tahap pemulihan dari luka yang kudera. Dan sekarang aku merasa sudah benar-benar sehat setelah berhasil sembuh dari kecelakaan itu. Kecelakaan yang hampir saja merenggut kehidupanku. Namun dengan pertolongan dan perlindungan Allah, aku berhasil selamat. Alhamdulillah. Guyuran air shower membuat tubuhku kembali se
"Mas, perutku sakit banget, melilit mas, sakiiit," rintih Keysha. "Kamu mau melahirkan?" "Gak tau mas, tapi rasanya .... Aaaarrrgghh sakiiit ...." "Tahan dulu Key, ayo kita ke rumah sakit." "Aduuuh mas, sakiiit." "Iya, iya, sabar ya. Mas panggil taksi dulu." Keysha masih meringis kesakitan sembari memegangi perutnya. Kepalaku sudah terasa nyut-nyutan, bagaimana aku mendapatkan uang untuk biaya persalinan anakku. Air mata menetes begitu saja karena ketidak berdayaanku. Cukup menunggu lama, akhirnya taksi itu datang. Aku bergegas membawa Keysha ke rumah sakit. Keysha segera ditangani oleh tenaga medis diperiksa kondisinya lebih dulu. "Pak, istri bapak harus dioperasi, karena posisi bayi anda sungsang--" Aku melongo mendengar penjelasan Bu dokter. Selama ini, aku memang lalai, jarang memperhatikan kondisi Keysha, bahkan cuma sekali mengantarkan Keysha pada ibu bidan.
Keysha terdiam. Ia tak membantahnya atau menyanggah apapun. Jadi benar, laki-laki itu pacar Keysha? Atau mantannya?"Hah, aku tak percaya ini. Jadi selama ini kau berbohong padaku, Key!"Keysha menggeleng perlahan. "Aku gak bohong mas, Dia memang pacarku mas. Tapi sebelum aku menikah denganmu, kami sudah putus.""Kamu masih mencintainya?""Bagaimana mungkin mas. Dia sudah meninggal.""Me-meninggal?"Keysha mengangguk, wajahnya tampak sangat sedih. Entah kenapa satu sisi perasaanku jadi lega, tapi satu sisi yang lainnya kecewa. Ternyata bukan aku satu-satunya lelaki di hati Keysha. Harusnya dari awal aku tahu itu."Apa yang waktu itu kamu tangisi kepergiannya? Jadi itu dia?"Keysha kembali terdiam. Butiran bening tampak menetes dari matanya. Apa ini? Dia masih merasa sedih walaupun dia sudah meninggal lama?"Hah, aku tahu sekarang. Lelaki itu pasti menempati tempat yang istimewa di hatimu.""Mas, tolong jangan bica
"Sayang mumpung hari ini mas libur kerja, kita jalan-jalan yuk," ajak Mas Hasbi. Dia sudah memakai kaos oblong, celana training dan sepatu kets bersiap-siap untuk olahraga pagi. Aku menggeliat malas. Memandang jam yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh pagi. Ya, setelah selesai sholat subuh berjamaah, aku kembali berbaring, bermalas-malasan diatas tempat tidur. Biasanya pagi-pagi sehabis sholat subuh, aku sudah bersemangat berkutat di dapur, membantu Mak Piah menyiapkan bahan untuk jualan maupun sarapan. Tapi kali ini tidak. Entahlah beberapa hari terakhir ini, rasanya malas sekali, badan seperti meriang. Perut gak enak, mual, pusing dan yang lainnya. Mungkin karena masuk angin atau kecapekan karena lelah bekerja. "Sayang, kenapa masih tiduran begitu hmm?" tanya Mas Hasbi kembali, dia menatapku heran. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Satu tangan kuletakkan di bawah bantal, dan pipiku masi
Belum habis menyantap bubur, mendadak perutku kembali mual-mual. Aku beranjak ke westafel dan memuntahkannya disana.Hueek ... Hueek ...Mas Hasbi memandangku dengan tatapan iba. Dia mengisik bahuku."Kita ke Bu bidan aja ya dek, aku kasihan lihat kamu kayak gini.""Ini kan hari Minggu mas, praktek bidan juga libur.""Eh iya ya, lupa. Berarti besok ya, kalau kamu masih kayak gini terus, kita periksa ke dokter.""Iya mas.""Kamu istirahat saja dulu dek, mas ke apotik sebentar."Aku mengangguk. Mas Hasbi bergegas pergi dengan langkah yang terburu-buru. Karena gamisku kotor, segera kuganti dengan piyama tidur. Biar sajalah hari ini aku malas-malasan di dalam kamar. Mencium aroma masakan saja sudah membuat perutku mual. Entah apa sebabnya.Aku membaca artikel di internet, tentang ciri-ciri kehamilan. Benar, semuanya mengarah padaku kali ini. Apakah sekarang aku benar-benar hamil? Kalau itu benar, entahlah