Ellshora berhenti memandangi wajah Zane di layar ponsel ketika sebuah notifikasi pesan baru masuk. Ia segera membukanya dan memberi balasan dengan cepat.
"Kamu sibuk, Ell?" pesan dari Zane.
"Tidak, aku lagi santai," balas Ellshora.
"Aku rindu kamu. Bisa kita bertemu?" Zane membalas.
"Tentu bisa. Sekarang? Di mana?" Ellshora pun kembali membalas pesan Zane
Satu menit. Dua menit. Lima menit.
Dan nyaris enam puluh menit tak kunjung pesan Ellshora mendapat balasan. Berkali-kali ia membolak-balik menu di layar ponsel. Usai berganti pakaian dan mengambil tas, matanya kembali melirik ponsel. Tapi belum juga ada pesan balasan yang masuk.
‘Huh! Dia selalu begini,’ gerutu Ellshora. Kemudian setelah menekan beberapa kali ponselnya, ia mendekatkan benda tersebut di telinganya. Namun bukan suara Zane yang ia dengar dari panggilan yang itu, tapi suara lain.
‘Mohon maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah....”
‘Cobalah keluar kamar dan segera pergi temui pacarmu,’ celoteh Ellshora kesal sendiri. ‘Ya ya ya. Aku tahu itu.’
Langkah kaki Ellshora segera meninggalkan kamar. Dan, baru saja pintu kamarnya terbuka, ia sudah dibuat terkejut.
“Astaga!”sontak Ellshora.
Seringai-seringai di depannya justru terkesan menyeramkan bagi Ellshora. Bibi Mia, Paman Gary dan Daniel sudah berdiri bersamaan di depan pintu kamar Ellshora dengan senyuman lebar mereka.
"Ada apa lagi?" tanya Ellshora dengan ketus. "Tidak ada yang perlu kita bahas ataupun debatkan lagi malam ini," imbuh Ellshora.
Sikap ketusnya tak mendapat perlawanan sekarang. Senyuman tiga orang itu masih merekah bagai bunga, tapi bagi Ellshora lebih mirip seringai kuda yang tak menunjukan keindahan sama sekali.
Kemudian, Daniel meraih tangan Ellshora dengan lembutnya. “Kamu pasti lapar, kan? Kita sudah siapkan sesuatu untukmu malam ini, Ell.”
Daniel membawa Ellshora ke ruang tengah. Bibi Mia dan Paman Gary juga mengikuti mereka. Mata Ellshora terbelalak memandangi meja makan yang sudah di penuhi banyak makanan. Matanya beralih dari meja makan, ia menatap tiga orang itu satu per satu dengan tatapan penuh curiga.
“Apa yang kalian masukan ke dalam semua makanan ini?” Ellshora curiga. Tentunya ia harus selalu waspada setiap saat.
Kini, giliran Bibi Mia menunjukan sikap yang sama seperti Daniel. Tangannya mendarat di kedua bahu Ellshora, memberi sedikit tenaga untuk menekan tubuh gadis itu agar duduk di kursi. Lalu mereka juga menarik kursi dan mengambil posisi duduk masing-masing.
“Kamu perlu asupan yang banyak untuk rencana besar kita, Ell,” kata Bibi Mia.
“Lagipula, mana mungkin kami meracunimu. Kalau kamu mati, bagaimana kamu bisa melunasi hutangmu,” tandas Paman Gary.
Spontan, Bibi Mia menginjak kaki Paman Gary sangat keras hingga pria itu menjerit dengan lantangnya. “Arggg!!!”
“Sayang, kamu sudah gila?” Paman Gery merintih, tapi ia justru diabaikan oleh istrinya.
Bibi Mia hanya mempedulikan Ellshora sekarang, “Ayo. Makanlah, Ell.”
Hembusan nafas Ellshora terdengar berat. Ia bersiap meraih sendok di meja. Tapi tiba-tiba getaran ponselnya lebih membuatnya tertarik sekarang. Ia begitu bersemangat saat menerima panggilan dari Zane.
“Hallo, Zane,” sapa Ellshora.
“Baik, baik. Aku ke sana sekarang,” ucapnya setelah ia mendengar suara Zane di balik ponselnya. Lalu ia langsung menutup panggilan.
Semangat Ellshora menggebu. Ia bangkit dari kursi dan beringsut dari ruang tengah dengan cepat. Meninggalkan tiga orang itu. Mereka menatap Ellshora dengan kedua mata terbuka lebar hingga suara pintu ruang depan tertutup terdengar dari situ.
Sontak, Bibi Mia bersungut-sungut. Seolah ada api merah di kepalanya. “Bocah tengik! Beraninya kau mengabaikan masakanku!”
Gerakan kaki Daniel dan Paman Gary supercepat menyeret diri mereka dari situ. Menghindari kobaran Bibi Mia yang bisa saja membakar tubuh mereka berdua.
“Siapa yang memintaku masak sebanyak ini!” sembur Bibi Mia.
Jelas, jawabannya adalah Daniel, pria dengan seribu ide di otaknya. Laki-laki itu sudah berada di kamarnya sekarang. Ia mengunci pintu kamar dan segera memasang earphone di telinganya. Genre musik apapun tak masalah saat ini. Daniel hanya perlu terbebas dari suara amukan ibunya.
***
Di sebuah taman kota.
“Ell?”
Ellshora menoleh ke arah suara yang sudah ia tunggu dengan sebuah senyuman hangat. “Zane.”
“Maaf Ell, sudah membuatmu terlalu lama menunggu,” kata Zane. Ia berusaha menjelaskan, “ponselku mati, dan aku buru-buru menutup kafe agar bisa segera menemuimu.”
Senyum Ellshora merekah lagi. Hatinya selalu dibuat meleleh dengan semua yang diucapkan Zane. Salah satu alasan yang membuat Ellshora jatuh cinta pada pria itu.
“Oh iya, ada titipan dari Ibu untukmu.” Zane meraih sesuatu dari dalam saku hoodienya, lalu memberikan benda kecil tersebut pada Ellshora.
“Katanya ia ingin membuat sendiri untukmu,” tambah Zane.
Boneka rajut berbentuk minion seukuran genggaman tangan. Ellshora menerimanya.
“Waw! Lucunya. Aku suka, Zane,” ucap Ellshora.
Nyonya Frida membuatnya dengan sangat detail. Ellshora mengamati boneka itu, nyaris tak terlihat seperti buatan tangan. Ia benar-benar menyukainya. “Sampaikan terima kasih untuk ibumu.”
Zane memberi anggukan dan senyuman hangat.
Kini, mata Zane tertuju pada foodtruck di sudut taman. “Ell, sebentar yaa. Aku mau membeli sesuatu dulu.”
Ellshora mengiyakan. Saat Zane pergi, Ellshora sibuk dengan boneka di tangannya. Tak lama kemudian., Zane kembali dengan dua sandich dan dua botol minuman.
“Pasti kamu belum makan. Makan dulu,” pinta Zane penuh perhatian. Ia memberi sandwich dan minuman pada Ellshora.
“Mereka menyiapkan banyak sekali makanan malam ini. Tapi bertemu dengan pacarku malam ini, lebih membuatku tertarik, sih,” goda Ellshora, senyumnya melebar. Zane langsung mengusap rambut gadis di depannya itu.
Mereka menikmati sandwich di tangan sembari membiarkan angin malam ini menemani. Sadar ada yang aneh, Zane bereaksi dengan menoleh cepat pada Ellshora. “Mereka menyiapkan makanan untukmu?”
Sambil menggigit sandwich, Ellshora mengangguk mengiyakan pertanyaan Zane.
“Untuk apa?” tanya Zane ingin tahu.
“Menyogokku,” jawab Ellshora singkat.
Zane ingin tahu lagi. “Untuk melakukan apalagi?”
Kini Ellshora yang baru menyadari sesuatu. Haruskah ia membuat luka di hati Zane untuk kesekian kalinya? Rasanya ia sudah sangat merasa bersalah selama ini. Dan melihat wajah pria di hadapannya kini, hatinya benar-benar semakin sesak. Ia menelan sisa sandwichnya, menelan getir pahit yang masuk ke tenggorokannya.
Hening.
Baik Zane ataupun Ellshora, tak ada yang bersuara. Zane cukup memahami situasi seperti ini. Tangan lembutnya mengadahkan wajah Ellshora yang tertunduk seketika. Keduanya saling menatap. Dalam tatapan itu, Zane bisa melihat sangat jelas ada sesuatu yang harus ia dengar dari Ellshora sekarang juga.
“Zane,” Ellshora melirih.
“Katakan saja, Ell. Aku tak apa," desak Zane.
Kalimat itu justru membuat Ellshora semakin sesak. Ia seperti kehabisan nyaris nafas. “Untuk terakhir kalinya, Zane. Maaf, tapi mereka selalu memaksaku, dan aku tak pernah punya pilihan lagi.”
Tangis Ellshora pecah, tak tertahankan lagi.
Tangan Zan melemas.
“Mendekati pria kaya lagi?”
Meskipun Zane berharap jawabannya adalah tidak, akan tetapi faktanya Ellshora memang harus melakukan permintaan Bibi Mia. Pilihan tak pernah ada untuknya, ia tak bisa memilih. Ellshora hanya dihadapkan dengan semua rencana yang harus ia lakukan mau tidak mau, suka atau tidak. Itu saja.
Sembari menangis, Ellshora meraih tangan Zane dan menggenggamnya erat-erat.
“Maaf Zane, aku terus melukaimu. Maaf aku....”
Zane cepat memotong pembicaraan. "Semua salahku. Aku yang harus meminta maaf tidak bisa membebaskan kamu, Ell.”
“Mereka terus memperalatmu, dan aku yang miskin ini tak pernah bisa melakukan apapun untuk orang yang aku cintai. Kumohon jangan meminta maaf padaku, hatiku sakit saat mendengar itu.”
Andai saja Ellshora bisa pergi dari rumah itu, meninggalkan semua penderitaanya selama bertahun-tahun. Namun meski bisa saja ia pergi dan melepas semuanya, yang dipikirkan Ellshora tidak sesederahana itu. Ia juga ingin sekali pergi, memulai hidup baru seolah terlahir kembali. Tetapi jika semua hutang budi yang selalu dikatakan Bibi Mia, benar-benar terbayarkan. Sederhananya, Ellshora ingin membuka lembaran baru tanpa meninggalkan jejak hutangnya sepeserpun.
Dan Zane tahu semua itu. Tapi yang dikatakannya memang benar, keadaan hidupnya yang benar-benar sulit tak banyak membantu. Meksi ia bekerja sangat keras, biaya pengobatan ibunya juga sangat besar. Yang ia miliki hanya cinta dan ketulusannya. Zane tahu, mereka berdua sama-sama terluka. Oleh sebab itu ia berusaha memahami keadaan Ellshora seberapapun rasa sakit itu.
“Sejauh apapun langkahmu, kamu tahu kan kemana harus pulang setelah semuanya selesai?” Kedua tangan Zane terbuka lebar, senyum tipisnya yang hangat seketika membuat Ellshora merasa sangat tenang. Ia segera menambatkan tubuhnya dalam pelukan Zane.
“Aku janji akan segera mengakhiri semuanya. Secepatnya,” lirih Ellshora.
Kota Norwich rupanya masih mampu menarik kembali seorang Luke Whiston. Pria tiga puluh tahun yang telah menghabiskan lebih dari separuh waktunya di Oxford. Usai menyelesaikan studi, Luke tak kunjung kembali ke kota kelahirannya dengan banyak alasan. Tapi cukup satu alasan membawa Luke kembali ke tempat asalnya. Luke menyadari, sudah waktunya ayahnya berhenti dan menyerahkan semua urusan perusahaan besar keluarga mereka padanya. Luke akan mengerahkan segenap dirinya pada Sonic Group, seperti semangat ayahnya yang tak pernah padam sejak dulu. Ronan mengemudikan mobil melewati Fleet Street, kawasan jalanan kota yang tak banyak dilewati banyak orang. Menurut informasi yang Ronan dengar, CEO muda yang berada di kursi belakangnya, menyukai ketenangan yang selalu ditawarkan oleh jalanan ini. “Maaf, Tuan. Kudengar kau menyukai suasana jalanan seperti ini. Jadi aku memilih lewat kesini.” Ronan membuka pembicaraan di tengah-tengah kesunyian yang cukup lama berada dalam mobil itu. Luke menga
Sonic Group adalah perusahaan besar di bidang elekronik yang sudah sembilan puluh tahun berdiri. Negara ini mengakui bahwa Sonic Group mempunyai andil yang besar dalam perekonomian Inggris. Bahkan jaringannya sudah diterima oleh banyak negara Eropa dan Asia. Pendiri utamanya Tuan Jacob Whiston, yang setelah meninggalnya, ia mewariskan semua aset pada putra semata wayangnya. Tuan Chris Whiston. Waktu berjalan, dan Chris menyadari bahwa ia tidak bisa selamanya menggenggam sendiri perusahaan yang sudah dibangun mendiang ayahnya. Ia menghabiskan masa mudanya berkutat sebagai pebisnis handal. Jadi, di usianya sekarang, sudah saatnya ia mewarisi semua pada Luke Whiston. Agar ia bisa sedikit membebaskan diri dari semua beban bisnis di usia senjanya. Di gerung Sonic Group, orang-orang melakukan aktivitas seperti biasa. Semua pegawai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Di kantor bagian divisi pemasaran, di ruangan tim 2, seorang laki-laki baru saja keluar dari sana. Begitu menerima sebuah
Sebagai seorang yang tak mempunyai pekerjaan seperti Ellshora, ia bisa mengatur jam tidurnya kapan saja. Sudah dua bulan sejak ia diberhentikan dari perusahaannya dulu karena pengurangan karyawan, sampai hari ini Ellshora belum mendapatkan pekerjaan baru. Entah berapa kali sudah ia mengirim surel lamaran pekerjaan ke beberapa perusahaan nyaris semua penjuru Norwich dua bulan belakang ini. Banyak perusahaan yang memperketat aturan mereka. Mengutamakan lulusan universitas terbaik meski tak berpengalaman. Dan seorang berpengalaman yang hanya lulusan sekolah biasa seperti Ellshora, selalu mereka abaikan. Akan tetapi Daniel tak mau mengabaikan kesempatan. Ia menerjang pintu kamar Ellshora dan masuk ke dalam tanpa permisi. Di atas tempat tidur, Ellshora masih menikmati tidur lelapnya, sementara jam kecil di atas meja menunjukan pukul 07.00. Daniel mencoba membangunkan gadis itu. Menyeretnya segera dari semua mimpi yang entah sudah berapa jauh membawa Ellshora dari semalam. "Bangun, Ell.
Ellshora benar-benar terpukau sekarang, nyaris tak bisa mempercayai Luke. Bagi Ellshora tempat ini menggambarkan sebuah kesempurnaan. Ia bahkan tak pernah membayangkan berada di sini sebelumnya. Tapi, seorang Luke yang mengacuhkannya sepanjang perjalanan tempo hari justru membawanya ke The Golden Sun. Restoran supermewah di Norwich bahkan di Inggris. Konsep royal klasik kental yang disuguhkan oleh tempat ini, membuat Ellshora merasa diseret dalam nuansa di era bangsawan Inggris. “Permisi, Tuan Luke,” ucap seorang manager yang baru saja datang bersama tiga orang pramusaji berseragam super-rapi di belakangnya. “Pesanan anda sudah siap.” Pria dengan perkiraan usia empat puluh tahunan itu berdiri di hadapan Luke dengan memberikan senyum terbaiknya. Sementara tiga orang lainnya tengah meletakkan pesanan Luke di meja. “Ini adalah teh terbaik kami, Tuan. Teh Pu Erh yang langsung kami dapat dari petani Yunnan, Tiongkok,” kata sang manager. Mendengar kata terbaik, Ellshora menelan ludah. Bi
Terpampang seringai Ellshora yang memberi arti lebih. Ia membutuhkan Luke untuk segera terlepas dari Bibi Mia, untuk cepat kembali dalam hangatnya dekapan Zane. Namun semua keangkuhan Luke, membuat Ellshora bergairah. Selain karena tujuan yang sudah direncanakan, Ellshora ingin menaklukkan Luke Whiston dengan semua keangkuhannya. Agar pria itu menyadari bahwa ia tak sesempurna itu. Setelah keluar dari The Golden Sun dan semua kemewahan tempat itu, Ellshora berjalan melewati trotoar jalan dengan penuh kekesalan. Lantaran Luke bahkan tak mengantarnya kembali ke kantor Sonic Group untuk mengambil mobil Daniel malah menyuruhnya menggunakan taksi. ‘Sebentar lagi, kau akan takluk di tanganku, Luke! Dan kau yang tergila-gila denganku akan memberikan apapun yang kumau!’ gerutu Ellshora yakin. Ellshora hendak menyebrang, langkah kakinya mulai menginjakkan zebra cross. Dengan tatapan yang kosong, ia tak menyadari bahwa lampu di traffic light sudah hijau kembali. Sebuah mobil putih mengkilap m
Ellshora sibuk dengan bola di tangan, melakukan shooting berkali-kali. Meski dalam hati, Daniel berdecak dengan kemampuan permainan Ellshora, ia enggan mengungkapnya. “Tenagamu terisi banyak dengan teh mahal itu sepertinya,” seru Daniel seraya membawa langkah kakinya mendekati Ellshora. Ellshora menoleh, namun tetap melanjutkan permainannya. “Kalau kau mau menguras tenagaku lagi malam ini, aku tak mau. Batas waktu kerjaku sudah habis hari ini.” Daniel menunjukkan seringai lebarnya. “Tidak, Sayang. Aku hanya ingin menemanimu bermain sekarang,” godanya. “Berikan bola itu padaku.” Shooting berikutnya berhasil lagi. Tak terhitung berapa kali Ellshora memasukan bola ke dalam ring dengan bakat terbaiknya. Ia berhenti dan melihat Daniel yang bersiap menangkap bola di tangan Ellshora. Sudut bibir Ellshora terangkat. “Yakin mau kulempar?” Daniel hanya memberi anggukan, tangannya siap melakukan gerakan catching ball. Melihat hal itu, Ellshora melebarkan senyum puas dan cepat melempar bola
Dan Zane yang sudah ditunggu, akhirnya datang. Ia juga terkejut melihat kehadiran Ellshora di rumahnya yang tiba-tiba. “Kenapa kau tidak memberitahuku kalau mau kemari?” “Saat kita bicara di telfon tadi, kau tidak mengatakan apapun,” imbuh Zane. Frida yang menjawab. “Mulai sekarang ini rumahnya juga. Jadi tak perlu memberitahumu kalau dia mau kesini. “Pintu rumah terbuka lebar untukmu, Ell. Jadi datanglah setiap saat,” tambahnya. Apa yang diucapkan Frida membuat Ellshora memancarkan wajahnya yang berseri-seri. Melihat ekspresi itu, Zane tersenyum. Ia menarik kursi dan mengambil posisi duduk bersama dua perempuan tersebut. “Makanlah, Sayang. Ellshora membuat sup terenak yang pernah Ibu makan selama ini,” puji Frida. “Ibu ambilkan mangkuk untukmu.” Ketika Frida bersiap bangkit dari duduknya, Ellshora menahan. “Biar aku saja, Bu,” katanya langsung menghampiri lemari rak dan mengambil piring dan sendok, kemudian cepat kembali ke meja makan. Ellshora menuangkan sup ke mangkuk, dan m
Udara pagi yang segar dan kicauan burung di halaman rumah adalah perpaduan yang serasi. Akan tetapi Ellshora tak cukup terarik keluar dari kamar sekarang. Ia masih duduk di ranjang dengan perasaan yang tak susah dijelaskan. Ellshora memandangi lekat-lekat figura foto sang ibu di tangan, Ellshora menahan diri sekuat mungkin untuk tak menangis. Kini Ellshora membawa dirinya dalam masa-masa dimana ia pernah merasakan kehangatan dekapan Elena-sang ibu. Kebersamaan dan waktu yang mereka habiskan sampai Ellshora berusia tujuh tahun. Hingga takdir benar-benar merenggut semuanya. ‘Ibu. Aku rindu ....’ lirih Ellshora. Ia menepis dua bulir air mata yang nyaris saja membasahi pipinya. Selang beberapa detik, suara ponsel Ellshora terdengar cukup keras. Dengan cepat membawa gadis itu dari bayang-bayang masa lalu dan kerinduan terhadap sang ibu. Ellshora langsung menjawab panggilan masuk dari Zane. “Hallo, Zane?” sapa Ellshora. Zane langsung berbicara. “Hari ini aku meminta izin untuk libur di