Share

Bab 4

Part 4

 

"Ris, kamu di mana? Malam ini kamu off kan? Bisa bantu mbak nggak?" tanyaku pada Aris, adik bungsuku yang berprofesi sebagai seorang petugas keamanan sebuah instansi pemerintah.

 

"Minta bantu apa ya, Mbak? Kalau Aris bisa bantu, insyaallah Aris bantu?" tanya Aris di seberang telepon.

 

"Kamu bisa ke kantornya Mas Donny nggak sekarang? Coba lihat, beneran nggak Mas Donny lagi kerja lembur bareng temennya?" jawabku.

 

"Mas Donny kerja lembur? Malam-malam gini, Mbak? Yang bener aja. Oke, Aris otewe kalau gitu. Tapi tumben-tumbenan mbak nguatirin Mas Donny, ada apa memangnya, Mbak?" tanya Aris ingin tahu.

 

"Nggak ada apa-apa sih, Ris. Mbak cuma pengen tahu aja. Maklum zaman sekarang 'kan banyak kuntilanak yang suka ganggu rumah tangga orang. Jadi Mbak mau prepare aja sebelum kejadian beneran, Ris," sahutku memberi alasan. 

 

Sebenarnya jujur saja aku merasa malu harus melibatkan adik lelakiku dalam urusan rumah tangga seperti ini, tapi kalau bukan ke Aris aku minta tolong, mau ke siapa lagi. Nggak mungkin aku datang ke kantor Mas Donny malam-malam begini sendirian. Bisa-bisa malah insiden di jalan nanti.

 

"Oh gitu. Ya udah deh, Mbak. Aris otewe sekarang ya. Mbak tunggu aja nanti kabar dari aku."

 

"Oke, makasih sebelumnya ya, Ris. Maaf, Mbak jadi merepotkan kamu," ucapku.

 

"Never mind, Mbakku Sayang," sahut Aris lalu mematikan telepon.

 

Setelahnya aku duduk menunggu kabar dari adikku itu sambil nonton televisi.

 

Setengah jam kemudian Aris kembali menelpon.

 

"Mbak, nggak ada pegawai lembur tuh kayaknya. Kantor sepi-sepi aja. Malah aku tadi ketemu temen yang kerja jadi satpol PP. Katanya nggak ada kantor yang lembur," beritahu Aris dari seberang.

 

Mendengar penjelasan Aris, aku jadi tercenung. Kalau benar begitu, berarti kecurigaanku tidak salah, Mas Donny memang nggak sedang lembur melainkan kemungkinan besar sedang menginap bersama teman wanitanya itu. Hmm, awas saja kamu, Mas. Kalau sampai aku memergokimu, akan kubuat perhitungan denganmu! Kesalku.

 

"Ya, udah, Ris. Makasih ya. Kamu cepat pulang ya, hari sudah malam," jawabku pada Aris, menyuruh adikku itu cepat pulang ke rumah.

 

Kami tinggal dalam satu kota. Aris tinggal bersama kedua orang tuaku dan adik-adik. Sedangkan aku karena sudah berumah tangga sendiri, maka tinggal bersama suami. Jarak rumahku ini dan rumah orang tua pun tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh kilometer. Sama seperti jarak ke rumah orang tua Mas Donny.

 

"Iya, Mbak. Mbak yang sabar ya. Kalau Mas Donny macam-macam, mbak kasih tahu aku aja. Aku nggak akan membiarkan mbak diperlakukan seenaknya sama Mas Donny soalnya," ucap Aris lagi.

 

"Kamu tenang aja, Ris. Kalau Mas Donny macam-macam, mbak juga nggak akan tinggal diam begitu saja. Mbak pantang dibohongi. Kalau memang sudah nggak suka, Mas Donny tinggal bilang aja, nggak usah main kucing-kucingan begini. Mbak mah gak papa disuruh pulang ke rumah orang tua, asal jangan dipermainkan begini," sahutku kesal.

 

"Iya, Mbak. Mbak yang kuat ya. Besok Aris ke sana. Aris mau bantuin kalau misalnya Mas Donny beneran ada apa-apa di luaran."

 

"Makasih, Ris. Tapi kamu jangan bilang ibu dan bapak ya. Mbak nggak mau ibu sama bapak susah hati."

 

"Siap, Mbak. Tenang aja, Aris akan simpan rahasia sampai Mbak cerita sendiri," sahut Aris lagi.

 

"Iya, Ris. Makasih ya," ucapku lalu menutup telepon.

 

Sesudah komunikasi antara aku dan adikku usai, aku pun beranjak menuju ke kamar. Sampai di kamar kubaringkan tubuh di atas kasur. Pikiranku tak tenang memikirkan apa yang sedang dilakukan Mas Donny saat ini dan bagaimana caranya supaya bisa mengetahui apa sebenarnya yang sedang dilakukan Mas Donny sekarang di luaran. Katanya mau kerja lembur bareng Dika, rekan kerjanya, tetapi nyatanya tidak.

 

Drrt ... ddrt ... drrt ....!

 

Sedang aku melamun, ponselku bergetar keras. Kuambil benda itu dan membuka pesan w******p yang nampaknya baru saja dikirimkan oleh seseorang padaku.

 

Ada pesan dari kontak bernama Irma. Seingatku ia adalah istri teman kantor Mas Donny. Kami bertemu saat sama-sama;menghadiri acara darma wanita persatuan di instansi mana suamiku dan suaminya bekerja, lebih enam bulan lalu. 

 

Di situlah kami saling berbagi nomor kontak w******p dan sempat saling say hello di telepon. Sayang, setelah itu hampir tak pernah ada pertemuan lagi karena kata Mas Donny, kantor tak lagi membuat acara pertemuan karena efek pandemi Corona dan aku percaya saja.

 

[Assalamualaikum. Mbak Nisa, ke mana aja kok nggak pernah ikut acara arisan kantor lagi?] Bunyi W******p dari Irma.

 

Acara arisan kantor? Bukannya Mas Donny bilang, kantor sudah tidak lagi mengadakan acara arisan karena berbagai macam alasan yang tidak dia jelaskan secara detail?

 

[Waalaikum salam. Memangnya acara arisan masih lanjut ya, Mbak?] Balasku bertanya.

 

[Masih, Mbak. Makanya ini Bu Kadis nanyain, Mbak ke mana aja kok nggak pernah ikut acara kantor lagi? Apa iya, Mbak dilarang aktivitas ke luar rumah lagi sama dokter karena sedang program kehamilan?] tanya Mbak Irma lagi.

 

Membaca pesan itu, sontak aku merasa kaget. Apa-apaan ini, siapa yang bilang aku nggak boleh aktivitas di luar rumah lagi karena sedang promil? Bohong banget! Mas Donny aja malah santai banget saat aku ngebet mengajaknya ikut program kehamilan dulu. Lantas siapa yang bilang aku tak boleh keluar rumah karena sedang program itu?

 

[Siapa yang bilang saya nggak boleh aktivitas ke luar rumah lagi karena sedang promil, Mbak? Iya sih saya sedang menunggu hamil lagi, tapi nggak juga sampai gak boleh ke luar rumah.] sahutku jujur.

 

[Yang bilang Pak Donny sendiri, Mbak. Makanya ini saya konfirmasi langsung ke Mbak. Kebetulan saya ingat masih nyimpen nomor hape Mbak, jadi saya wa mbak aja langsung. Besok pagi ada acara arisan di kantor. Bu Kadis minta Mbak untuk hadir, nggak boleh alpa lagi katanya, Mbak. Jadi usahakan Mbak datang ya. Lagian sekali-kali nggak papa 'kan kita para istri pegawai kumpul di kantor biar tahu ada kabar apa suami kita di kantor.] ujarnya sembari menyelipkan emoji tertawa sambil menutup mulut.

 

Membaca pesan itu aku merasa ada sesuatu yang sepertinya hendak disampaikan Mbak Irma padaku, tapi ia tak mau bicara langsung. Perasaanku mengatakan itu. Ah, apa jangan-jangan Mas Donny memang sudah bikin masalah di kantor ya dan semua orang sudah tahu?

 

[Memang ada kabar apa sekarang di kantor, Mbak? Saya udah lama nggak ikut kumpul-kumpul soalnya?"] tanyaku, ingin tahu.

 

[Hmm, nggak ada apa-apa sih, Mbak. Paling ada gosip-gosip aja dikit. Makanya mbak datang aja ya, biar tahu sendiri.] Balas Mbak Irma lagi membuatku merasa semakin penasaran.

 

[Oke deh, Mbak kalau gitu besok pagi aku usahakan supaya bisa hadir ya. Makasih infonya ya, Mbak.] ucapku berterima kasih atas infonya yang Mbak Irma sampaikan.

 

[Sip. Sama-sama, Mbak.] balasnya pula.

 

Setelah itu komunikasi antara aku dan Mbak Irma berakhir, tapi tidak dengan rasa ingin tahuku. Ada apa sebenarnya sampai Mas Donny tak mau memberitahuku kalau di kantornya ada acara istri pegawai yang ternyata masih rutin dilakukan?

 

Apa ada yang disembunyikan oleh suamiku itu? Ah, jangan-jangan perempuan yang menjadi selingkuhan suamiku itu adalah rekan kerjanya satu kantor sehingga untuk menghindari supaya aku tak mencium perbuatannya, ia terpaksa mengarang cerita kalau di kantornya tak pernah lagi diadakan acara ibu-ibu darma wanita dan beralasan aku sedang mengikuti program kehamilan supaya tak diminta hadir di acara itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Keyla Putri
lanjut semangat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status