“Ma, Mama kan tahu kalau Shah ubah punya cewek.”
“Kamu, kamu juga tahu kalau mama nggak setuju sama hubungan kamu dengan perempuan itu."“Ma, ayolah!”“Mama nggak mau mendengar yang namanya bantahan. Kamu, bulan depan menikah dengan Alana."“Astaga!”“Kenapa? Bagus, bukan. Semakin cepat semakin baik."“Shahin menganggap Alana, adik Shah, Ma."“Apa pun alasan kamu, Mama nggak peduli."“Ma!”“Apalagi, sih Shah?”“Kalau Mama menikahkan Alana dengan Shah, hanya karena dia mau ditinggal ke luar negeri sama tante Dewi, kita bisa membiarkan dia tinggal di sini sementara.” Shahin masih mencoba mencari jalan keluar demi menolak perjodohan yang mamanya ungkapkan semalam ketika acara makan malam berlangsung.Bu Siska menggeleng pelan, tatapannya lurus pada sang putra yang sudah seharusnya menikah sejak dua tahun lalu. Namun, malah terjebak dengan ikatan bersama kekasih yang masih menempuh pendidikan S2 di negara luar.“Mama juga akan lama tinggal di Surabaya bulan depan. Kamu tahu kan kondisi kakekmu semakin memburuk,” adu Bu Siska pada putra satu-satunya itu.“Dengar Shahin, usia kamu sudah lewat dari tiga puluh tahun. Mama sudah kepingin menggendong cucu, apa kamu nggak kasihan sama mama?”Shahin merotasikan kedua mata saat mendengarkan kalimat itu dari ibunya. “Alasan kuno,” keluhnya sedikit geram.“Loh, memang betul kan. Kamu pikir harapan kami para orang tua terhadap anaknya itu apa? Selain melihat anak-anak mama hidupnya mapan, terjamin juga menghadirkan cucu yang lucu,” timpal Bu Siska.“Mama akan dapat cucu nanti dari Raisa."“Kamu jangan coba-coba ya,” decak Bu Siska, kali ini wanita berkisar usia lima puluh tahunan itu langsung melenggang pergi. Meninggalkan sang putra yang frustrasi setengah mati akibat kabar perjodohan yang semalam ia dengar.Sementara Alana semakin cengengesan, rasa tak sabar membuat dari dalam dadanya. Menyandang sebagai calon istri dari laki-laki yang dikagumi oleh para mahasiswi akan benar-benar membuat hidupnya semakin populer di kampus. Juga, tentu saja ini akan mengundang rasa iri untuk para gadis yang sering cari perhatian pada Shahin.“Kenapa kamu dari tadi senyam-senyum sendiri?” tegur Andre, kakak laki-laki Alana.Alana menoleh ke asal suara. “Ih, kakak ngapain sih!” gerutunya.“Dih, sakit ya?” cibir Andre.Mendengar ejekan kakaknya, Alana pun menyipitkan mata. “Sana pergi, ah!” usirnya.“Pasti lagi ngebayangin yang iya-iya,” ucap Andre kian sengaja menggoda sang adik.“Ih, pergi sana. Al aduin ke mama loh, ya,” ancam Alana sedikit cemberut.“Dah mau nikah masa dikit-dikit ngadu."“Biarin!” tukasnya. Jauh dalam hati Alana cukup malu sebab kepergok sedang tertawa dan salah tingkah sendiri. Jadi demi menutupinya, Alana pura-pura marah saja pada sang kakak yang entah kapan datangnya.Senja berlalu begitu saja, lambat laun langit yang benderang kini perlahan berganti kelam.Lampu-lampu di sisi jalanan mulai berpendar menjadi penerang meski sebagian telah redup sepenuhnya, dan Shahin, pria itu memukul-mukulkan tangannya ke kemudi. Rasa kesal yang ia rasa semakin menjalar.Memikirkan alasan macam apa lagi supaya rencana perjodohan yang sudah dirancang itu batal dan dirinya bisa segera melamar Raisa. Sang pacar yang masih menuntut ilmu di negara orang.“Gimana ini, Sa?” Erangnya pelan namun hatinya seperti dipenuhi ribuan jarum yang merajam.Dia pun lantas mengambil ponselnya yang ada di atas dahsboard kendaraan pribadinya. Tangannya lihai membuka folder photo di mana begitu banyak potret tentang Raisa yang sering sekali mengirimkan kabar untuknya sebagai penebus rindu dari temu yang tak kunjung memberi waktu.Keesokan harinya, Shahin merasa berat hati untuk pergi ke universitas. Apalagi dengan keadaan kacau seperti ini, memang sih tidak seharusnya mencampur adukkan masalah pribadi dan pekerjaan, tetapi ini masalah hati dan Shahin sudah tidak bisa berpikir jernih untuk ini.Ditambah Alana mengenyam pendidikan di tempat yang sama dengan dirinya, Shahin yang kesal takutnya jadi tambah kesal. Mengingat ekspresi yang Alana tunjukkan, reaksinya kelewat tenang malah tertunduk dengan bibir tersenyum simpul. Itu membuat Shahin menerka-nerka kalau Alana akan setuju dengan perjodohan mereka.Akan tetapi di putaran waktu kemudian. Entah setan apa yang hingga di pundak Shahin, sampai-sampai pria itu melebarkan senyumnya sendiri lalu bergegas ke meja kerjanya untuk membuka laptop dan mengetikkan sesuatu di sana, hingga tak berapa lama Shahin mengeprint itu menjadi lembaran yang kemudian ia tempeli dengan materai dan dengan langkah yang kelewat semangat, Shahin memutuskan untuk pergi ke kampus.[Kita harus ketemu di Cafe dekat kampus, tiga puluh menit lagi Kakak sampai, kamu tunggu dan pesan makanan atau minuman duluan, oke![ Shahin mengirimkan pesan pada Alana yang sekarang makin jingkrak-jingkrak nggak karuan.Tiga puluh meni berselang, sesuai permintaan Shahin kali ini Alana sudah duduk manis di tempatnya dan awalnya Shahin merasa keheranan sebab tidak biasanya gadis yang ia kenal sedari kecil itu bisa tepat waktu.“Ada apa, Kak?” tanya Alana mencoba menunjukkan sikap biasa saja. Padahal hatinya dag-dig-dug-der persis kembang api di malam tahun baru.“Kamu baca dan perhatikan ini baik-baik,” ujarnya seraya menyodorkan map pada Alana.“Ini ... apa, Kak?” tanyanya lagi dengan kening berkerut-kerut.“Kamu mau nikah sama saya, kan?” Shahin tiba-tiba membahasakan dirinya dengan kosa kata lain.Alana diam, ia semakin heran lantas membuka isi map tersebut dan membacanya pelan-pelan. Lalu, di detik berikutnya, mata Alana membulat sempurna, terkejut dengan deretan aksara yang dituliskan oleh Shahin di sana.“Apa-apaan ini, Kak?” Alana meninggikan suara.“Kita harus membuat perjanjian pernikahan Alana."“Tapi ini berlebihan,” protes gadis itu, wajahnya sudah menunjukkan reaksi berbeda sekarang.Akan tetapi Shahin malah menggelengkan kepalanya pelan, tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alana. Dan dengan ekspresi tenangnya, Shahin menarik kaca mata yang menempel di pangkal hidupnya yang mancung, ia kembali mematahkan kata-kata Alana.“Ini sudah pas, Alana."“Apa? Pas! Tidak saling bersentuhan selama dua tahun, Kakak bilang itu tidak berlebihan. Ck! Sangat idiot sekali wanita yang setuju dengan perjanjian bodoh itu," cibirnya seraya melipat kedua tangan di dadanya.“Apa kamu sedang mengata-ngatai dirimu sendiri, Alana?” ejek Shahin disertai senyum smrik dari sudut bibirnya.“Lebih baik Al jomblo seumur hidup dari pada diperlakukan seperti itu. Sangat tidak gentle sekali," rutuknya dengan tatap tak lagi menjadikan Shahin sebagai fokus utama.“Kamu hanya perlu tanda tangan di atas materai, lalu kita akan menikah, gampang bukan."“Nggak mau, Al akan adukan masalah ini ke tante Siska."“Silakan, tapi kamu harus ingat, masa depan kamu ada di tangan saya."“Oke, kalau gitu kakak saja yang bilang ke tante Siska kalau kita nggak jadi menikah.” Alana mendorong kursinya kasar sehingga mengundang bunyi derit kasar. Tanpa menoleh ke belakang gadis dengan balutan dress biru muda itu melenggang pergi disertai amarah dalam dadanya.Tidak pernah berpikir sejauh ini tentang seseorang yang ia anggap begitu baik akan melakukan ini padanyaApakah ia tidak cukup cantik dan menarik sampai tidak boleh bersentuhan jika kelak menikah nanti."Kamu di rumah?""Ya, tentu saja. Memang mau ke mana lagi.""Katanya mau menginap di rumah Andre."Alana menggeleng. "Nggak jadi, kejauhan. Aku bawa Kaelina pulang ke sini aja.""Oh!""Kakak tumben baru pulang?""Mmm, tadi pertemuannya agak telat.""Udah makan, belum?""Udah.""Oke.""Saya masuk dulu kalau gitu, gerah pingin mandi." Ucap Shahin lantas menggeser tungkai kaki dari hadapan Alana untuk menuju ke kamarnya.Alana mengangguk pelan, matanya kembali melihat nyala api kompor yang sedang merebus air untuknya membuat sereal. Ada helaan napas berat saat itu. Sedikit banyak, Alana berharap suaminya mau sedikit memerhatikan dirinya lagi. Semisal, bertanya seperti ia menanyakan perihal sisa kegiatannya hari ini. Dan tentang apa ia sudah makan atau belum.Sayang, Alana memang harus menelan bulat-bulat rasa kecewa lagi dan lagi. Tatkala harus sadar diri jika Shahin memang sudah berubah..Keesokan pagi, Shahin sudah siap-siap untuk pergi. Alana yang sedang membuat sarapan untuk Kaelina
"Kamu hari ini berangkat bareng saya," kata Shahin sewaktu Alana sudah berjalan mencapai pintu."Kok tumben?" tanya Alana keheranan."Satu arah, satu tempat," ujarnya beralasan."Kakak nggak takut mereka curiga?" Alana bertanya sekaligus mengingatkan suaminya itu."Saya nggak perlu takut, mereka sudah tahu sejak lama saya sering antar jemput kamu." Pungkasnya lantas meraih tas jinjing berisikan laptop dan dan beberapa berkas di sana."Ya, sudah. Ini, bukan aku yang minta, ya." Ucap Alana, lalu mengikuti Shahin yang berjalan mendahului dirinya.Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Alana sekarang. Bahkan perutnya terasa digelitiki ratusan kupu-kupu yang beterbangan di sana."Mimpi apa aku semalam?" Benaknya bertanya pada diri sendiri.Cuaca pagi ini, sangat cerah sekali. Matahari menyorot sempurna mengiringi perjalanan Alana dan Shahin menuju kampus. Meski keduanya saling diam, tetapi ekor mata Shahin diam-diam melirik sekilas pada Alana yang sedang membalas pesan."Pesan dari siapa?" Pri
"Kamu tidur di sana, saya biar tidur di bawah saja.""Di surat perjanjian tertulis, tidur di satu tempat yang sama, bukan di tempat berbeda.""Al.""Kakak mau ya, aku menghubungi Mama Siska, sekarang?"Shahin tidak menjawab, ia sudah sangat lelah berdebat bersama Alana. Terbukti, rahangnya kini terlihat mengeras disertai tatap mata menyipit tajam tertuju pada Alana, itu sudah bisa menyimpulkan bahwa kegeraman yang pria itu simpan telah melewati batas seharusnya.Dengan perasaan kesal, ia mendengkus napasnya kasar. Bantal yang sudah ia pegang pun ia simpan setengah melempar ke atas ranjang. Lalu, mengempaskan buntalan pinggulnya di antara busa empuk yang biasa ia kuasai sendiri, kini di sisi lain sudah ditempati oleh istrinya, Alana.Sejak pernikahan mereka, baru kali ini pasangan yang sudah dua bulan menikah itu berada dalam satu ruang sama untuk tidur selain kamar hotel tempo hari ketika Alana dan Shahin sah menjadi suami istri. Meski terlihat jelas Shahin tidak setuju, tapi Alana e
"Apa-apaan ini? Nggak, saya nggak setuju.""Ya, udah kalau nggak setuju. Aku juga nggak maksa, tapi jangan salahin aku kalau besok-besok mama kamu tahu kelakuan kamu." Kata Alana tetap tenang di tempat duduknya."Al, masih ada jalan lain, kan. Atau kita bisa mengganti syarat nomor lima dengan yang lain. Apa pun itu yang kamu mau," pujuk Shahin.Alana mencebikkan bibir, lalu kemudian menarik napas dalam-dalam. Sejenak, perhatiannya teralihkan oleh bunyi teko yang bersiul menandakan air sudah matang."Seingatku, sewaktu kemarin aku meminta surat perjanjian bikinan kakak sedikit direvisi. Kakak, menolak, bukan. Jadi, apa alasanku untuk mengubah berkas yang ada di tanganmu." Timpal Alana sembari beranjak dari kursi meja makan menuju kompor, untuk mematikan bara api yang menyala-nyala di sana.Mau tidak mau, Shahin bungkam untuk beberapa saat. Perkataan istrinya barusan, tentu saja membuat Shahin geram. Namun, tak memiliki alasan lagi untuk memperpanjang argumentasi yang jelas-jelas akan d
Shahin menatap tak percaya dengan apa yang ada di bawah kakinya sekarang. Potongan kertas yang berisikan surat perjanjian pernikahan kini berjatuhan tak berbentuk lagi.Usai itu, mata Shahin beralih pada Alana yang menatapnya bengis. Jelas saja, hatinya terlampau sakit menerima kenyataan pahit tentang adanya wanita lain yang tidak suaminya itu lepaskan kendati sudah menikahi dirinya. Parahnya lagi, perempuan yang masih menetap di luar negeri itu akan segera pulang dan meminta dinikahi oleh suaminya."Al, apa-apaan kamu?""Membuat surat perjanjian, aku juga bisa, Kak.""Tapi ini ... ""Aku akan membuat ulang surat itu seperti kemauanku sendiri, dan mulai detik ini surat perjanjian darimu, aku anggap batal." Pungkasnya dengan intonasi suara sangat serius."Al, nggak gini. Kita bisa bicarakan ini tanpa kamu harus merusak surat perjanjian itu.""Aku nggak mau tahu, kamu setuju dengan surat perjanjian baru atau akan kulaporkan kelakuanmu pada mama?""Al.""Oke. By!" Alana berlalu melewati
Hari minggu yang cerah, Shahin baru pulang dari lari pagi dan pria itu menemukan Alana sedang duduk di atas karpet dengan laptop terbuka juga beberapa tumpukan buku di ata meja."Ngapain kamu?" tanya Shahin.Alana melirik sekilas. "Main karet," jawabnya asal."Saya nanya serius, loh," protes Shahin."Ya lagian emangnya aku lagi apa? Harusnya kakak tahu sendiri dong." Pungkasnya."Ribet ngomong sama kamu." Ucapnya lantas melengos dari hadapan Alana.Di meja makan, sudah terhidang sarapan. Shahin yang awalnya hendak mandi, malah membelokkan langkah kaki menuju meja makan."Ini siapa yang masak?""Aku," sahut Alana."Memang kamu, bisa?""Kakak baru saja meragukan keahlianku," gerutu Alana sedikit menekuk wajah."Bukan begitu, selama mengenal kamu, saya belum pernah melihat kamu memasak," terang Shahin."Kakak, kan enggak dua puluh empat jam berada di sisiku, memerhatikanku. Memangnya aku anak manja yang bisanya menghambur-hamburkan uang milik orang tua. Cantik-cantik begini aku juga pun