Share

PGK 6

BAB 6

Gara-gara gak bisa nebeng. Aku harus berangkat naik angkot lalu pindah ke busway. Dua kali naik turun busway, barulah sampai halte dekat kampus.

Dari sini, jarak masih 200 meter. Itu baru sampai gerbang depannya saja, belum masuk fakultas.

Jam delapan lebih sepuluh menit, aku terengah-engah di depan ruang berpintu kaca buram. Mengatur napas sebelum masuk kelas.

Gara-gara Kak Daffa kurang asem, aku harus lari-larian begini.

Aku hati-hati membuka pintu. “Permisi, Prof.”

Lelaki beruban yang sebagian rambutnya sudah tak tumbuh itu menurunkan kaca mata. Dia sedang duduk di depan kelas. Melihat laptopnya dengan jarak begitu dekat. Sepertinya perkuliahan baru saja dimulai.

“Ka ... Karisa?”

“Klarisa, Prof.”

Prof Hendo melirik jam. “Anak sekarang, diberi toleransi sepuluh menit harus dimanfaatkan. Kau pikir itu diskon?” Pria itu kembali pada laptopnya.

Aku menghela napas lalu masuk dan duduk di kursi paling belakang.

Baru menghela napas panjang tiga kali, seseorang menyodorkan minum.

Aku menengok, kaget. Tumben ada yang perhatian. Tahu aja kalau aku kehausan.

Orang yang belakangan ini begitu kukagumi tersenyum ramah. “Kesiangan, ya?”

“Iya ... thanks.” Aku menerima air yang dia sodorkan.

“Tidak diantar kakak?”

“Enggak, dia sama pacarnya.”

“Besok juga gak diantar lagi?”

“Besok libur, ‘kan?”

“Eh, iya ... besoknya lagi?”

“Mungkin, enggak.”

“Boleh aku jemput?”

“Mau emang?”

“Kalau gak keberatan.”

“Enggak, lah.”

Andre tersenyum dan mengangguk. Aku punya feeling dia sedang pendekatan. Wah, tampaknya aku gak akan jomlo lagi.

“Sut!” Dia menunjuk depan dengan kerlingan mata. Baru sadar kalau tiga detik lalu kami cuma pandang-pandangan. Aku menunduk, kemudian membuka minum. Susah. Ternyata masih disegel.

Andre merebutnya dan membukakan lalu mengembalikannya lagi padaku. Bunga-bunga di sekelilingku terasa semakin banyak. Andre bukan cuma anak baik, tapi juga perhatian.

***

Meski diawali pagi yang berantakan, siangnya berjalan lancar. Malah, aku dapat kejutan lagi di sore harinya.

Setelah salat asar di masjid kampus. Aku dan beberapa teman duduk-duduk dulu di teras sambil membicarakan tugas.

Andre tiba-tiba menghampiri. “Risa, hari ini jadwal sampai jam berapa?” Dia berdiri sambil menggulung lengan kemeja sampai sikut.

“Sekarang, Dre. Kenapa?”

“Aku anter, ya, biar tahu rumah kamu.”

Cie ... cie ....” Mita dan Tania meledek. Mereka memang tahu kalau aku naksir Andre.

Diledek begitu Andre sepertinya tidak keberatan. Dia hanya menyungging senyum ramahnya.

“Boleh.”

“Tapi aku masih ada kumpulan. Nunggu, bisa?”

“Bisa lah, apa yang enggak buat Andre!” seru Mita.

Aku memukul lengan Mita. “Boleh, Dre. Gak masalah.”

“Oke, tunggu, ya. Sebentar, kok.”

Andre berlalu ke arah tempat wudu. Mita dan Tania memutuskan untuk pergi duluan. Aku duduk diam menunggu Andre sambil memainkan ponsel.

Di balik kaca masjid, terlihat Andre salat. Setelah itu dia ke sisi kiri masjid lalu berkumpul di sana dengan beberapa laki-laki. Sepertinya itu anak-anak LDK (Lembaga Dakwah Kampus), terlihat mereka memanjangkan janggut dan bercelana cingkrang. Andre tidak berpenampilan seperti mereka, dia biasa saja, tapi aku tahu dia baik.

“Lama, ya, Risa?” Andre mendekat dengan menjinjing ransel.

“Bentar, kok.”

“Pulang sekarang?”

“Yuk!”

Kami sama-sama pasang sepatu lalu berjalan beriringan menuju parkiran. Sepanjang jalan, dadaku berdebar tak biasa.

Dengan menggunakan motor matic, kami menerobos jalanan kota. Macet luar biasa. Meski motor sudah mepet-mepet, tetap saja berjalan lambat.

Andre menepi di sebuah warung bakso yang cukup besar. “Kita makan dulu, ya.”

“Boleh.”

“Atau kamu mau yang lain?”

“Enggak, ini aja.”

Aku turun. Buka helm lalu masuk warung bakso bersama Andre. Kami memilih kursi paling ujung. Andre mengambil dua teh botol dan membaginya denganku.

“Macet banget.”

“Iya, ih, parah.”

“Biasanya kalau pulang naik apa?”

“Busway.”

Andre membuka kacamatanya dan membersihkan dengan kain khusus. Tanpa benda itu, mata Andre terlihat lebih sayu, hidungnya kecil mancung. Dia tak kalah tampan dari Kak Daffa. Hanya saja, Kak Daffa sudah terlampau tua. Kalau Andre kan seusiaku.

“Kakak kamu marah gak kalau lihat aku anterin.”

“Enggak lah, ngapain.”

“Aku takut dia marah. Suka segan lihat kakak kamu.”

“Cuek aja, Dre.”

Makanan datang. Kami menghentikan obrolan. Fokus pada mangkuk masing-masing.

“Selain kakak kamu ada yang lain lagi gak yang marah.”

“Siapa? Gak ada.”

“Pacar.”

“Pacar gue di Korea. Ji Chang Wook. Tenang aja.”

Andre tersenyum. “Bukan BTS.”

“Itu pacar ke dua.” Aku menyuap bakso kecil.

“Kalau Kak Daffa, pacar bukan?”

Mendengar nama Kak Daffa, pikiranku melayang pada perkataannya tadi pagi. “Jaga anak kita.”

Ingatan itu memberi rasa tak nyaman. Membuat makanan yang sedang kutelan jadi salah jalan. Aku tersedak. Sakit sekali.

“Risa tidak apa-apa?” Andre membantu menepuk pundak.

Aku terbatuk-batuk.

“Minum!” serunya setelah cukup reda.

“Pertanyaanku buat gak nyaman, ya. Maaf.”

“Enggak masalah. Kok, kamu punya pikiran gitu, kenapa?”

“Beberapa kali kamu pernah diantar jemput sama dia, ‘kan?”

“Oh, dia cuma temen kakakku.”

“Kirain pacar.”

“Enggak lah.”

***

Aku datang di rumah jam lima. Kak Mandala ternyata sudah pulang. Lelaki itu berdiri di pintu. Mengawasi aku dan Andre.

Aku segera membuka helm. Andre tampak tak nyaman menyadari kehadiran Kak Mandala. Dia mengangguk hormat pada lelaki yang melipat tangan di dada itu. Kak Mandala membalasnya dengan menaikkan dua alis sekilas.

“Marah, ya, kakak kamu?”

“Enggak, dia emang gitu. Menyebalkan.”

“Ya udah, aku langsung pulang.”

“Hati-hati, Andre. Thanks, ya.”

“Sama-sama, Risa.”

Andre kembali menyusuri jalanan. Aku segera masuk rumah. Mendekati Kak Mandala yang berjaga di pintu.

“Siapa?”

“Temen.”

“Anak mana?”

“Mana gue tau.”

“Kenapa jam segini baru nyampe rumah?”

“Makan dulu tadi.”

“Pacaran, ya, lo?”

“Kagak, ih. Lagian kalo pacaran kenapa? Masalah? Andre itu anak baik-baik gak kayak lo.”

“Halah. Luarnya aja baik. Gue tarining dulu dia kalau lo mau pacaran.” Kak Mandala balik kanan. Masuk rumah.

“Jangan nyebelin gitu dong, Kak. Jomlo terus gue entar.”

“Bodo.”

“Ich!” Aku mengentakkan kaki. Punya abang satu saja menyebalkannya setengah mati.

Aku menyimpan barang-barang di kamar lalu melihat ruangan- ruangan di rumah. Kemudian ke gazebo.

“Kak Daffa mana, Ma?”

“Dia kan emang tidak ke sini, Sa.”

“Oh, ya. Gak jadi diusir?”

“Hus, apa sih?”

Hmmm, sepi juga gak ada Kak Daffa. Gak ada teman bercanda. Padahal tadinya mau kukasih perhitungan.

“Ngapain nyari Daffa? Kangen lo?”

“Amit-amit.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
kangen itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status