Gara-gara gak bisa nebeng. Aku harus berangkat naik angkot lalu pindah ke busway. Dua kali naik turun busway, barulah sampai halte dekat kampus.
Dari sini, jarak masih 200 meter. Itu baru sampai gerbang depannya saja, belum masuk fakultas.
Jam delapan lebih sepuluh menit, aku terengah-engah di depan ruang berpintu kaca buram. Mengatur napas sebelum masuk kelas.
Gara-gara Kak Daffa kurang asem, aku harus lari-larian begini.
Aku hati-hati membuka pintu. “Permisi, Prof.”
Lelaki beruban yang sebagian rambutnya sudah tak tumbuh itu menurunkan kaca mata. Dia sedang duduk di depan kelas. Melihat laptopnya dengan jarak begitu dekat. Sepertinya perkuliahan baru saja dimulai.
“Ka ... Karisa?”
“Klarisa, Prof.”
Prof Hendo melirik jam. “Anak sekarang, diberi toleransi sepuluh menit harus dimanfaatkan. Kau pikir itu diskon?” Pria itu kembali pada laptopnya.
Aku menghela napas lalu masuk dan duduk di kursi paling belakang.
Baru menghela napas panjang tiga kali, seseorang menyodorkan minum.
Aku menengok, kaget. Tumben ada yang perhatian. Tahu aja kalau aku kehausan.
Orang yang belakangan ini begitu kukagumi tersenyum ramah. “Kesiangan, ya?”
“Iya ... thanks.” Aku menerima air yang dia sodorkan.
“Tidak diantar kakak?”
“Enggak, dia sama pacarnya.”
“Besok juga gak diantar lagi?”
“Besok libur, ‘kan?”
“Eh, iya ... besoknya lagi?”
“Mungkin, enggak.”
“Boleh aku jemput?”
“Mau emang?”
“Kalau gak keberatan.”
“Enggak, lah.”
Andre tersenyum dan mengangguk. Aku punya feeling dia sedang pendekatan. Wah, tampaknya aku gak akan jomlo lagi.
“Sut!” Dia menunjuk depan dengan kerlingan mata. Baru sadar kalau tiga detik lalu kami cuma pandang-pandangan. Aku menunduk, kemudian membuka minum. Susah. Ternyata masih disegel.
Andre merebutnya dan membukakan lalu mengembalikannya lagi padaku. Bunga-bunga di sekelilingku terasa semakin banyak. Andre bukan cuma anak baik, tapi juga perhatian.
***
Meski diawali pagi yang berantakan, siangnya berjalan lancar. Malah, aku dapat kejutan lagi di sore harinya.
Setelah salat asar di masjid kampus. Aku dan beberapa teman duduk-duduk dulu di teras sambil membicarakan tugas.
Andre tiba-tiba menghampiri. “Risa, hari ini jadwal sampai jam berapa?” Dia berdiri sambil menggulung lengan kemeja sampai sikut.
“Sekarang, Dre. Kenapa?”
“Aku anter, ya, biar tahu rumah kamu.”
“Cie ... cie ....” Mita dan Tania meledek. Mereka memang tahu kalau aku naksir Andre.
Diledek begitu Andre sepertinya tidak keberatan. Dia hanya menyungging senyum ramahnya.
“Boleh.”
“Tapi aku masih ada kumpulan. Nunggu, bisa?”
“Bisa lah, apa yang enggak buat Andre!” seru Mita.
Aku memukul lengan Mita. “Boleh, Dre. Gak masalah.”
“Oke, tunggu, ya. Sebentar, kok.”
Andre berlalu ke arah tempat wudu. Mita dan Tania memutuskan untuk pergi duluan. Aku duduk diam menunggu Andre sambil memainkan ponsel.
Di balik kaca masjid, terlihat Andre salat. Setelah itu dia ke sisi kiri masjid lalu berkumpul di sana dengan beberapa laki-laki. Sepertinya itu anak-anak LDK (Lembaga Dakwah Kampus), terlihat mereka memanjangkan janggut dan bercelana cingkrang. Andre tidak berpenampilan seperti mereka, dia biasa saja, tapi aku tahu dia baik.
“Lama, ya, Risa?” Andre mendekat dengan menjinjing ransel.
“Bentar, kok.”
“Pulang sekarang?”
“Yuk!”
Kami sama-sama pasang sepatu lalu berjalan beriringan menuju parkiran. Sepanjang jalan, dadaku berdebar tak biasa.
Dengan menggunakan motor matic, kami menerobos jalanan kota. Macet luar biasa. Meski motor sudah mepet-mepet, tetap saja berjalan lambat.
Andre menepi di sebuah warung bakso yang cukup besar. “Kita makan dulu, ya.”
“Boleh.”
“Atau kamu mau yang lain?”
“Enggak, ini aja.”
Aku turun. Buka helm lalu masuk warung bakso bersama Andre. Kami memilih kursi paling ujung. Andre mengambil dua teh botol dan membaginya denganku.
“Macet banget.”
“Iya, ih, parah.”
“Biasanya kalau pulang naik apa?”
“Busway.”
Andre membuka kacamatanya dan membersihkan dengan kain khusus. Tanpa benda itu, mata Andre terlihat lebih sayu, hidungnya kecil mancung. Dia tak kalah tampan dari Kak Daffa. Hanya saja, Kak Daffa sudah terlampau tua. Kalau Andre kan seusiaku.
“Kakak kamu marah gak kalau lihat aku anterin.”
“Enggak lah, ngapain.”
“Aku takut dia marah. Suka segan lihat kakak kamu.”
“Cuek aja, Dre.”
Makanan datang. Kami menghentikan obrolan. Fokus pada mangkuk masing-masing.
“Selain kakak kamu ada yang lain lagi gak yang marah.”
“Siapa? Gak ada.”
“Pacar.”
“Pacar gue di Korea. Ji Chang Wook. Tenang aja.”
Andre tersenyum. “Bukan BTS.”
“Itu pacar ke dua.” Aku menyuap bakso kecil.
“Kalau Kak Daffa, pacar bukan?”
Mendengar nama Kak Daffa, pikiranku melayang pada perkataannya tadi pagi. “Jaga anak kita.”
Ingatan itu memberi rasa tak nyaman. Membuat makanan yang sedang kutelan jadi salah jalan. Aku tersedak. Sakit sekali.
“Risa tidak apa-apa?” Andre membantu menepuk pundak.
Aku terbatuk-batuk.
“Minum!” serunya setelah cukup reda.
“Pertanyaanku buat gak nyaman, ya. Maaf.”
“Enggak masalah. Kok, kamu punya pikiran gitu, kenapa?”
“Beberapa kali kamu pernah diantar jemput sama dia, ‘kan?”
“Oh, dia cuma temen kakakku.”
“Kirain pacar.”
“Enggak lah.”
***
Aku datang di rumah jam lima. Kak Mandala ternyata sudah pulang. Lelaki itu berdiri di pintu. Mengawasi aku dan Andre.
Aku segera membuka helm. Andre tampak tak nyaman menyadari kehadiran Kak Mandala. Dia mengangguk hormat pada lelaki yang melipat tangan di dada itu. Kak Mandala membalasnya dengan menaikkan dua alis sekilas.
“Marah, ya, kakak kamu?”
“Enggak, dia emang gitu. Menyebalkan.”
“Ya udah, aku langsung pulang.”
“Hati-hati, Andre. Thanks, ya.”
“Sama-sama, Risa.”
Andre kembali menyusuri jalanan. Aku segera masuk rumah. Mendekati Kak Mandala yang berjaga di pintu.
“Siapa?”
“Temen.”
“Anak mana?”
“Mana gue tau.”
“Kenapa jam segini baru nyampe rumah?”
“Makan dulu tadi.”
“Pacaran, ya, lo?”
“Kagak, ih. Lagian kalo pacaran kenapa? Masalah? Andre itu anak baik-baik gak kayak lo.”
“Halah. Luarnya aja baik. Gue tarining dulu dia kalau lo mau pacaran.” Kak Mandala balik kanan. Masuk rumah.
“Jangan nyebelin gitu dong, Kak. Jomlo terus gue entar.”
“Bodo.”
“Ich!” Aku mengentakkan kaki. Punya abang satu saja menyebalkannya setengah mati.
Aku menyimpan barang-barang di kamar lalu melihat ruangan- ruangan di rumah. Kemudian ke gazebo.
“Kak Daffa mana, Ma?”
“Dia kan emang tidak ke sini, Sa.”
“Oh, ya. Gak jadi diusir?”
“Hus, apa sih?”
Hmmm, sepi juga gak ada Kak Daffa. Gak ada teman bercanda. Padahal tadinya mau kukasih perhitungan.
“Ngapain nyari Daffa? Kangen lo?”
“Amit-amit.”
BAB 7Rabu pagi. Aku sudah melihat pemandangan tak mengenakkan. Rencana meeting hari ini harusnya jam sepuluh, tapi Natasya dan Mita sudah datang dari jam delapan.Lihatlah! Mita sibuk curi perhatian sama Mama. Dia bantuin buat kue segala. Kalau Natasya sibuk deketin Kak Mandala. Mereka lagi nyanyi-nyanyi berdua di belakang.Kesel kalau lihat Kak Mandala didekati cewek-cewek. Ini bukan hanya berlaku sekarang, tapi dari dulu. Semua teman yang dekat denganku bukan semata-mata ingin berteman, tapi ingin kenal sama kakakku.Heran. Kenapa Kak Mandala laku banget, tapi aku enggak. Padahal kan pengin dikejar-kejar cowok juga.Pesona Kak Mandala bukan hanya terlihat di mata teman-teman saja, tapi di mata keluarga juga. Setiap ada perkumpulan keluarga yang jadi perhatian ya Kak Mandala. Dia ditanya ini itu, kalau aku dicuekin. Enggak tahu kenapa. Perasaan aku gak jelek-jelek amat.Jam sepuluh, suasana mulai baik. Andre datang. Kami pun bisa serius mendiskusikan projek, tapi itu hanya berlaku s
BAB 8Saat tersadar, aku sedang berbaring di sofa hitam. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil mencoba duduk.Aku berada di ruang luas berdinding granit putih. Di belakang tempatku duduk ada jendela lebar tertutup tirai tipis. Sedikit sekali furnitur di ruang ini. Hanya ada lemari panjang menghiasi sisi kanan, tingginya tak lebih dari satu meter, bunga dan beberapa guci kecil menghiasi bagian atasnya. Empat sofa membentuk huruf U. Lampu kristal menggantung di tengahnya. Harum pewangi ruangan menyegarkan.Dua laki-laki bertubuh besar berdiri membelakangi. Mereka bersiaga di dekat pintu. Pakaiannya hitam-hitam, serupa bodyguard di film-film.Ah, baru ingat. Tadi sepertinya aku diculik. Tapi siapa yang melakukan ini? “Hai, kalian! Tidak salah membawaku ke tempat ini.” Aku coba mengorek informasi.Sekilas tadi berpikir, jika aku diculik mafia perdagangan manusia. Biasanya disekap di gudang-gudang, tapi ini bukan gudang, ini ruangan mewah.“Diam!” Suara bariton itu dingin. Dia hanya
BAB 9Malam yang gerah. Kipas angin berputar ke kanan dan kiri. Mama sedang membaca di ruang tamu. Kak Mandala terdengar memainkan piano di kamarnya. Tak perlu heran jika setiap waktu kakakku itu bermain musik. Selain hobi, dia juga bekerja sebagai sound effect di perusahaan media. Sering kali dia mengarang lagu untuk iklan, berita, atau yang lainnya.Aku mendekati Mama. Jarang-jarang beliau santai begini, biasanya kalau sedang ada pesanan kue, sampai malam menghabiskan waktu di dapur.“Ma, tadi aku ketemu sama papinya Kak Daffa.”“Kok, bisa ketemu. Ketemu di mana?”“Di rumahnya, tadi pulang sama Kak Daffa, mampir dulu ke rumahnya.” Aku mengarang cerita. Gak mungkin jujur diculik karena pura-pura hamil.“Dia bilang apa?” Mama masih fokus sama bukunya.”“Dia bahas papa, katanya papa orang yang jujur dan bijak.”Mama melepas kacamata lalu melihat bola lampu. Wanita yang tubuhnya seukuran denganku ini seperti sedang menerawang jauh.“Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggal
BAB 10Mobil yang sudah dimodifikasi ini terlihat lebih mewah isinya. Aksesoris lengkap dengan kursi yang pastinya nyaman. Selain Om Handri, ada dua pria berseragam hitam di dalam sini.“Om pangling lihat kamu. Kirain tadi bukan Klarisa.”Aku melihat kerudung sendiri. Baru sadar kalau penampilan berbeda.Aku mengangguk dan tersenyum. Benak sibuk berpikir, mau apa Om Handri berkunjung ke rumah? Jangan-jangan naksir Mama.“Rajin sekali kamu, hari minggu masih sempat-sempatnya galang dana.”“Bukan kerajinan Om, emang gak ada kerjaan.”“Bukannya istirahat, cape kan setiap hari kuliah.”“Ah, kuliah cape apa, Om. Yang ada sok sibuk aja. Hehe ….”Om Handri ikut tertawa ringan. Sepanjang obrolan dia lebih banyak tersenyum.Pria dengan gestur berwibawa ini melirik kembali. “Daffa sering main ke rumahmu?”“Cukup sering.”“Beberapa hari lalu menginap di rumahmu bukan?”“Om, tahu?”“Tentu … menurutmu seperti apa Daffa?”“Kak Daffa baik, meski terlihat nakal dan sering bikin ulah.”Om Handri menga
BAB 11Kak Daffa diam. Pria berkemeja hitam yang dua kancingnya terbuka ini hanya melihat jalanan depan sekolah dengan tatapan kosong. Dia bersandar pada kursi. Sebelah tangannya di belakang kepala.Dari semerawut tampilannya, tidak akan ada orang yang menyangka dia anak pemilik perusahaan multimedia, bahkan pada salah satu chanel televisi tersemat namanya, “DaffaTv”. Dia lebih terlihat seperti karyawan biasa yang kerjaannya kabur-kaburan di jam kerja. Apa lagi dibilang santri, sungguh tak ada muka santri sama sekali.Ponsel terasa bergetar di dalam tas. Sambil menunggu Kak Daffa kembali bicara, aku merogoh dan membuka pesan masuk.Andre:[Mr. Richard sudah masuk kelas, kamu tidak kelihatan. Di mana?]Aku mengetik balasan cepat, tapi urung mengirim karena Kak Daffa kembali bicara.“Hidup gue ada di telunjuk papi.” Kak Daffa mengacungkan telunjuk. “Di sini.” Dia menatap ujung telunjuknya. “Gue harus ikut semua yang dia tentukan. Gue bukan anak. Gue kacungnya dia.“Gue mengawali hari be
Aku menghela napas. Apa yang Kak Daffa katakan memang benar. Selama ini Kak Mandala sibuk menafkahi keluarga.Aku jadi teringat bagaimana manusia dingin itu menghabiskan masa remajanya. Papa pergi saat dia kelas dua SMA. Habisnya uang pesangon dan harta berharga lainnya, membuat kami jatuh miskin. Mama memang pernah membuka usaha kue, katering, warung kelontong, jual pakaian, tapi semua bangkrut. Pada akhirnya Mama hanya jadi tukang cuci gosok.Cukup? Tentu tidak. Rumah kami yang besar itu, untuk air dan listrik saja mungkin habis sejutaan.Pernah ada wacana untuk menjual rumah dan kami semua pindah ke kampung Mama, tapi beliau terlalu berat dan kami juga tidak mau meninggalkan Jakarta. Akhirnya, hidup seadanya.Selama hidup sulit itu Kak Mandala tidak pernah meminta uang pada Mama. SMA sampai kuliah dia pakai uang sendiri. Dari mana uangnya? Ini yang unik.Di Jakarta ini, banyak siswa yang orang tuanya kaya banget. Kak Mandala yang punya wajah cukup oke mendekati mereka. Memacari lal
BAB 12Hari semakin sore, mata kuliah Mr. Richard pasti sudah berakhir. Aku tidak kembali lagi ke kampus. Kak Daffa langsung mengantarkan ke rumah.Setiap detik aku memikirkan tawaran Kak Daffa. Mau setuju, berat. Mau dilepas juga sayang.“Jangan dulu bilang apa-apa sama Mandala. Takutnya dia malah semakin nolak kalau tahu lo mau nerima ini karena gak mau nyusahin dia,” kata Kak Daffa di perjalanan. Aku tidak mendebat, hanya mengiyakan saja.Tiba di rumah. Langsung beres-beres seperti biasa. Bantu Mama ini itu. Magrib. Terus makan malam.Saat Kak Mandala sibuk dengan rutinitasnya dan Mama mulai istirahat, aku mendekati Mama.“Ma.” Aku membuka pintu kamar Mama.“Risa. Ada apa?” tanya Mama yang sedang memakai krim wajah.Aku duduk di kasur. Mengawasi wanita berdaster yang tengah menggosok wajahnya dengan gerak memutar di depan meja rias.“Menurut Mama, apa Kak Mandala sudah ingin menikah?”“Usia Mandala sekarang sudah 28 tahun, sebentar lagi 29. Wajar kalau sudah ingin menikah. Apa kaka
Pagi, siang, sore di hari Sabtu, aku terus mempertimbangkan tawaran Kak Daffa. Sambil nyiram bunga, sambil beres-beres, sambil makan, bahkan sambil nonton drakor. Yang kupikirkan hanya itu saja.Terlintas dalam benak, bagaimana di usia ini harus menikah lalu menjadi seorang istri dari lelaki yang kuanggap kakak sendiri. Tinggal sekamar. Berdua. Tiga bulan lamanya. Mau ngapain aja?Ah, ngapain, kek. Yang penting dia udah janji gak akan ngapa-ngapain. Aku-nya juga ogah. Kalau dia melanggar janji, aku tinggal bilang Om Handri.“Heh! Budeg, ya. Itu hape bunyi dari tadi!” Kak Mandala melotot ke arah ponsel yang tergeletak di sampingku.Aku memperbaiki poni lalu mengambil ponsel.“Nonton TV kek nonton apa sampe gak kedengeran.” Lelaki dingin itu lanjut mengomel.Terlihat panggilan dari Andre di layar ponsel.“Ya, Dre.”“Asalamualaikum, Risa.”“Wa’alaikumusalam.”“Malam ini ada acara enggak?”“Enggak. Kenapa?”“Kalau aku ajak jalan mau enggak?”“Hah?” Aku yang sedang duduk selonjoran di karp