Share

PGK 8

BAB 8

Saat tersadar, aku sedang berbaring di sofa hitam. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil mencoba duduk.

Aku berada di ruang luas berdinding granit putih. Di belakang tempatku duduk ada jendela lebar tertutup tirai tipis. Sedikit sekali furnitur di ruang ini. Hanya ada lemari panjang menghiasi sisi kanan, tingginya tak lebih dari satu meter, bunga dan beberapa guci kecil menghiasi bagian atasnya. Empat sofa membentuk huruf U. Lampu kristal menggantung di tengahnya. Harum pewangi ruangan menyegarkan.

Dua laki-laki bertubuh besar berdiri membelakangi. Mereka bersiaga di dekat pintu. Pakaiannya hitam-hitam, serupa bodyguard di film-film.

Ah, baru ingat. Tadi sepertinya aku diculik. Tapi siapa yang melakukan ini?

 “Hai, kalian! Tidak salah membawaku ke tempat ini.” Aku coba mengorek informasi.

Sekilas tadi berpikir, jika aku diculik mafia perdagangan manusia. Biasanya disekap di gudang-gudang, tapi ini bukan gudang, ini ruangan mewah.

“Diam!” Suara bariton itu dingin. Dia hanya melirik tanpa menengok.

“Ish.” Aku memeriksa tangan, bahkan tidak ada satu pun ikatan.

Pintu tinggi berukiran unik terbuka. Dua orang wanita berseragam merah muda masuk. Mereka membawa nampan berisi buah-buahan dan air.

Pelayan itu berlutut di lantai lalu menyimpan suguhan pada meja kaca di hadapanku.

“Buat aku ini, Mba?”

“Iya, Nona.”

“Eh, Nona?” Aku mengernyit. “BTW, ada racunnya gak?”

“Tidak ada, Nona. Semua higienis.”

“Gak percaya. Coba kamu makan dulu!”

Dua pekerja itu saling lirik.

“Makan saja!” Pria paruh baya berperut besar menghampiri. Dia memakai batik dan celana hitam. Gayanya seperti pejabat-pejabat. Ayunan sepatu mengkilatnya menimbulkan suara tuk ... tuk ... tuk!

Para pekerja itu mengambil anggur dan memakannya di depanku. Tidak terjadi apa-apa, mereka baik-baik saja. Kemudian mereka mencicipi mangga, jeruk, dan apel.

“Kamu percaya makanan ini tidak beracun?” tanya pria yang kini mengisi salah satu sofa.

Aku mengawasi penampilannya. Sepertinya kenal. Siapa, ya?

Sejenak berpikir. Ah, baru ingat. Bapak ini Om Handri, bokapnya Kak Daffa. Berarti dia yang menculikku. Mungkin sekarang saatnya aku berakting?

Aku mengangkat satu kaki naik sofa lalu mengambil anggur dan memakannya.

“Om, yang culik saya ke sini?” Aku bicara sambil mengunyah.

Aku jamin, belum lima menit pasti diusir.

“Kamu pacar, Daffa?”

“Hmmm ... udah sebulan kita jadian.” Aku melihat-lihat sekeliling. Aman gak ini? Gak akan diapa-apain kan kalau aku buat ulah?

“Kamu hamil?” tanyanya. Tatapan tertuju pada perut.

“Oh, ini, hahahaha ... iya. Saya hamil udah dua bulan, Om.”

“Dua bulan?” Pria paruh baya itu mengernyit.

Duh, maaf om, aku kerjain.

Akting kali ini terasa durhaka sekali karena mengerjai orang tua.

Seorang wanita berpenampilan sosialita datang bergabung. Duduk di samping bokapnya Kak Daffa. Itu Tante Sovia yang dulu ketemu di mall.

“Ah, iya, Om. Hamil saya udah dua bulan. Sebenarnya gak tau ini anaknya Rudi, Anton, atau Diki, tapi Kak Daffa katanya mau tanggung jawab. Om tak perlu khawatir. Anak ini pasti bisa jadi pewaris perusahaan. Saya gak akan nolak ... sungguh.”

Tante Sovia melotot. Dari keningnya yang mengernyit tegang, aku tahu ini berhasil.

Aku kembali mengambil anggur. Mengunyahnya cepat lalu membersihkan gigi dari kulit anggur yang menempel. Jangankan orang lain, aku pun ingin muntah berperan seperti ini.

Om Handri menunduk lalu kembali melihatku dengan tersenyum. “Klarisa Bunga Atmaja. Kamu dari keluarga Atmaja, bukan?”

Aku terlonjak kaget. Jantungku ini mungkin sudah jatuh kalau buatan manusia. Untung ciptaan Tuhan, jadi masih bertahan di tempatnya meski terasa ada entakkan.

Loh, kok, dia tahu nama lengkapku. Mana pake embel-embel Atmaja pula.

Aku segera memperbaiki duduk. Merapatkan kedua paha. Anggur yang masih di tangan kukembalikan pada tempatnya.

“Kok, Om, tahu?” Nada bicaraku jelas beda 180 derajat.

“Siapa yang tidak tahu keluarga Atmaja. Keluarga terhormat yang selalu menjaga nama baik. Menjunjung tinggi kejujuran, tak pernah tertarik pada kekayaan. Bramono Atmaja nama ayahmu, bukan?”

Aku tersenyum malu. “Hehe, iya, Om. Om tahu?” Kalau udah gini gimana lagi mau akting, nama baik keluarga yang utama.

“Mertuaku dulu selalu memuji namanya. Ayahmu itu orang yang bijak dan jujur. Dia yang menciptakan nama bersih perusahaan. Tanpa korupsi, kolusi, dan nepotisme.”

Semakin tinggi Om Handri memuji nama Papa, aku semakin menunduk malu.

“Apa kabar Raida?”

“Ha?” Aku terperangah. Dia tahu nama ibuku juga.

“Raida ibu kamu, bukan?”

“Oh, em ... baik, Om.”

“Sudah menikah lagi belum?”

“Papi, ih!” Tante Sovia memukul lengan suaminya. “Orang lagi interogasi anaknya malah nanya ibunya.”

“I-ini hanya basa-basi, Ma.”

“Fokus saja sama anaknya tak perlu tanya-tanya ibunya.”

“Baiklah, baiklah.” Om Handri kembali melihatku.

Aku menggeleng. “Mama belum nikah lagi, Om.”

“Ternyata dia masih setia.”

“Sudah, ih, jangan terus muji-muji janda!” Tante Sovia kembali memukul lengan Om Handri.

“Iya, Ma. Iya ... ini papi mau ganti topik.”

“Lagi serius malah kecentilan.” Tante Sovia mengumpat sambil memainkan kepalanya.

“Jadi, kamu betul hamil?”

“Hehehe ... ini, Om. Hamil dua ekor lele. Heeheeee.” Aku tersenyum semanis mungkin.

“Sudah saya duga. Jadi, kalian tidak pernah berbuat macam-macam, ‘kan?”

Aku menggeleng.

“Makan lagi anggurnya!”

Aku tersenyum lagi. “Enggak, Om.”

Tengsin. Parah! Tadi aku arogan sekarang malah ciut. Andai bisa membuat lubang, mungkin aku sudah menyembunyikan diri. Mukaku jadi panas saking malunya.

Tante Sovia menatapku dengan sorot tak suka. Aku menunduk semakin dalam.

Seorang laki-laki mendekati Om Handri. Dia ke belakang sofa lalu membisikan sesuatu.

“Biarkan dia masuk,” ucap Om Handri kemudian.

Pengawal berseragam itu kembali pergi, detik kemudian seseorang yang amat kukenal datang dengan langkah tergesa sambil bertolak pinggang. Dia berhenti tepat di depan meja.

“Harus pake tukang pukul hanya untuk manggil seorang wanita?!” Kak Daffa berteriak. Ekspresinya tegang dengan sorot penuh amarah.

“Papi minta maaf itu hanya—”

“Hanya pengecut!”

“Daffa! Papi hanya ingin kamu menikah.” Om Handri berdiri.

Kak Daffa menarik tanganku.

“Kembalikan mami ke hadapanku! Maka, jangankan hanya menikah, nyawa pun aku serahkan padamu!”

Kak Daffa menarikku untuk pergi meninggalkan ruangan. Dalam langkah tergesa, aku sempatkan menunduk pamit pada Om Handri. Sempat kulihat senyumnya tersungging sebelum kami melewati pintu.

Pria tinggi ini menggenggam tanganku erat. Kami berjalan di sepanjang  lorong berdinding mengilat lalu menuruni tangga. Aku baru sadar, ternyata ini rumah Om Handri, alias rumah Kak Daffa.

Mobil biru terparkir di halaman. Kak Daffa memintaku masuk. Menit kemudian, kami sudah meninggalkan rumah tiga lantai itu.

“Kamu gak apa-apa?” Suaranya terdengar lebih lembut. Jauh dibanding tadi. Seumur hidup, aku baru melihat Kak Daffa semarah itu. Di rumah kami, dia terkenal hangat dan supel.

“Enggak, kok, Kak.”

“Diapain tadi?”

“Enggak diapa-apain, sih. Cuma diculik pake obat bius gitu.”

“Keterlaluan si tua bangka itu!”

“Gak apa-apa, kok, Kak. Gue baik-baik aja, tadi Om ngajak ngobrolnya juga enak.”

“Ke mana si kacamata? Kenapa gak diantar dia?”

“Ish. Dia punya nama. Andre!”

“Iyalah, Andre si kacamata.”

“Ck!” Aku meruncingkan bibir. “Dia masih ada jadwal.”

“Hm ....”

Kak Daffa diam cukup lama. Terlihat sekali dia masih meredam marah.

“Kak, masih marah?”

“Ngomong apa aja si tua bangka?”

Aku menghela napas. Gitu banget ngomong sama orang tua. Dari perbincangan tadi sepertinya Om Handri baik, dia ramah dan sopan.

Kuceritakan semua obrolan tadi dengan runut. “Jadi, gue gagal akting kali ini.”

Kak Daffa melirik lalu mengacak rambut bagian ubun-ubunku. “Gak apa-apa, yang penting lo gak kenapa-napa.”

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Thusi Husna
ribet amat mau baca pake prabayar dulu,g KY yg lainy
goodnovel comment avatar
Niena Rahman
penasaran...
goodnovel comment avatar
Deshy Ratnasary Unda Cipa
penasarannnn..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status