Saat tersadar, aku sedang berbaring di sofa hitam. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil mencoba duduk.
Aku berada di ruang luas berdinding granit putih. Di belakang tempatku duduk ada jendela lebar tertutup tirai tipis. Sedikit sekali furnitur di ruang ini. Hanya ada lemari panjang menghiasi sisi kanan, tingginya tak lebih dari satu meter, bunga dan beberapa guci kecil menghiasi bagian atasnya. Empat sofa membentuk huruf U. Lampu kristal menggantung di tengahnya. Harum pewangi ruangan menyegarkan.
Dua laki-laki bertubuh besar berdiri membelakangi. Mereka bersiaga di dekat pintu. Pakaiannya hitam-hitam, serupa bodyguard di film-film.
Ah, baru ingat. Tadi sepertinya aku diculik. Tapi siapa yang melakukan ini?
“Hai, kalian! Tidak salah membawaku ke tempat ini.” Aku coba mengorek informasi.
Sekilas tadi berpikir, jika aku diculik mafia perdagangan manusia. Biasanya disekap di gudang-gudang, tapi ini bukan gudang, ini ruangan mewah.
“Diam!” Suara bariton itu dingin. Dia hanya melirik tanpa menengok.
“Ish.” Aku memeriksa tangan, bahkan tidak ada satu pun ikatan.
Pintu tinggi berukiran unik terbuka. Dua orang wanita berseragam merah muda masuk. Mereka membawa nampan berisi buah-buahan dan air.
Pelayan itu berlutut di lantai lalu menyimpan suguhan pada meja kaca di hadapanku.
“Buat aku ini, Mba?”
“Iya, Nona.”
“Eh, Nona?” Aku mengernyit. “BTW, ada racunnya gak?”
“Tidak ada, Nona. Semua higienis.”
“Gak percaya. Coba kamu makan dulu!”
Dua pekerja itu saling lirik.
“Makan saja!” Pria paruh baya berperut besar menghampiri. Dia memakai batik dan celana hitam. Gayanya seperti pejabat-pejabat. Ayunan sepatu mengkilatnya menimbulkan suara tuk ... tuk ... tuk!
Para pekerja itu mengambil anggur dan memakannya di depanku. Tidak terjadi apa-apa, mereka baik-baik saja. Kemudian mereka mencicipi mangga, jeruk, dan apel.
“Kamu percaya makanan ini tidak beracun?” tanya pria yang kini mengisi salah satu sofa.
Aku mengawasi penampilannya. Sepertinya kenal. Siapa, ya?
Sejenak berpikir. Ah, baru ingat. Bapak ini Om Handri, bokapnya Kak Daffa. Berarti dia yang menculikku. Mungkin sekarang saatnya aku berakting?
Aku mengangkat satu kaki naik sofa lalu mengambil anggur dan memakannya.
“Om, yang culik saya ke sini?” Aku bicara sambil mengunyah.
Aku jamin, belum lima menit pasti diusir.
“Kamu pacar, Daffa?”
“Hmmm ... udah sebulan kita jadian.” Aku melihat-lihat sekeliling. Aman gak ini? Gak akan diapa-apain kan kalau aku buat ulah?
“Kamu hamil?” tanyanya. Tatapan tertuju pada perut.
“Oh, ini, hahahaha ... iya. Saya hamil udah dua bulan, Om.”
“Dua bulan?” Pria paruh baya itu mengernyit.
Duh, maaf om, aku kerjain.
Akting kali ini terasa durhaka sekali karena mengerjai orang tua.
Seorang wanita berpenampilan sosialita datang bergabung. Duduk di samping bokapnya Kak Daffa. Itu Tante Sovia yang dulu ketemu di mall.
“Ah, iya, Om. Hamil saya udah dua bulan. Sebenarnya gak tau ini anaknya Rudi, Anton, atau Diki, tapi Kak Daffa katanya mau tanggung jawab. Om tak perlu khawatir. Anak ini pasti bisa jadi pewaris perusahaan. Saya gak akan nolak ... sungguh.”
Tante Sovia melotot. Dari keningnya yang mengernyit tegang, aku tahu ini berhasil.
Aku kembali mengambil anggur. Mengunyahnya cepat lalu membersihkan gigi dari kulit anggur yang menempel. Jangankan orang lain, aku pun ingin muntah berperan seperti ini.
Om Handri menunduk lalu kembali melihatku dengan tersenyum. “Klarisa Bunga Atmaja. Kamu dari keluarga Atmaja, bukan?”
Aku terlonjak kaget. Jantungku ini mungkin sudah jatuh kalau buatan manusia. Untung ciptaan Tuhan, jadi masih bertahan di tempatnya meski terasa ada entakkan.
Loh, kok, dia tahu nama lengkapku. Mana pake embel-embel Atmaja pula.
Aku segera memperbaiki duduk. Merapatkan kedua paha. Anggur yang masih di tangan kukembalikan pada tempatnya.
“Kok, Om, tahu?” Nada bicaraku jelas beda 180 derajat.
“Siapa yang tidak tahu keluarga Atmaja. Keluarga terhormat yang selalu menjaga nama baik. Menjunjung tinggi kejujuran, tak pernah tertarik pada kekayaan. Bramono Atmaja nama ayahmu, bukan?”
Aku tersenyum malu. “Hehe, iya, Om. Om tahu?” Kalau udah gini gimana lagi mau akting, nama baik keluarga yang utama.
“Mertuaku dulu selalu memuji namanya. Ayahmu itu orang yang bijak dan jujur. Dia yang menciptakan nama bersih perusahaan. Tanpa korupsi, kolusi, dan nepotisme.”
Semakin tinggi Om Handri memuji nama Papa, aku semakin menunduk malu.
“Apa kabar Raida?”
“Ha?” Aku terperangah. Dia tahu nama ibuku juga.
“Raida ibu kamu, bukan?”
“Oh, em ... baik, Om.”
“Sudah menikah lagi belum?”
“Papi, ih!” Tante Sovia memukul lengan suaminya. “Orang lagi interogasi anaknya malah nanya ibunya.”
“I-ini hanya basa-basi, Ma.”
“Fokus saja sama anaknya tak perlu tanya-tanya ibunya.”
“Baiklah, baiklah.” Om Handri kembali melihatku.
Aku menggeleng. “Mama belum nikah lagi, Om.”
“Ternyata dia masih setia.”
“Sudah, ih, jangan terus muji-muji janda!” Tante Sovia kembali memukul lengan Om Handri.
“Iya, Ma. Iya ... ini papi mau ganti topik.”
“Lagi serius malah kecentilan.” Tante Sovia mengumpat sambil memainkan kepalanya.
“Jadi, kamu betul hamil?”
“Hehehe ... ini, Om. Hamil dua ekor lele. Heeheeee.” Aku tersenyum semanis mungkin.
“Sudah saya duga. Jadi, kalian tidak pernah berbuat macam-macam, ‘kan?”
Aku menggeleng.
“Makan lagi anggurnya!”
Aku tersenyum lagi. “Enggak, Om.”
Tengsin. Parah! Tadi aku arogan sekarang malah ciut. Andai bisa membuat lubang, mungkin aku sudah menyembunyikan diri. Mukaku jadi panas saking malunya.
Tante Sovia menatapku dengan sorot tak suka. Aku menunduk semakin dalam.
Seorang laki-laki mendekati Om Handri. Dia ke belakang sofa lalu membisikan sesuatu.
“Biarkan dia masuk,” ucap Om Handri kemudian.
Pengawal berseragam itu kembali pergi, detik kemudian seseorang yang amat kukenal datang dengan langkah tergesa sambil bertolak pinggang. Dia berhenti tepat di depan meja.
“Harus pake tukang pukul hanya untuk manggil seorang wanita?!” Kak Daffa berteriak. Ekspresinya tegang dengan sorot penuh amarah.
“Papi minta maaf itu hanya—”
“Hanya pengecut!”
“Daffa! Papi hanya ingin kamu menikah.” Om Handri berdiri.
Kak Daffa menarik tanganku.
“Kembalikan mami ke hadapanku! Maka, jangankan hanya menikah, nyawa pun aku serahkan padamu!”
Kak Daffa menarikku untuk pergi meninggalkan ruangan. Dalam langkah tergesa, aku sempatkan menunduk pamit pada Om Handri. Sempat kulihat senyumnya tersungging sebelum kami melewati pintu.
Pria tinggi ini menggenggam tanganku erat. Kami berjalan di sepanjang lorong berdinding mengilat lalu menuruni tangga. Aku baru sadar, ternyata ini rumah Om Handri, alias rumah Kak Daffa.
Mobil biru terparkir di halaman. Kak Daffa memintaku masuk. Menit kemudian, kami sudah meninggalkan rumah tiga lantai itu.
“Kamu gak apa-apa?” Suaranya terdengar lebih lembut. Jauh dibanding tadi. Seumur hidup, aku baru melihat Kak Daffa semarah itu. Di rumah kami, dia terkenal hangat dan supel.
“Enggak, kok, Kak.”
“Diapain tadi?”
“Enggak diapa-apain, sih. Cuma diculik pake obat bius gitu.”
“Keterlaluan si tua bangka itu!”
“Gak apa-apa, kok, Kak. Gue baik-baik aja, tadi Om ngajak ngobrolnya juga enak.”
“Ke mana si kacamata? Kenapa gak diantar dia?”
“Ish. Dia punya nama. Andre!”
“Iyalah, Andre si kacamata.”
“Ck!” Aku meruncingkan bibir. “Dia masih ada jadwal.”
“Hm ....”
Kak Daffa diam cukup lama. Terlihat sekali dia masih meredam marah.
“Kak, masih marah?”
“Ngomong apa aja si tua bangka?”
Aku menghela napas. Gitu banget ngomong sama orang tua. Dari perbincangan tadi sepertinya Om Handri baik, dia ramah dan sopan.
Kuceritakan semua obrolan tadi dengan runut. “Jadi, gue gagal akting kali ini.”
Kak Daffa melirik lalu mengacak rambut bagian ubun-ubunku. “Gak apa-apa, yang penting lo gak kenapa-napa.”
BAB 9Malam yang gerah. Kipas angin berputar ke kanan dan kiri. Mama sedang membaca di ruang tamu. Kak Mandala terdengar memainkan piano di kamarnya. Tak perlu heran jika setiap waktu kakakku itu bermain musik. Selain hobi, dia juga bekerja sebagai sound effect di perusahaan media. Sering kali dia mengarang lagu untuk iklan, berita, atau yang lainnya.Aku mendekati Mama. Jarang-jarang beliau santai begini, biasanya kalau sedang ada pesanan kue, sampai malam menghabiskan waktu di dapur.“Ma, tadi aku ketemu sama papinya Kak Daffa.”“Kok, bisa ketemu. Ketemu di mana?”“Di rumahnya, tadi pulang sama Kak Daffa, mampir dulu ke rumahnya.” Aku mengarang cerita. Gak mungkin jujur diculik karena pura-pura hamil.“Dia bilang apa?” Mama masih fokus sama bukunya.”“Dia bahas papa, katanya papa orang yang jujur dan bijak.”Mama melepas kacamata lalu melihat bola lampu. Wanita yang tubuhnya seukuran denganku ini seperti sedang menerawang jauh.“Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggal
BAB 10Mobil yang sudah dimodifikasi ini terlihat lebih mewah isinya. Aksesoris lengkap dengan kursi yang pastinya nyaman. Selain Om Handri, ada dua pria berseragam hitam di dalam sini.“Om pangling lihat kamu. Kirain tadi bukan Klarisa.”Aku melihat kerudung sendiri. Baru sadar kalau penampilan berbeda.Aku mengangguk dan tersenyum. Benak sibuk berpikir, mau apa Om Handri berkunjung ke rumah? Jangan-jangan naksir Mama.“Rajin sekali kamu, hari minggu masih sempat-sempatnya galang dana.”“Bukan kerajinan Om, emang gak ada kerjaan.”“Bukannya istirahat, cape kan setiap hari kuliah.”“Ah, kuliah cape apa, Om. Yang ada sok sibuk aja. Hehe ….”Om Handri ikut tertawa ringan. Sepanjang obrolan dia lebih banyak tersenyum.Pria dengan gestur berwibawa ini melirik kembali. “Daffa sering main ke rumahmu?”“Cukup sering.”“Beberapa hari lalu menginap di rumahmu bukan?”“Om, tahu?”“Tentu … menurutmu seperti apa Daffa?”“Kak Daffa baik, meski terlihat nakal dan sering bikin ulah.”Om Handri menga
BAB 11Kak Daffa diam. Pria berkemeja hitam yang dua kancingnya terbuka ini hanya melihat jalanan depan sekolah dengan tatapan kosong. Dia bersandar pada kursi. Sebelah tangannya di belakang kepala.Dari semerawut tampilannya, tidak akan ada orang yang menyangka dia anak pemilik perusahaan multimedia, bahkan pada salah satu chanel televisi tersemat namanya, “DaffaTv”. Dia lebih terlihat seperti karyawan biasa yang kerjaannya kabur-kaburan di jam kerja. Apa lagi dibilang santri, sungguh tak ada muka santri sama sekali.Ponsel terasa bergetar di dalam tas. Sambil menunggu Kak Daffa kembali bicara, aku merogoh dan membuka pesan masuk.Andre:[Mr. Richard sudah masuk kelas, kamu tidak kelihatan. Di mana?]Aku mengetik balasan cepat, tapi urung mengirim karena Kak Daffa kembali bicara.“Hidup gue ada di telunjuk papi.” Kak Daffa mengacungkan telunjuk. “Di sini.” Dia menatap ujung telunjuknya. “Gue harus ikut semua yang dia tentukan. Gue bukan anak. Gue kacungnya dia.“Gue mengawali hari be
Aku menghela napas. Apa yang Kak Daffa katakan memang benar. Selama ini Kak Mandala sibuk menafkahi keluarga.Aku jadi teringat bagaimana manusia dingin itu menghabiskan masa remajanya. Papa pergi saat dia kelas dua SMA. Habisnya uang pesangon dan harta berharga lainnya, membuat kami jatuh miskin. Mama memang pernah membuka usaha kue, katering, warung kelontong, jual pakaian, tapi semua bangkrut. Pada akhirnya Mama hanya jadi tukang cuci gosok.Cukup? Tentu tidak. Rumah kami yang besar itu, untuk air dan listrik saja mungkin habis sejutaan.Pernah ada wacana untuk menjual rumah dan kami semua pindah ke kampung Mama, tapi beliau terlalu berat dan kami juga tidak mau meninggalkan Jakarta. Akhirnya, hidup seadanya.Selama hidup sulit itu Kak Mandala tidak pernah meminta uang pada Mama. SMA sampai kuliah dia pakai uang sendiri. Dari mana uangnya? Ini yang unik.Di Jakarta ini, banyak siswa yang orang tuanya kaya banget. Kak Mandala yang punya wajah cukup oke mendekati mereka. Memacari lal
BAB 12Hari semakin sore, mata kuliah Mr. Richard pasti sudah berakhir. Aku tidak kembali lagi ke kampus. Kak Daffa langsung mengantarkan ke rumah.Setiap detik aku memikirkan tawaran Kak Daffa. Mau setuju, berat. Mau dilepas juga sayang.“Jangan dulu bilang apa-apa sama Mandala. Takutnya dia malah semakin nolak kalau tahu lo mau nerima ini karena gak mau nyusahin dia,” kata Kak Daffa di perjalanan. Aku tidak mendebat, hanya mengiyakan saja.Tiba di rumah. Langsung beres-beres seperti biasa. Bantu Mama ini itu. Magrib. Terus makan malam.Saat Kak Mandala sibuk dengan rutinitasnya dan Mama mulai istirahat, aku mendekati Mama.“Ma.” Aku membuka pintu kamar Mama.“Risa. Ada apa?” tanya Mama yang sedang memakai krim wajah.Aku duduk di kasur. Mengawasi wanita berdaster yang tengah menggosok wajahnya dengan gerak memutar di depan meja rias.“Menurut Mama, apa Kak Mandala sudah ingin menikah?”“Usia Mandala sekarang sudah 28 tahun, sebentar lagi 29. Wajar kalau sudah ingin menikah. Apa kaka
Pagi, siang, sore di hari Sabtu, aku terus mempertimbangkan tawaran Kak Daffa. Sambil nyiram bunga, sambil beres-beres, sambil makan, bahkan sambil nonton drakor. Yang kupikirkan hanya itu saja.Terlintas dalam benak, bagaimana di usia ini harus menikah lalu menjadi seorang istri dari lelaki yang kuanggap kakak sendiri. Tinggal sekamar. Berdua. Tiga bulan lamanya. Mau ngapain aja?Ah, ngapain, kek. Yang penting dia udah janji gak akan ngapa-ngapain. Aku-nya juga ogah. Kalau dia melanggar janji, aku tinggal bilang Om Handri.“Heh! Budeg, ya. Itu hape bunyi dari tadi!” Kak Mandala melotot ke arah ponsel yang tergeletak di sampingku.Aku memperbaiki poni lalu mengambil ponsel.“Nonton TV kek nonton apa sampe gak kedengeran.” Lelaki dingin itu lanjut mengomel.Terlihat panggilan dari Andre di layar ponsel.“Ya, Dre.”“Asalamualaikum, Risa.”“Wa’alaikumusalam.”“Malam ini ada acara enggak?”“Enggak. Kenapa?”“Kalau aku ajak jalan mau enggak?”“Hah?” Aku yang sedang duduk selonjoran di karp
BAB 13Bersama dengan bulatnya keputusan, perlahan aku menjauhi Andre. Kasihan dia kalau sampai punya perasaan lalu aku tiba-tiba menikah.Jujur, aku juga berat melakukan ini, tapi harus bagaimana lagi.Pagi hari, aku melarang Andre menjemput dengan alasan akan diantar Kak Mandala. Sorenya aku beralasan akan dijemput Kak Daffa. Ini bukan bohong, tapi sekalian menghindar juga.Mobil biru itu sudah mendekati kampus jam lima sore. Aku yang memang sudah menunggunya langsung masuk. Melepas tas dan memasang sabuk.“Apa kabar, calon istri?”“Kurang baik, calon suami.”Kak Daffa tertawa mendengar balasan panggilanku.“Kenapa kurang baik?” tanyanya bersama mobil yang melaju.“Enggak enak banget musti jauhi Andre. Kemaren kita malam mingguan, loh.”“Wah? Sudah jadian?”“Kagak. Beruntung juga ya belum jadian, kalau udah, dilema berat gue.”“Baru pacar. Lagian apa sih yang lo lihat dari dia. Muka pas-pasan, duit pas-pasan.”“Yeeey ... namanya suka.”Aku memicing. “Cemburu lo, ya, Kak? Andre kan b
“Jadi, lo mau mempermainkan pernikahan. Lo harusnya tahu hukumnya kayak gimana.”“Gak akan ada yang mempermainkan pernikahan, Mandala. Kita akan menikah secara sah sesuai agama dan negara.”“Terus motif lo di belakang ini?”“Itu perjanjian atas asas pertimbangan. Ini seperti perjodohan. Nikah kita sah meski ada keterpaksaan di dalamnya. Masalah perjanjian tiga bulan itu, gue ambil sebagai solusi untuk menjaga marwah Klarisa agar tidak merugi di kemudian hari.”“Pinter lo mempermainkan hukum. Lo memang menjanjikan apa sampai dia mau?”“Apa yang dia mau.” Kak Daffa mengangkat pundak.“Murahan banget gue punya adek.”“Gue kan belajar dari lo, Kak. Yang penting gak jual diri. Gue masih mending lah gak morotin cowok. Gue juga pengin kali, bantu perekonomian keluarga. Masa repotin lo mulu. Kebetulan aja kerjaannya gak berat.”“Siap lo jadi janda?”“Gak masalah. Udah gue pikirkan.”“Kalau dalam tiga bulan ini lo malah jatuh cinta sama Daffa, tapi dia ninggalin lo gimana?”“Gue gak akan jatu