Rabu pagi. Aku sudah melihat pemandangan tak mengenakkan. Rencana meeting hari ini harusnya jam sepuluh, tapi Natasya dan Mita sudah datang dari jam delapan.
Lihatlah! Mita sibuk curi perhatian sama Mama. Dia bantuin buat kue segala. Kalau Natasya sibuk deketin Kak Mandala. Mereka lagi nyanyi-nyanyi berdua di belakang.
Kesel kalau lihat Kak Mandala didekati cewek-cewek. Ini bukan hanya berlaku sekarang, tapi dari dulu. Semua teman yang dekat denganku bukan semata-mata ingin berteman, tapi ingin kenal sama kakakku.
Heran. Kenapa Kak Mandala laku banget, tapi aku enggak. Padahal kan pengin dikejar-kejar cowok juga.
Pesona Kak Mandala bukan hanya terlihat di mata teman-teman saja, tapi di mata keluarga juga. Setiap ada perkumpulan keluarga yang jadi perhatian ya Kak Mandala. Dia ditanya ini itu, kalau aku dicuekin. Enggak tahu kenapa. Perasaan aku gak jelek-jelek amat.
Jam sepuluh, suasana mulai baik. Andre datang. Kami pun bisa serius mendiskusikan projek, tapi itu hanya berlaku setengah jam. Karena setengah jam kemudian, Kak Daffa datang.
Pria yang memakai celana jeans dan kaus hitam bertuliskan salah satu brand mahal itu mendekati gazebo. Kaca mata hitam menggantung di kerah bajunya. Kedatangan Kak Daffa sontak menarik perhatian Mita dan Natasya.
“Hai, Kak Daffa.”
“Woi.” Pria itu bertumpu telapak pada tiang gazebo. “Lagi ngapain kalian?”
“Meeting, Kak,” jelas Andre sopan.
Kak Daffa mencondongkan badan. Melihat Andre lebih dekat. “Cowok idaman lo, Sa?” katanya sambil mendorong pundakku.
Kurang asem. Ngomong depan orangnya. Mau ditaruh mana mukaku.
“Mulutmu itu, Kak. Udah sana pergi!”
Bukannya pergi, dia malah ikut duduk di ujung gazebo. Sebelah kakinya melipat, sebelahnya lagi menjuntai ke bawah. Dia mengambil berkas-berkas yang ada di tengah-tengah kami.
“Ini tugas yang lo bilang kemarin?” Dia mengacungkan lembaran itu.
“Yaps.”
“Sampah ini!” serunya sambil membuang.
“Harus gimana dong, Kak? Kasih ide.” Natasya menatap dengan binar di kedua netranya.
Kak Daffa mulai menjelaskan ide. Bicara mendominasi. Dia mau menyandingkan perbedaan kehidupan dalam rentang waktu 100 tahun. Lokasi zaman dulu akan diambil di Badui.
Idenya cukup menarik. Anak-anak merespons suka. Andre menambahkan satu dua gagasannya.
Selanjutnya Kak Daffa dan Andre saling diskusi. Aku dan dua cewek lain, sibuk mencatat.
“Keren ini,” seloroh Mita.
“Dramanya juga menarik, jadi kelihatan gak menggurui, iya gak, sih?” timpal Natasya.
“Yang mau jadi pemeran utamanya siapa?” Aku melirik semua.
“Kak Daffa aja sama Kak Mandala.” Mita bicara penuh semangat.
“No! Jangan gue. Apa lagi Mandala. Sekali kita nongol di kamera, besoknya kita jadi artis.”
“Preetttt. Sok ngartis.” Aku menjulurkan lidah.
“Heh, kacamata. Lo aja!” Dia menunjuk Andre dengan sorot mata songong. Gak sopan banget.
“Aku demam kamera, Kak.”
“Kalau gitu yang di sini paling cantik ajalah.” Dua iris hitam Kak Daffa mengawasi aku, Mita, dan Natasya.
Aku tersenyum manis. Dua kali mengedipkan mata. Berharap dibilang cantik maksudnya.
“Nama lo siapa?” Mata Kak Daffa menunjuk Natasya.
Enggak tahu kenapa aku jadi kesel banget dengernya. Perasaan cantikkan gue, deh.
“Aku, Kak?” Natasya menunjuk diri sendiri dengan begitu bangga. “Natasya.”
“Nah, lo aja.”
“Yes, dibilang cantik sama Kak Daffa.”
“Ya, lumayanlah.”
Ih. Lebay.
“Sudah, ‘kan? Gue pinjem dulu Risa kalau gitu.” Dia berdiri sambil memasukkan ponsel ke dalam kantong celana.
“Ngapain, Kak?”
“Ada yang penting, sini dulu bentar!” Dia jalan mendahului. Masuk ke dalam rumah.
Aku cepat turun dari gazebo. Memakai sandal dan mengikutinya.
Kak Daffa berhenti di teras depan.
“Masalah apa?”
Pria itu menggaruk pelipisnya dengan ujung jari. “Bokap gue keknya nyariin lo, Sa.”
“Ha? Terus.”
Kak Daffa merangkul pundakku lalu bicara pelan. “Kalau lo ketemu bokap gue, terus dia tanya-tanya masalah kehamilan, lo jawab sesukanya. Apa kek. Yang penting dia empet sama lo. Lo, kan, paling pinter bikin orang lain kesel.”
Aku menimbang. Kalau bikin orang lain kesel, sih, mudah. Dari pada ngaku-ngaku hamil terus malah dikejar-kejar.
“Ada duitnya kagak?”
“Ada. Tenang.”
“Oke. Gampang itu, sih.”
“Lo bisa?”
“Kecil.”
“Itu baru ade gue.” Kak Daffa mengacak rambut atasku. Aku kembali merapikan dengan gelengan.
“Mau, dia?” Kak Mandala keluar. Duduk di kursi teras.
“Mau.”
“Awas jangan bawa-bawa nama gue. Bisa dipecat gue entar.”
“Biarin. Mau gue bilang sekalian yang kemarin itu skenario lo.”
Kak Mandala kepanikan. Dia sampai berdiri dari duduknya. “Heh, jangan main-main lo, Risa!”
Aku melenggang ke pintu rumah lalu menjulurkan lidah.
“Gak gue bayar kuliah lo entar.”
“Bodo!” Aku berlalu tak peduli. Kapan lagi buat Kak Mandala sedikit berekspresi.
***
Aku dan Andre merekap hasil diskusi di laptop masing-masing. Mita dan Natasya membantu Mama menyiapkan makan siang.
Beberapa menit kami fokus input data. Kipas angin yang berputar di atas kami mampu menurunkan suhu Jakarta yang luar biasa panasnya.
“Papa kamu ke mana, Sa?” Andre tiba-tiba bicara.
“Udah gak ada.”
“O,. maaf.”
“Gak apa-apa, kok.”
“Bapakku juga gak ada. Jadi, harus berjuang sendiri untuk mencari ilmu.” Tatapan Andre berpindah dari laptop ke jajaran tanaman sayuran. Dia terlihat menerawang jauh.
“Udah meninggal juga?”
“Bukan. Nikah lagi. Mungkin lebih tepatnya ganti istri.”
Setahuku, Andre ini memang anak dari luar Jakarta. Dia kuliah di sini karena beasiswa.
“Aku malu sama kamu. Kamu bisa dapat beasiswa, aku masih ngandelin kakak.”
“Kalau biasa gue lo gak apa-apa gak perlu pake aku kamu. Malah kelihatan kaku.” Andre menyungging senyum manis.
Aku duduk. Senyumannya membuatku malu.
“Enak, ya, kalau punya kakak baik, ada tanggung jawabnya sama adek.”
Aku mengangguk setuju. Serese apa pun kakakku dia cowok yang bertanggung jawab.
Andre kembali melihat laptopnya. “Risa, aku kirim email. Nanti kamu tinggal lengkapi naskahnya. Coba dicek.”
Aku membuka email yang dikirim Andre. “Ini udah ada.”
Andre mendekati layar laptopku. “Ini contoh. Ini yang harus kamu buat. Gak susah, kok. Gampang.”
“Hm ... oke, oke.”
“Aku balik, ya, kalo gitu.” Andre mengemasi barangnya.
“Loh, mama sama anak-anak lagi nyiapin makan tau.”
“Makasih, tapi aku ada urusan lain. Besok aku jemput, ya.” Andre sudah memasang ranselnya. Dia turun siap meninggalkan gazebo.
“Makan dulu padahal, Dre.” Aku mengekor.
“Sorry banget. Kapan-kapan, ya.”
Andre pamitan pada Mama dan anak-anak lalu langsung menuju motornya. Aku mengikuti. Mengantar sampai depan rumah.
Pria berkaca mata itu memperbaiki ranselnya lalu memakai helm.
“Heh, anak mana lo?” Kak Mandala tiba-tiba nongol.
Andre melihat Kak Mandala dengan sorot sungkan lalu melirikku.
“Saya tinggal dekat kampus, Kak. Ngekos.”
“Suka lo sama adek gue?”
Andre melihatku lagi dan hanya diam.
“Pacaran kalian?” Kak Mandala terus bertanya mengintimidasi.
“Apaan sih, Kak? Udah sana!” Aku mendorong Kak Mandala.
Aku bukan tak laku, tapi kalau ada yang deketin, ya gini. Suka diisengin Kak Mandala.
“Kita gak pacaran, Kak. Pacaran dilarang agama!” seru Andre.
Kak Daffa yang berdiri agak jauh tertawa terbahak-bahak. Dia melipat tangan di dada sambil bersandar pada dinding rumah. “Heh, kacamata. Lo pikir boncengan ma Risa gak dilarang agama? Parah lo. Alim nanggung-nanggung.”
“Itu nolong temen, Kak.”
Andre sepertinya terpojok. Aku mendorong Kak Mandala untuk terus menjauh. Bisa-bisa jomlo sampai tua kalau begini terus. “Udah sana, ih. Maaf, ya, Andre.”
“Gak apa, Risa.”
Aku terus menarik Kak Mandala sampai masuk rumah. “Lo nyebelin, Mandala!”
“Gue nolongin lo biar gak patah hati.”
“Lo bikin gebetan gue pergi!”
“Kalau baru digituin kapok, berarti dia gak serius.”
“Tahu ah! Gue bete sama lo.” Aku berlari ke kamar. Membanting pintu dan segera menguncinya. Abis itu memukuli guling sambil nangis.
“Mandala ... nyebelin banget!”
***
Feeling-ku udah jelek. Andre pasti gak jadi jemput. Dia mungkin gak akan deketin lagi. Aku juga marahan sama Kak Mandala jadi gak bakal nebeng.
Saat sedang memakai sepatu di depan rumah, tiba-tiba sebuah motor matic berhenti. “Risa, sudah siap?”
“Andre?” Aku terpana lalu tersenyum.
“Aku gak terlambat, ‘kan?”
“Pas banget aku baru mau berangkat.”
“Syukurlah, ayo!”
Aku langsung berlari dan naik motor Andre. Tanpa ba bi bu, dia segera tancap gas.
“Maafin kakakku kemarin, ya, Dre.”
“Gak apa. Itu bentuk sayang kakak ke adek.”
“Serius, kamu bisa maklum?”
“Iya.”
Pagi yang macet hari ini terasa berbeda. Seperti ada pelangi di sepanjang jalan yang kami lewati. Yes, gak jadi patah hati.
***
Pulangnya, aku gak bareng Andre karena dia masih ada jadwal. Sementara jadwalku sudah selesai dari tengah hari.
Aku menyusuri trotoar untuk sampai di halte terdekat. Panas matahari jam dua sangat menyengat. Jalanan lebar penuh dengan kendaraan. Menambah tingkat kepanasan kota ini.
Sebuah mobil hitam berhenti di bahu jalan. Jaraknya sekitar satu meter di depanku.
Benak bertanya, siapa yang berhenti di pinggir jalan seenaknya? Apa dia mau diderek Dishub?
Pintu mobil bergeser. Empat pria berpakaian hitam turun. Tubuh mereka tinggi besar, berotot.
Mereka langsung mengapitku. Memegang lengan kanan dan kiri.
“Heh, ngapain kalian?”
“Ikut kami!”
“Enggak. Heh, mau dibawa ke mana gue. Heh!” Aku berontak. Percuma. Tenaga tak sebanding. Dengan mudah, aku dizinjing masuk ke dalam mobil.
“Tolong ... tolong! Tol—”
Kain yang ditempelkan ke hidung membuat kepala pusing dan pandangan jadi kabur.
BAB 8Saat tersadar, aku sedang berbaring di sofa hitam. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil mencoba duduk.Aku berada di ruang luas berdinding granit putih. Di belakang tempatku duduk ada jendela lebar tertutup tirai tipis. Sedikit sekali furnitur di ruang ini. Hanya ada lemari panjang menghiasi sisi kanan, tingginya tak lebih dari satu meter, bunga dan beberapa guci kecil menghiasi bagian atasnya. Empat sofa membentuk huruf U. Lampu kristal menggantung di tengahnya. Harum pewangi ruangan menyegarkan.Dua laki-laki bertubuh besar berdiri membelakangi. Mereka bersiaga di dekat pintu. Pakaiannya hitam-hitam, serupa bodyguard di film-film.Ah, baru ingat. Tadi sepertinya aku diculik. Tapi siapa yang melakukan ini? “Hai, kalian! Tidak salah membawaku ke tempat ini.” Aku coba mengorek informasi.Sekilas tadi berpikir, jika aku diculik mafia perdagangan manusia. Biasanya disekap di gudang-gudang, tapi ini bukan gudang, ini ruangan mewah.“Diam!” Suara bariton itu dingin. Dia hanya
BAB 9Malam yang gerah. Kipas angin berputar ke kanan dan kiri. Mama sedang membaca di ruang tamu. Kak Mandala terdengar memainkan piano di kamarnya. Tak perlu heran jika setiap waktu kakakku itu bermain musik. Selain hobi, dia juga bekerja sebagai sound effect di perusahaan media. Sering kali dia mengarang lagu untuk iklan, berita, atau yang lainnya.Aku mendekati Mama. Jarang-jarang beliau santai begini, biasanya kalau sedang ada pesanan kue, sampai malam menghabiskan waktu di dapur.“Ma, tadi aku ketemu sama papinya Kak Daffa.”“Kok, bisa ketemu. Ketemu di mana?”“Di rumahnya, tadi pulang sama Kak Daffa, mampir dulu ke rumahnya.” Aku mengarang cerita. Gak mungkin jujur diculik karena pura-pura hamil.“Dia bilang apa?” Mama masih fokus sama bukunya.”“Dia bahas papa, katanya papa orang yang jujur dan bijak.”Mama melepas kacamata lalu melihat bola lampu. Wanita yang tubuhnya seukuran denganku ini seperti sedang menerawang jauh.“Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggal
BAB 10Mobil yang sudah dimodifikasi ini terlihat lebih mewah isinya. Aksesoris lengkap dengan kursi yang pastinya nyaman. Selain Om Handri, ada dua pria berseragam hitam di dalam sini.“Om pangling lihat kamu. Kirain tadi bukan Klarisa.”Aku melihat kerudung sendiri. Baru sadar kalau penampilan berbeda.Aku mengangguk dan tersenyum. Benak sibuk berpikir, mau apa Om Handri berkunjung ke rumah? Jangan-jangan naksir Mama.“Rajin sekali kamu, hari minggu masih sempat-sempatnya galang dana.”“Bukan kerajinan Om, emang gak ada kerjaan.”“Bukannya istirahat, cape kan setiap hari kuliah.”“Ah, kuliah cape apa, Om. Yang ada sok sibuk aja. Hehe ….”Om Handri ikut tertawa ringan. Sepanjang obrolan dia lebih banyak tersenyum.Pria dengan gestur berwibawa ini melirik kembali. “Daffa sering main ke rumahmu?”“Cukup sering.”“Beberapa hari lalu menginap di rumahmu bukan?”“Om, tahu?”“Tentu … menurutmu seperti apa Daffa?”“Kak Daffa baik, meski terlihat nakal dan sering bikin ulah.”Om Handri menga
BAB 11Kak Daffa diam. Pria berkemeja hitam yang dua kancingnya terbuka ini hanya melihat jalanan depan sekolah dengan tatapan kosong. Dia bersandar pada kursi. Sebelah tangannya di belakang kepala.Dari semerawut tampilannya, tidak akan ada orang yang menyangka dia anak pemilik perusahaan multimedia, bahkan pada salah satu chanel televisi tersemat namanya, “DaffaTv”. Dia lebih terlihat seperti karyawan biasa yang kerjaannya kabur-kaburan di jam kerja. Apa lagi dibilang santri, sungguh tak ada muka santri sama sekali.Ponsel terasa bergetar di dalam tas. Sambil menunggu Kak Daffa kembali bicara, aku merogoh dan membuka pesan masuk.Andre:[Mr. Richard sudah masuk kelas, kamu tidak kelihatan. Di mana?]Aku mengetik balasan cepat, tapi urung mengirim karena Kak Daffa kembali bicara.“Hidup gue ada di telunjuk papi.” Kak Daffa mengacungkan telunjuk. “Di sini.” Dia menatap ujung telunjuknya. “Gue harus ikut semua yang dia tentukan. Gue bukan anak. Gue kacungnya dia.“Gue mengawali hari be
Aku menghela napas. Apa yang Kak Daffa katakan memang benar. Selama ini Kak Mandala sibuk menafkahi keluarga.Aku jadi teringat bagaimana manusia dingin itu menghabiskan masa remajanya. Papa pergi saat dia kelas dua SMA. Habisnya uang pesangon dan harta berharga lainnya, membuat kami jatuh miskin. Mama memang pernah membuka usaha kue, katering, warung kelontong, jual pakaian, tapi semua bangkrut. Pada akhirnya Mama hanya jadi tukang cuci gosok.Cukup? Tentu tidak. Rumah kami yang besar itu, untuk air dan listrik saja mungkin habis sejutaan.Pernah ada wacana untuk menjual rumah dan kami semua pindah ke kampung Mama, tapi beliau terlalu berat dan kami juga tidak mau meninggalkan Jakarta. Akhirnya, hidup seadanya.Selama hidup sulit itu Kak Mandala tidak pernah meminta uang pada Mama. SMA sampai kuliah dia pakai uang sendiri. Dari mana uangnya? Ini yang unik.Di Jakarta ini, banyak siswa yang orang tuanya kaya banget. Kak Mandala yang punya wajah cukup oke mendekati mereka. Memacari lal
BAB 12Hari semakin sore, mata kuliah Mr. Richard pasti sudah berakhir. Aku tidak kembali lagi ke kampus. Kak Daffa langsung mengantarkan ke rumah.Setiap detik aku memikirkan tawaran Kak Daffa. Mau setuju, berat. Mau dilepas juga sayang.“Jangan dulu bilang apa-apa sama Mandala. Takutnya dia malah semakin nolak kalau tahu lo mau nerima ini karena gak mau nyusahin dia,” kata Kak Daffa di perjalanan. Aku tidak mendebat, hanya mengiyakan saja.Tiba di rumah. Langsung beres-beres seperti biasa. Bantu Mama ini itu. Magrib. Terus makan malam.Saat Kak Mandala sibuk dengan rutinitasnya dan Mama mulai istirahat, aku mendekati Mama.“Ma.” Aku membuka pintu kamar Mama.“Risa. Ada apa?” tanya Mama yang sedang memakai krim wajah.Aku duduk di kasur. Mengawasi wanita berdaster yang tengah menggosok wajahnya dengan gerak memutar di depan meja rias.“Menurut Mama, apa Kak Mandala sudah ingin menikah?”“Usia Mandala sekarang sudah 28 tahun, sebentar lagi 29. Wajar kalau sudah ingin menikah. Apa kaka
Pagi, siang, sore di hari Sabtu, aku terus mempertimbangkan tawaran Kak Daffa. Sambil nyiram bunga, sambil beres-beres, sambil makan, bahkan sambil nonton drakor. Yang kupikirkan hanya itu saja.Terlintas dalam benak, bagaimana di usia ini harus menikah lalu menjadi seorang istri dari lelaki yang kuanggap kakak sendiri. Tinggal sekamar. Berdua. Tiga bulan lamanya. Mau ngapain aja?Ah, ngapain, kek. Yang penting dia udah janji gak akan ngapa-ngapain. Aku-nya juga ogah. Kalau dia melanggar janji, aku tinggal bilang Om Handri.“Heh! Budeg, ya. Itu hape bunyi dari tadi!” Kak Mandala melotot ke arah ponsel yang tergeletak di sampingku.Aku memperbaiki poni lalu mengambil ponsel.“Nonton TV kek nonton apa sampe gak kedengeran.” Lelaki dingin itu lanjut mengomel.Terlihat panggilan dari Andre di layar ponsel.“Ya, Dre.”“Asalamualaikum, Risa.”“Wa’alaikumusalam.”“Malam ini ada acara enggak?”“Enggak. Kenapa?”“Kalau aku ajak jalan mau enggak?”“Hah?” Aku yang sedang duduk selonjoran di karp
BAB 13Bersama dengan bulatnya keputusan, perlahan aku menjauhi Andre. Kasihan dia kalau sampai punya perasaan lalu aku tiba-tiba menikah.Jujur, aku juga berat melakukan ini, tapi harus bagaimana lagi.Pagi hari, aku melarang Andre menjemput dengan alasan akan diantar Kak Mandala. Sorenya aku beralasan akan dijemput Kak Daffa. Ini bukan bohong, tapi sekalian menghindar juga.Mobil biru itu sudah mendekati kampus jam lima sore. Aku yang memang sudah menunggunya langsung masuk. Melepas tas dan memasang sabuk.“Apa kabar, calon istri?”“Kurang baik, calon suami.”Kak Daffa tertawa mendengar balasan panggilanku.“Kenapa kurang baik?” tanyanya bersama mobil yang melaju.“Enggak enak banget musti jauhi Andre. Kemaren kita malam mingguan, loh.”“Wah? Sudah jadian?”“Kagak. Beruntung juga ya belum jadian, kalau udah, dilema berat gue.”“Baru pacar. Lagian apa sih yang lo lihat dari dia. Muka pas-pasan, duit pas-pasan.”“Yeeey ... namanya suka.”Aku memicing. “Cemburu lo, ya, Kak? Andre kan b