Share

PGK 7

BAB 7

Rabu pagi. Aku sudah melihat pemandangan tak mengenakkan. Rencana meeting hari ini harusnya jam sepuluh, tapi Natasya dan Mita sudah datang dari jam delapan.

Lihatlah! Mita sibuk curi perhatian sama Mama. Dia bantuin buat kue segala. Kalau Natasya sibuk deketin Kak Mandala. Mereka lagi nyanyi-nyanyi berdua di belakang.

Kesel kalau lihat Kak Mandala didekati cewek-cewek. Ini bukan hanya berlaku sekarang, tapi dari dulu. Semua teman yang dekat denganku bukan semata-mata ingin berteman, tapi ingin kenal sama kakakku.

Heran. Kenapa Kak Mandala laku banget, tapi aku enggak. Padahal kan pengin dikejar-kejar cowok juga.

Pesona Kak Mandala bukan hanya terlihat di mata teman-teman saja, tapi di mata keluarga juga. Setiap ada perkumpulan keluarga yang jadi perhatian ya Kak Mandala. Dia ditanya ini itu, kalau aku dicuekin. Enggak tahu kenapa. Perasaan aku gak jelek-jelek amat.

Jam sepuluh, suasana mulai baik. Andre datang. Kami pun bisa serius mendiskusikan projek, tapi itu hanya berlaku setengah jam. Karena setengah jam kemudian, Kak Daffa datang.

Pria yang memakai celana jeans dan kaus hitam bertuliskan salah satu brand mahal itu mendekati gazebo. Kaca mata hitam menggantung di kerah bajunya. Kedatangan Kak Daffa sontak menarik perhatian Mita dan Natasya.

“Hai, Kak Daffa.”

“Woi.” Pria itu bertumpu telapak pada tiang gazebo. “Lagi ngapain kalian?”

Meeting, Kak,” jelas Andre sopan.

Kak Daffa mencondongkan badan. Melihat Andre lebih dekat. “Cowok idaman lo, Sa?” katanya sambil mendorong pundakku.

Kurang asem. Ngomong depan orangnya. Mau ditaruh mana mukaku.

“Mulutmu itu, Kak. Udah sana pergi!”

Bukannya pergi, dia malah ikut duduk di ujung gazebo. Sebelah kakinya melipat, sebelahnya lagi menjuntai ke bawah. Dia mengambil berkas-berkas yang ada di tengah-tengah kami.

“Ini tugas yang lo bilang kemarin?” Dia mengacungkan lembaran itu.

“Yaps.”

“Sampah ini!” serunya sambil membuang.

“Harus gimana dong, Kak? Kasih ide.” Natasya menatap dengan binar di kedua netranya.

Kak Daffa mulai menjelaskan ide. Bicara mendominasi. Dia mau menyandingkan perbedaan kehidupan dalam rentang waktu 100 tahun. Lokasi zaman dulu akan diambil di Badui.

Idenya cukup menarik. Anak-anak merespons suka. Andre menambahkan satu dua gagasannya.

Selanjutnya Kak Daffa dan Andre saling diskusi. Aku dan dua cewek lain, sibuk mencatat.

“Keren ini,” seloroh Mita.

“Dramanya juga menarik, jadi kelihatan gak menggurui, iya gak, sih?” timpal Natasya.

“Yang mau jadi pemeran utamanya siapa?” Aku melirik semua.

“Kak Daffa aja sama Kak Mandala.” Mita bicara penuh semangat.

No! Jangan gue. Apa lagi Mandala. Sekali kita nongol di kamera, besoknya kita jadi artis.”

Preetttt. Sok ngartis.” Aku menjulurkan lidah.

“Heh, kacamata. Lo aja!” Dia menunjuk Andre dengan sorot mata songong. Gak sopan banget.

“Aku demam kamera, Kak.”

“Kalau gitu yang di sini paling cantik ajalah.” Dua iris hitam Kak Daffa mengawasi aku, Mita, dan Natasya.

Aku tersenyum manis. Dua kali mengedipkan mata. Berharap dibilang cantik maksudnya.

“Nama lo siapa?” Mata Kak Daffa menunjuk Natasya.

Enggak tahu kenapa aku jadi kesel banget dengernya. Perasaan cantikkan gue, deh.

“Aku, Kak?” Natasya menunjuk diri sendiri dengan begitu bangga. “Natasya.”

“Nah, lo aja.”

Yes, dibilang cantik sama Kak Daffa.”

“Ya, lumayanlah.”

Ih. Lebay.

“Sudah, ‘kan? Gue pinjem dulu Risa kalau gitu.” Dia berdiri sambil memasukkan ponsel ke dalam kantong celana.

“Ngapain, Kak?”

“Ada yang penting, sini dulu bentar!” Dia jalan mendahului. Masuk ke dalam rumah.

Aku cepat turun dari gazebo. Memakai sandal dan mengikutinya.

Kak Daffa berhenti di teras depan.

“Masalah apa?”

Pria itu menggaruk pelipisnya dengan ujung jari. “Bokap gue keknya nyariin lo, Sa.”

“Ha? Terus.”

Kak Daffa merangkul pundakku lalu bicara pelan. “Kalau lo ketemu bokap gue, terus dia tanya-tanya masalah kehamilan, lo jawab sesukanya. Apa kek. Yang penting dia empet sama lo. Lo, kan, paling pinter bikin orang lain kesel.”

Aku menimbang. Kalau bikin orang lain kesel, sih, mudah. Dari pada ngaku-ngaku hamil terus malah dikejar-kejar.

“Ada duitnya kagak?”

“Ada. Tenang.”

“Oke. Gampang itu, sih.”

“Lo bisa?”

“Kecil.”

“Itu baru ade gue.” Kak Daffa mengacak rambut atasku. Aku kembali merapikan dengan gelengan.

“Mau, dia?” Kak Mandala keluar. Duduk di kursi teras.

“Mau.”

“Awas jangan bawa-bawa nama gue. Bisa dipecat gue entar.”

“Biarin. Mau gue bilang sekalian yang kemarin itu skenario lo.”

Kak Mandala kepanikan. Dia sampai berdiri dari duduknya. “Heh, jangan main-main lo, Risa!”

Aku melenggang ke pintu rumah lalu menjulurkan lidah.

“Gak gue bayar kuliah lo entar.”

“Bodo!” Aku berlalu tak peduli. Kapan lagi buat Kak Mandala sedikit berekspresi.

***

Aku dan Andre merekap hasil diskusi di laptop masing-masing. Mita dan Natasya membantu Mama menyiapkan makan siang.

Beberapa menit kami fokus input data. Kipas angin yang berputar di atas kami mampu menurunkan suhu Jakarta yang luar biasa panasnya.

“Papa kamu ke mana, Sa?” Andre tiba-tiba bicara.

“Udah gak ada.”

“O,. maaf.”

“Gak apa-apa, kok.”

“Bapakku juga gak ada. Jadi, harus berjuang sendiri untuk mencari ilmu.” Tatapan Andre berpindah dari laptop ke jajaran tanaman sayuran. Dia terlihat menerawang jauh.

“Udah meninggal juga?”

“Bukan. Nikah lagi. Mungkin lebih tepatnya ganti istri.”

Setahuku, Andre ini memang anak dari luar Jakarta. Dia kuliah di sini karena beasiswa.

“Aku malu sama kamu. Kamu bisa dapat beasiswa, aku masih ngandelin kakak.”

“Kalau biasa gue lo gak apa-apa gak perlu pake aku kamu. Malah kelihatan kaku.” Andre menyungging senyum manis.

Aku duduk. Senyumannya membuatku malu.

“Enak, ya, kalau punya kakak baik, ada tanggung jawabnya sama adek.”

Aku mengangguk setuju. Serese apa pun kakakku dia cowok yang bertanggung jawab.

Andre kembali melihat laptopnya. “Risa, aku kirim email. Nanti kamu tinggal lengkapi naskahnya. Coba dicek.”

Aku membuka email yang dikirim Andre. “Ini udah ada.”

Andre mendekati layar laptopku. “Ini contoh. Ini yang harus kamu buat. Gak susah, kok. Gampang.”

“Hm ... oke, oke.”

“Aku balik, ya, kalo gitu.” Andre mengemasi barangnya.

“Loh, mama sama anak-anak lagi nyiapin makan tau.”

“Makasih, tapi aku ada urusan lain. Besok aku jemput, ya.” Andre sudah memasang ranselnya. Dia turun siap meninggalkan gazebo.

“Makan dulu padahal, Dre.” Aku mengekor.

Sorry banget. Kapan-kapan, ya.”

Andre pamitan pada Mama dan anak-anak lalu langsung menuju motornya. Aku mengikuti. Mengantar sampai depan rumah.

Pria berkaca mata itu memperbaiki ranselnya lalu memakai helm.

“Heh, anak mana lo?” Kak Mandala tiba-tiba nongol.

Andre melihat Kak Mandala dengan sorot sungkan lalu melirikku.

“Saya tinggal dekat kampus, Kak. Ngekos.”

“Suka lo sama adek gue?”

Andre melihatku lagi dan hanya diam.

“Pacaran kalian?” Kak Mandala terus bertanya mengintimidasi.

“Apaan sih, Kak? Udah sana!” Aku mendorong Kak Mandala.

Aku bukan tak laku, tapi kalau ada yang deketin, ya gini. Suka diisengin Kak Mandala.

“Kita gak pacaran, Kak. Pacaran dilarang agama!” seru Andre.

Kak Daffa yang berdiri agak jauh tertawa terbahak-bahak. Dia melipat tangan di dada sambil bersandar pada dinding rumah. “Heh, kacamata. Lo pikir boncengan ma Risa gak dilarang agama? Parah lo. Alim nanggung-nanggung.”

“Itu nolong temen, Kak.”

Andre sepertinya terpojok. Aku mendorong Kak Mandala untuk terus menjauh. Bisa-bisa jomlo sampai tua kalau begini terus. “Udah sana, ih. Maaf, ya, Andre.”

“Gak apa, Risa.”

Aku terus menarik Kak Mandala sampai masuk rumah. “Lo nyebelin, Mandala!”

“Gue nolongin lo biar gak patah hati.”

“Lo bikin gebetan gue pergi!”

“Kalau baru digituin kapok, berarti dia gak serius.”

“Tahu ah! Gue bete sama lo.” Aku berlari ke kamar. Membanting pintu dan segera menguncinya. Abis itu memukuli guling sambil nangis.

“Mandala ... nyebelin banget!”

***

Feeling-ku udah jelek. Andre pasti gak jadi jemput. Dia mungkin gak akan deketin lagi. Aku juga marahan sama Kak Mandala  jadi gak bakal nebeng.

Saat sedang memakai sepatu di depan rumah, tiba-tiba sebuah motor matic berhenti. “Risa, sudah siap?”

“Andre?” Aku terpana lalu tersenyum.

“Aku gak terlambat, ‘kan?”

“Pas banget aku baru mau berangkat.”

“Syukurlah, ayo!”

Aku langsung berlari dan naik motor Andre. Tanpa ba bi bu, dia segera tancap gas.

“Maafin kakakku kemarin, ya, Dre.”

“Gak apa. Itu bentuk sayang kakak ke adek.”

“Serius, kamu bisa maklum?”

“Iya.”

Pagi yang macet hari ini terasa berbeda. Seperti ada pelangi di sepanjang jalan yang kami lewati. Yes, gak jadi patah hati.

***

Pulangnya, aku gak bareng Andre karena dia masih ada jadwal. Sementara jadwalku sudah selesai dari tengah hari.

Aku menyusuri trotoar untuk sampai di halte terdekat. Panas matahari jam dua sangat menyengat. Jalanan lebar penuh dengan kendaraan. Menambah tingkat kepanasan kota ini.

Sebuah mobil hitam berhenti di bahu jalan. Jaraknya sekitar satu meter di depanku.

Benak bertanya, siapa yang berhenti di pinggir jalan seenaknya? Apa dia mau diderek Dishub?

Pintu mobil bergeser. Empat pria berpakaian hitam turun. Tubuh mereka tinggi besar, berotot.

Mereka langsung mengapitku. Memegang lengan kanan dan kiri.

“Heh, ngapain kalian?”

“Ikut kami!”

“Enggak. Heh, mau dibawa ke mana gue. Heh!” Aku berontak. Percuma. Tenaga tak sebanding. Dengan mudah, aku dizinjing masuk ke dalam mobil.

“Tolong ... tolong! Tol—”

Kain yang ditempelkan ke hidung membuat kepala pusing dan pandangan jadi kabur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status