Share

PGK 5

“Gak mau.” Aku menggetok Kak Daffa dengan gagang sapu.

“Eh!” Pria tinggi itu mengusap ubun-ubunnya. “Dikasih yang enak gak mau.”

Kak Daffa balik kanan. Dia mendekati meja dapur lalu buat kopi sendiri. Emang dasar, tamu kurang asem.

“Ngapain ke sini. Kak Mandala aja belum pulang.”

“Mau nginep gue.”

“Ih, kenapa? Udah gak punya rumah?”

“Diusir gara-gara hamilin anak orang.”

Aku ternganga. Lalu mendekati Kak Daffa dan melihat raut wajahnya.

“Serius?”

“Hm.”

“Terus?”

“Gak ada terus.”

Pria itu sudah menuangkan air panas pada gelas kopi. Kepulan asapnya membuat ruangan ini harum.

Seperti di rumah sendiri, Kak Daffa bawa kopi dan gitar ke belakang rumah.

Apa cowok emang gitu? Diusir cuek aja.

Ah, tapi peduli amat apa yang terjadi dengan hidup Kak Daffa. Toh, dia emang sengaja bikin ulah. Lebih baik lanjut nyapu biar cepet rebahan.

Baru beres nyapu empat kamar, terdengar Mama masuk rumah sambil berucap salam.

“Risa sudah pulang?”

“Udah, Ma.”

“Kakak kamu sudah pulang juga?” Mama melirik kamar Kak Mandala.

“Bukan, bestie-nya tuh lagi ngopi di belakang.”

“Daffa?”

“Abis diusir katanya, Ma.”

“Masa?” Mama berlalu ke dapur.

“Daffa, di sini kamu?” Suara mama terdengar kemudian lalu obrolan kecil antara ibu dan anak orang lain itu terjadi.

“Ya, Tan.”

“Tante buat kue hari ini. Nih, ambil!”

“Mantap, Tan.”

“Ada masalah sama papi kamu?”

“Enggak, cuma lagi debat dikit.”

“Jangan lama-lama. Orang tua bukan lawan debat. Kalau sudah seperti Mandala, marahnya saja dirindukan.”

“Iya, Tan.”

“Ya sudah, sana bawa ke belakang!”

Sambil mendengarkan mereka, aku terus menyapu rumah sampai dalam dan luar beres.

Lalu membasahi lap pel di tempat cuci baju yang ada di belakang rumah. Saat itu lah terlihat Kak Daffa sedang melihat-lihat ternak lele.

Mama memang punya budikdamber (budidaya ikan lele dan kangkung dalam ember). Biasanya dipanen setiap minimal dua bulan. Lumayan untuk makan. Semua anggota rumah ini suka lele. Apa lagi kalau dimakan sama sambal dan lalapan segar. Mantap.

“Tan, lele udah gede?” tanya Kak Daffa basa-basi.

“Lumayan, udah bisa dimakan,” jawab Mama dari dapur.

“Boleh, nih, buat makan malam.”

Aku mendelik. Sudah nginep, ngerepotin pula.

“Gak boleh. Mama cape, makan yang ada aja!” Aku menyela.

“Enggak, kok, orang tinggal goreng. Ambil saja, Daffa. Nanti tante masakin.”

Kak Daffa tersenyum dan menaikkan alisnya. Persetujuan Mama seolah kemenangan baginya.

Laki-laki itu mulai menggulung lengan kemejanya sampai sikut lalu dengan bodohnya memasukkan tangan ke dalam ember. Dikiranya itu ikan cupang bisa ambil gitu aja.

Aku harap-harap cemas. Dalam benak bertanya-tanya, kena patil enggak dia?

Kak Daffa terlihat kesulitan lalu memekik seraya menarik tangan dengan gerak cepat.

“Aww!” Dia mengibas-ngibas tangan.

“Kena patil lele, Daffa?” Mama nongol di pintu dapur melihat keadaan.

“Gigit ternyata, Tan.”

“Itu bukan gigit, tapi patilnya suka nusuk. Hati-hati ada racunnya ....” Mama melihatku. “Risa bantu obatin luka Daffa!”

“Kan, ngerepotin!” Aku meninggalkan lap pel. Mengambil obat-obatan lalu kembali pada Kak Daffa yang masih duduk di gazebo.

“Sini bersihin dulu. Infeksi entar.”

Kak Daffa mendekati keran air tempat cuci baju lalu menjulurkan tangannya. Kubersihkan luka yang tidak terlalu besar itu. Setelah dirasa cukup, kami kembali ke gazebo.

Kukeringkan tangan basah itu lalu mengobati dengan obat-obatan yang ada.

“Udah.” Aku menutup botol obat kembali.

Kak Daffa tersenyum dan dua alisnya terangkat. “Makasih, calon istri.”

***

Kak Mandala pulang jam tujuh. Jam delapannya kami makan bersama. Ini seperti seorang ibu yang memiliki tiga anak.

Jika Kak Mandala banyak diam selama makan, lain hal dengan Kak Daffa. Dia terus saja mengajak Mama ngobrol. Segala dibahas. Dari sambal, sayur, lele, nasi, apa yang masuk ke mulutnya, dikomentari dengan antusias. Kadang memuji kadang bercerita saja.

Setelah makan, aku dan Mama beres-beres lalu ke kamar ngerjain tugas. Sepuluh, dua puluh menit, bete. Jadi, malah scroll I*.

Gak kerasa waktu sudah jam sepuluh. Aku ke belakang untuk mengambil wudu.

Di dapur, Mama masih duduk di meja makan. Sepertinya sedang menghitung. Terlihat pulpen di tangan dan buku di hadapannya.

“Risa ... belum tidur?” tanya Mama yang kini menggunakan kacamata itu.

“Baru mau isya dulu.” Aku mulai menguap.

“Ya sudah, sana!”

“Mama lagi apa?”

“Ngitung, besok ada yang pesen kue lagi.”

Aku terdiam. Ada yang kukhawatirkan. Sering kali saat scroll I* atau F*, aku menemukan tentang laki-laki yang penyuka sesama.

“Ma, emang gak khawatir sama Kak Mandala dan Kak Daffa. Kalau dilihat-lihat mereka itu terlalu deket.”

“Khawatir gimana? Mereka kan dekat dari dulu.”

“Ih, Mama tuh polos. Sekarang itu banyak pasangan ....” Aku membisikan sesuatu di telinga Mama.

“Astagfirullah.” Iris Mama berpindah dari buku padaku.

“Bisa saja, kan. Di depan temenan, di belakang? Mana tahu.”

Mama melihatku dengan tatapan teduh. “Tidak mungkin. Mama yakin mereka tidak mungkin begitu.”

“Emang apa yang bikin Mama yakin?”

“Yang pertama, karena mama tahu Mandala. Mandala anak mama. Mama tahu karakternya. Kakak kamu tidak akan kelewat batas begitu. Yang ke dua, Mama tahu Daffa. Daffa itu anak pondok. Dia mesantren lama. Ilmu agamanya mungkin lebih banyak dari mama. Jadi, tidak mungkin.”

“Kak Daffa pernah pesantren? Perasaan gak ada muka-muka santri.”

“Kamu saja tidak tahu. Dia dari SD sudah mondok.”

“Percuma. Salat aja gak pernah kelihatan.”

“Hus, jangan suka ngitung dosa orang, itung dosa sendiri saja. Ayo cepat salat, jangan mengulur waktu. Udah ngantuk gitu nanti asal-asalan.”

“He'em.”

Aku beranjak ke kamar mandi. Gosok gigi, cuci muka, ambil wudu.

“Risa, sini!” panggil Mama saat aku kembali ke tengah rumah.

“Tuh, lihat. Jangankan tidur sekamar, ada kamar dua saja tidak dipake.”

Penglihatanku menyusuri ruang tamu dan ruang televisi yang terbagi oleh lemari besar. Di ruang tamu, Kak Daffa tidur di sofa. Padahal kamar tamu ada tepat di sampingnya.

Di ruang televisi. Kak Mandala tidur di karpet. Dua kakinya naik ke sofa. Padahal kamar Kak Mandala juga ada di samping ruang nonton.

Mama mengambil selimut dari kamar Kak Mandala lalu menyelimuti anak yang udah kelewat gede itu. Setelahnya Mama melakukan hal yang sama pada Kak Daffa. Mengambil selimut dari kamar tamu lalu menyelimutinya.

“Kalau mereka bangun malam-malam, Mama tetep gak tahu.” Aku masih tetap pada kecurigaan.

“Di rumah ini tidak pernah ada yang bangun malam selain Mama. Ayo cepat masuk kamar!”

***

Esok harinya, jadwalku lebih pagi. Jam delapan sudah dimulai.

Seperti hari kemarin, setelah rapi, aku melenggang santai ke luar kamar.

“Kak Mandala mana, Ma?”

“Tuh, baru mau berangkat.”

Aku segera berlari ke depan. “Mandala ... tungguin gue!”

Kalau kemarin, aku bisa langsung naik ke motor tidak dengan hari ini. Tempat duduk penumpang sudah diambil alih Kak Daffa.

“Heh, awas gue mau nebeng!”

“Lo naik angkot aja.” Kak Mandala nengok.

“Eh, gue ada jadwal jam delapan. Udah kesiangan ini.”

“Siapa suruh ngaret. Ngaret, kok, tiap hari,” maki Kak Mandala tanpa ekspresi. Lalu motor melaju pelan.

“Daadaa, Risa.” Kak Daffa tersenyum penuh kemenangan. “Jaga anak kita,” lanjutnya sambil melambaikan tangan.

Aku mencopot heels. Ingin sekali melemparinya tapi motor besar itu sudah kelewat jauh.

Lihat! Dia bukan hanya menguasai rumah ini. Dia bahkan mengambil kakakku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
........., jaga anak kita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status