“Gak mau.” Aku menggetok Kak Daffa dengan gagang sapu.
“Eh!” Pria tinggi itu mengusap ubun-ubunnya. “Dikasih yang enak gak mau.”
Kak Daffa balik kanan. Dia mendekati meja dapur lalu buat kopi sendiri. Emang dasar, tamu kurang asem.
“Ngapain ke sini. Kak Mandala aja belum pulang.”
“Mau nginep gue.”
“Ih, kenapa? Udah gak punya rumah?”
“Diusir gara-gara hamilin anak orang.”
Aku ternganga. Lalu mendekati Kak Daffa dan melihat raut wajahnya.
“Serius?”
“Hm.”
“Terus?”
“Gak ada terus.”
Pria itu sudah menuangkan air panas pada gelas kopi. Kepulan asapnya membuat ruangan ini harum.
Seperti di rumah sendiri, Kak Daffa bawa kopi dan gitar ke belakang rumah.
Apa cowok emang gitu? Diusir cuek aja.
Ah, tapi peduli amat apa yang terjadi dengan hidup Kak Daffa. Toh, dia emang sengaja bikin ulah. Lebih baik lanjut nyapu biar cepet rebahan.
Baru beres nyapu empat kamar, terdengar Mama masuk rumah sambil berucap salam.
“Risa sudah pulang?”
“Udah, Ma.”
“Kakak kamu sudah pulang juga?” Mama melirik kamar Kak Mandala.
“Bukan, bestie-nya tuh lagi ngopi di belakang.”
“Daffa?”
“Abis diusir katanya, Ma.”
“Masa?” Mama berlalu ke dapur.
“Daffa, di sini kamu?” Suara mama terdengar kemudian lalu obrolan kecil antara ibu dan anak orang lain itu terjadi.
“Ya, Tan.”
“Tante buat kue hari ini. Nih, ambil!”
“Mantap, Tan.”
“Ada masalah sama papi kamu?”
“Enggak, cuma lagi debat dikit.”
“Jangan lama-lama. Orang tua bukan lawan debat. Kalau sudah seperti Mandala, marahnya saja dirindukan.”
“Iya, Tan.”
“Ya sudah, sana bawa ke belakang!”
Sambil mendengarkan mereka, aku terus menyapu rumah sampai dalam dan luar beres.
Lalu membasahi lap pel di tempat cuci baju yang ada di belakang rumah. Saat itu lah terlihat Kak Daffa sedang melihat-lihat ternak lele.
Mama memang punya budikdamber (budidaya ikan lele dan kangkung dalam ember). Biasanya dipanen setiap minimal dua bulan. Lumayan untuk makan. Semua anggota rumah ini suka lele. Apa lagi kalau dimakan sama sambal dan lalapan segar. Mantap.
“Tan, lele udah gede?” tanya Kak Daffa basa-basi.
“Lumayan, udah bisa dimakan,” jawab Mama dari dapur.
“Boleh, nih, buat makan malam.”
Aku mendelik. Sudah nginep, ngerepotin pula.
“Gak boleh. Mama cape, makan yang ada aja!” Aku menyela.
“Enggak, kok, orang tinggal goreng. Ambil saja, Daffa. Nanti tante masakin.”
Kak Daffa tersenyum dan menaikkan alisnya. Persetujuan Mama seolah kemenangan baginya.
Laki-laki itu mulai menggulung lengan kemejanya sampai sikut lalu dengan bodohnya memasukkan tangan ke dalam ember. Dikiranya itu ikan cupang bisa ambil gitu aja.
Aku harap-harap cemas. Dalam benak bertanya-tanya, kena patil enggak dia?
Kak Daffa terlihat kesulitan lalu memekik seraya menarik tangan dengan gerak cepat.
“Aww!” Dia mengibas-ngibas tangan.
“Kena patil lele, Daffa?” Mama nongol di pintu dapur melihat keadaan.
“Gigit ternyata, Tan.”
“Itu bukan gigit, tapi patilnya suka nusuk. Hati-hati ada racunnya ....” Mama melihatku. “Risa bantu obatin luka Daffa!”
“Kan, ngerepotin!” Aku meninggalkan lap pel. Mengambil obat-obatan lalu kembali pada Kak Daffa yang masih duduk di gazebo.
“Sini bersihin dulu. Infeksi entar.”
Kak Daffa mendekati keran air tempat cuci baju lalu menjulurkan tangannya. Kubersihkan luka yang tidak terlalu besar itu. Setelah dirasa cukup, kami kembali ke gazebo.
Kukeringkan tangan basah itu lalu mengobati dengan obat-obatan yang ada.
“Udah.” Aku menutup botol obat kembali.
Kak Daffa tersenyum dan dua alisnya terangkat. “Makasih, calon istri.”
***
Kak Mandala pulang jam tujuh. Jam delapannya kami makan bersama. Ini seperti seorang ibu yang memiliki tiga anak.
Jika Kak Mandala banyak diam selama makan, lain hal dengan Kak Daffa. Dia terus saja mengajak Mama ngobrol. Segala dibahas. Dari sambal, sayur, lele, nasi, apa yang masuk ke mulutnya, dikomentari dengan antusias. Kadang memuji kadang bercerita saja.
Setelah makan, aku dan Mama beres-beres lalu ke kamar ngerjain tugas. Sepuluh, dua puluh menit, bete. Jadi, malah scroll I*.
Gak kerasa waktu sudah jam sepuluh. Aku ke belakang untuk mengambil wudu.
Di dapur, Mama masih duduk di meja makan. Sepertinya sedang menghitung. Terlihat pulpen di tangan dan buku di hadapannya.
“Risa ... belum tidur?” tanya Mama yang kini menggunakan kacamata itu.
“Baru mau isya dulu.” Aku mulai menguap.
“Ya sudah, sana!”
“Mama lagi apa?”
“Ngitung, besok ada yang pesen kue lagi.”
Aku terdiam. Ada yang kukhawatirkan. Sering kali saat scroll I* atau F*, aku menemukan tentang laki-laki yang penyuka sesama.
“Ma, emang gak khawatir sama Kak Mandala dan Kak Daffa. Kalau dilihat-lihat mereka itu terlalu deket.”
“Khawatir gimana? Mereka kan dekat dari dulu.”
“Ih, Mama tuh polos. Sekarang itu banyak pasangan ....” Aku membisikan sesuatu di telinga Mama.
“Astagfirullah.” Iris Mama berpindah dari buku padaku.
“Bisa saja, kan. Di depan temenan, di belakang? Mana tahu.”
Mama melihatku dengan tatapan teduh. “Tidak mungkin. Mama yakin mereka tidak mungkin begitu.”
“Emang apa yang bikin Mama yakin?”
“Yang pertama, karena mama tahu Mandala. Mandala anak mama. Mama tahu karakternya. Kakak kamu tidak akan kelewat batas begitu. Yang ke dua, Mama tahu Daffa. Daffa itu anak pondok. Dia mesantren lama. Ilmu agamanya mungkin lebih banyak dari mama. Jadi, tidak mungkin.”
“Kak Daffa pernah pesantren? Perasaan gak ada muka-muka santri.”
“Kamu saja tidak tahu. Dia dari SD sudah mondok.”
“Percuma. Salat aja gak pernah kelihatan.”
“Hus, jangan suka ngitung dosa orang, itung dosa sendiri saja. Ayo cepat salat, jangan mengulur waktu. Udah ngantuk gitu nanti asal-asalan.”
“He'em.”
Aku beranjak ke kamar mandi. Gosok gigi, cuci muka, ambil wudu.
“Risa, sini!” panggil Mama saat aku kembali ke tengah rumah.
“Tuh, lihat. Jangankan tidur sekamar, ada kamar dua saja tidak dipake.”
Penglihatanku menyusuri ruang tamu dan ruang televisi yang terbagi oleh lemari besar. Di ruang tamu, Kak Daffa tidur di sofa. Padahal kamar tamu ada tepat di sampingnya.
Di ruang televisi. Kak Mandala tidur di karpet. Dua kakinya naik ke sofa. Padahal kamar Kak Mandala juga ada di samping ruang nonton.
Mama mengambil selimut dari kamar Kak Mandala lalu menyelimuti anak yang udah kelewat gede itu. Setelahnya Mama melakukan hal yang sama pada Kak Daffa. Mengambil selimut dari kamar tamu lalu menyelimutinya.
“Kalau mereka bangun malam-malam, Mama tetep gak tahu.” Aku masih tetap pada kecurigaan.
“Di rumah ini tidak pernah ada yang bangun malam selain Mama. Ayo cepat masuk kamar!”
***
Esok harinya, jadwalku lebih pagi. Jam delapan sudah dimulai.
Seperti hari kemarin, setelah rapi, aku melenggang santai ke luar kamar.
“Kak Mandala mana, Ma?”
“Tuh, baru mau berangkat.”
Aku segera berlari ke depan. “Mandala ... tungguin gue!”
Kalau kemarin, aku bisa langsung naik ke motor tidak dengan hari ini. Tempat duduk penumpang sudah diambil alih Kak Daffa.
“Heh, awas gue mau nebeng!”
“Lo naik angkot aja.” Kak Mandala nengok.
“Eh, gue ada jadwal jam delapan. Udah kesiangan ini.”
“Siapa suruh ngaret. Ngaret, kok, tiap hari,” maki Kak Mandala tanpa ekspresi. Lalu motor melaju pelan.
“Daadaa, Risa.” Kak Daffa tersenyum penuh kemenangan. “Jaga anak kita,” lanjutnya sambil melambaikan tangan.
Aku mencopot heels. Ingin sekali melemparinya tapi motor besar itu sudah kelewat jauh.
Lihat! Dia bukan hanya menguasai rumah ini. Dia bahkan mengambil kakakku.
BAB 6Gara-gara gak bisa nebeng. Aku harus berangkat naik angkot lalu pindah ke busway. Dua kali naik turun busway, barulah sampai halte dekat kampus.Dari sini, jarak masih 200 meter. Itu baru sampai gerbang depannya saja, belum masuk fakultas.Jam delapan lebih sepuluh menit, aku terengah-engah di depan ruang berpintu kaca buram. Mengatur napas sebelum masuk kelas.Gara-gara Kak Daffa kurang asem, aku harus lari-larian begini.Aku hati-hati membuka pintu. “Permisi, Prof.”Lelaki beruban yang sebagian rambutnya sudah tak tumbuh itu menurunkan kaca mata. Dia sedang duduk di depan kelas. Melihat laptopnya dengan jarak begitu dekat. Sepertinya perkuliahan baru saja dimulai.“Ka ... Karisa?”“Klarisa, Prof.”Prof Hendo melirik jam. “Anak sekarang, diberi toleransi sepuluh menit harus dimanfaatkan. Kau pikir itu diskon?” Pria itu kembali pada laptopnya.Aku menghela napas lalu masuk dan duduk di kursi paling belakang.Baru menghela napas panjang tiga kali, seseorang menyodorkan minum.Aku
BAB 7Rabu pagi. Aku sudah melihat pemandangan tak mengenakkan. Rencana meeting hari ini harusnya jam sepuluh, tapi Natasya dan Mita sudah datang dari jam delapan.Lihatlah! Mita sibuk curi perhatian sama Mama. Dia bantuin buat kue segala. Kalau Natasya sibuk deketin Kak Mandala. Mereka lagi nyanyi-nyanyi berdua di belakang.Kesel kalau lihat Kak Mandala didekati cewek-cewek. Ini bukan hanya berlaku sekarang, tapi dari dulu. Semua teman yang dekat denganku bukan semata-mata ingin berteman, tapi ingin kenal sama kakakku.Heran. Kenapa Kak Mandala laku banget, tapi aku enggak. Padahal kan pengin dikejar-kejar cowok juga.Pesona Kak Mandala bukan hanya terlihat di mata teman-teman saja, tapi di mata keluarga juga. Setiap ada perkumpulan keluarga yang jadi perhatian ya Kak Mandala. Dia ditanya ini itu, kalau aku dicuekin. Enggak tahu kenapa. Perasaan aku gak jelek-jelek amat.Jam sepuluh, suasana mulai baik. Andre datang. Kami pun bisa serius mendiskusikan projek, tapi itu hanya berlaku s
BAB 8Saat tersadar, aku sedang berbaring di sofa hitam. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil mencoba duduk.Aku berada di ruang luas berdinding granit putih. Di belakang tempatku duduk ada jendela lebar tertutup tirai tipis. Sedikit sekali furnitur di ruang ini. Hanya ada lemari panjang menghiasi sisi kanan, tingginya tak lebih dari satu meter, bunga dan beberapa guci kecil menghiasi bagian atasnya. Empat sofa membentuk huruf U. Lampu kristal menggantung di tengahnya. Harum pewangi ruangan menyegarkan.Dua laki-laki bertubuh besar berdiri membelakangi. Mereka bersiaga di dekat pintu. Pakaiannya hitam-hitam, serupa bodyguard di film-film.Ah, baru ingat. Tadi sepertinya aku diculik. Tapi siapa yang melakukan ini? “Hai, kalian! Tidak salah membawaku ke tempat ini.” Aku coba mengorek informasi.Sekilas tadi berpikir, jika aku diculik mafia perdagangan manusia. Biasanya disekap di gudang-gudang, tapi ini bukan gudang, ini ruangan mewah.“Diam!” Suara bariton itu dingin. Dia hanya
BAB 9Malam yang gerah. Kipas angin berputar ke kanan dan kiri. Mama sedang membaca di ruang tamu. Kak Mandala terdengar memainkan piano di kamarnya. Tak perlu heran jika setiap waktu kakakku itu bermain musik. Selain hobi, dia juga bekerja sebagai sound effect di perusahaan media. Sering kali dia mengarang lagu untuk iklan, berita, atau yang lainnya.Aku mendekati Mama. Jarang-jarang beliau santai begini, biasanya kalau sedang ada pesanan kue, sampai malam menghabiskan waktu di dapur.“Ma, tadi aku ketemu sama papinya Kak Daffa.”“Kok, bisa ketemu. Ketemu di mana?”“Di rumahnya, tadi pulang sama Kak Daffa, mampir dulu ke rumahnya.” Aku mengarang cerita. Gak mungkin jujur diculik karena pura-pura hamil.“Dia bilang apa?” Mama masih fokus sama bukunya.”“Dia bahas papa, katanya papa orang yang jujur dan bijak.”Mama melepas kacamata lalu melihat bola lampu. Wanita yang tubuhnya seukuran denganku ini seperti sedang menerawang jauh.“Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggal
BAB 10Mobil yang sudah dimodifikasi ini terlihat lebih mewah isinya. Aksesoris lengkap dengan kursi yang pastinya nyaman. Selain Om Handri, ada dua pria berseragam hitam di dalam sini.“Om pangling lihat kamu. Kirain tadi bukan Klarisa.”Aku melihat kerudung sendiri. Baru sadar kalau penampilan berbeda.Aku mengangguk dan tersenyum. Benak sibuk berpikir, mau apa Om Handri berkunjung ke rumah? Jangan-jangan naksir Mama.“Rajin sekali kamu, hari minggu masih sempat-sempatnya galang dana.”“Bukan kerajinan Om, emang gak ada kerjaan.”“Bukannya istirahat, cape kan setiap hari kuliah.”“Ah, kuliah cape apa, Om. Yang ada sok sibuk aja. Hehe ….”Om Handri ikut tertawa ringan. Sepanjang obrolan dia lebih banyak tersenyum.Pria dengan gestur berwibawa ini melirik kembali. “Daffa sering main ke rumahmu?”“Cukup sering.”“Beberapa hari lalu menginap di rumahmu bukan?”“Om, tahu?”“Tentu … menurutmu seperti apa Daffa?”“Kak Daffa baik, meski terlihat nakal dan sering bikin ulah.”Om Handri menga
BAB 11Kak Daffa diam. Pria berkemeja hitam yang dua kancingnya terbuka ini hanya melihat jalanan depan sekolah dengan tatapan kosong. Dia bersandar pada kursi. Sebelah tangannya di belakang kepala.Dari semerawut tampilannya, tidak akan ada orang yang menyangka dia anak pemilik perusahaan multimedia, bahkan pada salah satu chanel televisi tersemat namanya, “DaffaTv”. Dia lebih terlihat seperti karyawan biasa yang kerjaannya kabur-kaburan di jam kerja. Apa lagi dibilang santri, sungguh tak ada muka santri sama sekali.Ponsel terasa bergetar di dalam tas. Sambil menunggu Kak Daffa kembali bicara, aku merogoh dan membuka pesan masuk.Andre:[Mr. Richard sudah masuk kelas, kamu tidak kelihatan. Di mana?]Aku mengetik balasan cepat, tapi urung mengirim karena Kak Daffa kembali bicara.“Hidup gue ada di telunjuk papi.” Kak Daffa mengacungkan telunjuk. “Di sini.” Dia menatap ujung telunjuknya. “Gue harus ikut semua yang dia tentukan. Gue bukan anak. Gue kacungnya dia.“Gue mengawali hari be
Aku menghela napas. Apa yang Kak Daffa katakan memang benar. Selama ini Kak Mandala sibuk menafkahi keluarga.Aku jadi teringat bagaimana manusia dingin itu menghabiskan masa remajanya. Papa pergi saat dia kelas dua SMA. Habisnya uang pesangon dan harta berharga lainnya, membuat kami jatuh miskin. Mama memang pernah membuka usaha kue, katering, warung kelontong, jual pakaian, tapi semua bangkrut. Pada akhirnya Mama hanya jadi tukang cuci gosok.Cukup? Tentu tidak. Rumah kami yang besar itu, untuk air dan listrik saja mungkin habis sejutaan.Pernah ada wacana untuk menjual rumah dan kami semua pindah ke kampung Mama, tapi beliau terlalu berat dan kami juga tidak mau meninggalkan Jakarta. Akhirnya, hidup seadanya.Selama hidup sulit itu Kak Mandala tidak pernah meminta uang pada Mama. SMA sampai kuliah dia pakai uang sendiri. Dari mana uangnya? Ini yang unik.Di Jakarta ini, banyak siswa yang orang tuanya kaya banget. Kak Mandala yang punya wajah cukup oke mendekati mereka. Memacari lal
BAB 12Hari semakin sore, mata kuliah Mr. Richard pasti sudah berakhir. Aku tidak kembali lagi ke kampus. Kak Daffa langsung mengantarkan ke rumah.Setiap detik aku memikirkan tawaran Kak Daffa. Mau setuju, berat. Mau dilepas juga sayang.“Jangan dulu bilang apa-apa sama Mandala. Takutnya dia malah semakin nolak kalau tahu lo mau nerima ini karena gak mau nyusahin dia,” kata Kak Daffa di perjalanan. Aku tidak mendebat, hanya mengiyakan saja.Tiba di rumah. Langsung beres-beres seperti biasa. Bantu Mama ini itu. Magrib. Terus makan malam.Saat Kak Mandala sibuk dengan rutinitasnya dan Mama mulai istirahat, aku mendekati Mama.“Ma.” Aku membuka pintu kamar Mama.“Risa. Ada apa?” tanya Mama yang sedang memakai krim wajah.Aku duduk di kasur. Mengawasi wanita berdaster yang tengah menggosok wajahnya dengan gerak memutar di depan meja rias.“Menurut Mama, apa Kak Mandala sudah ingin menikah?”“Usia Mandala sekarang sudah 28 tahun, sebentar lagi 29. Wajar kalau sudah ingin menikah. Apa kaka