Nah loh Aletta mulai menentang tantenya. Bagaimana kisah selanjutnya? ikuti terus ya 🥰🥰🥰
“Apa maksudmu!” pekik Siska.“Aku menyerah, Tante. Aku sekarang sadar Alvaro bukan jodohku. Ambar memang berjodoh dengan Alvaro! Aku akan membiarkan mereka berdua menikah. Lebih baik aku fokus ke karir saja.”“Kenapa kamu jadi lemah begini? Memangnya kamu sudah tidak ingin jadi istri Alvaro?” “Apa artinya keinginanku bisa terwujud kalau aku harus mendekam di balik jeruji, Tante?” Siska terkesiap mendengar kata-kata Aletta. Dia semakin yakin telah terjadi sesuatu saat keponakan kesayangannya itu menjalankan rencana yang telah disusunnya. “Jeruji? Penjara maksud kamu? Apa hubungannya dengan keinginan kamu? Kalau ngomong yang jelas dong! Jangan bikin Tante kebingungan. Gini aja … sekarang kita ketemu. Nanti kamu ceritakan aja semuanya.” “Maaf, Tante tidak bisa. Papa sudah tahu kegilaanku ini dan mengirim aku ke luar negeri. Ini sekarang aku lagi packing barang-barangku ke dalam koper.”Siska menggertakkan rahang dan mengepalkan jarinya. Dia heran kenapa rencana yang sudah tersusun s
“Tidak! Aku tidak bisa tidur,” tolak Alvaro. “Aku harus memikirkan cara untuk menghukum Aletta dan Siska.”“Kenapa harus dihukum? Cukup kamu berikan ancaman saja kepada mereka agar tidak mengganggu lagi,” saran Ambar.“Tidak bisa! Kamu pikir mereka cukup diancam dan langsung berhenti mengganggu? Jangan naif!” bentak Alvaro.Ambar mendelik mendengar bentakan Alvaro. Setelah upayanya menyelamatkan Alvaro, lelaki itu bukannya berterima kasih, tetapi justru memarahinya. Gadis itu menjadi sedikit tersinggung karena merasa tidak dihargai. Ambar menjauh dari kasur Alvaro sambil mengedikkan bahunya, “Terserahlah … aku bukan orang yang suka kekerasan. Menurutku tidak semua kejahatan harus dibalas dengan kejahatan pula. Ada kalanya kita harus merangkul mereka agar mereka menyadari kesalahannya. Permisi aku mau istirahat.” Ambar berlalu meninggalkan Alvaro yang terbengong-bengong menatapnya. Setelah pintu kamar ditutup oleh Ambar, barulah Alvaro tersadar dan mengumpat, “Apa itu tadi? Sekarang d
“Alvaro apa-apaan kamu? Kenapa Mama dipanggil dewan direksi?”Di depan pintu ruangan Akvaro yang terbuka paksa itu Siska sudah berdiri dengan tatapan marah. Di belakangnya ada sekretaris Alvaro yang tampak ketakutan.Alvaro memberi isyarat tangan agar sekretarisnya keluar dan menutup pintu. “Dan kamu kenapa ada di sini, Santo?” Siska yang semula histeris menjadi heran ketika melihat anak kandungnya berada di ruangan anak tirinya. “Tanyakan alasannya kepada anak tiri Mama itu,” jawab Santo dengan nada kesal. Siska menatap Alvaro dengan mata mendelik marah. “Apa-apaan ini Alvaro? Apa yang kamu lakukan kepada kami berdua?”Alvaro kembali bersandar di kursinya. Dia menatap sinis ke arah ibu tirinya. “Kenapa tanya saya? Tanya ke diri sendiri aja. Apa yang sudah kalian lakukan?” Siska memucat. Dia mulai menyadarinya. Dia tahu cepat atau lambat Alvaro akan mengetahui perbuatannya dan dia pasti akan langsung membalasnya. Hanya saja Siska tidak mengira anak tirinya itu akan tahu secepa
“Apa kamu bilang? Aku tega? Lebih tega mana dibandingkan dengan usahamu menjebakku dengan keponakan jaha nammu itu? Apa yang kamu alami ini masih belum apa-apa, Siska! Selain itu, ingat. Kamu bukan ibuku!" Kata-kata pamungkas yang terlontar dari bibir Alvaro dengan nada tinggi itu terus terngiang-ngiang di benak Siska. Di satu sisi dia merasa marah dan terhina dengan ucapan Alvaro yang memanggilnya kamu bukan tante seperti biasa. Namun, di sisi lain dia juga cemas memikirkan dari mana dia bisa mengembalikan uang perusahaan sebanyak itu tanpa bantuan Alvaro. Jadi, Siska menelan kejengkelannya, harga diri, dan semua emosi yang masih bersarang di hatinya untuk meraih hati Alvaro. Hingga keesokan harinya dia masih berusaha merayu anak tirinya itu untuk membantu dirinya. Seperti kali ini dia datang ke kantor Alvaro menjelang istirahat siang dengan tujuan untuk mengajaknya makan di luar. Dalam benak Siska kalau dia menunjukkan perhatian dan berbicara dari hati ke hati di tempat yang tenan
“Tuan … Ibu Ambar menangis. Dari tadi saya tidak bisa menenangkannya. Barusan Beliau bahkan meminta saya pulang dan melarang saya kembali lagi.”Alvaro memejamkan mata sambil memijat pelipisnya ketika mendengar aduan asisten ambar lewat telepon. ‘Ada apa lagi ini? Kenapa masalah demi masalah datang beruntun?’ Wajar kalau Alvaro merasa gelisah. Hal tersebut karena dia tahu persis perempuan yang dimintanya menjadi asisten Ambar itu tidak akan mengadu sembarangan. Jadi, kalau dia sampai menghubungi Alvaro untuk melaporkan sesuatu, itu artinya dia tidak sanggup menanganinya lagi. “Memangnya tadi ada kejadian apa?” tanya Alvaro. “Setahu saya tidak ada kejadian apa pun, Tuan. Berulangkali saya sudah mencoba bertanya permasalahan yang dihadapi oleh Ibu Ambar yang menyebabkannya menangis, tapi Beliau juga tidak mau menjelaskannya. Jadi sampai saat ini saya tidak mengerti alasan Bu Ambar tiba-tiba meneteskan air mata sederas itu, Tuan.” “Oke. Saya pulang,” jawab Alvaro singkat dan langsun
“Apa tidak ada pakaian lain yang lebih sederhana? Saya lebih suka gaun yang simple. Atau ada kebaya pengantin biasa yang warnanya putih?” tanya Ambar. Saat ini Ambar tengah mematut dirinya di depan cermin. Tangannya kemudian sibuk menarik-narik kedua sisi gaun yang melekat erat membungkus tubuhnya bagaikan kulit kedua. “Ini juga terlalu ketat,” keluhnya. “Gaun itu pilihan Tuan Alvaro, Nona. Apa perlu saya tanyakan ke beliau lagi untuk pilihan lainnya?” tawar desainer gaun pengantinnya. “Tidak … tidak perlu. Sebenarnya gaun ini sangat cantik dan elegan. Wajar kalau dia memilihnya. Saya hanya tidak terbiasa menggunakan gaun mewah dan terlalu ketat seperti ini.” Sang desainer menatap Ambar dari arah belakang, kemudian dia meminta Ambar berputar. Kepalanya mengangguk sambil mengamati gerakan Ambar, “Sepertinya saya bisa menambahkan sesuatu agar gaun itu tidak tampak terlalu ketat sekaligus membuatnya menjadi lebih elegan. Bagaimana, Nona?” “Iya terserah saja kalau memang tidak mere
‘A-apa maksud Alvaro? Apakah malam ini dia akan meminta haknya sebagai suami?’ batin Ambar.Kali ini bukan hanya jantung Ambar yang berlompatan, tetapi bibirnya mendadak kelu. Dia kehilangan kata-kata dan tak sanggup merespon ucapan Alvaro itu. Tanpa sadar tangan Ambar naik ke pipi yang dirasakannya mulai memanas. Gadis itu bermaksud menutupi pipinya yang merona, tetapi Alvaro mencegahnya, “Tidak usah ditutupi. Biarkan aku dan orang lain menikmati keindahan pipimu yang memerah bagaikan kelopak mawar.” Mata Ambar membulat mendengar kata-kata Alvaro. Dia tidak pernah tahu mantan majikan yang kini menjadi suaminya itu bisa menebar rayuan gombal. ‘Ke mana perginya Alvaro yang sedingin kulkas itu?’ batinnya sambil tetap menatap lelaki itu. Melihat Ambar terpaku menatapnya, Alvaro segera meraih tangan Ambar dan melingkarkan di lengannya. Saat itulah muncul seorang pemain musik yang menggenggam saxophone. Pemusik itu mulai meniup saxophone dan melangkah di depan kedua mempelai. Dengan me
"Kamu menyindirku? Dengar, ya. Aku nggak bakalan jatuh cinta setengah mati kepada seorang perempuan meski dia adalah istriku. Apalagi kalau hanya untuk diselingkuhi!” Alvaro menjeda kata-katanya sebentar untuk menarik napas dan meredam emosinya sebelum melanjutkan, “Jadi kalau kamu menuntut cinta baru kamu mau memberikan hakku sebagai suami, maka lupakan saja!" Selesai membentak Ambar, Alvaro keluar dari kamar hotel dengan membanting pintunya. Ambar melongo melihat Alvaro pergi dengan marah. “Apa salahku? Bukankah dia sendiri yang membuat aturan itu? Jadi kenapa dia marah waktu aku tolak? Lelaki aneh. Labil. Kadang baik kadang ju tek. Terserah deh dia pergi ke mana. Males mikirin. Aku mau istirahat saja,” Ambar menggerutu sambil menata bantal untuk bersandar. Ambar menyalakan televisi dan mencari acara yang dianggapnya menarik. Akhirnya dia memutuskan untuk menonton drama korea favoritnya. Namun, meski matanya melihat ke layar kaca seolah-olah menikmati tontonan itu, sesungguhn