Halo sahabat-sahabat tercinta ... saya kembali lagi. Maafkan kalau saya lama tidak update. Ada kesibukan yang tidak bisa saya tinggalkan. Setelah ini saya akan usahakan update tiap hari. Tetap ikuti kisah Ambar. Terima kasih. Salam sayang 🥰🥰🥰
“Alvaro apa-apaan kamu? Kenapa Mama dipanggil dewan direksi?”Di depan pintu ruangan Akvaro yang terbuka paksa itu Siska sudah berdiri dengan tatapan marah. Di belakangnya ada sekretaris Alvaro yang tampak ketakutan.Alvaro memberi isyarat tangan agar sekretarisnya keluar dan menutup pintu. “Dan kamu kenapa ada di sini, Santo?” Siska yang semula histeris menjadi heran ketika melihat anak kandungnya berada di ruangan anak tirinya. “Tanyakan alasannya kepada anak tiri Mama itu,” jawab Santo dengan nada kesal. Siska menatap Alvaro dengan mata mendelik marah. “Apa-apaan ini Alvaro? Apa yang kamu lakukan kepada kami berdua?”Alvaro kembali bersandar di kursinya. Dia menatap sinis ke arah ibu tirinya. “Kenapa tanya saya? Tanya ke diri sendiri aja. Apa yang sudah kalian lakukan?” Siska memucat. Dia mulai menyadarinya. Dia tahu cepat atau lambat Alvaro akan mengetahui perbuatannya dan dia pasti akan langsung membalasnya. Hanya saja Siska tidak mengira anak tirinya itu akan tahu secepa
“Apa kamu bilang? Aku tega? Lebih tega mana dibandingkan dengan usahamu menjebakku dengan keponakan jaha nammu itu? Apa yang kamu alami ini masih belum apa-apa, Siska! Selain itu, ingat. Kamu bukan ibuku!" Kata-kata pamungkas yang terlontar dari bibir Alvaro dengan nada tinggi itu terus terngiang-ngiang di benak Siska. Di satu sisi dia merasa marah dan terhina dengan ucapan Alvaro yang memanggilnya kamu bukan tante seperti biasa. Namun, di sisi lain dia juga cemas memikirkan dari mana dia bisa mengembalikan uang perusahaan sebanyak itu tanpa bantuan Alvaro. Jadi, Siska menelan kejengkelannya, harga diri, dan semua emosi yang masih bersarang di hatinya untuk meraih hati Alvaro. Hingga keesokan harinya dia masih berusaha merayu anak tirinya itu untuk membantu dirinya. Seperti kali ini dia datang ke kantor Alvaro menjelang istirahat siang dengan tujuan untuk mengajaknya makan di luar. Dalam benak Siska kalau dia menunjukkan perhatian dan berbicara dari hati ke hati di tempat yang tenan
“Tuan … Ibu Ambar menangis. Dari tadi saya tidak bisa menenangkannya. Barusan Beliau bahkan meminta saya pulang dan melarang saya kembali lagi.”Alvaro memejamkan mata sambil memijat pelipisnya ketika mendengar aduan asisten ambar lewat telepon. ‘Ada apa lagi ini? Kenapa masalah demi masalah datang beruntun?’ Wajar kalau Alvaro merasa gelisah. Hal tersebut karena dia tahu persis perempuan yang dimintanya menjadi asisten Ambar itu tidak akan mengadu sembarangan. Jadi, kalau dia sampai menghubungi Alvaro untuk melaporkan sesuatu, itu artinya dia tidak sanggup menanganinya lagi. “Memangnya tadi ada kejadian apa?” tanya Alvaro. “Setahu saya tidak ada kejadian apa pun, Tuan. Berulangkali saya sudah mencoba bertanya permasalahan yang dihadapi oleh Ibu Ambar yang menyebabkannya menangis, tapi Beliau juga tidak mau menjelaskannya. Jadi sampai saat ini saya tidak mengerti alasan Bu Ambar tiba-tiba meneteskan air mata sederas itu, Tuan.” “Oke. Saya pulang,” jawab Alvaro singkat dan langsun
“Apa tidak ada pakaian lain yang lebih sederhana? Saya lebih suka gaun yang simple. Atau ada kebaya pengantin biasa yang warnanya putih?” tanya Ambar. Saat ini Ambar tengah mematut dirinya di depan cermin. Tangannya kemudian sibuk menarik-narik kedua sisi gaun yang melekat erat membungkus tubuhnya bagaikan kulit kedua. “Ini juga terlalu ketat,” keluhnya. “Gaun itu pilihan Tuan Alvaro, Nona. Apa perlu saya tanyakan ke beliau lagi untuk pilihan lainnya?” tawar desainer gaun pengantinnya. “Tidak … tidak perlu. Sebenarnya gaun ini sangat cantik dan elegan. Wajar kalau dia memilihnya. Saya hanya tidak terbiasa menggunakan gaun mewah dan terlalu ketat seperti ini.” Sang desainer menatap Ambar dari arah belakang, kemudian dia meminta Ambar berputar. Kepalanya mengangguk sambil mengamati gerakan Ambar, “Sepertinya saya bisa menambahkan sesuatu agar gaun itu tidak tampak terlalu ketat sekaligus membuatnya menjadi lebih elegan. Bagaimana, Nona?” “Iya terserah saja kalau memang tidak mere
‘A-apa maksud Alvaro? Apakah malam ini dia akan meminta haknya sebagai suami?’ batin Ambar.Kali ini bukan hanya jantung Ambar yang berlompatan, tetapi bibirnya mendadak kelu. Dia kehilangan kata-kata dan tak sanggup merespon ucapan Alvaro itu. Tanpa sadar tangan Ambar naik ke pipi yang dirasakannya mulai memanas. Gadis itu bermaksud menutupi pipinya yang merona, tetapi Alvaro mencegahnya, “Tidak usah ditutupi. Biarkan aku dan orang lain menikmati keindahan pipimu yang memerah bagaikan kelopak mawar.” Mata Ambar membulat mendengar kata-kata Alvaro. Dia tidak pernah tahu mantan majikan yang kini menjadi suaminya itu bisa menebar rayuan gombal. ‘Ke mana perginya Alvaro yang sedingin kulkas itu?’ batinnya sambil tetap menatap lelaki itu. Melihat Ambar terpaku menatapnya, Alvaro segera meraih tangan Ambar dan melingkarkan di lengannya. Saat itulah muncul seorang pemain musik yang menggenggam saxophone. Pemusik itu mulai meniup saxophone dan melangkah di depan kedua mempelai. Dengan me
"Kamu menyindirku? Dengar, ya. Aku nggak bakalan jatuh cinta setengah mati kepada seorang perempuan meski dia adalah istriku. Apalagi kalau hanya untuk diselingkuhi!” Alvaro menjeda kata-katanya sebentar untuk menarik napas dan meredam emosinya sebelum melanjutkan, “Jadi kalau kamu menuntut cinta baru kamu mau memberikan hakku sebagai suami, maka lupakan saja!" Selesai membentak Ambar, Alvaro keluar dari kamar hotel dengan membanting pintunya. Ambar melongo melihat Alvaro pergi dengan marah. “Apa salahku? Bukankah dia sendiri yang membuat aturan itu? Jadi kenapa dia marah waktu aku tolak? Lelaki aneh. Labil. Kadang baik kadang ju tek. Terserah deh dia pergi ke mana. Males mikirin. Aku mau istirahat saja,” Ambar menggerutu sambil menata bantal untuk bersandar. Ambar menyalakan televisi dan mencari acara yang dianggapnya menarik. Akhirnya dia memutuskan untuk menonton drama korea favoritnya. Namun, meski matanya melihat ke layar kaca seolah-olah menikmati tontonan itu, sesungguhn
“Aku akan menuntut penjelasan darinya! Apa maksudnya tidak mencariku sama sekali?” Alvaro berkata dengan geram sambil melangkah tergesa-gesa. Aneka pemikiran buruk memenuhi isi kepalanya, bahkan ucapan Siska ibu tirinya yang menyebut Ambar adalah pemburu harta terus terngiang-ngiang di telinganya. “Awas aku akan memberinya pelajaran. Enak saja dia menginginkan hartaku, tapi nggak mau memberikan hakku! Kalau dia tetap ngotot gak mau menyerahkannya dengan suka rela, aku akan merenggutnya dengan paksa. Itu hukuman untuknya!” Alvaro benar-benar sudah menjadi gelap mata. Kemarahannya kepada Ambar membuatnya merencanakan perbuatan jahat kepada gadis itu. Semua ekspresi Alvaro itu tak luput dari perhatian sepasang mata yang duduk di pojok bar. Dia tampaknya sangat mengenal Alvaro terlihat dari kata-kata yang dia gumamkan, “Ada yang aneh. Pengantin baru kok malah nongkrong di bar.” Ketika melihat Alvaro pergi meninggalkan bar, orang tersebut buru-buru turun dari kursinya di depan meja bar
“Tidak perlu … pakaian, tas dan sepatu saya masih bagus-bagus.”“Tapi kamu tetap harus beli lagi. Karena kamu perlu pakaian, sepatu dan tas yang cocok dipakai ke kantor. Mulai besok kamu bekerja di kantor saya. Membantu saya sampai perusahaan mendapat pengganti Tante Siska,” terang Alvaro.Ambar terbelalak dan berteriak, “Apa?” “Kamu apa-apaan, sih! Kenapa berteriak seperti itu?” sentak Alvaro.Pengusaha muda itu lalu menoleh ke sekelilingnya. Dia ingin memastikan tidak banyak orang yang mendengar teriakan Ambar. Alvaro baru menghembuskan napas lega ketika melihat semua orang sibuk menikmati makanannya. “Ma-maaf … saya terlalu kaget mendengar ucapan Anda. Jadinya spontan berteriak. Lagipula wajar kalau saya kaget. Bagaimana mungkin seorang mantan baby sitter seperti saya bisa bekerja di perusahaan apalagi perusahaan sebesar Hadinata Grup?”“Kenapa tidak mungkin? Kamu kan gadis yang cerdas. Pasti kamu bisa mengimbangi ritme kerja perusahaan.” “Saya bukan seorang sarjana. Kenapa per