“Baiklah, Pak. Bukan saya menolak, tapi hanya sekadar bertanya. Baik, Pak … saya akan segera ke ruangan Tuan Alvaro.” Ambar pun menutup telepon dari Pak Salman.Bersamaan dengan itu, terdengar suara menyindir dari kubikel Susan, “Waaah … ada yang diajak makan siang oleh Big Boss, nih.”“Halah pasti itu cuma alasan saja. Mana ada karyawan baru diajak bos makan siang dengan klien penting! Pasti itu bukan makan siang bareng tapi bobok siang bareng!” “Mbak Wulan!” bentak Pak Bambang. Mendengar kata-kata Wulan, Ambar sontak berdiri hingga kursinya terdorong dengan keras dan membentur tembok yang ada di belakangnya. Dengan tatapan nanar Ambar menatap Wulan. “Mbak Wulan benar-benar keterlaluan. Dari kemarin saya sudah menahan diri untuk tidak emosi. Tapi kali ini saya sudah tidak tahan lagi. Karena Mbak sudah menghina bukan cuma saya, tapi juga melecehkan Tuan Alfaro! Saya akan laporkan kejadian ini!”Wajah Wulan memucat. Dia baru sadar kalau tadi sudah terbawa nafsu sehingga berbicara tan
Bab 35 Ken Lazuardi “Oke tidak masalah. Kalau aku sebut namaku adalah Ken … apakah kamu sudah bisa mengingatnya?”“Ken? Saya hanya pernah kenal satu nama Ken,” jawab Ambar sambil berpikir. Lalu dia memindai penampilan lelaki di depannya. “Dan itu sudah pasti bukan Anda.”“Kenapa bisa begitu?” tanya klien Alvaro Masih dengan mata menatap lekat klien Alvaro, Ambar berkata, “Karena Ken yang dulu saya kenal itu tubuhnya gemuk, kulitnya sawo matang cenderung gelap, rambut ikalnya selalu berantakan dan satu sifat buruknya adalah sangat pemalas. Begitu malas hingga dia tidak pernah mau diajak bermain yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Jadi, bagaimana mungkin Anda adalah Ken yang saya kenal dulu? Sementara penampilan Anda sangat jauh berbeda dengannya.” Lelaki yang berdiri di hadapan Ambar itu menyembunyikan tawa gelinya dengan susah payah. “Tidakkah kamu berpikir seseorang bisa saja berubah?”Ambar mengerutkan keningnya. Dia memikirkan semua ucapan klien Alvaro tadi. Sementara i
“Kamu melamun? Kamu senang ya bertemu lelaki dari masa lalu kamu yang tampan dan kaya itu?”Ambar menoleh. Dia menelisik wajah lelaki yang duduk di sebelahnya. Ambar merasa ada yang aneh dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Alvaro itu. Namun meskipun begitu Ambar tetap menjawabnya. “Tentu saja saya senang … namanya juga bertemu dengan teman lama.”“Apalagi kalau teman lamanya itu tampan dan kaya gitu, kan?” potong Alvaro. “Maksudnya apa sih pertanyaan Anda itu? Tadi Anda diam saja seperti orang marah, tapi sekarang Anda melontarkan pertanyaan yang aneh,” tanya Ambar.“Di mana anehnya? Itu kan pertanyaan yang wajar ditanyakan. Lagipula bukankah pertanyaan itu sesuai dengan kenyataan. Teman lama yang kamu temui tampan dan kaya, kan?” Ambar menatap tak suka kepada wajah datar yang duduk disampingnya. ‘Bisa-bisanya Alvaro berwajah seperti itu tapi berbicara dengan nada tinggi. Dia pikir aku ini siapa?’ batin Ambar.“Kenapa diam? Aku benar kan?” cibir Alvaro.“Oke … oke … tidak perlu
Ambar baru saja meletakkan tas di meja dan belum sempat menaruh tubuhnya di kursi, ketika terdengar suara dari arah belakangnya. “Wah … wah … wah … tumben anak baru sudah datang. Padahal baru jam delapan kurang sepuluh menit.Ambar menoleh dan mendapati Susan memasuki ruangan divisi procurement.“Pagi, Mbak Susan.”“Heemm,” jawab Susan pendek.“Kamu mimpi apa semalam, Anak baru? Kantor belum ada penghuninya kamu sudah datang.”“Nggak mimpi apa-apa, Mbak. O ya nama saya Ambar bukan anak baru. Minggu lalu sudah saya perkenalkan, bukan?”“Saya tahu tapi kamu anak baru, kan? Jadi apa salahnya saya manggil kamu begitu?” sahut Susan dengan ketus.Ambar mendesah. Dia malas membantah Susan lagi. Dia tidak ingin suasana hatinya rusak sejak pagi hari.“Heh! Malah melamun. Ayo jelaskan! Jadi maksudmu kamu tiba-tiba bangun dan berubah jadi orang yang rajin berangkat pagi ke kantor?”“Ya nggak gitu juga Mbak, kan saya sudah pernah bilang kalau perjanjian kontrak kerja saya itu memperbolehkan saya
“Kamu nggak mau sekalian minta tolong Ambar?” tanya Susan kepada Wulan.“Eh … enggak. Saya masih bisa mengerjakannya sendiri,” tolak Wulan. Sepertinya gadis itu masih merasa trauma dengan pertengkaran terakhir mereka.Ambar menatap Susan dengan kesal. ‘Orang ini ngapain sih nawar-nawarin ke yang lain kalau mau nitip kerjaan kayaknya dia sengaja.’ batin Ambar. Susan bukannya tidak tahu kalau Ambar merasa kesal kepadanya. Dia sengaja. Buktinya dia tetap menawarkan kepada Wulan untuk meminta bantuan Ambar, meski Ambar sudah menatapnya marah. Selain itu seringai yang diam-diam muncul di bibirnya muncul di bibirnya juga menjadi pertanda Susan mengerjai Ambar.Ambar jadi merasa dia tengah menjalani berpeloncoan layaknya siswa baru. Masalahnya dia bukanlah anak sekolah yang perlu digembleng untuk menjadi tabah dan terlatih serta lebih mengenal lingkungan baru. Justru sebagai orang dewasa Ambar merasa kesal melihat praktek perpeloncoan menjadi sebuah ajang bully. Namun untuk saat ini Ambar a
Ambar menatap punggung Heru yang berjalan kembali ke kubikelnya dengan mulut hampir melongo. Ambar membatin ‘Kok bisa Heru sepercaya diri itu. Dia pikir dirinya sangat tampan sehingga bisa merayu perempuan manapun. Benar-benar tak waras.’Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Ambar kembali menekuri berkas-berkas di mejanya. Ambar merasa harus selekasnya menyelesaikan laporan agar dia bisa memenuhi janjinya untuk membantu pekerjaan Susan.Tanpa terasa Ambar sudah berkutat dengan berkas-berkas selama beberapa jam dan sekarang sudah masuk waktu istirahat makan siang. Awalnya Ambar berencana pergi ke kantin. Namun saat dia beranjak dari kursinya bersamaan dengan kedatangan Pak Bambang dari dinas luar. Lelaki berusia pertengahan empat puluh tahun itu menyerahkan beberapa data yang secepatnya harus dibuatkan laporan oleh Ambar. Hal ini membuat Ambar membatalkan rencananya pergi ke kantin untuk membeli makanan kecil dan minuman. Ambar memang sudah membawa bekal makan siang, tetapi dia
‘Menelepon Ambar? Memangnya Ambar di mana?’ batin Alvaro.Alvaro menatap jam yang melingkar di tangannya. Pukul delapan malam lebih sepuluh menit. Dia menatap baby sitter Afreen dan bertanya, “Ambar belum pulang?” “Belum Tuan. Dan dari tadi Bu Ambar tidak bisa ditelepon makanya Tuan muda Afreen jadi gelisah dan rewel,” jawab sang baby sitter sambil menunduk. “Ambar ke mana saja, sih!” desis Alvaro dengan kesal.“Apakah dia lembur? Tapi ngerjakan apa? Pekerjaan dia kan harusnya cuma membantuku sepeninggal Siska. Jadi harusnya dia tidak lembur, atau jangan-jangan ….” Belum selesai Alvaro bergumam, Afreen kembali menubruknya. Tangan kecil bocah lelaki berusia empat tahun itu memeluk erat kaki Alvaro. “Kenapa Mama Ambar nggak pulang-pulang, Pa? Mama Ambar pergi ke mana? Kenapa nggak ngajak Afreen? Mama Ambar nggak sayang Afreen lagi, ya, Pa?”“Bukan seperti itu. Mama Ambar sayang, kok, sama Afreen. Mungkin sebentar lagi Mama Ambar pulang. Sabar, ya, sekarang Afreen nurut dulu sama suste
Wajah Ambar merah padam. Dia benar-benar tidak terima Alvaro berulang kali membentaknya. Namun, ketika dia ingin membantah tuduhan Alvaro, dari dalam muncullah Afreen yang sudah mengenakan piyama. Bocah lelaki itu berlari memeluk Ambar dan menatap Alvaro nyalang. Dia lalu berkata marah, “Kenapa Papa memarahi Mama?”Alvaro terkejut melihat anaknya tiba-tiba muncul. “Saayang … Papa nggak marahin Mama kok.”“Tapi kenapa suara Papa keras ke Mama seperti … seperti orang bentak-bentak,” ucap Afreen.Alvaro terdiam dia tidak bisa mencari alasan lagi. Suaranya memang tinggi karena dia sedang membentak Ambar.Melihat Alvaro kebingungan merespon kata-kata Afreen, Ambar berjongkok. Mata Ambar menatap mata Afreen lekat, “Papa nggak marahin Mama, kok. Papa dan Mama sedang diskusi."‘Diskusi itu apa Ma?” tanya Afreen lugu. “Diskusi itu … orang-orang dewasa yang sedang bicara serius jadi suaranya keras,” jelas Ambar.Afreen manggut-manggut. “Oo gitu.”“Iya … jadi karena Papa dan Mama mau diskusi, A